PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g96 22/2 hlm. 19-24
  • Anak Katak

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Anak Katak
  • Sedarlah!—1996
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Pekerjaan Saya sebagai Seorang Geisha
  • Siapa Ibu Saya?
  • Seorang Anak Lelaki di Tengah-Tengah Peperangan
  • Kewajiban Keluarga
  • Menyediakan Nafkah bagi Anak Perempuan Saya
  • Agama Menjadi Persoalan
  • Perubahan dalam Kehidupan Saya
  • Hidup Sesuai dengan Pembaktian Saya
  • Adopsi−Bagaimana Seharusnya Pandangan Saya?
    Sedarlah!—1996
  • Bersyukur atas Dukungan Yehuwa yang Tak Habis-habisnya
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1993
  • Ungkapkanlah Rasa Sayang kepada Keluarga
    Pengalaman Saksi-Saksi Yehuwa
  • Bagaimana Saya Dapat Mengatasi Tantangan sebagai Anak Angkat?
    Sedarlah!—2003
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1996
g96 22/2 hlm. 19-24

Anak Katak

”Anak katak adalah katak”.

Pepatah Jepang ini mengartikan bahwa seorang anak tumbuh dewasa menjadi tepat seperti orang-tuanya. Ibu saya seorang geisha.

SAYA dibesarkan di sebuah rumah geisha yang dikelola oleh ibu saya. Maka sejak saya masih kecil, saya dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang mengenakan kimono yang paling mahal. Saya tahu bahwa apabila saya besar nanti, saya akan terjun ke dunia mereka. Saya mulai dilatih pada tahun 1928 pada hari keenam dari bulan keenam pada waktu saya berusia enam tahun. Menurut mereka, angka 666 akan menjamin kesuksesan.

Saya mempelajari kesenian tradisional Jepang​—menari, menyanyi, memainkan alat musik, upacara menghidangkan teh, dan sebagainya. Setiap hari setelah sekolah saya bergegas pulang, berganti pakaian, dan pergi ke tempat latihan. Di sana saya akan bertemu lagi dengan teman-teman sekolah saya karena kami semua adalah anak-anak geisha. Itu merupakan saat-saat yang sibuk dan saya menikmatinya.

Pada hari itu sebelum Perang Dunia II, wajib belajar berakhir pada usia 12 tahun, maka itulah saatnya saya mulai bekerja. Sebagai seorang geisha yang belum berpengalaman, saya mengenakan kimono yang mewah dengan lengan baju tergantung hingga ke bawah hampir menyentuh kaki saya. Saya merasa sangat gembira seraya saya melanjutkan penugasan saya yang pertama.

Pekerjaan Saya sebagai Seorang Geisha

Pekerjaan saya pada dasarnya adalah menghibur dan bertindak sebagai hostes. Bila pria-pria kaya merencanakan jamuan makan malam di restoran eksklusif, mereka akan menghubungi rumah geisha dan minta dilayani oleh beberapa geisha. Geisha diharapkan untuk menghidupkan suasana malam itu dan memastikan bahwa tiap tamu pulang dengan rasa puas, merasa bahwa ia sungguh menikmati acara itu.

Untuk melakukan hal ini, kami harus mengantisipasi kebutuhan masing-masing tamu dan menyediakannya​—bahkan sebelum tamu-tamu menyadari kebutuhannya. Menurut saya, bagian yang paling sulit adalah harus beradaptasi seketika. Jika para tamu tiba-tiba ingin melihat tarian, maka kami menari. Jika musik yang diinginkan, kami membawa keluar instrumen kami dan memainkan musik yang diminta atau menyanyikan jenis lagu apa pun yang diminta.

Kesalahpengertian yang umum adalah bahwa semua geisha adalah gadis-gadis panggilan kelas tinggi dan mahal. Hal ini tidak benar. Meskipun ada geisha yang mencari nafkah dengan menjual diri, tidak ada keharusan bagi seorang geisha untuk melakukan hal itu. Saya tahu karena saya tidak pernah melakukannya. Seorang geisha adalah seorang penghibur, dan jika ia bagus, keahliannya mendatangkan baginya pekerjaan, hadiah yang mahal-mahal, dan tip yang banyak dari para pelanggan.

Memang, tidak banyak yang menjadi geisha yang terbaik. Sebagian besar geisha menjadi profesional hanya dalam salah satu kesenian tradisional Jepang. Tetapi saya memegang diploma dalam tujuh bidang seni, yaitu tarian Jepang, merangkai bunga, upacara menghidangkan teh, genderang Jepang yang dikenal sebagai taiko, dan tiga gaya musik yang dimainkan pada shamisen yang bersenar tiga. Tanpa kualifikasi ini, saya mungkin sudah melakukan apa pun yang diminta para pelanggan hanya untuk mencari nafkah.

Pada waktu Jepang tidak stabil secara ekonomi, gadis-gadis kadang-kadang memilih menjadi geisha agar dapat menyokong keluarga mereka. Mereka meminjam uang untuk membayar pelatihan mereka dan kimono. Yang lain-lain dijual oleh keluarga-keluarga mereka ke rumah-rumah geisha. Pemilik rumah tersebut, karena telah membayar dengan jumlah uang yang banyak, menuntut agar gadis-gadis itu membayar kembali. Geisha dalam keadaan seperti ini sangat dirugikan, karena pelatihan mereka dimulai terlambat dan mereka memulai kariernya dengan utang yang banyak. Banyak dari geisha ini mau tidak mau atau terpaksa terlibat dalam perbuatan yang amoral untuk memenuhi tanggung jawab finansial.

Pelayanan saya dibutuhkan oleh orang-orang terkenal dalam dunia olahraga, hiburan, bisnis, dan politik. Para anggota kabinet dan perdana menteri merupakan beberapa dari pelanggan saya. Pria-pria ini memperlakukan saya dengan respek dan menghargai saya atas pekerjaan saya. Meskipun saya tidak bergabung dalam pembicaraan umum kalau tidak diundang, saya kadang-kadang dimintai pendapat. Maka saya membaca surat kabar dan mendengarkan radio setiap hari agar tetap mengetahui berita-berita terbaru. Pesta-pesta yang saya layani sering diadakan untuk tujuan negosiasi, maka saya harus berhati-hati dan tidak membocorkan hal-hal yang saya dengar.

Siapa Ibu Saya?

Suatu hari pada tahun 1941, pada waktu saya berusia 19 tahun, saya dipanggil ke semacam rumah makan dan mendapati dua orang wanita sedang menunggu saya. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ia adalah ibu kandung saya dan bahwa ia telah datang untuk mengajak saya pulang. Wanita yang satu lagi mempekerjakan geisha dan menawarkan kepada saya pekerjaan. Wanita itu berpikir bahwa saya harus bekerja untuk menyokong ibu kandung saya bukannya ibu angkat saya. Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa wanita yang telah membesarkan saya bukanlah ibu saya yang sesungguhnya.

Karena bingung, saya bergegas pulang dan memberi tahu ibu angkat saya apa yang telah terjadi. Ia selalu dapat mengendalikan emosinya, namun kali ini air matanya mulai berlinang. Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin memberi tahu saya bahwa pada waktu berusia satu tahun, saya telah diserahkan ke rumah geisha. Setelah mendengar kenyataan itu, saya kehilangan semua kepercayaan pada orang-orang dan menjadi tertutup dan tidak banyak bicara.

Saya menolak untuk menerima ibu kandung saya. Jelaslah dari pertemuan kami yang singkat, ia tahu akan kesuksesan saya dan ingin agar saya bekerja untuk menyokongnya. Dari lokasi bisnis temannya, saya tahu bahwa bekerja di sana melibatkan perbuatan amoral. Saya mau menjual bakat seni saya, bukan tubuh saya. Maka pada waktu itu saya berpendapat, dan sekarang pun demikian, bahwa saya membuat keputusan yang benar.

Meskipun jengkel kepada ibu angkat saya, saya harus mengakui bahwa ia telah melatih saya supaya saya selalu bisa mencari nafkah. Semakin saya berpikir mengenai hal itu, semakin saya merasa berutang budi padanya. Ia telah dengan saksama dan konsisten memilihkan pekerjaan bagi saya, melindungi saya dari pria-pria yang meminta pelayanan geisha hanya untuk tujuan yang amoral. Hingga sekarang, saya berterima kasih padanya untuk hal itu.

Ia mengajarkan kepada saya banyak prinsip. Satu hal yang ia pernah tekankan adalah kalau saya mengatakan ya, berarti ya, dan kalau tidak, tidak. Ia juga mengajarkan kepada saya untuk menerima tanggung jawab dan untuk tegas terhadap diri sendiri. Dengan mengikuti prinsip-prinsip yang ia ajarkan, saya berhasil dalam pekerjaan saya. Saya ragu apakah saya akan menerima bantuan semacam itu dari ibu kandung saya. Pengadopsian saya mungkin menyelamatkan saya dari kehidupan yang sangat keras, dan saya berkesimpulan bahwa saya sangat senang hal itu telah terjadi.

Seorang Anak Lelaki di Tengah-Tengah Peperangan

Saya melahirkan seorang bayi lelaki pada tahun 1943. Sesuai dengan kebudayaan tradisional Jepang, yang tidak mengenal ”dosa”, saya tidak merasa kalau saya pernah melakukan sesuatu yang salah atau memalukan. Saya begitu gembira dengan anak lelaki saya. Ia adalah milik saya yang paling berharga​—seseorang yang untuknya saya hidup dan bekerja.

Pada tahun 1945, Tokyo dibom dengan hebat, dan saya harus melarikan diri dari kota itu bersama anak lelaki saya. Hanya ada sedikit makanan, dan ia sakit parah. Orang-orang berdesakan di stasiun dalam keadaan sangat kacau-balau, tetapi entah bagaimana kami berhasil naik kereta yang akan menuju Fukushima. Malam itu kami tinggal di sana di sebuah penginapan, tetapi sebelum saya dapat membawa anak lelaki saya yang kecil ke rumah sakit, ia meninggal karena kekurangan gizi dan dehidrasi. Ia baru berusia dua tahun. Saya benar-benar merasa hancur. Pria yang merebus air di tempat penginapan mengkremasikan mayat anak saya di dalam api yang ia gunakan untuk memanaskan air mandi.

Segera setelah itu perang berakhir, dan saya kembali ke Tokyo. Kota itu telah diratakan oleh pemboman. Rumah dan segalanya yang saya miliki hilang. Saya pergi ke rumah teman. Ia meminjamkan kepada saya kimononya, dan saya mulai bekerja lagi. Ibu angkat saya, yang telah mengungsi ke suatu tempat di luar Tokyo, meminta agar saya mengirim uang dan membangunkan sebuah rumah baginya di Tokyo. Permintaan semacam itu membuat saya merasa lebih kesepian dibandingkan sebelumnya. Saya masih berkabung dan ingin dihibur, namun ia bahkan tidak pernah menyebut-nyebut soal anak saya. Semua yang ia prihatinkan adalah dirinya sendiri.

Kewajiban Keluarga

Tradisi mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki, kita berutang kepada orang-tua dan leluhur kita dan sudah merupakan kewajiban bagi anak-anak untuk membalas budi kepada orang-tua dengan menaati mereka tanpa banyak tanya dan merawat mereka hingga mereka meninggal. Maka, saya menjalankan kewajiban saya, tetapi permintaan ibu angkat saya terlalu berlebihan. Ia juga mengharapkan saya untuk menyokong dua anak dari saudara lelakinya yang telah diadopsinya. Hingga saya berusia 19 tahun, saya percaya bahwa mereka adalah saudara laki-laki dan perempuan saya.

Banyak geisha tidak pernah menikah, dan mereka menghindar untuk mempunyai anak-anak sendiri. Mereka sering mengadopsi bayi-bayi perempuan dari keluarga-keluarga miskin dan melatih mereka sebagai geisha untuk satu-satunya tujuan yaitu mendapatkan sokongan finansial untuk menikmati kehidupan yang menyenangkan di hari tua. Sayang sekali, saya mulai menyadari apa tujuan semua perawatan dan pelatihan yang telah saya terima. Itu hanyalah sekadar jaminan finansial di masa depan.

Walaupun saya menerima semua ini, saya bertanya-tanya mengapa, selain ibu angkat saya, saya harus menyokong ”saudara laki-laki” dan ”saudara perempuan” saya, sedangkan keduanya sehat dan mampu bekerja. Namun, saya menyokong mereka bertiga, berbuat apa pun yang mereka minta. Akhirnya, sehari sebelum Ibu meninggal pada tahun 1954, ia berlutut di tempat tidurnya, membungkuk, dan berterima kasih kepada saya secara formal. Ia mengatakan bahwa saya telah berbuat cukup. Satu-satunya pengakuan dan ungkapan terima kasih ini cukup setimpal dengan jerih payah saya selama bertahun-tahun. Kepuasan karena mengetahui bahwa saya telah memenuhi semua tanggung jawab masih membuat saya menangis.

Menyediakan Nafkah bagi Anak Perempuan Saya

Pada tahun 1947, saya menjadi ibu dari seorang gadis kecil, dan saya memutuskan untuk bekerja keras untuk mengumpulkan kekayaan baginya. Setiap malam saya pergi bekerja. Saya juga mulai naik pentas di teater utama Jepang, seperti Kabukiza di Ginza. Hal ini juga menghasilkan banyak uang.

Entah menari atau memainkan shamisen, saya selalu mendapat bagian utama. Namun, meskipun telah mencapai kesuksesan yang diimpi-impikan oleh para geisha lain, saya tidak bahagia. Mungkin saya tidak akan begitu kesepian jika saya menikah, tetapi kehidupan seorang geisha dan perkawinan tidak sejalan. Satu-satunya penghiburan saya adalah Aiko, gadis cilik saya, dan saya membangun kehidupan saya di sekitar dia.

Biasanya, geisha melatih anak-anak perempuannya, entah mereka anak kandung atau anak angkat, untuk melakukan pekerjaan yang sama. Saya mengikuti kebiasaan itu, tetapi kemudian saya mulai berpikir tentang kehidupan macam apa yang saya persiapkan untuknya. Jika kebiasaan ini dilanjutkan, itu berarti generasi demi generasi tidak akan pernah mengetahui seperti apa rasanya memiliki sebuah keluarga yang sesungguhnya. Saya ingin mematahkan belenggu itu. Saya ingin Aiko, dan anak-anaknya di masa depan menikmati suatu perkawinan dan kehidupan keluarga yang normal. Saya tidak ingin anak dari katak ini menjadi katak!

Pada waktu Aiko memasuki usia belasan, ia menjadi tidak dapat dikendalikan. Sejak kematian dari ibu angkat saya beberapa tahun sebelumnya, satu-satunya teman Aiko di rumah adalah pembantu yang bekerja untuk saya. Ia benar-benar membutuhkan waktu dan perhatian saya. Maka meskipun saya sudah berusia 30-an dan pada puncak karier, saya memutuskan untuk meninggalkan dunia geisha dan hanya menerima pekerjaan menari dan memainkan shamisen. Saya berhenti demi Aiko. Kami mulai menikmati saat-saat makan malam bersama, dan tidak lama setelah itu sikapnya mulai terkendali. Dengan memberikan waktu saya kepadanya benar-benar mendatangkan hasil yang luar biasa.

Akhirnya, kami pindah ke tempat tinggal yang tenang tempat saya membuka sebuah kedai kopi. Aiko tumbuh dewasa, dan saya merasa lega melihat ia menikah dengan Kimihiro, seorang pria yang lembut yang memperlihatkan pengertian akan kehidupan saya dulu.

Agama Menjadi Persoalan

Pada tahun 1968, Aiko melahirkan cucu saya yang pertama. Tidak lama setelah itu ia mulai belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Hal ini mengejutkan saya karena kami sudah memiliki agama. Saya telah membangun sebuah altar Buddha yang besar di rumah kami setelah Ibu​—ibu angkat saya​—meninggal, dan saya dengan tetap tentu sujud di hadapan altar itu untuk memujanya. Juga, saya mengunjungi kuburan keluarga setiap bulan untuk bercerita kepadanya tentang semua yang telah terjadi.

Pemujaan kepada leluhur memuaskan saya. Saya merasa bahwa saya melakukan apa yang seharusnya untuk merawat leluhur saya dan untuk memperlihatkan rasa terima kasih kepada mereka, dan saya mendidik Aiko untuk melakukan hal yang sama. Maka saya terkejut ketika ia memberi tahu saya bahwa ia tidak akan lagi ikut serta dalam pemujaan kepada leluhur, ataupun memuja saya bila saya meninggal. Saya bertanya kepada diri sendiri, ’Bagaimana saya sampai melahirkan anak semacam ini, dan bagaimana ia bisa bergabung dengan agama yang mengajar orang-orang untuk tidak berterima kasih kepada leluhur mereka?’ Selama tiga tahun berikutnya, halnya seolah-olah ada awan hitam menaungi saya.

Titik peralihan tiba saat Aiko dibaptis sebagai seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Seorang teman Saksi Aiko, yang terkejut bahwa saya tidak hadir pada saat putri saya dibaptis, memberi tahu Aiko bahwa ia akan mengunjungi saya. Saya marah, tetapi pada waktu ia datang saya menyambutnya karena kesopanan telah mendarah daging dengan kuat pada diri saya. Untuk alasan yang sama, saya tidak dapat mengatakan tidak pada waktu ia menyatakan bahwa ia akan kembali pada minggu berikutnya. Kunjungan ini berlangsung selama berminggu-minggu, membuat saya sangat marah sehingga pada mulanya saya tidak mempelajari apa-apa dari apa yang ia katakan. Meskipun demikian, pembicaraan tersebut lambat laun membuat saya berpikir.

Saya mulai mengingat hal-hal yang dulu Ibu katakan. Meskipun ia ingin dipuja setelah meninggal, ia tidak yakin sehubungan dengan kehidupan setelah kematian. Apa yang paling orang-tua inginkan, katanya, adalah agar anak-anak bersikap baik kepada mereka dan berbicara dengan hangat kepada mereka pada waktu mereka masih hidup. Pada waktu saya membaca ayat-ayat seperti di Pengkhotbah 9:5, 10, dan Efesus 6:1, 2, dan melihat bahwa Alkitab menganjurkan hal yang sama, rasanya seolah-olah sisik-sisik berguguran dari mata saya. Hal-hal lain yang Ibu telah ajarkan kepada saya juga ada di dalam Alkitab, seperti kalau mengatakan ya, harus berarti ya dan tidak, tidak. (Matius 5:37) Karena ingin tahu apa lagi yang diajarkan Alkitab, saya setuju untuk mendapatkan pengajaran Alkitab secara tetap tentu.

Kesedihan dan frustrasi yang saya rasakan dalam hidup saya pun luluh seraya saya bertambah maju dalam pengetahuan Alkitab. Ketika saya mulai menghadiri perhimpunan Saksi-Saksi Yehuwa, saya sangat terkesan. Ini adalah dunia yang berbeda. Orang-orang bersikap tulus, baik hati, dan ramah, dan hati saya tergugah. Saya teristimewa tergerak karena belajar tentang belas kasihan Yehuwa. Ia dengan pengasih mengampuni semua pedosa yang bertobat. Ya, Ia akan mengampuni semua aib masa lalu saya dan membantu saya untuk menikmati kehidupan yang baru!

Perubahan dalam Kehidupan Saya

Meskipun saya ingin melayani Yehuwa, saya memiliki keterikatan yang kuat dengan dunia hiburan. Pada waktu itu saya berusia 50-an, tetapi saya masih berpentas di panggung. Saya juga seorang pemimpin dan salah satu dari dua orang organisator pemusik shamisen pada waktu Danjuro Ichikawa memperagakan Sukeroku di Kabukiza. Karena hanya sedikit pemain shamisen yang dapat menyuguhkan iringan gaya katoubushi yang diperlukan untuk Sukeroku, tidak ada orang lain yang akan menggantikan saya jika saya berhenti. Maka saya merasa terperangkap.

Akan tetapi, seorang Saksi yang lanjut usia, yang juga pernah terlibat dalam bentuk hiburan tradisional Jepang, bertanya kepada saya mengapa saya berpikir harus berhenti. ”Orang harus bekerja untuk menyokong diri mereka,” katanya menjelaskan. Ia membantu saya memahami bahwa saya tidak melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan Alkitab dan bahwa saya dapat melayani Yehuwa serta melanjutkan pementasan saya.

Selama beberapa waktu, saya terus berpentas di Kabukiza, teater utama di Jepang. Kemudian, pertunjukan-pertunjukan yang diadakan mulai bertepatan dengan malam perhimpunan, maka saya minta agar saya digantikan untuk malam-malam itu. Akan tetapi, tidak lama kemudian waktu perhimpunan kami berubah, dan saya dapat menyesuaikan antara pekerjaan dan perhimpunan. Namun, untuk tiba di perhimpunan tepat waktu, saya sering harus bergegas naik taksi yang sedang menunggu segera setelah pertunjukan berakhir sebaliknya daripada bersantai dengan para pemain yang lain sebagaimana lazimnya. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti.

Pada waktu itu, kami sudah berlatih selama beberapa waktu untuk serangkaian pertunjukan selama enam bulan di kota-kota utama di Jepang. Menyebut-nyebut soal berhenti pasti akan membawa banyak masalah. Maka, tanpa menceritakan niat saya, saya mulai melatih seseorang untuk menjadi penerus saya. Pada waktu tur tersebut selesai, saya menjelaskan kepada setiap orang yang terlibat bahwa saya telah memenuhi tanggung jawab dan bahwa saya hendak berhenti. Beberapa orang menjadi marah. Yang lain-lain menuduh saya bersikap congkak serta sengaja membuat mereka mendapat kesukaran. Itu bukanlah saat yang mudah bagi saya, tetapi saya berpegang pada keputusan saya dan berhenti setelah 40 tahun melakukan pertunjukan. Sejak itu saya mengajar shamisen, dan ini memberikan sedikit pendapatan.

Hidup Sesuai dengan Pembaktian Saya

Beberapa tahun sebelumnya, saya telah membaktikan kehidupan saya kepada Allah Yehuwa. Saya dibaptis pada tanggal 16 Agustus 1980. Perasaan yang meliputi saya sekarang adalah perasaan terima kasih yang dalam kepada Yehuwa. Saya menganggap diri saya sedikit banyak mirip dengan wanita Samaria yang disebutkan dalam Alkitab di Yohanes 4:7-42. Yesus berbicara kepadanya dengan baik hati, dan ia bertobat. Demikian pula, Yehuwa, yang ”melihat hati”, dengan baik hati memperlihatkan kepada saya caranya, dan karena belas kasihan-Nya, saya telah dapat memulai kehidupan yang baru.​—1 Samuel 16:7.

Pada bulan Maret 1990, pada waktu saya mendekati usia 68 tahun, saya menjadi perintis, yaitu sebutan bagi rohaniwan sepenuh waktu dari Saksi-Saksi Yehuwa. Aiko juga adalah seorang perintis, demikian pula ketiga anaknya. Mereka tumbuh dewasa untuk menjadi seperti ibu mereka sesuai dengan pepatah orang Jepang, ”Anak katak adalah katak”. Suami Aiko adalah seorang penatua Kristen di sidang. Betapa saya sangat diberkati karena dikelilingi oleh keluarga saya, yang semuanya berjalan dalam kebenaran, dan memiliki saudara dan saudari rohani yang pengasih di dalam sidang!

Sebagaimana halnya saya bersyukur kepada leluhur saya, rasa terima kasih terbesar saya adalah kepada Yehuwa, yang telah melakukan lebih banyak kepada saya daripada yang dapat dilakukan manusia mana pun. Khususnya, ini adalah rasa terima kasih atas belas kasihan yang limpah dan penghiburan-Nya yang menggerakkan saya untuk ingin memuji Dia selamanya.​—Sebagaimana diceritakan oleh Sawako Takahashi.

[Gambar di hlm. 19]

Berlatih, ketika berusia delapan tahun

[Gambar di hlm. 20]

Bersama ibu angkat saya

[Gambar di hlm. 21]

Putri saya adalah kebanggaan dari kehidupan saya

[Gambar di hlm. 23]

Saya memuja Ibu di hadapan mezbah keluarga ini

[Gambar di hlm. 24]

Dengan putri saya, suaminya, dan cucu-cucu saya

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan