PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Banyak Tahu​—tetapi Sedikit Berubah
    Sedarlah!—2002 | 8 Agustus
    • Banyak Tahu​—tetapi Sedikit Berubah

      ”Meskipun adanya kesuksesan di bidang sains belakangan ini, manusia belum banyak berubah dalam dua ribu tahun terakhir ini; dan akibatnya, kita masih harus berupaya belajar dari sejarah.”​—Kenneth Clark, Civilisation​—A Personal View.

      PASTILAH, ada beberapa kemajuan yang mengagumkan di bidang sains dari abad ke abad. Majalah Time mengatakan bahwa kemajuan-kemajuan ini telah ”memberikan kepada jutaan dari kita standar kehidupan yang tertinggi dalam sejarah”. Beberapa kemajuan terbesar tersebut dicapai dalam bidang kedokteran. Pada abad pertengahan, ”kedokteran masih kasar dan brutal”, kata sejarawan Zoé Oldenbourg. ”Seorang dokter dapat membunuh semudah menyembuhkan.”

      Tidak Selalu Bersedia Belajar

      Orang-orang tidak selalu bersedia belajar. Pada akhir abad ke-19, misalnya, banyak dokter mengabaikan bukti kuat bahwa mereka sendiri dengan satu atau lain cara menularkan penyakit di antara pasien-pasien mereka. Jadi, mereka tetap melakukan praktek-praktek berbahaya dan tidak mau mencuci tangan sebelum pindah dari satu pasien ke pasien yang lain.

      Meskipun demikian, sains dan teknologi terus mengalami kemajuan. Oleh karena itu, masuk akal bahwa, dari pengalaman masa lalu, manusia seharusnya telah belajar caranya menjadikan dunia ini tempat yang lebih membahagiakan dan aman. Tetapi, kenyataannya tidak demikian.

      Perhatikan Eropa pada abad ke-17. Masa itu dilukiskan sebagai abad pencerahan dan penalaran. Namun, faktanya tidak berubah, ”meskipun ada begitu banyak orang jenius dalam bidang seni dan sains”, kata Kenneth Clark, ”masih saja ada penindasan yang konyol dan perang-perang brutal yang kekejamannya tak tertandingi”.

      Pada zaman kita, masih ada keengganan untuk belajar dari masa lalu guna menghindari kekeliruan. Akibatnya, keberadaan kita di planet ini tampaknya sedang terancam. Penulis Joseph Needham menyimpulkan bahwa situasinya telah menjadi sedemikian berbahayanya sampai-sampai ’yang kita dapat lakukan sekarang hanyalah berharap dan berdoa agar maniak-maniak itu tidak akan melepaskan ke atas umat manusia kekuatan yang dapat membinasakan semua kehidupan di bumi’.

      Mengapa kita masih terjebak dalam dunia yang sarat dengan kekerasan dan kebrutalan, padahal manusia sudah sedemikian jenius dan banyak tahu? Apakah hal ini akan pernah berubah? Kedua artikel berikut akan membahas pertanyaan-pertanyaan ini.

  • Bangsa-Bangsa Masih Belum Belajar Juga
    Sedarlah!—2002 | 8 Agustus
    • Bangsa-Bangsa Masih Belum Belajar Juga

      ”Seandainya manusia mau belajar dari sejarah​—alangkah bagusnya pelajaran yang akan kita peroleh! Namun Nafsu dan Partai membutakan mata kita, dan cahaya yang diberikan Pengalaman bagaikan lentera di buritan kapal yang hanya menyinari ombak di belakang kita!”—Samuel Taylor Coleridge.

      APAKAH Anda sependapat dengan penyair Inggris Samuel Coleridge? Mungkinkah kita bisa begitu dibutakan oleh nafsu untuk mencapai suatu tujuan sampai-sampai kita mengulangi kekeliruan-kekeliruan tragis yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya?

      Perang Salib

      Perhatikan, misalnya, beberapa hal yang dilakukan orang selama Perang Salib. Pada tahun 1095 M, Paus Urban II mendesak ”orang-orang Kristen” untuk merebut Tanah Suci dari kaum Muslim. Para raja, bangsawan, ksatria, dan rakyat jelata di semua negeri yang berada di bawah kendali Urban II menyambut ajakan ini. Menurut salah seorang sejarawan abad pertengahan, ”hampir tidak seorang pun yang hidup selaras dengan hukum Kristus” yang tidak datang untuk mendukung tujuan ini.

      Sejarawan Zoé Oldenbourg menyatakan bahwa mayoritas prajurit Perang Salib memiliki ”keyakinan penuh bahwa dengan menyandang salib, [mereka] berpartisipasi langsung dalam pelayanan kepada Allah Sendiri”. Menurutnya, mereka berpikir bahwa mereka sedang menjalankan peranan ”malaikat pembinasa yang menyerang anak-anak iblis”. Mereka juga percaya bahwa ”semua yang tewas akan memenangkan mahkota sebagai martir di surga”, kata penulis Brian Moynahan.

      Mungkin para prajurit Perang Salib ini tidak tahu bahwa musuh mereka juga mempercayai hal yang serupa. Para prajurit Islam, kata sejarawan J. M. Roberts dalam bukunya Shorter History of the World, juga pergi berperang dengan keyakinan bahwa mereka berperang demi Allah dan ”bahwa setelah kematian di medan perang melawan orang kafir, seseorang akan masuk ke dalam firdaus” di surga.

      Kedua pihak diajar bahwa perang mereka adalah perang yang adil​—diperkenan dan diberkati oleh Allah. Para pemimpin agama dan politik menanamkan kepercayaan ini dan mengipasi emosi orang-orang. Dan, kedua pihak melakukan kekejaman yang tak terkatakan.

      Orang-Orang Macam Apa?

      Orang-orang macam apa yang melakukan hal-hal mengerikan ini? Kebanyakan adalah orang biasa​—tidak jauh berbeda dengan orang-orang dewasa ini. Tak diragukan, banyak dari mereka disulut oleh idealisme dan hasrat untuk memperbaiki hal-hal salah yang mereka lihat di dunia pada zaman mereka. Karena terbakar emosi, mereka tampaknya tidak menyadari fakta bahwa dalam perjuangan mereka demi ”keadilan”, mereka tidak menghasilkan apa-apa kecuali ketidakadilan, kepedihan, dan penderitaan bagi ratusan ribu pria, wanita, dan anak-anak yang tak bersalah, yang terperangkap dalam zona pertempuran.

      Bukankah selalu demikian polanya sepanjang sejarah? Bukankah para pemimpin karismatis yang selalu menggerakkan jutaan orang​—yang dalam keadaan normal tidak akan pernah berpikir untuk bertingkah laku demikian​—untuk turut serta dalam peperangan yang kejam dan biadab melawan musuh-musuh agama dan politik mereka? Seruan untuk berperang oleh kedua belah pihak yang bertikai dan pernyataan bahwa Allah menyertai kedua pihak mengesahkan penindasan yang penuh dengan kekerasan terhadap lawan politik dan agama. Hal itu adalah bagian dari pola mapan yang telah menguntungkan para tiran selama berabad-abad. Pola ini, kata Moynahan, merupakan standar yang ”belakangan digunakan oleh para arsitek Holocaust dan sapu bersih etnis modern, tepat sebagaimana hal itu juga dulu digunakan untuk memicu perang salib yang pertama”.

      ’Namun, orang-orang yang berakal sehat dewasa ini tidak akan mau lagi dimanipulasi seperti itu,’ Anda mungkin berkata. ’Bukankah kita sekarang sudah jauh lebih beradab?’ Seharusnya memang demikian. Tetapi, apakah kita sudah benar-benar belajar dari sejarah? Siapa yang dapat dengan jujur menjawab ya, setelah merenungkan apa yang telah terjadi selama ratusan tahun terakhir ini?

      Perang Dunia Pertama

      Pola yang ditetapkan oleh Perang Salib terulang lagi, misalnya, pada perang dunia pertama. ”Salah satu paradoks pada tahun 1914,” kata Roberts, ”adalah bahwa di setiap negeri, sejumlah besar orang, dari semua partai, agama, dan keturunan, tampaknya, secara tak diduga-duga, dengan rela dan senang hati pergi berperang.”

      Mengapa sejumlah besar orang biasa ”dengan rela dan senang hati pergi berperang”? Karena mereka, sebagaimana halnya orang lain pada masa-masa sebelumnya yang rela pergi berperang, berpaut pada prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang dibentuk oleh filsafat-filsafat populer pada zaman mereka. Meskipun ada yang mungkin terinspirasi oleh prinsip kebebasan dan keadilan, dapat dipastikan bahwa kebanyakan digerakkan oleh kepercayaan yang arogan bahwa bangsa mereka lebih unggul daripada bangsa-bangsa lain dan dengan demikian layak menjadi yang dominan.

      Orang-orang ini dibujuk untuk percaya bahwa perang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rancangan alami dari segala sesuatu​—semacam ”kebutuhan biologis”. ”Darwinisme sosial,” kata penulis Phil Williams, menganjurkan gagasan, misalnya, bahwa perang adalah sarana yang sah untuk ”memberantas spesies-spesies yang tidak pantas hidup.”

      Tentu saja, setiap orang beranggapan bahwa tujuan dia benar. Apa akibatnya? Selama Perang Dunia I, ”pemerintah-pemerintah”, kata penulis dan sejarawan Martin Gilbert, ”menabuh genderang rasisme, patriotisme, dan kehebatan militer”​—dan rakyat mengikutinya dengan membabi buta. Pakar ekonomi John Kenneth Galbraith dibesarkan di daerah pedesaan Kanada sewaktu perang itu berlangsung. Ia mengatakan bahwa di mana-mana, orang-orang berbicara tentang ”kebodohan yang mencolok dari konflik di Eropa”. ”Orang yang pintar . . . tidak akan mau melakukan tindakan tidak waras demikian,” kata mereka. Tetapi, lagi-lagi, mereka melakukannya juga. Apa konsekuensinya? Sekitar 60.000 tentara Kanada berada di antara lebih dari sembilan juta anggota militer yang tewas di kedua belah pihak dalam kancah kebiadaban yang kemudian disebut perang dunia pertama itu.

      Belum Juga Belajar

      Dua dekade kemudian, semangat yang sama mulai muncul lagi melalui kebangkitan Fasisme dan Nazisme. Kaum Fasis mulai menggunakan ”sarana propaganda tradisional berupa simbol-simbol dan mitos-mitos untuk menggugah emosi orang-orang”, tulis Hugh Purcell. Sarana terampuh yang mereka gunakan adalah campuran mujarab agama dan politik, yakni berdoa agar pasukan mereka mendapat berkat Allah.

      Tokoh yang merupakan ”pakar dalam bidang psikologi massa sekaligus orator yang brilian” adalah Adolf Hitler. Seperti banyak demagog (penghasut massa) zaman dahulu, kata Dick Geary dalam Hitler and Nazism, Hitler percaya bahwa ’massa digerakkan bukan oleh otak mereka melainkan oleh emosi mereka’. Ia memanfaatkan kelemahan manusia ini dengan secara cerdik menggunakan teknik lama yakni mengarahkan kebencian rakyat ke suatu musuh bersama​—seperti sewaktu ia ”mengarahkan rasa takut dan kekesalan orang Jerman kepada orang Yahudi”, kata Purcell. Hitler memfitnah orang Yahudi dengan mengatakan, ’Orang Yahudi adalah perusak bangsa Jerman.’

      Yang membuat keseluruhan era ini mengerikan adalah bahwa jutaan orang yang tampaknya baik-baik dengan mudah diprovokasi untuk melakukan pembunuhan massal. ”Bagaimana mungkin rakyat suatu negeri yang dikenal beradab tidak hanya mentoleransi tetapi malah terlibat dalam kebiadaban yang mengerikan dari pemerintahan Nazi?” tanya Geary. Dan, negeri itu tidak hanya ”beradab” tetapi juga dikenal sebagai negeri Kristen! Mereka menjadi begini karena mereka lebih memilih filsafat dan rancangan manusia daripada ajaran Yesus Kristus. Dan, sejak saat itu, betapa banyaknya pria dan wanita tulus dan idealis yang terpengaruh untuk melakukan kekejaman yang mengerikan!

      ”Apa yang diajarkan pengalaman dan sejarah adalah ini,” kata filsuf Jerman Georg Hegel, ”bahwa bangsa-bangsa dan pemerintahan-pemerintahan tidak pernah belajar apa pun dari sejarah atau bertindak selaras dengan apa yang seharusnya dapat mereka pelajari dari sejarah.” Banyak orang boleh tidak sependapat dengan filsafat Hegel tentang kehidupan, tetapi yang pasti hanya sedikit orang yang tidak sependapat dengan pernyataan tadi. Sayangnya, orang-orang memang tampaknya sangat sulit belajar sesuatu dari sejarah. Tetapi, haruskah Anda juga begitu?

      Pastilah, salah satu pelajaran yang jelas-jelas dapat dipelajari adalah ini: Kita membutuhkan sesuatu yang jauh lebih dapat diandalkan daripada filsafat manusia yang bisa salah jika kita ingin menghindari tragedi yang dialami generasi-generasi terdahulu. Namun, jika bukan filsafat manusia, apa yang seharusnya membimbing pemikiran kita? Lebih dari seribu tahun sebelum zaman Perang Salib, murid-murid Yesus Kristus mempertunjukkan seperti apa seharusnya haluan orang Kristen sejati​—dan satu-satunya haluan yang masuk akal. Marilah kita periksa apa yang mereka lakukan agar tidak sampai terseret ke dalam konflik-konflik berdarah pada zaman mereka. Namun, apakah ada kemungkinan bahwa bangsa-bangsa dewasa ini akan belajar caranya melakukan hal itu dan dengan demikian menghindari konflik? Dan, tidak soal apa yang dilakukan bangsa-bangsa, apa solusi dari Allah untuk mengakhiri semua kesengsaraan manusia ini?

      [Gambar di hlm. 6]

      Konflik manusia selalu ditandai oleh kebiadaban dan penderitaan

      [Gambar di hlm. 7]

      Atas: Pengungsi di daerah yang dilanda perang

      Bagaimana mungkin orang-orang yang kelihatannya beradab terlibat dalam tindak kekerasan yang tak terkatakan demikian?

      [Keterangan]

      Rwandan refugees: UN PHOTO 186788/J. Isaac; collapse of World Trade Center: AP Photo/Amy Sancetta

  • Belajar dari Orang Kristen Abad Pertama
    Sedarlah!—2002 | 8 Agustus
    • Belajar dari Orang Kristen Abad Pertama

      ”Berhati-hatilah: mungkin ada orang yang akan membawa kamu pergi sebagai mangsanya melalui filsafat dan tipu daya kosong menurut ajaran turun-temurun dari manusia, menurut hal-hal dasar dari dunia dan bukan menurut Kristus.”—Kolose 2:8.

      DEMIKIANLAH rasul Paulus memperingatkan orang-orang Kristen abad pertama tentang bahayanya mengikuti filsafat manusia secara membabi buta. Mereka bisa berpaut pada bimbingan yang dapat diandalkan yang diberikan Yesus dan para rasulnya, ajaran yang telah menghasilkan banyak sekali manfaat bagi mereka, atau mereka bisa menjadi mangsa dari teori-teori manusia yang selalu berubah-ubah, haluan yang telah membawa penderitaan dan kesengsaraan bagi jutaan orang.​—1 Korintus 1:19-21; 3:18-20.

      Hidup ”Menurut Kristus”

      Para pejuang Perang Salib sekitar seribu tahun yang lalu tidak memahami bahwa hidup ”menurut Kristus” bukan sekadar berarti mengaku loyal kepada Yesus Kristus. (Matius 7:21-23) Hal itu berarti menempuh kehidupan yang sepenuhnya selaras dengan ajaran-ajaran Yesus sebagaimana terdapat dalam Firman Allah yang terilham, Alkitab. (Matius 7:15-20; Yohanes 17:17) ”Jika kamu tetap ada dalam perkataanku,” kata Yesus Kristus, ”kamu benar-benar muridku.” (Yohanes 8:31) ”Semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridku,” katanya, ”jika kamu mempunyai kasih di antara kamu.”​—Yohanes 13:35.

      Sebenarnya, para pejuang Perang Salib itu telah menjadi mangsa ”tipu daya kosong menurut ajaran turun-temurun dari manusia”. Dan, tidak heran bila rakyat jelata tertipu, karena para pemimpin agama mereka, para uskup mereka sendiri, ”kemudian terkenal sebagai tokoh militer”. Suatu ”semangat berperang menjadi begitu umum di kalangan para pemimpin agama”, kata Cyclopedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature, oleh McClintock dan Strong, ”sehingga kapan pun ada sesuatu yang hendak didapat [melalui perang], mereka selalu siap untuk berperang”.

      Apa yang membuat situasinya menjadi menyedihkan seperti ini? Setelah kematian para rasul Kristen abad pertama, para pemimpin gereja yang murtad semakin menyimpang dari ajaran Kristus, sebagaimana telah dinubuatkan oleh Firman Allah. (Kisah 20:29, 30) Jemaat yang bejat ini akhirnya semakin terlibat dengan pemerintahan sekuler. Pada abad keempat, Kaisar Romawi Konstantin konon beralih agama ke Kekristenan sebelum mangkat. Kemudian, kata Cyclopedia, ”penggantian panji-panji berhala dengan lambang Salib membuat setiap orang Kristen wajib berdinas sebagai tentara”.

      Tentu saja, orang Kristen sebenarnya tidak memiliki kewajiban demikian. Tetapi, ”argumen yang bersifat membujuk” dari filsafat manusia membuat mereka melakukan pelanggaran besar-besaran terhadap semua hal yang dijunjung Kristus. (Kolose 2:4) Beberapa argumen yang sangat menipu telah lama digunakan untuk membenarkan perang dan konflik manusia. Namun, sesungguhnya, bagi seseorang yang manusiawi atau saleh, terlibat dalam ”aksi-aksi bersifat iblis dalam perang, sebagaimana dipraktekkan secara sistematis pada zaman dahulu dan sekarang”, kata Cyclopedia, ”sama sekali tidak dapat dirukunkan dengan . . . prinsip-prinsip Kekristenan”.

      Agama-agama di luar Susunan Kristen juga telah berperang dari abad ke abad. Sama seperti gereja-gereja Susunan Kristen, mereka telah membantai anggota-anggota dari agama mereka sendiri dan juga dari agama lain karena perbedaan kebangsaan, politik, dan agama. Mereka telah menggunakan kekerasan atau ancaman untuk memaksa orang lain beralih ke kepercayaan mereka. Guna mencapai tujuan mereka, beberapa di antara mereka ambil bagian dalam pembantaian bersejarah. Mereka tidak berbeda dengan agama-agama Susunan Kristen.

      Terpisah dari Dunia

      Mengapa orang-orang Kristen abad pertama bisa tidak terlibat dalam perang-perang berdarah dan politik kala itu? Ada dua prinsip dasar yang membantu mereka. Yang pertama adalah perintah Yesus kepada rasul Petrus sewaktu Petrus menggunakan pedang untuk membelanya, ”Kembalikan pedangmu ke tempatnya, karena semua orang yang mengangkat pedang akan binasa oleh pedang.” (Matius 26:52) Kedua, kata-kata Yesus kepada Pilatus sewaktu Pilatus bertanya tentang kekuasaan Yesus sebagai raja, ”Kerajaanku bukan bagian dari dunia ini. Jika kerajaanku bagian dari dunia ini, pelayan-pelayanku pasti sudah akan berjuang agar aku tidak diserahkan kepada orang-orang Yahudi. Tetapi kerajaanku bukan dari sumber ini.”​—Yohanes 18:36.

      Bagaimana orang-orang Kristen abad pertama menerapkan prinsip-prinsip itu? Mereka menjaga diri mereka terpisah sepenuhnya dari dunia, memelihara kenetralan yang teguh sehubungan dengan urusan politik dan militer. (Yohanes 15:17-19; 17:14-16; Yakobus 4:4) Mereka tidak mau mengangkat senjata melawan sesama manusia. Sejarah memperlihatkan dengan jelas bahwa orang-orang Kristen abad pertama tidak bergabung dengan gerakan-gerakan nasionalis Yahudi atau dengan angkatan bersenjata kekaisaran Roma. Pada saat yang sama, mereka tidak berupaya mendikte para pemimpin politik tentang apa yang harus dilakukan, karena apa yang akan dilakukan para pemimpin ini adalah tanggung jawab mereka sendiri.—Galatia 6:5.

      Yustin Martyr, pada abad kedua M, menulis bahwa orang-orang Kristen ”menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak”. (Mikha 4:3) Sewaktu menanggapi keberatan orang-orang terhadap pendirian orang Kristen ini, Tertulian bertanya, ”Apakah bekerja menggunakan pedang dapat diperbolehkan menurut hukum, padahal Tuan menyatakan bahwa barang siapa yang menggunakan pedang akan binasa oleh pedang?”

      ”Menaati Allah sebagai Penguasa sebaliknya daripada Manusia”

      Menolak berperang bukanlah sesuatu yang mudah bagi orang-orang Kristen pada masa awal. Hal itu berlawanan dengan kepercayaan umum kala itu. Celsus, seorang musuh Kekristenan, mengolok-olok pendirian mereka. Ia percaya bahwa setiap orang harus pergi berperang apabila para penguasa mengharuskannya. Meskipun sedemikian dimusuhinya, orang-orang Kristen masa awal tidak mau mengikuti filsafat manusia mana pun yang berlawanan dengan ajaran Kristus. ”Kita harus menaati Allah sebagai penguasa sebaliknya daripada manusia,” kata mereka.—Kisah 4:19; 5:29.

      Saksi-Saksi Yehuwa pada zaman modern telah mengikuti teladan mereka. Di Jerman Nazi, misalnya, mereka dengan tegas menolak berpartisipasi dalam perang-perang Hitler yang penuh dengan pertumpahan darah. Mereka rela bertekun menghadapi penindasan yang tak berperikemanusiaan, bahkan mati kalau perlu, daripada melanggar kenetralan Kristen mereka. Menurut laporan, ”sepertiga dari mereka dipenjarakan dan seperempatnya dieksekusi” oleh Nazi karena keterpautan mereka pada prinsip-prinsip Alkitab. (Of Gods and Men) Dengan demikian, dari puluhan juta orang yang terbunuh dalam Perang Dunia II, tak satu pun yang dibunuh oleh seorang Saksi dari Yehuwa. Sebaliknya daripada membunuh orang lain, Saksi-Saksi rela mengorbankan nyawa mereka sendiri, dan banyak dari mereka telah melakukannya.

      Suatu Pelajaran yang Dapat Kita Peroleh

      Pelajaran apa yang dapat kita peroleh dari sejarah? Pastilah, salah satunya adalah ini: Filsafat manusia telah selalu mengakibatkan kebencian dan pertumpahan darah di antara negara dan bangsa. Pengkhotbah 8:9 dengan tepat menyatakan, ”Manusia menguasai manusia sehingga ia celaka.” Dan, alasannya terdapat di Yeremia 10:23, yang di dalamnya Firman Allah mengatakan, ”Manusia tidak mempunyai kuasa untuk menentukan jalannya sendiri. Manusia, yang berjalan, tidak mempunyai kuasa untuk mengarahkan langkahnya.” Tidak, Allah tidak menciptakan manusia untuk menjalankan urusan mereka dengan berhasil dalam keadaan terpisah dari-Nya. Mereka tidak diberi kapasitas ini. Sejarah secara keseluruhan telah membuktikannya.

      Nah, sebagai individu, kita tidak dapat mengubah apa yang dilakukan para pemimpin bangsa-bangsa seraya mereka mengulangi tragedi masa lalu, dan kita juga tidak berwewenang untuk berupaya membujuk mereka agar mengambil haluan tertentu. Namun, kita tidak perlu terseret ke dalam konflik-konflik mereka dan menjadi bagian darinya. Yesus mengatakan tentang para pengikutnya, ”Mereka bukan bagian dari dunia, sebagaimana aku bukan bagian dari dunia.” (Yohanes 17:14) Agar tidak menjadi bagian dari konflik-konflik dunia ini, kita harus membiarkan Firman Allah, Alkitab​—bukannya filsafat manusia yang selalu berubah-ubah​—menuntun kehidupan kita.​—Matius 7:24-27; 2 Timotius 3:16, 17.

      Masa Depan yang Menakjubkan

      Firman Allah yang dapat diandalkan tidak hanya memberikan keterangan tentang masa lalu dan masa sekarang. Firman Allah menyediakan bimbingan yang pasti untuk masa depan. (Mazmur 119:105; Yesaya 46:9-11) Firman itu juga memberi gambaran yang jelas tentang apa maksud-tujuan Allah bagi planet ini. Allah tidak akan membiarkan manusia menghancurkan bumi dengan menyalahgunakan secara tidak waras kekuatan besar yang telah diberikan sains dan teknologi. Ia akan memastikan bahwa bumi ini mencapai kondisi Firdaus, sebagaimana maksud-tujuan-Nya semula.—Lukas 23:43.

      Sehubungan dengan hal ini, Firman Allah menyatakan, ”Orang yang lurus hatilah yang akan berdiam di bumi, dan orang yang tidak bercelalah yang akan disisakan di situ. Sedangkan orang fasik, mereka akan dimusnahkan dari bumi; dan mengenai pengkhianat, mereka akan direnggut dari situ.” (Amsal 2:21, 22) Hal ini akan segera terjadi, karena masa-masa yang penuh dengan kesusahan ini membuktikan bahwa kita sedang hidup pada ”hari-hari terakhir” sistem yang fasik ini. (2 Timotius 3:1-5, 13) Dan, yang pasti, hari-hari terakhir ini terbatas jumlahnya; sebentar lagi berakhir. Nubuat Alkitab mengajar kita, ”Dunia ini sedang berlalu, demikian pula keinginannya, tetapi ia yang melakukan kehendak Allah akan tetap hidup untuk selamanya.”​—1 Yohanes 2:17; Daniel 2:44.

      Tak lama lagi, Allah akan ”membinasakan orang-orang yang sedang membinasakan bumi” dan akan mengganti dunia yang penuh kekerasan sekarang ini dengan suatu dunia baru yang di dalamnya ”keadilbenaran akan tinggal”. (Penyingkapan 11:18; 2 Petrus 3:10-13) Kemudian, bagi orang-orang yang selamat, ”ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan kematian tidak akan ada lagi, juga tidak akan ada lagi perkabungan atau jeritan atau rasa sakit”. (Penyingkapan 21:1-4) Perang dan kekerasan tidak akan ada lagi untuk selama-lamanya, karena nubuat di Yesaya 2:4 akan diwujudkan sepenuhnya, ”Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan mengangkat pedang melawan bangsa, mereka juga tidak akan belajar perang lagi.” Anda pun dapat menikmati masa depan yang menakjubkan dan kekal itu jika Anda belajar dari sejarah.—Yohanes 17:3.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan