PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g87_No21 hlm. 19-25
  • Kamboja—Lolos dari Mimpi Buruk

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Kamboja—Lolos dari Mimpi Buruk
  • Sedarlah!—1987 (No. 21)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Latar Belakang semasa Kecil
  • Akhir dari Pemerintahan Lon Nol
  • Suatu Masa yang Mengerikan
  • Pelarian—dan Iman kepada Allah
  • Menemukan Tujuan Hidup
  • Menyadari Tujuan Hidup Ini
  • Perjalanan Panjang Menyabung Nyawa di Kamboja
    Sedarlah!—1998
  • Saya Lari dari Ladang Pembantaian dan Hidup Bahagia
    Sedarlah!—2009
  • Keputusanku Semasa Kecil
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2014
  • Alkitab Mengubah Kehidupan
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2011
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1987 (No. 21)
g87_No21 hlm. 19-25

Kamboja—Lolos dari Mimpi Buruk

Seperti yang diceritakan oleh Khem Sou

SELAMA bertahun-tahun Kamboja (atau, Kampuchea) menikmati perdamaian. Kemudian, pada tahun 1970, Letnan Jendral Lon Nol merebut kekuasaan. Akibatnya, golongan komunis yang dikenal sebagai Khmer Rouge, atau Khmer Merah, mengadakan revolusi. Lon Nol memobilisasi setiap orang tanpa pandang bulu di seluruh Kamboja untuk berperang melawan orang komunis.

Pada waktu itu, saya sedang belajar ilmu hukum dan kedokteran di Universitas Phnom Penh, sambil bekerja sebagai pengarang. Sebenarnya saya menulis buku saya yang pertama, Air Mata Anak-Anak Yatim Piatu, ketika saya baru berumur 15 tahun. Itu khususnya kumpulan catatan harian yang saya simpan sejak saya berumur tujuh tahun. Buku tersebut laku benar, dan karena saya tidak membutuhkan uang itu, saya sumbangkan honornya kepada rumah yatim piatu.

Selama di universitas, saya terkenal sebagai pengarang, penggubah lagu, dan penyanyi. Keseluruhannya saya menulis kira-kira 20 buku dan banyak lagu-lagu. Kegemaran saya mengarang kemungkinan disebabkan oleh pengaruh dari ibu saya, yang menjadi profesor dalam kesusasteraan Prancis di Universitas Phnom Penh. Ia ingin saya menjadi ahli hukum.

Tetapi, ketika Lon Nol memobilisasi rakyat untuk memerangi orang komunis, saya harus berhenti kuliah dan memutuskan apakah akan bergabung dengan militer atau kepolisian. Meskipun ayah tiri saya seorang jendral berpangkat tinggi, saya sama sekali tidak berminat kepada dinas militer. Jadi saya memasuki dinas kepolisian, dan pada tahun 1973, pada umur 22 tahun, saya sudah berpangkat letnan satu.

Namun, selama bertugas sebagai polisi, perasaan tidak puas saya dengan kehidupan ini bertambah besar. Bahkan, saya tergerak untuk menulis sebuah buku berjudul Hidup Ini Tidak Mempunyai Tujuan. Menyedihkan sekali, inilah merupakan penilaian saya meskipun telah banyak memikirkan Budhisme dan sejumlah filsafat Prancis, maupun mengejar karir sebagai pengarang dan polisi.

Latar Belakang semasa Kecil

Pada waktu masih anak-anak, saya tinggal bersama nenek, paman, dan dua bibi saya—tetapi tidak dengan orangtua saya. Kemudian ibu saya menikah lagi, dan ketika saya berumur 12 tahun, akhirnya saya bisa tinggal bersama ibu, ayah tiri dan kedua saudara perempuan saya.

Nenek membesarkan saya dalam agama Budha. Ketika berumur sepuluh tahun saya dimasukkan ke sebuah biara selama tiga bulan untuk mendapat pendidikan agama. Di luar biara, saya memperhatikan, para biarawan berjalan dengan kepala tunduk dan kelihatan sebagai teladan dalam kelemahlembutan, tetapi di dalam biara tidak ada satu hari pun yang lewat tanpa pertengkaran di antara mereka.

Di pagoda (kuil) kami, ada sebuah patung Budha kecil dari emas yang dari waktu ke waktu tidak berada di tempatnya. Di mana gerangan patung itu pada waktu-waktu tersebut? Para biarawan mengatakan bahwa patung itu dapat terbang dan berkunjung ke berbagai kuil di daerah sekitar situ. Setelah mengamat-amati dengan saksama, saya mendapati bahwa seorang biarawan mengambil dan menyembunyikannya. Saya merasa sedih karena para biarawan mempraktekkan penipuan tersebut. Ketika saya menceritakan hal itu kepada nenek, dia menjadi sangat marah kepada saya karena ia ingin percaya kepada patung yang bisa terbang.

Setelah meninggalkan biara, saya semakin tidak beriman. Di SMA bahkan guru agama mengajarkan bahwa Budhisme dibagi-bagi menjadi banyak golongan dan bahwa ini hanya suatu filsafat belaka. Saya berpaling kepada ajaran dari beberapa filsuf Prancis, dengan harapan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya mengenai kehidupan. Namun hal ini bahkan memperbesar keragu-raguan saya mengenai adanya Allah. Apa yang harus dipercayai seseorang? Saya tidak tahu, tetapi saya berulang kali bertanya kepada diri sendiri mengapa saya hidup.

Akhir dari Pemerintahan Lon Nol

Selama tahun 1973 dan 1974 kekacauan akibat peperangan meningkat, dan orang-orang dari segala tingkat kehidupan makin sedih melihat ketidakadilan di sekeliling mereka. Karena sebagai seorang polisi saya tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi keadaan yang buruk itu, saya mencoba berbuat sesuatu sebagai pengarang. Saya menulis sebuah novel kritik sosial, Langit yang Gelap.

Itulah buku terakhir yang pernah saya tulis. Saya dipenjarakan karena buku itu. Hukuman saya sebenarnya dua tahun, tetapi untunglah saya masih mempunyai hubungan keluarga dengan istana dan salah satu duta besar Kamboja untuk negara tetangga di Asia, maka setelah beberapa hari saya dibebaskan. Duta besar itu menggunakan pengaruhnya demi kepentingan saya.

Memang, saya lebih menyukai kebebasan daripada penjara, tetapi saya tidak benar-benar merasa bebas. Pemerintah yang ada, yang mencoba untuk memaksakan cara berpikir dan cara hidup tertentu pada setiap orang, memuakkan saya sama seperti keadaan dipenjarakan. Kehidupan di ibu kota, Phnom Penh, tempat saya dilahirkan, nampaknya begitu tidak wajar. Masyarakat yang bejat, materialistis, dan mengejar kesenangan memuakkan saya, dan saya ingin melarikan diri. Karena saya tidak ingin berdinas dalam kepolisian lebih lama lagi, saya mengundurkan diri.

Tidak lama setelah itu saya pindah ke propinsi Pailin dekat perbatasan Thailand. Saya mencari nafkah dengan bekerja untuk sebuah perusahaan pertambangan batu-batu berharga. Kehidupan di desa agak lebih menarik bagi saya, tetapi saya tidak dapat menikmatinya untuk waktu lama. Karena pada bulan April tahun 1975 golongan komunis Khmer Merah memasuki Phnom Penh, menggulingkan Lon Nol, dan segera mencoba menciptakan suatu masyarakat yang sama sekali baru.

Untuk tujuan itu, semua perwira yang pernah berdinas dalam rezim sebelumnya harus melaporkan diri agar mereka dapat dikirim ke kamp-kamp khusus dengan maksud dilatih kembali. Saya tidak melapor karena saya tidak ingin menjadi perwira polisi lagi. Hal ini telah menyelamatkan kehidupan saya. Belakangan saya ketahui bahwa ”latihan kembali” sebenarnya berarti hukuman mati. Semua yang melapor dibunuh.

Suatu Masa yang Mengerikan

Menurut perkiraan, dalam bulan-bulan setelah itu, kira-kira satu sampai dua juta orang Kamboja dibunuh. Saya menyaksikan sendiri penghukuman mati, kuburan masal, maupun juga sungai-sungai dan danau-danau yang betul-betul berwarna merah dengan darah dan penuh dengan tubuh-tubuh yang tidak bernyawa. Keluarga-keluarga dipecah-belah dan diusir dari rumah serta tanah mereka. Suatu revolusi seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya menyapu bersih tradisi Kamboja yang sudah berumur lebih dari dua ribu tahun. Tidak ada seorang Kamboja pun yang pernah berpikir bahwa perubahan yang sedemikian radikal dapat terjadi.

Saya merasa bingung dan diliputi kengerian, dan bertanya pada diri sendiri apakah masih ada suatu tujuan untuk hidup dalam masyarakat yang tidak berperikemanusiaan sedemikian. Saya memutuskan untuk lari ke negeri asing. Khmer Merah sudah mencari-cari saya; saya dimasukkan dalam daftar hitam mereka. Sejak meninggalkan dinas polisi, saya memakai nama lain, karena itu mereka tidak dapat menemukan saya dengan cepat. Tetapi karena saya terkenal sebagai penggubah lagu dan pengarang, banyak orang tahu siapa saya dan bahkan memanggil saya dengan nama saya yang sebenarnya. Jadi saya menyadari bahwa saya menghadapi bahaya besar.

Meskipun demikian, keputusan untuk lari ke Thailand sama sekali tidak mudah. Tidak soal siapa yang berkuasa, saya masih tetap mencintai negeri tanah air saya. Juga, saya tahu bahwa setelah saya pergi, saya tidak akan pernah dapat berharap untuk kembali mengunjungi orang tua, saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan saya. Selain itu, jalan menuju ke Thailand nampaknya tertutup. Saya tidak dapat bertanya. Saya melihat mayat seorang pria yang telah ditembak mati dan dibiarkan begitu saja di atas tanah karena ketahuan bahwa ia merencanakan untuk lari dari negeri ini.

Pelarian—dan Iman kepada Allah

TEPATNYA dua bulan setelah Khmer Merah berkuasa, seorang pria lain dan saya mencoba untuk melarikan diri. Tetapi, kami tersesat dan harus kembali. Saya tidak menyerah. Beberapa hari kemudian, saya berangkat lagi dengan seorang bekas rekan di kepolisian. Kemudian kami disertai tujuh orang lain, termasuk seorang anak berumur tiga tahun.

Di hutan, kami mendengar auman harimau yang membangkitkan bulu roma. Tetapi yang jauh lebih menakutkan daripada harimau dan ular-ular berbisa adalah para pendukung Khmer Merah, yang terus mengitari hutan-hutan untuk mencari orang-orang yang melarikan diri. Kadang-kadang kami melihat mereka. Bunyi sedikit pun dapat menarik perhatian mereka dan dapat berarti kematian. Kadang-kadang perasaan takut membuat kami tidak tidur.

Pada hari ketiga dari pelarian ini, kami salah mengira bahwa kami telah melewati perbatasan. Kami begitu bahagia sehingga kami memasak dan memakan semua nasi yang ada. Itu suatu kesalahan yang serius! Selama empat hari berikutnya tidak ada makanan sama sekali. Kami mulai kehilangan harapan dan juga kekuatan ketika tiba-tiba kami melihat sekelompok kera berlompat-lompatan dari pohon ke pohon sambil membawa beberapa sisir pisang. Karena kami begitu lapar, kami sampai meminta-minta kepada kera-kera itu pisang mereka. Dan percaya atau tidak, salah satu dari monyet-monyet itu menjatuhkan pisang kepada kami. Kemudian yang lain-lain mulai meniru, sehingga keseluruhannya mereka memberi kami 20 buah pisang.

Karena ada begitu banyak peristiwa yang menarik sepanjang hari, saya sulit tidur malam itu. Saya memandang ke langit yang tidak berawan dan melihat bulan purnama yang muncul dengan agung di langit yang bagaikan bludru biru tua. Jutaan bintang berkelap-kelip. Malam itu menjadi malam yang tidak dapat saya lupakan.

Pikiran saya untuk suatu waktu yang lama dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai adanya Allah. Pada waktu saya mengamati semua proses yang menakjubkan dan rumit dalam alam, saya bertanya dalam hati mengapa kita tidak selayaknya memberikan hormat kepada Pencipta yang bijaksana untuk semua ini. Sekarang, pada waktu saya mengagumi keindahan malam itu, saya merasakan dorongan untuk berdoa. Karena mengetahui bahwa Allah pasti berada jauh di atas langit, saya melihat ke atas dan dengan perasaan intim yang sama seperti jika saya berbicara kepada ayah saya sendiri, untuk pertama kali dalam kehidupan saya berdoa dari hati. Doa itu ternyata suatu titik balik yang penting.

Setelah saya membuka pintu hati saya kepada Allah, saya mulai mendapat pengertian dan saya menjadi yakin bahwa (1) Allah memang ada dan bahwa (2) kehidupan memang mempunyai arti. Pendapat saya ialah bahwa semua proses alam membuktikan adanya rancangan yang cerdas. Maka tidakkah Pencipta dari hukum-hukum yang penting ini telah menempatkan manusia di bumi untuk memenuhi suatu tujuan tertentu?

Berikutnya, pertanyaan ini muncul sendiri, Karena Allah jelas memiliki kekuasaan dan hikmat untuk menyingkirkan penderitaan manusia, mengapa Ia mengijinkan begitu banyak kesengsaraan sampai sekarang? Saya juga ingin tahu agama mana yang benar-benar menyembah Allah yang hidup. Pencarian akan jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang membara ini sejak itu ada di tempat pertama dalam kehidupan saya. Saya tidak dapat percaya bahwa Allah begitu kejam sehingga menahan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dari manusia.

Seraya kami meneruskan perjuangan melintasi hutan, saya teringat kepada ibu saya. Ia memperlihatkan minat kepada Kekristenan. Utusan-utusan injil dari Prancis sering berkunjung ke rumah kami. Kadang-kadang ibu berbicara kepada saya mengenai agama yang aneh itu yang pengikut-pengikutnya tidak makan darah. Ia juga berbicara tentang ”kabar baik” mengenai keadaan-keadaan yang adil-benar, bahkan bagaikan firdaus, yang akan didatangkan oleh Allah. Pada waktu itu saya tidak percaya sama sekali. Tetapi sekarang saya bertanya pada diri sendiri, ’Apakah ada alasan bagi saya untuk tidak percaya? Bukankah ibu saya seorang wanita yang cerdas yang mempertimbangkan dan menyelidiki hal-hal tersebut?’ Saya ingin mengetahuinya. Tetapi saya pertama-tama harus keluar dari Kamboja dalam keadaan hidup.

Pakaian saya minim sekali, saya hanya mengenakan sebuah sarung. Pada waktu itu seluruh kaki saya yang telanjang bengkak sekali. Kami semua lelah dan hampir mati kelaparan. Kami mengunyah daun-daunan untuk tetap hidup. Pada hari kesepuluh dari perjalanan ini, kami harus mendaki gunung. Dari puncaknya kami melihat ke bawah kepada daerah yang kami kira adalah Thailand. Ketika turun dari gunung kami menemukan sebuah gubuk yang mengeluarkan bau seperti daging yang telah membusuk. Di dalamnya terdapat mayat manusia yang sudah separuh membusuk dan juga tengkorak! Di sekeliling gubuk itu terdapat petunjuk adanya jejak sepatu orang-orang Khmer Merah. Kami lari ketakutan! Kami masih belum aman. Mayat-mayat itu pasti adalah korban yang mencoba melarikan diri dari Kamboja.

Lebih jauh lagi dalam hutan, kami sampai ke sebuah sungai yang kami pikir akhirnya inilah perbatasan. Tetapi pada jarak kira-kira 27 meter ke hilir ada sebuah jeram yang curam! Timbul perbantahan antara teman dan saya. Mengingat risikonya, ia berkeras bahwa hanya orang dewasa saja yang bisa mencoba untuk menyeberangi sungai itu. Namun, saya tidak mendengarkan kepadanya, dan menunggu sampai gelap. Dengan gadis kecil dalam rombongan kami terikat pada punggung saya, saya berangkat menyeberangi sungai. Airnya dalam dan saya tenggelam, tetapi akhirnya saya berhasil! Kami semua selamat!

Keesokan harinya kami sampai ke sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah ladang jagung. Untuk melepaskan lapar, kami memakan jagung itu tanpa dimasak lebih dulu. Di dekatnya ada sebuah pondok kecil, dan di dalamnya kami menemukan sebuah kotak korek api. Etiketnya menunjukkan bahwa korek api ini buatan Thailand, bukan Kamboja. Dapatkah anda bayangkan bagaimana perasaan kami? Di sini ada bukti! Kami berada di Thailand!

Betapa indah gunung-gunung dan sungai-sungai ini dalam pandangan kami sekarang! Tidak lama setelah itu saya mendapat demam tinggi dan pingsan selama tiga hari. Rupanya saya dijangkiti penyakit malaria di hutan. Meskipun demikian, kami berpikir bahwa kami pastilah orang-orang yang paling berbahagia di bumi.

Menemukan Tujuan Hidup

DALAM kamp pengungsi di Thailand, kami ditampung bersama 200 orang Kamboja lain. Di sini saya dapat belajar Alkitab dengan seorang anggota aliran Protestan yang disebut Children of God (Anak-Anak Allah). Kelompok ini melihat minat saya dalam Kekristenan dan ingin langsung membaptis saya pada waktu itu juga. Saya menolak untuk dibaptis, karena saya masih kurang yakin. Banyak orang Kamboja cepat-cepat dibaptis karena mereka diberi pakaian setelah dibaptis.

Dari ”Children of God” ini saya mendapatkan Alkitab dalam bahasa saya sendiri, yaitu bahasa Kamboja. Saya belajar dari buku ini bahwa Allah mempunyai nama pribadi Yehuwa dan bahwa Allah ini, yang menyatakan diriNya dengan cara istimewa kepada orang Yahudi purba, juga adalah Allah orang Kristen. Allah inilah yang ingin saya kenal lebih sepenuhnya.

Pada bulan Desember 1975, setelah lima bulan di Thailand, Panitia Internasional dari Palang Merah membantu saya untuk beremigrasi ke Austria. Mula-mula saya ditempatkan dalam sebuah kamp pengungsi, di tempat saya belajar bahasa Jerman. Setelah enam bulan saya dipindahkan ke Linz, dan mulai tinggal dalam sebuah apartemen. Saya meneruskan pelajaran bahasa Jerman pada malam hari dan bekerja di sebuah pabrik kemasan pada siang hari.

Selama waktu itu, saya mulai bergabung dengan gereja Evangelical dan Katolik, tetapi tidak seorang pun dapat memberikan jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya, ”Apa yang terjadi setelah seseorang mati?” dan, ”Apa Kerajaan Allah itu?” Saya bertanya kepada seorang imam Katolik mengenai arti dari ”kabar baik” dan apakah ada yang disebut ”agama kabar baik”. Ia tidak dapat menjawab. Saya bertanya dalam hati, ’apa gerangan kabar baik yang ibu saya coba beritahu saya?’

Dua kali, pada waktu saya sendirian di rumah, saya berdoa kepada Allah, dan tiap kali setelah berdoa, saya menemukan selebaran-selebaran yang disodorkan di bawah pintu saya. Ini adalah undangan untuk menghadiri pertemuan di suatu tempat yang disebut Balai Kerajaan dari Saksi-Saksi Yehuwa. Nama Yehuwa sudah saya mengerti, tetapi siapakah ”Saksi-Saksi Yehuwa”? Mereka menjadi saksi-saksi dari apa? Penuh dengan pertanyaan dan perasaan ingin tahu, dua kali pula saya pergi mencari Balai Kerajaan. Usaha saya sama sekali gagal, saya tidak sampai ke Balai Kerajaan tetapi di gereja. Balai Kerajaan itu berada di tingkat dua di atas sebuah diskotik, dan saya tidak dapat menemukannya.

Beberapa hari setelah usaha saya yang kedua, saya mengunjungi seorang teman dari Thailand. Pada waktu itu dua orang yang memperkenalkan diri sebagai Saksi-Saksi Yehuwa datang ke rumahnya. Ketika saya melihat teman saya menyuruh mereka pergi, saya memberitahu bahwa saya ingin berbicara kepada mereka. Pertama-tama, saya bertanya kepada mereka apakah Kerajaan Allah itu. Mereka menjelaskan dari Alkitab bahwa ini suatu pemerintahan surgawi melalui Kristus yang akan memerintah atas bumi. Mereka sekali lagi menggunakan Alkitab untuk menjawab pertanyaan saya berikutnya mengenai keadaan orang setelah mati. Saya sangat terkesan oleh jawaban-jawaban mereka yang masuk akal dan didasarkan Alkitab, dan segera meminta pelajaran Alkitab. Pada hari yang sama, teman saya dan saya pergi ke perhimpunan di Balai Kerajaan.

Saya mendengarkan khotbah, meskipun saya tidak mengerti bagian terbesar daripadanya karena saya masih belajar bahasa Jerman. Tetapi, saya mengerti bahwa ini tentang kabar baik, kabar baik dari Kerajaan Allah. Melalui Kerajaan Yehuwa, bumi ini akan dijadikan sebuah firdaus di mana orang-orang tidak akan mencucurkan air mata kesedihan lagi dan di mana Allah akan ”menjadikan segala sesuatu baru”. (Wahyu 21:3-5) Saya ingat bahwa ibu saya pernah membacakan kata-kata yang sama ini kepada saya dari Alkitab. Suatu dunia yang bebas dari semua kejahatan di dunia ini adalah persis apa yang saya harapkan dari Allah yang berkuasa dan benar.

Tetapi, sekarang saya ingin tahu mengapa Yehuwa tidak sejak dulu menciptakan dunia sedemikian. Hal ini dan banyak pertanyaan lain dijawab dalam pelajaran Alkitab yang diadakan dengan tetap tentu, dan saya merasa puas. Saya bergembira karena telah menemukan agama yang tidak menuntut kepercayaan yang membuta dari saya. Selain itu, ajaran Yesus Kristus dan cara hidupnya sangat menarik bagi saya.

Bertentangan sekali dengan pengalaman saya dengan ”Children of God”, Saksi-Saksi itu tidak meminta agar saya dibaptis setelah belajar untuk waktu singkat. Saya menganggap bahwa baptisan adalah suatu tuntutan Kristen, maka saya bertanya kepada mereka apakah mereka mau membaptis saya. Saya mengharap mereka akan berbuat demikian sebelum saya mengubah pendirian saya. Tetapi mengherankan sekali, mereka ingin agar saya menunggu dan mempertimbangkan baik-baik apakah saya benar-benar ingin mengambil langkah itu. Saya menyadari bahwa yang penting bagi Saksi-Saksi ini adalah mutu dan bukan jumlah. Akhirnya, setelah belajar Alkitab selama kira-kira tujuh bulan dalam bahasa Jerman, saya dibaptis pada bulan Juli 1977, di kebaktian Saksi-Saksi Yehuwa di Linz.

Menyadari Tujuan Hidup Ini

Pada kebaktian yang sama ini, sebuah buku baru diperkenalkan. Empat tahun sebelum ini, saya telah menerbitkan buku saya yang berjudul Hidup Ini Tidak Mempunyai Tujuan. Sekarang Saksi-Saksi Yehuwa menerbitkan buku, yang hampir merupakan jawaban untuk buku saya, Kehidupan Ini Memang Mempunyai Tujuan. Menyadari semua kebodohan yang telah saya tulis, saya menyambut buku baru itu dengan sepenuh hati.

Betapa saya ingin sekali memberitahukan kabar baik ini kepada orang-orang yang bersedih hati di Kamboja! Kabar baik ini akan memberi mereka harapan yang pasti dan tujuan yang menakjubkan dalam hidup ini. Karena saya tidak mungkin kembali ke negeri itu, saya berbuat sedapat-dapatnya untuk menyiarkan kabar baik kepada orang-orang Kamboja yang tinggal di Austria. Saya berdoa sama seperti Yesaya, ”Ini aku, utuslah aku!” sambil berharap bahwa Yehuwa akan menggunakan saya untuk membantu orang-orang setanah air.—Yesaya 6:8.

Pada tahun 1980 saya menikah dengan seorang saksi Jepang di Wina. Saya bertemu dengannya pada suatu pesta perkawinan dari Saksi-Saksi Yehuwa. Istri saya, juga, telah menemukan apa yang telah ia cari ketika seorang rekan mahasiswa Jepang di Akademi Musik Wina, yang adalah salah seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa, membantunya memahami Alkitab. Setelah anak kedua kami lahir, istri saya mengalami problem kesehatan, dan nampaknya ada baiknya ia kembali ke Jepang. Kami pindah pada tahun 1983 dan menetap di Tokyo.

Keinginan saya yang sungguh-sungguh untuk membantu para pengungsi Kamboja tidak berubah. Ada kira-kira 600 dari mereka di Jepang, kebanyakan tersebar di pinggiran kota Tokyo. Saya mendapat sukacita yang besar untuk bekerja di antara mereka dan membantu mereka mengerti maksud-tujuan Yehuwa yang pengasih bagi umat manusia. Saya mendapat hak istimewa yang besar untuk membantu kira-kira selusin pelajaran Alkitab rumahan dengan orang-orang Kamboja, dengan memimpinnya sendiri atau membantu saudara-saudara Jepang yang memimpin pelajaran itu. Dua kali sebulan kami sekeluarga menggunakan satu hari penuh untuk melayani orang-orang Kamboja saja. Walaupun untuk ini kami harus mengendarai mobil sejauh kira-kira 300 kilometer, kami mendapat anjuran besar dengan melihat kemajuan rohani yang mantap yang telah dibuat oleh beberapa dari mereka.

Setelah suatu masa selang yang lama tanpa komunikasi apapun dengan keluarga saya di tanah air, saya mendapat jawaban atas sepucuk surat yang saya tulis pada tahun 1981. Saya mengetahui bahwa ayah tiri dan satu saudara perempuan saya tewas dalam perang sipil. Tiga dari keluarga saya, ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan saya, masih hidup. Kami dapat mengadakan surat-menyurat beberapa kali setahun sekarang, tetapi sulit untuk mengetahui dari surat-surat mereka bagaimana keadaan agama di Kamboja.

Saya dapat mengatakan dengan yakin bahwa pencarian saya akan tujuan hidup ini memang telah mendapat berkat yang limpah. Setelah menemukan arti dan tujuan yang sejati dari hidup ini, saya merasa begitu bahagia mempunyai keluarga yang penuh kasih yang bersatu-padu melayani Allah kita yang agung, Yehuwa. Saya benar-benar menantikan saat manakala saya dapat dipersatukan kembali dengan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan saya! Sementara itu, betapa besar hak istimewa untuk ambil bagian dalam membawa kabar baik dari Kerajaan Allah kepada orang-orang yang tertindas dan tertekan!

[Peta di hlm. 22]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

Kamboja dan negeri-negeri yang berdekatan, dengan inset yang menunjukkan jalur dari pelarian saya ke Thailand

CINA

VIETNAM

LAOS

THAILAND

KAMPUCHEA

Laut Andaman

[Peta]

THAILAND

Batambang

Pailin

KAMPUCHEA

[Gambar di hlm. 21]

Salah satu bangunan istana raja di Phnom Penh. Sewaktu masih kecil, saya pernah menari di sini di depan raja

[Gambar di hlm. 24]

Saya bersama istri, sedang belajar dengan kedua anak kami

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan