-
Buku yang Hendaknya Saudara BacaBuku bagi Semua Orang
-
-
Buku yang Hendaknya Saudara Baca
”Alkitab tidak usah diberi perhatian serius.” Demikian kata seorang profesor universitas kepada seorang wanita muda yang berbicara terus terang.
”Apakah Anda pernah membaca Alkitab?” tanya wanita ini.
Terperanjat mendengar hal itu, sang profesor harus mengakui bahwa ia belum membacanya.
”Bagaimana Anda bisa dengan yakin mengutarakan pendapat tentang buku yang belum pernah Anda baca?”
Argumen wanita ini sungguh tepat. Sang profesor memutuskan untuk membaca Alkitab dan kemudian mengutarakan pendapat tentangnya.
ALKITAB, yang terdiri dari 66 buku, telah digambarkan sebagai ”kumpulan buku yang kemungkinan paling berpengaruh dalam sejarah manusia”.1 Sebenarnya, buku ini telah mempengaruhi beberapa karya terbesar dunia dalam bidang seni, kesusastraan, dan musik. Buku ini memiliki pengaruh yang sangat besar atas terbentuknya sistem hukum. Alkitab dipuji karena gaya sastranya dan disegani oleh banyak orang terpelajar. Pengaruhnya sungguh amat dalam terhadap kehidupan orang-orang dari segala lapisan masyarakat. Buku ini telah menggugah loyalitas yang luar biasa dalam diri banyak pembacanya. Ada yang bahkan telah mempertaruhkan nyawa hanya untuk membacanya.
Di lain pihak, terdapat keragu-raguan akan Alkitab. Ada orang-orang yang memiliki pendapat-pendapat yang kokoh tentang Alkitab meskipun mereka secara pribadi belum pernah membacanya. Mereka mungkin mengakui nilai sastra atau nilai sejarahnya, namun mereka bertanya-tanya: Bagaimana mungkin sebuah buku yang ditulis ribuan tahun lalu dapat relevan dalam dunia yang modern ini? Kita hidup dalam ”era informasi”. Informasi terkini dari peristiwa-peristiwa hangat dan teknologi mutakhir dapat diperoleh dengan sangat mudah. Saran-saran para ”pakar” terhadap hampir semua problem kehidupan modern telah tersedia. Sebenarnya, apakah Alkitab memuat keterangan yang praktis bagi zaman sekarang?
Brosur ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian. Brosur ini tidak bermaksud memaksakan pandangan atau kepercayaan agama kepada saudara, melainkan hendak memperlihatkan bahwa Alkitab, buku yang berpengaruh dalam sejarah, layak saudara pertimbangkan. Sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 1994 menyatakan bahwa beberapa pendidik benar-benar yakin bahwa Alkitab terpatri begitu kuat dalam kebudayaan Barat sehingga ”siapa pun orangnya, beriman ataupun tidak, yang tidak mengenal ajaran dan kisah-kisah Alkitab akan buta budaya”.2
Barangkali setelah membaca apa yang diterbitkan di brosur ini, saudara akan setuju bahwa—apakah seseorang bersifat religius atau tidak—Alkitab, paling tidak adalah sebuah buku yang hendaknya saudara baca
-
-
Buku yang DisalahgambarkanBuku bagi Semua Orang
-
-
Buku yang Disalahgambarkan
”Doktrin tentang pergerakan ganda bumi yakni berputar pada porosnya serta berputar mengelilingi matahari adalah keliru, dan sepenuhnya bertentangan dengan Kitab Suci.” Demikian pernyataan Dewan Indeks dari Gereja Katolik Roma dalam suatu dekret pada tahun 1616.1 Apakah sebenarnya Alkitab tidak sejalan dengan fakta-fakta ilmiah? Atau apakah Alkitab telah disalahgambarkan?
PADA musim dingin tahun 1609/10, Galileo Galilei mengarahkan teleskop yang baru dikembangkannya ke langit dan menemukan empat buah bulan yang mengelilingi planet Yupiter. Apa yang dilihatnya ini membuyarkan konsep yang dipercayai pada waktu itu bahwa semua benda angkasa pasti mengorbit bumi. Sebelumnya, pada tahun 1543, astronom Polandia Nicolaus Copernicus mencetuskan teori bahwa planet-planet berputar mengelilingi matahari. Galileo meneguhkan bahwa ini adalah kebenaran ilmiah.
Namun, bagi para teolog Katolik, pemikiran ini adalah bidah. Gereja telah lama percaya bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta.2 Pandangan ini didasarkan atas penafsiran harfiah dari ayat-ayat yang menggambarkan bahwa bumi dikukuhkan ”di atas tumpuannya, sehingga takkan goyang untuk seterusnya dan selamanya”. (Mazmur 104:5) Galileo dipanggil ke Roma dan menghadap lembaga Inkwisisi. Setelah menjalani pemeriksaan yang sangat cermat, ia dipaksa untuk menarik kembali penemuannya, dan ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai tahanan rumah.
Pada tahun 1992, sekitar 350 tahun setelah kematian Galileo, Gereja Katolik akhirnya mengakui bahwa Galileo memang benar.3 Namun jika Galileo benar, apakah itu berarti Alkitab yang salah?
Menemukan Makna yang Sesungguhnya dari Bagian-Bagian Alkitab
Galileo yakin bahwa Alkitab itu benar. Sewaktu penemuan ilmiahnya berbenturan dengan penafsiran yang ada tentang ayat-ayat Alkitab tertentu, ia bernalar bahwa para teolog tidak memahami arti yang sesungguhnya dari bagian-bagian Alkitab itu. Bagaimanapun juga, ”dua kebenaran tidak mungkin saling bertentangan”, tulisnya.4 Ia memperlihatkan bahwa istilah-istilah sains yang tepat tidak bertentangan dengan bahasa sehari-hari dari Alkitab. Namun para teolog tidak mau dipengaruhi. Mereka berkukuh bahwa semua pernyataan Alkitab tentang bumi harus diterima secara harfiah. Sebagai akibatnya, mereka tidak hanya menolak penemuan Galileo namun mereka juga kehilangan makna yang sesungguhnya dari pernyataan-pernyataan Alkitab semacam itu.
Benar, akal sehat hendaknya memberi tahu kita bahwa sewaktu Alkitab merujuk kepada ”keempat penjuru bumi”, itu tidak berarti bahwa para penulis Alkitab menganggap bumi persegi secara harfiah. (Penyingkapan 7:1) Alkitab ditulis dalam bahasa rakyat, sering kali menggunakan kata-kata kiasan yang jelas. Maka sewaktu Alkitab berbicara tentang bumi memiliki ”keempat penjuru”, suatu ’tumpuan’ yang tahan lama, ”dasar”, ’sendi-sendi’, dan ’batu penjuru’, Alkitab tidak sedang memberikan uraian ilmiah tentang bumi; Alkitab jelas menggunakan gaya bahasa metafora, seperti yang sering kali kita lakukan dalam percakapan sehari-hari.a—Yesaya 51:13; Ayub 38:6.
Dalam bukunya Galileo Galilei, seorang penulis biografi bernama L. Geymonat menulis, ”Para teolog picik yang hendak membatasi sains berdasarkan penalaran Alkitab justru mendatangkan cela ke atas Alkitab itu sendiri.”5 Dan itulah yang terjadi. Sebenarnya, penafsiran para teolog atas Alkitab—bukan Alkitab itu sendiri—yang justru merupakan pembatasan yang tidak masuk akal atas sains.
Demikian pula, para fundamentalis agama dewasa ini menyimpangkan Alkitab sewaktu mereka berkeras bahwa bumi diciptakan selama enam hari yang masing-masing panjangnya 24 jam. (Kejadian 1:3-31) Pandangan demikian tidak selaras dengan sains, juga dengan Alkitab. Dalam Alkitab, maupun dalam bahasa sehari-hari, kata ”hari” adalah istilah yang fleksibel, yang menyatakan satuan waktu dari jangka waktu yang berbeda-beda panjangnya. Di Kejadian 2:4, seluruh enam hari penciptaan ditunjukkan sebagai satu ”hari” yang mencakup semuanya. Kata Ibrani yang diterjemahkan ”hari” di dalam Alkitab dapat berarti ”suatu waktu yang lama”.6 Maka, tidak ada alasan dari Alkitab untuk berkeras bahwa hari penciptaan masing-masing terdiri dari 24 jam. Dengan mengajarkan yang sebaliknya, para fundamentalis menyalahgambarkan Alkitab.—Lihat juga 2 Petrus 3:8.
Sepanjang sejarah, para teolog telah sering kali menyimpangkan Alkitab. Pertimbangkan segi-segi lain bagaimana agama-agama Susunan Kristen telah menyalahgambarkan apa yang Alkitab katakan.
Disalahgambarkan Oleh Agama
Perbuatan orang-orang yang mengaku taat kepada Alkitab sering kali menodai reputasi dari buku yang mereka akui mereka hormati. Orang-orang yang menyebut diri Kristen telah menumpahkan darah satu sama lain dalam nama Allah. Padahal, Alkitab memperingatkan para pengikut Kristus untuk ”mengasihi satu sama lain”.—Yohanes 13:34, 35; Matius 26:52.
Beberapa pemimpin agama melucuti kawanan mereka, memeras uang kawanan mereka yang diperoleh dengan susah payah—sangat berbeda dengan ajaran Alkitab, ”Kamu menerima dengan cuma-cuma, berikan dengan cuma-cuma.”—Matius 10:8; 1 Petrus 5:2, 3.
Jelaslah, Alkitab tidak dapat dihakimi menurut kata-kata dan perbuatan dari orang-orang yang sekadar mengutipnya atau mengaku hidup selaras dengannya. Oleh karena itu, seorang yang berpikiran luas mungkin ingin menemukan sendiri apa sebenarnya Alkitab itu dan mengapa buku itu benar-benar luar biasa.
[Catatan Kaki]
a Misalnya, bahkan para astronom yang berpikiran paling literal sekalipun dewasa ini akan menggunakan istilah ”terbit” dan ”terbenam”nya matahari, bintang, dan rasi—meskipun, sebenarnya, benda-benda ini kelihatannya saja bergerak karena peredaran bumi.
[Gambar di hlm. 4]
Dua dari antara teleskop Galileo
[Gambar di hlm. 5]
Galileo menghadap para pelaksana inkwisisi
-
-
Buku yang Paling Banyak Disiarkan di DuniaBuku bagi Semua Orang
-
-
Buku yang Paling Banyak Disiarkan di Dunia
”Alkitab adalah buku yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah. . . . Lebih banyak eksemplar yang telah tersiar dibandingkan dengan buku lain mana pun. Alkitab juga lebih sering diterjemahkan, dan ke dalam lebih banyak bahasa, daripada buku lain mana pun.”—”The World Book Encyclopedia.”1
DALAM beberapa hal, kebanyakan buku ada kemiripannya dengan manusia. Mereka muncul, mungkin semakin populer, dan—kecuali untuk segelintir karya sastra klasik—menjadi tua dan mati. Perpustakaan sering kali menjadi seperti kuburan bagi banyak sekali buku yang ketinggalan zaman, tidak pernah dibaca dan, pada dasarnya, mati.
Akan tetapi, Alkitab memang luar biasa bahkan di antara karya-karya klasik. Meskipun penulisannya dimulai 3.500 tahun yang lalu, Alkitab masih sangat segar. Sejauh ini, Alkitablah buku yang paling banyak peredarannya di bumi.a Setiap tahun, sekitar 60 juta eksemplar dari seluruh Alkitab atau bagian-bagiannya tersiar. Edisi pertama dalam bentuk buku cetakan dihasilkan oleh mesin cetak Johannes Gutenberg dari Jerman sekitar tahun 1455. Sejak itu, diperkirakan empat miliar Alkitab (seluruhnya atau sebagian) telah dicetak. Tidak ada buku lain, yang bersifat agama atau nonagama, yang bahkan dapat menyamainya.
Alkitab juga buku yang paling banyak diterjemahkan sepanjang sejarah. Alkitab yang lengkap maupun bagian-bagian darinya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 2.100 bahasa dan dialek.b Lebih dari 90 persen keluarga manusia dapat membaca setidaknya sebagian dari Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.2 Buku ini telah menyeberangi batas-batas nasional dan menaklukkan perintang-perintang ras dan etnik.
Statistik saja mungkin belum dapat memberikan alasan yang mendesak bagi saudara untuk menyelidiki Alkitab. Meskipun demikian, angka sirkulasi dan penerjemahannya sangat mengesankan, menunjukkan daya tarik Alkitab yang bersifat universal. Tentu, buku terlaris dan terbanyak diterjemahkan sepanjang sejarah manusia layak saudara pertimbangkan.
[Catatan Kaki]
a Menurut anggapan, publikasi berikutnya yang paling banyak tersiar adalah buku kecil bersampul merah Quotations From the Works of Mao Tse-tung, yang kira-kira 800 juta eksemplarnya telah terjual atau tersiar.
b Statistik sehubungan dengan jumlah bahasa berdasarkan angka yang diterbitkan oleh United Bible Societies.
[Gambar di hlm. 6]
Alkitab Gutenberg, dalam bahasa Latin, dalam bentuk buku cetakan lengkap pertama
-
-
Bagaimana Buku Ini Dapat Tetap Bertahan?Buku bagi Semua Orang
-
-
Bagaimana Buku Ini Dapat Tetap Bertahan?
Tulisan-tulisan kuno mempunyai musuh-musuh alam—api, udara lembap, dan jamur. Alkitab tidak kebal terhadap bahaya-bahaya demikian. Prestasi Alkitab, yang mampu bertahan melewati ganasnya waktu sampai menjadi buku yang paling mudah diperoleh, sangat luar biasa dari antara tulisan-tulisan kuno. Riwayatnya pantas diberi perhatian serius.
PARA penulis Alkitab menggoreskan kata-kata mereka bukannya di atas batu; bukan pula di lempeng-lempeng tanah liat yang tahan lama. Mereka rupanya menuliskan kata-kata mereka di atas bahan-bahan yang tidak tahan lama—papirus (terbuat dari sejenis tanaman di Mesir dengan nama yang sama) dan perkamen (terbuat dari kulit binatang).
Apa yang terjadi dengan tulisan-tulisan yang asli? Itu bisa jadi telah hancur berkeping-keping lama berselang, kebanyakan di Israel purba. Sarjana Oscar Paret menjelaskan, ”Kedua macam alat tulis ini [papirus dan perkamen] sama-sama mudah dirusak oleh kelembapan, jamur, dan berbagai jenis belatung. Kita tahu dari pengalaman sehari-hari betapa mudahnya kertas, bahkan kulit yang kuat, menjadi rusak di udara terbuka atau dalam ruangan yang lembap.”1
Jika tulisan aslinya sudah tidak ada lagi, bagaimana kata-kata dari para penulis Alkitab dapat tetap bertahan sampai ke zaman kita?
Dipelihara Oleh Para Penyalin yang Sangat Teliti
Segera setelah yang asli ditulis, salinan-salinan tulisan tangan mulai dihasilkan. Menyalin Alkitab sebenarnya menjadi suatu profesi pada zaman Israel purba. (Ezra 7:6; Mazmur 45:2) Namun, salinan-salinan ini juga ditulis di atas bahan-bahan yang tidak tahan lama. Akhirnya, ini digantikan oleh salinan-salinan tulisan tangan lainnya. Sewaktu yang asli berlalu dari peredaran, salinan-salinan ini menjadi dasar untuk manuskrip-manuskrip berikutnya. Menyalin salinan-salinan merupakan suatu proses yang berlangsung selama berabad-abad. Apakah kesalahan-kesalahan para penyalin selama berabad-abad secara drastis mengubah naskah Alkitab? Bukti-bukti mengatakan tidak.
Para penyalin profesional benar-benar setia. Mereka memiliki rasa hormat yang teramat dalam terhadap kata-kata yang mereka salin. Mereka juga sangat teliti. Kata Ibrani yang diterjemahkan ”penyalin” adalah so·pherʹ, yang merujuk kepada menghitung dan mencatat. Untuk mengilustrasikan kesaksamaan dari para penyalin, perhatikanlah kaum Masoret.a Tentang mereka, sarjana Thomas Hartwell Horne menjelaskan, ”Mereka . . . memperhitungkan mana yang menjadi huruf tengah dari Pentateuch [lima buku pertama dari Alkitab], mana yang menjadi anak kalimat (klausa) yang terdapat di tengah-tengah dari setiap buku, dan berapa kali setiap huruf dalam abjad [Ibrani] muncul dalam seluruh Kitab-Kitab Ibrani.”3
Oleh karena itu, para penyalin yang terampil menggunakan sejumlah metode pengecekan silang. Agar jangan sampai menghilangkan satu huruf pun dari naskah Alkitab, mereka bahkan sampai menghitung bukan hanya kata-kata yang mereka salin, namun juga huruf-hurufnya. Pertimbangkan kepedulian yang sungguh-sungguh dalam pekerjaan ini: Mereka dilaporkan membuat catatan dari total 815.140 huruf dalam Kitab-Kitab Ibrani!4 Upaya yang rajin seperti ini menjamin suatu taraf kesaksamaan yang tinggi.
Meskipun demikian, para penyalin bukannya tidak dapat membuat kesalahan. Apakah ada bukti bahwa, meskipun adanya penyalinan ulang selama berabad-abad, naskah Alkitab tetap bertahan dalam bentuk yang dapat diandalkan?
Sebuah Dasar yang Kokoh untuk Yakin
Terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa Alkitab telah dengan saksama ditransmisikan hingga ke zaman kita. Bukti-buktinya terdiri dari manuskrip-manuskrip tulisan tangan yang masih ada—diperkirakan terdapat 6.000 manuskrip dari seluruh atau sebagian Kitab-Kitab Ibrani dan sekitar 5.000 manuskrip dari Kitab-Kitab Kristen berbahasa Yunani. Dari antaranya terdapat manuskrip Kitab-Kitab Ibrani yang ditemukan pada tahun 1947 yang menunjukkan betapa akurat penyalinan Kitab-Kitab tersebut. Sejak itu, penemuan ini dijuluki sebagai ”penemuan manuskrip terhebat pada zaman modern”.5
Sewaktu sedang menggembalakan kawanan ternaknya pada permulaan tahun itu, seorang anak gembala Badui menemukan sebuah gua di dekat Laut Mati. Di dalamnya, ia menemukan sejumlah tempayan tembikar, kebanyakan dari antaranya kosong. Akan tetapi, dalam salah satu tempayan, yang ditutup rapat, ia menemukan sebuah gulungan kulit yang dengan cermat dibungkus dalam kain linen dan berisi salah satu buku Alkitab, Yesaya, secara lengkap. Meskipun telah usang, gulungan yang masih terpelihara baik ini, memperlihatkan tanda-tanda pernah diperbaiki. Gembala muda ini tidak menyangka sedikit pun bahwa gulungan kuno yang ia pegang akhirnya akan mendapat perhatian seluas dunia.
Apa arti penting dari manuskrip ini? Pada tahun 1947, manuskrip Ibrani lengkap tertua yang telah ditemukan berasal dari kira-kira abad kesepuluh M. Namun gulungan ini berasal dari abad kedua SMb—selisih usianya lebih dari seribu tahun.c Para sarjana sangat berminat untuk mengetahui hasil perbandingan gulungan ini dengan manuskrip-manuskrip yang dihasilkan berabad-abad kemudian.
Dalam suatu penelitian, para sarjana membandingkan pasal ke-53 dari Yesaya dalam Gulungan Laut Mati dengan naskah Masoret yang dihasilkan seribu tahun kemudian. Buku A General Introduction to the Bible, menjelaskan hasil penelitian ini, ”Dari ke-166 kata dalam Yesaya 53, hanya terdapat tujuh belas huruf yang dipertanyakan. Sepuluh dari antara huruf-huruf ini hanya soal pengejaan, yang tidak mempengaruhi artinya. Empat huruf lagi adalah perubahan kecil dalam hal gaya, seperti kata sambung. Ketiga huruf selebihnya terdiri dari kata ’terang’, yang ditambahkan dalam ayat 11, dan tidak banyak mempengaruhi artinya. . . . Maka, dalam satu pasal dari 166 kata, hanya ada satu kata (tiga huruf) yang dipertanyakan setelah ribuan tahun pentransmisian—dan kata ini tidak banyak mengubah makna ayat itu.”7
Profesor Millar Burrows, yang meneliti gulungan ini selama bertahun-tahun, menganalisis isinya, kemudian mengambil kesimpulan yang sama, ”Banyak perbedaan yang terdapat antara . . . gulungan Yesaya dan naskah salinan kaum Masoret dapat dijelaskan sebagai kesalahan penyalinan. Di luar itu, ada persamaan yang menakjubkan, secara menyeluruh, dengan naskah yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip abad pertengahan. Persamaan demikian dalam manuskrip yang jauh lebih tua memberikan bukti yang meyakinkan bahwa naskah tradisional itu secara umum memang saksama.”8
”Bukti yang meyakinkan” dapat juga diberikan mengenai penyalinan Kitab-Kitab Yunani Kristen. Misalnya, penemuan Kodeks Sinaitikus pada abad ke-19, sebuah manuskrip vellum (kulit binatang yang disamak) yang berasal dari abad keempat M, turut meneguhkan kesaksamaan manuskrip-manuskrip dari Kitab-Kitab Yunani Kristen yang dihasilkan berabad-abad kemudian. Sebuah fragmen papirus dari Injil Yohanes, yang ditemukan di distrik Faiyūm, Mesir, berasal dari lima puluh tahun pertama abad kedua M, kurang dari 50 tahun setelah naskah aslinya ditulis. Ini telah terpelihara selama berabad-abad di pasir kering. Naskahnya sesuai dengan naskah yang ditemukan dalam manuskrip-manuskrip yang belakangan.9
Oleh karena itu, bukti-bukti meneguhkan bahwa sesungguhnya para penyalin sangat saksama. Meskipun demikian, mereka memang membuat kesalahan. Tidak ada manuskrip yang tanpa cacat—Gulungan Laut Mati Yesaya juga tidak terkecuali. Sekalipun demikian, para sarjana telah dapat mendeteksi dan mengoreksi perbedaan-perbedaannya dari yang asli.
Mengoreksi Kesalahan Para Penyalin
Misalnya 100 orang diminta untuk membuat sebuah salinan tulisan tangan dari sebuah dokumen yang panjang. Tidak diragukan, setidaknya beberapa dari para penyalin akan membuat kesalahan. Akan tetapi, mereka tidak mungkin membuat jenis kesalahan yang sama. Jika saudara mengambil ke-100 salinan itu dan membandingkannya dengan sangat cermat, saudara akan dapat menemukan kesalahannya dan menentukan naskah yang persis seperti dokumen aslinya, sekalipun saudara belum pernah melihat dokumen tersebut.
Demikian pula, para penyalin Alkitab tidak membuat jenis kesalahan yang sama. Dengan ribuan manuskrip Alkitab yang sekarang tersedia untuk analisis perbandingan, para sarjana pernaskahan telah dapat menemukan kesalahan-kesalahan, menentukan teks aslinya, dan mencatat koreksi yang dibutuhkan. Sebagai hasil dari penelitian yang cermat demikian, para sarjana pernaskahan telah menghasilkan naskah-naskah induk dalam bahasa-bahasa aslinya. Edisi-edisi revisi dari naskah-naskah Ibrani dan Yunani ini menggunakan kata-kata yang paling umum yang diakui keasliannya, sering kali catatan kakinya memuat variasi atau alternatif pengejaan yang mungkin muncul dalam manuskrip tertentu. Edisi-edisi revisi dari para sarjana pernaskahan inilah yang digunakan oleh para penerjemah Alkitab untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa modern.
Maka sewaktu saudara membaca sebuah terjemahan Alkitab modern, ada cukup banyak alasan untuk yakin bahwa naskah Ibrani dan Yunani, yang dijadikan dasar penerjemahan, menyajikan dengan sangat saksama kata-kata dari para penulis asli Alkitab.d Prestasi Alkitab, yang sanggup bertahan selama ribuan tahun melalui penyalinan ulang dengan tangan, benar-benar luar biasa. Sir Frederic Kenyon, kurator kawakan dari British Museum, dengan demikian dapat mengatakan, ”Tidaklah berlebihan untuk menegaskan bahwa pada hakekatnya naskah Alkitab dapat dipastikan keasliannya . . . Pernyataan serupa tidak dapat diberikan untuk buku kuno lain mana pun di dunia ini.”10
[Catatan Kaki]
a Kaum Masoret (yang berarti ”Pakar Tradisi”) adalah para penyalin dari Kitab-Kitab Ibrani yang hidup antara abad keenam dan kesepuluh M. Salinan-salinan manuskrip yang mereka hasilkan disebut sebagai teks Masoret.2
b SM berarti ”Sebelum Masehi”. M berarti ”Masehi”, sering kali disebut AD, untuk Anno Domini, yang berarti ”pada tahun Tuhan kita”.
c Textual Criticism of the Hebrew Bible, oleh Emanuel Tov, menyatakan, ”Dengan bantuan uji karbon 14, 1QIsaa [Gulungan Laut Mati Yesaya] kini berasal antara tahun 202 dan 107 SM (tanggal paleografisnya: 125-100 SM) . . . Metode paleografis yang disebutkan, yang telah dikembangkan pada tahun-tahun belakangan ini, dan yang memungkinkan penentuan penanggalan absolut berdasarkan perbandingan bentuk dan posisi dari huruf-huruf dengan sumber-sumber eksternal seperti mata uang dan inskripsi bertanggal, telah terbukti sebagai metode yang cukup dapat diandalkan.”6
d Tentu saja, para penerjemah secara individu bisa saja kaku atau longgar dalam keterpautan mereka kepada naskah-naskah asli Ibrani dan Yunani.
[Gambar di hlm. 8]
Alkitab dipelihara oleh para penyalin yang terampil
[Gambar di hlm. 9]
Gulungan Laut Mati Yesaya (tampak reproduksinya) praktis sama dengan naskah Masoret yang dihasilkan ribuan tahun berselang
-
-
Buku yang ”Berbicara” dalam Bahasa yang HidupBuku bagi Semua Orang
-
-
Buku yang ”Berbicara” dalam Bahasa yang Hidup
Jika bahasa yang digunakan dalam penulisan sebuah buku telah mati, buku tersebut akan mati bersamanya. Dewasa ini, tidak banyak orang dapat membaca bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam penulisan Alkitab. Namun Alkitab masih tetap hidup. Ia masih bertahan karena telah ”belajar berbicara” dalam bahasa yang hidup yang digunakan umat manusia. Para penerjemah yang ”mengajar”nya untuk berbicara dalam bahasa-bahasa lain adakalanya menghadapi rintangan-rintangan yang tampaknya tidak tertanggulangi.
MENERJEMAHKAN Alkitab—dengan lebih dari 1.100 pasal dan 31.000 ayatnya—merupakan pekerjaan yang sangat berat. Akan tetapi, selama berabad-abad, para penerjemah yang setia dengan senang hati menyambut tantangan ini. Kebanyakan dari mereka rela menderita kesukaran dan bahkan mati demi pekerjaan mereka. Sejarah tentang bagaimana Alkitab sampai diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa umat manusia menjadi suatu kisah yang luar biasa tentang ketekunan dan kecerdikan. Perhatikanlah sebagian kecil dari riwayatnya yang menarik.
Tantangan-Tantangan yang Dihadapi Para Penerjemah
Bagaimana caranya saudara menerjemahkan sebuah buku ke dalam suatu bahasa yang belum memiliki abjad? Banyak penerjemah Alkitab menghadapi tantangan semacam itu. Misalnya, Ulfilas, dari abad keempat M, mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa yang saat itu merupakan bahasa modern namun tidak tertulis—bahasa Gotik. Ulfilas menanggulangi tantangan ini dengan merancang abjad Gotik yang terdiri dari 27 karakter, yang terutama didasarkan pada abjad Yunani dan Latin. Terjemahannya yang meliputi hampir seluruh Alkitab ke dalam bahasa Gotik diselesaikan sebelum tahun 381 M.
Pada abad kesembilan, dua kakak-beradik yang berbahasa Yunani, Cyril (pada mulanya bernama Konstantin) dan Methodius, keduanya sarjana dan ahli linguistik terkemuka, ingin menerjemahkan Alkitab untuk orang-orang berbahasa Slavia. Namun Slavonic—pelopor dari bahasa Slavia zaman sekarang—belum memiliki abjad. Maka kakak-beradik ini menciptakan abjad dengan tujuan menghasilkan suatu terjemahan Alkitab. Itu sebabnya Alkitab kini dapat ”berbicara” kepada lebih banyak orang, termasuk orang-orang di kawasan Slavia.
Pada abad ke-16, William Tyndale mulai menerjemahkan Alkitab dari bahasa-bahasa asli ke dalam bahasa Inggris, namun ia menghadapi tentangan sengit dari Gereja dan Negara. Tyndale, yang dididik di Oxford, ingin menghasilkan suatu terjemahan yang bahkan dapat dimengerti oleh ”seorang bocah yang menarik bajak”.1 Namun untuk mencapainya, ia harus melarikan diri ke Jerman, di sanalah ”Perjanjian Baru” yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dicetak pada tahun 1526. Sewaktu salinan-salinan diselundupkan ke Inggris, kalangan berwenang begitu marah sehingga mereka mulai membakarnya di hadapan umum. Tyndale belakangan dikhianati. Tepat sebelum ia dicekik dan tubuhnya dibakar, ia mengucapkan kata-kata ini dengan suara yang nyaring, ”Tuhan, bukalah mata Raja Inggris!”2
Penerjemahan Alkitab terus berlanjut; para penerjemah tidak dapat dihentikan. Pada tahun 1800, setidaknya bagian-bagian dari Alkitab telah ”belajar berbicara” 68 bahasa. Kemudian, dengan didirikannya Lembaga-Lembaga Alkitab—khususnya Lembaga Alkitab Inggris dan Asing, yang didirikan pada tahun 1804—Alkitab dengan cepat ”belajar” bahkan lebih banyak bahasa baru. Ratusan pemuda merelakan diri untuk pergi ke negeri-negeri asing sebagai misionaris, banyak dengan tujuan utama untuk menerjemahkan Alkitab.
Mempelajari Bahasa-Bahasa Afrika
Pada tahun 1800, hanya terdapat sekitar dua belas bahasa tulisan di Afrika. Ratusan bahasa lisan lain harus menunggu sampai ada yang menciptakan sistem abjadnya. Para misionaris datang dan mempelajari bahasa-bahasa itu, tanpa bantuan dari buku pembimbing atau kamus. Mereka kemudian bekerja keras untuk mengembangkan suatu bentuk penulisan, dan setelah itu mereka mengajar orang-orang bagaimana membaca abjadnya. Ini mereka lakukan agar kelak orang-orang dapat membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.3
Salah seorang dari para misionaris ini adalah Robert Moffat dari Skotlandia. Pada tahun 1821, di usia 25 tahun, Moffat memulai sebuah misi di antara orang-orang berbahasa Tswana dari Afrika sebelah selatan. Untuk mempelajari bahasa mereka yang tidak tertulis, ia berbaur dengan orang-orang ini, kadang-kadang ia membuat perjalanan ke daerah pedalaman untuk tinggal bersama mereka. ”Masyarakat di sini sangat baik,” ia belakangan menulis, ”dan kesalahan-kesalahan saya dalam mengucapkan bahasa mereka mengundang tawa banyak orang. Tidak pernah, satu kali pun, ada orang yang dapat mengoreksi sepatah kata atau kalimat saya, kecuali dengan cara meniru ucapan-ucapan saya dengan begitu persis, sehingga hal itu membuat orang-orang lain tertawa.”4 Moffat bertekun dan pada akhirnya menguasai bahasa tersebut, mengembangkan sistem abjad untuk bahasa itu.
Pada tahun 1829, setelah bekerja selama delapan tahun di antara orang-orang Tswana, Moffat selesai menerjemahkan Injil Lukas. Untuk mencetaknya, ia mengadakan perjalanan sekitar 960 kilometer menggunakan pedati yang ditarik seekor sapi ke pantai dan kemudian naik kapal ke Cape Town. Di sana gubernur memberinya izin untuk menggunakan mesin cetak pemerintah, namun Moffat harus menyusun huruf-hurufnya dan mencetaknya sendiri, dan pada akhirnya, menerbitkan Injil ini pada tahun 1830. Untuk pertama kali, orang-orang Tswana dapat membaca salah satu bagian dari Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Pada tahun 1857, Moffat selesai menerjemahkan Alkitab secara keseluruhan ke dalam bahasa Tswana.
Belakangan Moffat menggambarkan reaksi dari orang Tswana sewaktu Injil Lukas pertama kali tersedia bagi mereka. Ia menulis, ”Saya telah mengenal orang-orang yang menempuh ratusan kilometer untuk memperoleh salinan St. Lukas. . . . Saya telah melihat mereka menerima bagian-bagian dari buku St. Lukas, dengan penuh haru, serta memeluknya, dan mencucurkan air mata syukur, sampai saya harus berkata kepada lebih dari satu orang, ’Anda akan merusak buku Anda dengan air mata Anda.’”5
Dengan demikian, para penerjemah yang setia seperti Moffat memberikan kepada banyak orang Afrika—yang beberapa di antaranya tidak merasa membutuhkan bahasa tulisan—kesempatan pertama untuk berkomunikasi dalam tulisan. Namun, para penerjemah bahkan memberikan kepada orang-orang Afrika suatu pemberian yang lebih bernilai—Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Dewasa ini, Alkitab, seluruhnya atau sebagian, ”berbicara” dalam lebih dari 600 bahasa Afrika.
Mempelajari Bahasa-Bahasa Asia
Seraya para penerjemah di Afrika berjuang untuk mengembangkan sistem abjad bagi bahasa-bahasa lisan, di bagian lain dari dunia, para penerjemah lain menghadapi banyak rintangan yang berbeda—menerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang telah memiliki abjad yang rumit. Itulah tantangan yang dihadapi pihak-pihak yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa Asia.
Pada permulaan abad ke-19, William Carey dan Joshua Marshman pergi ke India dan menguasai banyak bahasa tulisannya. Dengan bantuan seorang juru cetak, bernama William Ward, mereka berhasil menerjemahkan setidaknya bagian-bagian Alkitab dalam hampir 40 bahasa.6 Tentang William Carey, pengarang J. Herbert Kane menjelaskan, ”Ia merancang sebuah gaya percakapan yang bagus dan lancar [dari bahasa Bengali] menggantikan bentuk tua yang klasik, dengan demikian membuatnya lebih dapat dipahami dan menarik bagi para pembaca modern.”7
Adoniram Judson, yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat, mengadakan perjalanan ke Burma, dan pada tahun 1817, ia mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Burma. Ketika menggambarkan sulitnya menguasai bahasa Timur sampai ke taraf yang memadai untuk dapat menerjemahkan Alkitab, ia menulis, ’Sewaktu kami mempelajari sebuah bahasa yang digunakan orang-orang di belahan bumi lainnya, yang cara berpikirnya berbeda dari kita, dan yang pola linguistiknya sama sekali baru, juga huruf serta kata-katanya sama sekali tidak ada miripnya dengan bahasa mana pun yang pernah kami ketahui; sewaktu kami tidak punya kamus atau juru bahasa, dan harus sebisa-bisanya menggunakan bahasa itu sebelum kami dapat memperoleh bantuan dari guru setempat—itu berarti kerja keras!’8
Dalam kasus Judson, itu berarti bekerja sangat keras selama sekitar 18 tahun. Bagian terakhir dari Alkitab Burma dicetak pada tahun 1835. Akan tetapi, semasa tinggal di Burma, ia mengalami banyak penderitaan. Sewaktu ia sedang menggarap terjemahannya, ia dituduh sebagai mata-mata dan oleh karena itu mendekam sekitar dua tahun dalam penjara yang penuh nyamuk. Tidak lama setelah ia dibebaskan, istrinya dan putrinya yang masih kecil meninggal karena demam.
Sewaktu Robert Morrison yang berusia 25 tahun tiba di Cina pada tahun 1807, ia melakukan pekerjaan yang luar biasa sulit untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Cina, salah satu dari bahasa tulisan yang paling pelik. Ia hanya memiliki pengetahuan bahasa Cina yang terbatas, yang baru ia pelajari dua tahun berselang. Morrison juga harus menghadapi undang-undang Cina, yang berupaya untuk mempertahankan ketertutupan Cina. Orang-orang Cina dilarang, dengan ancaman hukuman mati, untuk mengajarkan bahasa kepada orang-orang asing. Bagi seorang asing, menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Cina merupakan pelanggaran dengan ancaman hukuman mati.
Tanpa gentar namun berhati-hati, Morrison terus mempelajari bahasa tersebut, dan menguasainya dengan cepat. Dalam waktu dua tahun, ia mendapat pekerjaan sebagai penerjemah bagi East India Company. Sepanjang hari, ia bekerja bagi perusahaan tersebut, namun secara tersembunyi dan dengan risiko tertangkap basah, ia terus menerjemahkan Alkitab. Pada tahun 1814, tujuh tahun setelah ia tiba di Cina, Kitab-Kitab Yunani Kristen hasil terjemahannya siap untuk dicetak.9 Lima tahun kemudian, dengan bantuan William Milne, ia merampungkan Kitab-Kitab Ibrani.
Benar-benar prestasi yang luar biasa—Alkitab kini dapat ”berbicara” dalam bahasa yang jumlah penggunanya paling banyak dibandingkan dengan bahasa lain mana pun di dunia. Berkat para penerjemah yang cakap, terjemahan ke dalam bahasa-bahasa Asia lainnya menyusul. Dewasa ini, bagian-bagian dari Alkitab tersedia dalam lebih dari 500 bahasa Asia.
Mengapa pria-pria seperti Tyndale, Moffat, Judson, dan Morrison bekerja keras selama bertahun-tahun—ada yang bahkan bertaruh nyawa—untuk menerjemahkan sebuah buku bagi orang-orang yang tidak mereka kenal dan, dalam beberapa kasus, bagi orang-orang yang tidak memiliki bahasa tulisan? Tentu saja bukan demi kemuliaan atau keuntungan finansial. Mereka percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan bahwa Alkitab seharusnya ”berbicara” kepada orang-orang—semua orang—dalam bahasa mereka sendiri.
Tidak soal apakah saudara merasa bahwa Alkitab adalah Firman Allah atau bukan, mungkin saudara akan setuju bahwa jenis semangat rela berkorban yang dipertunjukkan oleh para penerjemah yang setia tersebut sangat langka dalam dunia dewasa ini. Bukankah buku yang menggugah sifat tidak mementingkan diri demikian layak diselidiki?
[Tabel di hlm. 12]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
Jumlah bahasa yang ke dalamnya bagian-bagian dari Alkitab telah dicetak sejak tahun 1800
68 107 171 269 367 522 729 971 1.199 1.762 2.123
1800 1900 1995
[Gambar di hlm. 10]
Tyndale menerjemahkan Alkitab
[Gambar di hlm. 11]
Robert Moffat
[Gambar di hlm. 12]
Adoniram Judson
[Gambar di hlm. 13]
Robert Morrison
-
-
Apa Isi Buku IniBuku bagi Semua Orang
-
-
Apa Isi Buku Ini
Seseorang yang untuk pertama kali memasuki sebuah perpustakaan mungkin merasa bingung melihat begitu banyak deretan buku. Namun setelah mendapat sedikit penjelasan tentang bagaimana buku-buku tersebut disusun, ia segera mengetahui caranya menemukan buku-buku tertentu. Demikian pula, mencari sesuatu di dalam Alkitab menjadi lebih mudah bila saudara mengerti bagaimana isinya disusun.
KATA ”Alkitab” berasal dari kata Yunani bi·bliʹa, yang berarti ”gulungan-gulungan papirus” atau ”buku-buku”.1 Alkitab sebenarnya sebuah koleksi—sebuah perpustakaan—dari 66 buku terpisah, yang penulisannya meliputi jangka waktu sekitar 1.600 tahun, dari tahun 1513 SM sampai kira-kira tahun 98 M.
Ketiga puluh sembilan buku pertama, kira-kira tiga perempat isi Alkitab, dikenal sebagai Kitab-Kitab Ibrani, karena buku-buku tersebut kebanyakan ditulis dalam bahasa Ibrani. Buku-buku ini secara umum dapat dibagi ke dalam tiga kelompok: (1) Sejarah, Kejadian sampai Ester, 17 buku; (2) Puisi, Ayub sampai Kidung Agung, 5 buku; dan (3) Nubuat, Yesaya sampai Maleakhi, 17 buku. Kitab-Kitab Ibrani mencakup sejarah awal dari bumi dan umat manusia serta sejarah dari bangsa Israel zaman purba sejak kelahirannya hingga abad kelima SM.
Dua puluh tujuh buku selebihnya dikenal sebagai Kitab-Kitab Yunani Kristen, karena ditulis dalam bahasa Yunani, bahasa internasional pada zaman itu. Kitab-Kitab Yunani Kristen pada dasarnya disusun menurut pokok permasalahannya: (1) Ke-5 buku sejarah—Injil dan Kisah, (2) ke-21 pucuk surat, dan (3) buku Penyingkapan. Kitab-Kitab Yunani Kristen mengarahkan perhatian kepada pengajaran dan kegiatan dari Yesus Kristus serta murid-muridnya pada abad pertama M.
-
-
Apakah Buku Ini Dapat Dipercaya?Buku bagi Semua Orang
-
-
Apakah Buku Ini Dapat Dipercaya?
”Saya mendapati lebih banyak tanda keautentikan yang pasti di dalam Alkitab daripada di dalam sejarah [sekuler] mana pun.”—Sir Isaac Newton, ilmuwan Inggris yang terkemuka.1
APAKAH buku ini—Alkitab—dapat dipercaya? Apakah Alkitab merujuk kepada orang-orang yang benar-benar hidup, tempat-tempat yang benar-benar ada, dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi? Jika demikian, seharusnya ada bukti bahwa Alkitab ditulis oleh para penulis yang cermat dan jujur. Bukti-buktinya memang ada. Banyak dari antaranya ditemukan terkubur dalam bumi, dan bahkan ada lebih banyak lagi yang terdapat dalam buku itu sendiri.
Menemukan Bukti-Bukti
Penemuan prasasti-prasasti purba yang terkubur di negeri-negeri Alkitab telah mendukung kesaksamaan sejarah dan geografi Alkitab. Perhatikan beberapa bukti yang telah ditemukan para arkeolog.
Daud, gembala muda yang berani yang menjadi raja Israel, sangat dikenal oleh para pembaca Alkitab. Namanya muncul 1.138 kali dalam Alkitab, dan pernyataan ”Rumah Daud”—sering kali memaksudkan dinastinya—muncul 25 kali. (1 Samuel 16:13; 20:16) Namun, hingga akhir-akhir ini, tidak ada bukti jelas di luar Alkitab bahwa Daud pernah ada. Apakah Daud hanya tokoh fiktif belaka?
Pada tahun 1993, suatu tim arkeolog, yang dipimpin oleh Profesor Avraham Biran, menemukan sesuatu yang menakjubkan, yang dilaporkan dalam Israel Exploration Journal. Di lokasi bukit purba yang disebut Tel Dan, di bagian utara dari Israel, mereka menemukan sebuah batu basal. Pada batu tersebut terpahat kata-kata ”Rumah Daud” dan ”Raja Israel”.2 Inskripsi ini, yang berasal dari abad kesembilan SM, konon adalah bagian dari sebuah monumen kemenangan yang didirikan oleh orang-orang Aram—musuh Israel yang tinggal di sebelah timur. Mengapa inskripsi purba ini begitu penting?
Berdasarkan laporan Profesor Biran dan rekan sekerjanya, Profesor Joseph Naveh, sebuah artikel dalam Biblical Archaeology Review menyatakan, ”Baru pertama kali nama Daud ditemukan dalam suatu inskripsi purba di luar Alkitab.”3a Hal lain lagi juga patut diperhatikan sehubungan dengan inskripsi ini. Istilah ”Rumah Daud” ditulis dalam satu kata. Seorang ahli bahasa, Profesor Anson Rainey menjelaskan, ”Sebuah pemisah kata . . . sering kali dihilangkan, terutama pada kombinasi kata yang merupakan nama yang lazim digunakan. ’Rumah Daud’ pasti merupakan nama politis dan geografis yang lazim digunakan pada pertengahan abad kesembilan SM.”5 Maka Raja Daud dan dinastinya terbukti sangat terkenal di dunia purba.
Apakah Niniwe—kota besar negeri Asiria yang disebutkan di dalam Alkitab—benar-benar ada? Pada awal abad ke-19, beberapa kritik Alkitab menolak untuk mempercayainya. Namun pada tahun 1849, Sir Austen Henry Layard menemukan reruntuhan istana Raja Sanherib di Kuyunjik, lokasi yang terbukti sebagai bagian dari Niniwe purba. Dengan demikian, kritik-kritik tersebut dibungkamkan. Namun reruntuhan ini menyingkapkan lebih banyak hal lagi. Di tembok-tembok dari sebuah ruangan yang terpelihara baik, terdapat relief yang memperlihatkan dikuasainya sebuah kota yang berkubu kuat, dengan para tawanannya dipaksa berbaris di hadapan raja penakluk. Di atas relief sang raja, terdapat sebuah inskripsi, ”Sanherib, raja dunia, raja Asiria, duduk di atas takhta-nîmedu dan menginspeksi jarahan (yang diambil) dari Lakhis (La-ki-su).”6
Relief dan inskripsi ini, yang dapat dilihat di British Museum, selaras dengan catatan Alkitab tentang dikuasainya kota Lakhis di Yudea oleh Sanherib, yang dicatat di 2 Raja 18:13, 14. Mengomentari pentingnya penemuan ini, Layard menulis, ”Sebelum adanya penemuan-penemuan ini, siapa yang akan percaya bahwa ini mungkin atau tidak mustahil, bahwa di bawah timbunan tanah dan sampah yang menandai lokasi Niniwe, akan ditemukan sejarah peperangan antara Hizkia [raja Yehuda] dengan Sanherib, yang ditulis oleh Sanherib sendiri pada saat kejadiannya, dan meneguhkan bahkan perincian yang lebih saksama dari catatan Alkitab?”7
Para arkeolog telah menemukan banyak prasasti—tembikar, reruntuhan bangunan, lempeng-lempeng tanah liat, uang logam, dokumen, monumen, dan inskripsi—yang meneguhkan kesaksamaan Alkitab. Para penggali telah menemukan kota Kasdim yang bernama Ur, pusat perdagangan dan agama tempat Abraham tinggal.8 (Kejadian 11:27-31) Tawarikh Nabonidus, yang ditemukan pada abad ke-19, menggambarkan kejatuhan Babilon ke tangan Kores Agung pada tahun 539 SM, suatu peristiwa yang diceritakan dalam Daniel pasal 5.9 Sebuah inskripsi (fragmen-fragmen yang disimpan di British Museum) ditemukan di sebuah lengkungan di Tesalonika purba memuat nama-nama dari para penguasa kota yang digambarkan sebagai ”politarki”, sebuah kata yang tidak dikenal dalam kesusastraan Yunani klasik namun digunakan oleh Lukas, salah seorang penulis Alkitab.10 (Kisah 17:6, catatan kaki NW bahasa Inggris) Dengan demikian kesaksamaan Lukas terbukti benar dalam hal ini—sebagaimana halnya dalam perincian-perincian lain.—Bandingkan Lukas 1:3.
Akan tetapi, para arkeolog, tidak selalu sependapat satu sama lain, apalagi dengan Alkitab. Meskipun demikian, Alkitab itu sendiri memuat bukti yang kuat bahwa ia adalah buku yang dapat dipercaya.
Disajikan dengan Terus Terang
Para sejarawan yang jujur bukan hanya mencatat kemenangan (seperti inskripsi sehubungan dengan direbutnya Lakhis oleh Sanherib) namun juga kekalahan, tidak hanya keberhasilan namun juga kegagalan, tidak hanya kekuatan namun juga kelemahan. Tidak banyak sejarah duniawi yang mencerminkan kejujuran demikian.
Sehubungan dengan para sejarawan Asiria, Daniel D. Luckenbill menjelaskan, ”Sering kali, jelas terlihat bahwa keangkuhan kerajaan menuntut dimanipulasinya kesaksamaan sejarah.”11 Sebagai ilustrasi ”keangkuhan kerajaan” demikian, tawarikh Raja Ashurnasirpal dari Asiria bermegah, ”Akulah sang raja, akulah tuan, aku ditinggikan, aku perkasa, aku dihormati, aku dimuliakan, aku berkuasa, aku tak kenal gentar, aku seberani singa, dan aku pahlawan!”12 Apakah saudara menerima segala sesuatu yang saudara baca dalam tawarikh semacam itu sebagai sejarah yang akurat?
Sebagai kontras, para penulis Alkitab mempertunjukkan keterusterangan yang menyegarkan. Musa, pemimpin Israel, dengan terus terang melaporkan kelemahan dari saudaranya, Harun, dari kakak perempuannya, Miryam, serta dari keponakannya Nadab dan Abihu, dan dari bangsanya, dan juga kesalahan-kesalahannya sendiri. (Keluaran 14:11, 12; 32:1-6; Imamat 10:1, 2; Bilangan 12:1-3; 20:9-12; 27:12-14) Kesalahan-kesalahan serius dari Raja Daud tidak ditutup-tutupi melainkan dicatat—dan itu dibuat sewaktu Daud masih memerintah sebagai raja. (2 Samuel, pasal 11 dan 24) Matius, penulis dari buku yang menggunakan namanya, memberitahukan bagaimana para rasul (termasuk dirinya) bertikai mempersoalkan kedudukan pribadi mereka dan bagaimana mereka meninggalkan Yesus pada malam ia ditangkap. (Matius 20:20-24; 26:56) Para penulis dari surat-surat dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen dengan terus terang mengakui adanya problem-problem, termasuk perbuatan seksual yang amoral dan pertikaian, dalam beberapa sidang Kristen masa awal. Dan mereka berbicara terus terang dalam menanggulangi problem-problem tersebut.—1 Korintus 1:10-13; 5:1-13.
Pelaporan yang terbuka dan terus terang semacam itu memperlihatkan kepedulian yang tulus terhadap kebenaran. Karena para penulis Alkitab bersedia melaporkan informasi yang tidak menyenangkan tentang orang-orang yang mereka kasihi, bangsa mereka, dan bahkan diri mereka sendiri, bukankah itu suatu alasan kuat untuk mempercayai tulisan-tulisan mereka?
Saksama dalam Perincian
Dalam persidangan pengadilan, kredibilitas keterangan seorang saksi sering kali ditentukan berdasarkan fakta-fakta sepele. Keselarasan dalam perincian sepele dapat membuktikan bahwa keterangan itu akurat dan jujur, sedangkan perbedaan serius dapat menyingkapkannya sebagai sesuatu yang dikarang-karang. Di lain pihak, kisah yang terlalu rapi—yang setiap perincian kecil dengan cermat diatur—mungkin juga mengindikasikan suatu keterangan palsu.
Bagaimana jika ”keterangan” dari para penulis Alkitab dinilai dalam hal ini? Para penulis Alkitab mempertunjukkan konsistensi yang luar biasa. Terdapat keselarasan bahkan pada perincian-perincian yang kecil. Akan tetapi, keselarasan ini bukan hasil rekayasa yang cermat, sampai-sampai menimbulkan kecurigaan akan adanya kolusi. Jelaslah tidak didapati adanya persekongkolan sehubungan dengan kebetulan-kebetulan yang sering kali ditulis dengan selaras dan tanpa disengaja. Pertimbangkan beberapa contoh.
Penulis Alkitab Matius menulis, ”Dan Yesus, ketika tiba di rumah Petrus, melihat ibu mertuanya berbaring dan sakit demam.” (Matius 8:14) Matius di sini menyediakan sebuah perincian yang menarik namun tidak penting: Petrus telah menikah. Fakta sepele ini didukung oleh Paulus, yang menulis, ”Kami mempunyai wewenang untuk membawa serta seorang saudari sebagai istri, sama seperti yang lain-lain dari antara rasul-rasul dan . . . Kefas, bukan?”b (1 Korintus 9:5) Ikatan kalimatnya memperlihatkan bahwa Paulus sedang membela dirinya terhadap kritik yang tidak beralasan. (1 Korintus 9:1-4) Jelaslah, fakta kecil ini—bahwa Petrus menikah—dikemukakan Paulus bukan untuk mendukung kesaksamaan kisah Matius, namun disampaikan secara tidak sengaja.
Keempat penulis Injil—Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes—mencatat bahwa pada malam Yesus ditahan, salah seorang muridnya menarik pedang dan memukul seorang budak imam besar, menetak telinga pria itu. Hanya Injil Yohanes melaporkan perincian yang tampaknya tidak perlu, ”Nama budak itu Malkhus.” (Yohanes 18:10, 26) Mengapa hanya Yohanes saja yang memberitahukan nama pria itu? Dalam beberapa ayat berikut, catatannya menyediakan fakta sepele yang tidak dinyatakan di ayat lain mana pun: Yohanes ”dikenal oleh imam besar”. Ia juga dikenal oleh rumah tangga imam besar; hamba-hambanya mengenal baik dia, dan ia mengenal baik mereka. (Yohanes 18:15, 16) Maka, adalah wajar bahwa Yohanes menyebutkan nama dari pria yang terluka, sedangkan para penulis Injil lainnya, yang tidak mengenal pria itu, tidak menulisnya.
Kadang-kadang, keterangan terperinci diabaikan di sebuah kisah namun terdapat di tempat lain oleh pernyataan yang dibuat secara kebetulan. Misalnya, catatan Matius tentang persidangan Yesus di hadapan Sanhedrin Yahudi mengatakan bahwa beberapa orang yang hadir ”menampar mukanya, sambil mengatakan, ’Bernubuatlah kepada kami, hai Kristus. Siapakah yang memukulmu?’” (Matius 26:67, 68) Mengapa mereka meminta Yesus untuk ’bernubuat’ siapa yang memukulnya, padahal sang pemukul berdiri di sana di hadapannya? Matius tidak menjelaskannya. Namun dua penulis Injil lain menyediakan perincian yang diabaikan: para penganiaya Yesus menyelubungi mukanya sebelum ia ditampar. (Markus 14:65; Lukas 22:64) Matius menyajikan bahannya tanpa mempedulikan apakah setiap perincian kecil perlu dimasukkan.
Injil Yohanes memberitahukan tentang sebuah peristiwa ketika suatu kumpulan besar berkumpul untuk mendengar Yesus mengajar. Menurut catatannya, sewaktu Yesus melihat kumpulan orang, ”ia mengatakan kepada Filipus, ’Di manakah kita akan membeli roti agar mereka dapat makan?’” (Yohanes 6:5) Dari semua murid yang hadir, mengapa Yesus bertanya kepada Filipus di mana mereka dapat membeli roti? Sang penulis tidak mengatakannya. Namun, dalam kisah yang paralel, Lukas melaporkan bahwa peristiwa ini terjadi di dekat Betsaida, sebuah kota di pantai utara dari Laut Galilea, dan sebelumnya di Injil Yohanes dikatakan bahwa ”Filipus berasal dari Betsaida”. (Yohanes 1:44; Lukas 9:10) Maka masuk akal jika Yesus bertanya kepada seseorang yang kampung halamannya tidak jauh dari situ. Keselarasan antara perincian-perinciannya sungguh menakjubkan, namun jelaslah tanpa disengaja.
Dalam beberapa kasus, diabaikannya beberapa perincian justru menambah kredibilitas dari penulis Alkitab. Misalnya, penulis dari 1 Raja-Raja memberitahukan tentang musim kering yang hebat di Israel. Begitu hebatnya hal itu sehingga raja tidak dapat menemukan cukup air dan rumput untuk memelihara hidup kawanan kuda dan bagalnya. (1 Raja 17:7; 18:5) Namun, kisah yang sama melaporkan bahwa nabi Elia memerintahkan untuk membawa kepadanya cukup banyak air ke Gunung Karmel (untuk digunakan sehubungan dengan korban) untuk mengisi parit yang membatasi areal seluas kira-kira 1.000 meter persegi. (1 Raja 18:33-35) Di tengah-tengah musim kering, dari mana semua air itu berasal? Penulis 1 Raja-Raja tidak menjelaskannya. Akan tetapi, siapa pun yang tinggal di Israel mengetahui bahwa Karmel berada di pesisir Laut Tengah, sebagaimana belakangan ditunjukkan secara kebetulan dalam kisah ini. (1 Raja 18:43) Oleh karena itu, air laut tentu saja dapat diperoleh dengan mudah. Jika buku yang ternyata terperinci ini hanyalah fiksi berkedok fakta, untuk apa penulisnya, yang dalam kasus itu pastilah seorang penipu yang cerdas, membiarkan hal yang tampak membingungkan dalam ayat tersebut?
Maka apakah Alkitab dapat dipercaya? Para arkeolog telah menemukan cukup banyak prasasti untuk meneguhkan bahwa Alkitab merujuk kepada orang-orang yang benar-benar ada, tempat yang benar-benar ada, dan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Akan tetapi, yang bahkan lebih kuat lagi adalah bukti-bukti yang terdapat di dalam Alkitab itu sendiri. Para penulis yang terus terang tidak mengecualikan siapa pun—bahkan diri mereka sendiri—sewaktu mencatat fakta-fakta yang pahit. Konsistensi internal dari tulisan-tulisan ini, termasuk kebetulan-kebetulannya yang tanpa direkayasa, memberikan ”keterangan” bernada kebenaran yang jelas. Dengan ”tanda keautentikan yang pasti” demikian, Alkitab tentulah buku yang dapat saudara percayai.
[Catatan Kaki]
a Setelah penemuan itu, Profesor André Lemaire melaporkan bahwa sebuah rekonstruksi baru dari sebaris tulisan yang rusak pada prasasti Mesa (yang juga disebut Batu Moab), yang ditemukan pada tahun 1868, menyingkapkan bahwa prasasti itu juga mengacu kepada ”Rumah Daud”.4
b ”Kefas” adalah bahasa Semit untuk ”Petrus”.—Yohanes 1:42.
[Gambar di hlm. 15]
Fragmen Tel Dan
[Gambar di hlm. 16, 17]
Relief dinding Asiria menggambarkan pengepungan atas Lakhis, yang disebutkan di 2 Raja 18:13, 14
-
-
Apakah Buku Ini Selaras dengan Sains?Buku bagi Semua Orang
-
-
Apakah Buku Ini Selaras dengan Sains?
Agama tidak selalu bersahabat dengan sains. Pada abad-abad yang lalu, beberapa teolog menentang penemuan-penemuan ilmiah bila mereka merasa bahwa penafsiran Alkitab mereka terancam karenanya. Namun apakah sains sebenarnya musuh Alkitab?
SEANDAINYA para penulis Alkitab menyatakan dukungan kepada pandangan ilmiah yang paling populer pada zaman mereka, maka hasilnya adalah sebuah buku yang sarat dengan ketidaksaksamaan ilmiah yang sangat mencolok. Namun para penulis tidak mendukung konsepsi keliru yang tidak ilmiah semacam itu. Sebaliknya, mereka menulis sejumlah pernyataan yang bukan hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga bertentangan langsung dengan pendapat-pendapat yang diterima pada zaman itu.
Bagaimana Bentuk Bumi?
Pertanyaan itu telah menarik perhatian manusia selama ribuan tahun. Pandangan yang umum pada zaman purba adalah bahwa bumi ini rata. Misalnya, orang-orang Babilon percaya bahwa alam semesta merupakan sebuah kotak atau sebuah ruangan dengan bumi sebagai lantainya. Para imam Wedha dari India membayangkan bahwa bumi ini rata dan bahwa hanya satu sisinya yang didiami. Salah satu suku primitif di Asia menggambarkan bumi sebagai suatu nampan yang besar.
Sudah semenjak abad keenam SM, filsuf Yunani bernama Pythagoras berteori bahwa karena bulan dan matahari berbentuk bulat, bumi juga pasti bulat. Aristoteles (abad keempat SM) belakangan setuju, dengan menjelaskan bahwa kebulatan bumi dibuktikan oleh gerhana bulan. Bayangan bumi pada bulan berbentuk lengkungan.
Akan tetapi, konsep tentang bumi yang rata (dengan hanya sisi sebelah atasnya didiami) tidak lenyap seluruhnya. Ada yang tidak dapat menerima implikasi logis dari bentuk bumi yang bulat—konsep antipode.a Lactantius, seorang apologis Kristen dari abad keempat M, mencemooh gagasan tersebut. Ia bernalar, ”Apakah ada orang yang sedemikian bodohnya untuk percaya bahwa ada manusia yang jejak kakinya berada di atas kepala mereka? . . . bahwa tanaman dan pohon-pohon tumbuh ke bawah? bahwa hujan, dan salju, serta hujan es jatuh ke atas?”2
Konsep antipode menjadi suatu dilema bagi beberapa teolog. Beberapa teori berpendapat bahwa kalaupun terdapat orang-orang yang berada di antipode, mereka tidak mungkin dapat berhubungan dengan manusia-manusia di belahan bumi lainnya, karena laut terlalu luas untuk diarungi atau karena daerah panas yang tidak dapat dilewati yang meliputi khatulistiwa. Maka dari mana asalnya orang-orang di antipode? Karena bingung, beberapa teolog memilih untuk percaya bahwa tidak mungkin ada orang-orang di antipode, atau bahkan, seperti pendapat Lactantius, bahwa bumi ini memang tidak berbentuk bulat!
Meskipun demikian, konsep tentang bentuk bumi yang bulat itulah yang menang, dan pada akhirnya konsep itu diterima secara luas. Akan tetapi, baru pada permulaan era antariksa di abad ke-20 ini manusia dapat mengadakan perjalanan cukup jauh ke luar angkasa untuk meneguhkan melalui pengamatan langsung bahwa bumi berbentuk bola.b
Dan bagaimana pendirian Alkitab dalam permasalahan ini? Pada abad kedelapan SM, sewaktu pandangan yang umum adalah bahwa bumi ini rata, berabad-abad sebelum para filsuf Yunani berteori bahwa bumi ini tampaknya bulat, dan ribuan tahun sebelum manusia melihat bola bumi dari luar angkasa, nabi Ibrani, Yesaya, menyatakan dengan kesederhanaan yang luar biasa, ”Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi.” (Yesaya 40:22) Kata Ibrani chugh, di sini diterjemahkan ”bulatan”, juga dapat diterjemahkan sebagai ”bola”.3 Terjemahan Alkitab lain berbunyi, ”bola bumi” (Douay Version) dan ”bumi yang bulat”.—Moffatt.c
Penulis Alkitab Yesaya menghindari mitos yang umum tentang bumi. Sebaliknya, ia menulis sebuah pernyataan yang tidak terancam oleh kemajuan penemuan ilmiah.
Apa yang Menopang Bumi?
Pada zaman purba, manusia dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan lain tentang kosmos: Bumi ini terletak di mana? Apa yang menopang matahari, bulan, dan bintang? Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hukum gravitasi universal, yang diformulasikan oleh Isaac Newton dan diterbitkan pada tahun 1687. Gagasan bahwa benda-benda luar angkasa sebenarnya tergantung pada ruang hampa tidak diketahui oleh mereka. Maka, penjelasan mereka sering kali memberikan kesan bahwa terdapat suatu wujud objek atau suatu unsur sebagai penopang bumi dan benda-benda angkasa lain di udara.
Misalnya, sebuah teori purba, yang kemungkinan berasal dari orang-orang yang tinggal di sebuah pulau, adalah bahwa bumi diliputi oleh air dan bumi mengapung di air ini. Orang-orang Hindu membayangkan bahwa bumi memiliki beberapa fondasi, satu di atas yang lain. Bumi terletak di atas empat ekor gajah, gajah-gajah berdiri di atas sebuah kura-kura yang sangat besar, kura-kura berdiri di atas ular yang besar sekali, dan ular yang bergelung mengapung di perairan universal. Empedocles, seorang filsuf Yunani dari abad kelima SM, percaya bahwa bumi terletak di atas sebuah pusaran angin dan bahwa pusaran angin ini menyebabkan pergerakan dari benda-benda angkasa.
Di antara pandangan yang paling berpengaruh adalah pandangan Aristoteles. Meskipun ia berteori bahwa bumi ini bulat, ia menyangkal bahwa bumi dapat bergantung pada ruang hampa. Dalam bukunya On the Heavens, sewaktu membuktikan kekeliruan konsep bahwa bumi terletak di atas air, ia mengatakan, ”Bukanlah sifat air, ataupun juga sifat bumi, untuk berada di udara; harus ada sesuatu untuk menopangnya.”4 Maka, apa yang ”menopang” bumi? Aristoteles mengajarkan bahwa matahari, bulan, dan bintang terpasang pada permukaan sebuah bulatan keras yang transparan. Bulatan terletak di dalam bulatan, sedangkan bumi—tidak bergerak—merupakan pusatnya. Seraya bulatan-bulatan ini berputar di dalam satu sama lain, objek-objek yang terpasang padanya—matahari, bulan, dan planet-planet—bergerak di langit.
Penjelasan Aristoteles tampaknya masuk akal. Jika benda-benda angkasa tidak terpasang erat pada sesuatu, bagaimana mereka dapat bertahan di udara? Pandangan dari Aristoteles yang dihormati diterima sebagai fakta selama kira-kira 2.000 tahun. Menurut The New Encyclopædia Britannica, pada abad ke-16 dan ke-17 ajarannya ”dianugerahi status dogma agama” di mata gereja.5
Dengan ditemukannya teleskop, para astronom mulai mempertanyakan teori Aristoteles. Namun, jawabannya membingungkan mereka sampai Sir Isaac Newton menjelaskan bahwa planet-planet bergantung di ruang hampa, ditopang di orbitnya oleh suatu daya yang tidak kelihatan—gravitasi. Itu tampaknya luar biasa, dan beberapa rekan sekerja Newton merasa sulit percaya bahwa antariksa ini ternyata hampa, sebagian besar kosong tanpa unsur.d6
Apa yang dikatakan Alkitab berkenaan pertanyaan ini? Hampir 3.500 tahun yang lalu, Alkitab dengan sangat jelas mengatakan bahwa bumi ini bergantung ”pada kehampaan”. (Ayub 26:7) Dalam bahasa Ibrani asli, kata ”pada kehampaan” (beli-mahʹ) yang digunakan di sini secara harfiah berarti ”tanpa apa pun”.7 Contemporary English Version menggunakan pernyataan, ”pada ruang hampa”.
Kebanyakan orang pada zaman itu sama sekali tidak menggambarkan bumi sebagai sebuah planet yang bergantung ”pada ruang hampa”. Namun, jauh sebelum zamannya, para penulis Alkitab mencatat sebuah pernyataan yang masuk akal secara ilmiah.
Alkitab dan Ilmu Pengetahuan Medis—Apakah Selaras Satu Sama Lain?
Ilmu pengetahuan medis modern telah banyak mengajar kita tentang penyebaran dan pencegahan penyakit. Kemajuan-kemajuan medis pada abad ke-19 telah memperkenalkan praktek medis antisepsis—kebersihan untuk meniadakan infeksi. Hasilnya dramatis. Infeksi dan kematian prematur mengalami penurunan drastis.
Akan tetapi, para tabib purba tidak sepenuhnya mengerti bagaimana penyakit menyebar, mereka juga tidak menyadari pentingnya sanitasi dalam mencegah penyakit. Itu tidak mengherankan mengingat banyak dari praktek-praktek medis mereka tampak tidak beradab menurut standar modern.
Salah satu peninggalan naskah medis tertua adalah Papirus Eber, suatu himpunan pengetahuan medis Mesir, yang berasal dari sekitar tahun 1550 SM. Gulungan ini memuat 700 macam pengobatan untuk berbagai penyakit ”mulai dari gigitan buaya sampai kuku kaki yang sakit”.8 The International Standard Bible Encyclopaedia mengatakan, ”Pengetahuan medis dari para tabib ini semata-mata bersifat empiris, sebagian besar bersifat gaib dan sama sekali tidak ilmiah.”9 Kebanyakan dari pengobatannya tidak efektif, beberapa darinya justru sangat berbahaya. Untuk mengobati luka, salah satu resep menyarankan agar mengoleskan campuran yang terbuat dari kotoran manusia dengan zat-zat lainnya.10
Naskah dari pengobatan medis Mesir ini ditulis hampir bersamaan waktu dengan buku-buku pertama Alkitab, yang mencakup Hukum Musa. Musa, yang lahir pada tahun 1593 SM, dibesarkan di Mesir. (Keluaran 2:1-10) Sebagai anggota dari rumah tangga Firaun, ia ”diajar dalam segala hikmat orang Mesir”. (Kisah 7:22) Ia kenal baik dengan ”tabib-tabib” Mesir. (Kejadian 50:1-3) Apakah praktek-praktek medis mereka yang tidak efektif dan berbahaya mempengaruhi tulisan-tulisannya?
Tidak. Sebagai kontras, Hukum Musa mencakup peraturan-peraturan sanitasi yang lebih maju dibandingkan dengan zamannya. Misalnya, sebuah hukum sehubungan dengan perkemahan militer menuntut untuk mengubur tinja jauh dari perkemahan. (Ulangan 23:13) Ini merupakan tindakan pencegahan yang sangat maju. Hal ini turut melindungi air bersih dari kontaminasi dan menyediakan perlindungan terhadap lalat pembawa sigelosis dan penyakit-penyakit diare lain yang masih merenggut jutaan nyawa setiap tahun di negeri-negeri tempat kondisi sanitasi masih buruk.
Hukum Musa memuat peraturan-peraturan sanitasi lain yang melindungi Israel terhadap penyebaran penyakit menular. Seseorang yang memiliki atau diduga memiliki penyakit yang menular harus dikarantinakan. (Imamat 13:1-5) Pakaian atau wadah yang bersentuhan dengan binatang yang telah mati bukan karena dibunuh (barangkali karena penyakit) harus dicuci sebelum digunakan kembali atau dimusnahkan. (Imamat 11:27, 28, 32, 33) Siapa pun yang menyentuh mayat dianggap najis dan harus menjalani prosedur pembersihan yang mencakup mencuci pakaiannya dan mandi. Selama periode najis tujuh hari, ia harus menghindari kontak fisik dengan orang-orang lain.—Bilangan 19:1-13.
Aturan sanitasi ini menyingkapkan hikmat yang tidak dimiliki oleh para tabib dari bangsa-bangsa sekitarnya pada saat itu. Ribuan tahun sebelum ilmu pengetahuan kedokteran mengetahui tentang cara penyebaran penyakit, Alkitab telah menetapkan langkah-langkah pencegahan yang masuk akal sebagai perlindungan terhadap penyakit. Tidak heran, Musa dapat mengatakan bahwa orang-orang Israel pada zamannya rata-rata hidup sampai 70 atau 80 tahun.e—Mazmur 90:10.
Saudara mungkin mengakui bahwa pernyataan-pernyataan Alkitab yang disebutkan di atas saksama secara ilmiah. Namun ada pernyataan-pernyataan lain di dalam Alkitab yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Apakah itu membuat Alkitab bertentangan dengan sains?
Menerima Keterangan yang Tidak Dapat Dibuktikan
Suatu pernyataan yang tidak dapat dibuktikan tidak selalu berarti palsu. Pembuktian ilmiah dibatasi oleh kesanggupan manusia untuk menemukan bukti-bukti yang cukup dan untuk menafsirkan data dengan tepat. Namun beberapa kebenaran tidak dapat dibuktikan karena tidak terdapat peninggalan barang bukti, bukti-buktinya tidak jelas atau belum tersingkap, atau kemampuan dan keahlian ilmiah belum memadai untuk sampai pada kesimpulan yang tidak dapat disangkal. Mungkinkah ini yang terjadi dengan beberapa pernyataan Alkitab yang kurang memiliki bukti-bukti fisik yang independen?
Misalnya, referensi Alkitab tentang suatu wilayah yang tidak kelihatan yang didiami oleh makhluk-makhluk roh; itu tidak dapat dibuktikan—atau disangkal—secara ilmiah. Demikian pula peristiwa-peristiwa yang bersifat mukjizat yang disebutkan di dalam Alkitab. Tidak tersedia cukup bukti geologis yang jelas sehubungan dengan Air Bah sedunia pada zaman Nuh, yang dapat meyakinkan sebagian orang. (Kejadian, pasal 7) Haruskah kita menyimpulkan bahwa Air Bah tidak terjadi? Peristiwa-peristiwa bersejarah dapat dikaburkan oleh waktu dan perubahan. Maka bukankah ada kemungkinan bahwa ribuan tahun dari kegiatan geologi telah melenyapkan banyak bukti tentang Air Bah?
Memang, Alkitab memuat pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dibuktikan atau disangkal oleh bukti-bukti fisik yang tersedia. Namun haruskah hal itu mengejutkan kita? Alkitab bukanlah buku pelajaran sains. Akan tetapi, Alkitab adalah buku kebenaran. Kita telah membahas bukti-bukti kuat bahwa para penulisnya adalah pria-pria yang berintegritas dan jujur. Dan sewaktu mereka menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan sains, kata-kata mereka akurat dan sepenuhnya bebas dari teori ”ilmiah” purba yang belakangan terbukti sebagai mitos belaka. Dengan demikian sains bukanlah musuh Alkitab. Ada alasan kuat untuk mempertimbangkan apa yang Alkitab katakan dengan pikiran terbuka.
[Catatan Kaki]
a ”Antipode . . . adalah dua tempat yang terletak di belahan bumi yang berlawanan. Suatu garis yang lurus di antaranya melewati pusat bumi. Dalam bahasa Yunani, kata antipode berarti kaki ke kaki. Telapak kaki dari dua orang yang berdiri di antipode yang berlawanan berada pada jarak yang paling dekat satu sama lain.”1—The World Book Encyclopedia.
b Berbicara secara teknik, bumi ini tidak bulat sempurna; bumi sedikit rata pada kedua kutubnya.
c Selain itu, hanya objek yang berbentuk bulat tampak sebagai suatu lingkaran dari setiap sudut pandangan. Sebuah piringan yang rata akan lebih sering kelihatan berbentuk elips, bukan lingkaran.
d Suatu pandangan yang terkemuka pada zaman Newton adalah bahwa alam semesta dipenuhi dengan cairan—suatu ”sup” kosmik—dan bahwa pusaran air dalam cairan ini membuat planet-planet berputar.
e Pada tahun 1900, harapan hidup di banyak negeri Eropa dan Amerika Serikat kurang dari 50 tahun. Semenjak itu, harapan hidup meningkat secara dramatis bukan hanya berkat kemajuan medis dalam mengendalikan penyakit melainkan juga berkat sanitasi dan kondisi hidup yang lebih baik.
[Blurb di hlm. 21]
Suatu pernyataan yang tidak dapat dibuktikan tidak selalu berarti palsu
[Gambar di hlm. 18]
Ribuan tahun sebelum manusia melihat bola bumi dari luar angkasa, Alkitab menyebutnya ”bulatan bumi”
[Gambar di hlm. 20]
Sir Isaac Newton menjelaskan bahwa planet-planet ditopang dalam orbit mereka oleh gravitasi
-
-
Buku yang Praktis bagi Kehidupan ModernBuku bagi Semua Orang
-
-
Buku yang Praktis bagi Kehidupan Modern
Buku-buku yang memberikan nasihat sangat populer dalam dunia dewasa ini. Namun buku-buku itu cenderung menjadi ketinggalan zaman dan segera direvisi atau diganti. Bagaimana dengan Alkitab? Buku ini dirampungkan hampir 2.000 tahun yang lalu. Namun, berita aslinya tidak pernah diperbaiki atau diperbarui. Mungkinkah buku semacam itu memuat bimbingan yang praktis bagi zaman kita?
BEBERAPA orang mengatakan tidak. ”Tidak seorang pun akan menganjurkan penggunaan buku pelajaran kimia edisi tahun 1924 untuk dipakai dalam mata pelajaran kimia zaman modern,” tulis Dr. Eli S. Chesen, sewaktu menjelaskan mengapa ia merasa bahwa Alkitab ketinggalan zaman.1 Tampaknya, argumen ini masuk akal. Lagi pula, manusia telah belajar banyak tentang kesehatan mental dan perilaku manusia sejak Alkitab ditulis. Jadi bagaimana sebuah buku kuno semacam itu dapat relevan bagi kehidupan modern?
Prinsip-Prinsip yang Abadi
Meskipun benar bahwa zaman telah berganti, kebutuhan dasar manusia tetap sama. Orang-orang sepanjang sejarah membutuhkan kasih dan kasih sayang. Mereka ingin berbahagia dan menjalani kehidupan yang penuh arti. Mereka membutuhkan nasihat tentang cara mengatasi tekanan-tekanan ekonomi, cara menyukseskan perkawinan, dan cara menanamkan nilai-nilai moral dan etika yang baik dalam diri anak-anak mereka. Alkitab memuat nasihat yang menangani kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.—Pengkhotbah 3:12, 13; Roma 12:10; Kolose 3:18-21; 1 Timotius 6:6-10.
Nasihat Alkitab mencerminkan pemahaman yang kuat akan watak manusia. Pertimbangkan beberapa contoh dari prinsip-prinsipnya yang spesifik, yang abadi, yang praktis bagi kehidupan modern.
Pedoman Praktis bagi Perkawinan
Menurut UN Chronicle, keluarga, ”adalah unit organisasi manusia yang paling tua dan paling dasar; mata rantai yang paling menentukan antargenerasi”. Akan tetapi, ’mata rantai yang menentukan’ ini sedang berantakan dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. ”Dalam dunia dewasa ini,” tulis Chronicle, ”banyak keluarga menghadapi tantangan yang mengecilkan hati, yang mengancam kesanggupan mereka untuk berfungsi dan, sebenarnya, untuk tetap bertahan.”2 Nasihat apa yang diberikan Alkitab untuk membantu unit keluarga tetap bertahan?
Pertama-tama, Alkitab banyak berbicara tentang bagaimana seharusnya suami dan istri memperlakukan satu sama lain. Misalnya, sehubungan dengan para suami, Alkitab mengatakan, ”Suami-suami harus mengasihi istri mereka seperti tubuh mereka sendiri. Ia yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri, sebab tidak seorang pun pernah membenci dagingnya sendiri; tetapi ia memberi makan dan menyayanginya.” (Efesus 5:28, 29) Seorang istri dinasihati untuk ”memiliki respek yang dalam kepada suaminya”.—Efesus 5:33.
Pertimbangkan implikasi dari menerapkan nasihat Alkitab semacam itu. Seorang suami yang mengasihi istrinya ’seperti tubuhnya sendiri’ tidak akan membenci atau brutal terhadap sang istri. Ia tidak memukul sang istri secara fisik, juga tidak menganiayanya secara verbal atau secara emosi. Sebaliknya, ia memperlakukannya dengan penghargaan dan timbang rasa seperti yang ia lakukan terhadap dirinya sendiri. (1 Petrus 3:7) Hasilnya, sang istri merasa dikasihi dan tenteram dalam perkawinannya. Dengan demikian sang suami memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya tentang bagaimana wanita hendaknya diperlakukan. Di lain pihak, seorang istri yang memiliki ”respek yang dalam” kepada suaminya tidak akan menjatuhkan martabat suaminya dengan terus mengkritik atau meremehkan sang suami. Karena sang istri merespeknya, sang suami merasa dipercaya, diterima, dan dihargai.
Apakah nasihat semacam itu praktis dalam dunia modern ini? Menarik bahwa orang-orang yang mengkhususkan diri untuk meneliti masalah keluarga zaman sekarang telah mengambil kesimpulan yang sama. Seorang pengurus dari sebuah program konseling keluarga menyatakan, ”Keluarga-keluarga paling sehat yang saya kenal adalah yang memiliki hubungan timbal balik yang kuat dan penuh kasih di antara ayah dan ibu . . . Hubungan dasar yang kuat ini tampaknya memberikan rasa aman dalam diri anak-anak.”3
Selama bertahun-tahun, nasihat Alkitab tentang perkawinan telah terbukti jauh lebih dapat diandalkan daripada nasihat dari begitu banyak penasihat perkawinan, sebaik apa pun niatnya. Lagi pula, belum lama berselang, banyak pakar menganjurkan perceraian sebagai jalan keluar yang cepat dan mudah untuk perkawinan yang tidak bahagia. Dewasa ini, banyak pakar mendesak orang-orang untuk mempertahankan perkawinan mereka, jika memang mungkin. Namun cara berpikir ini baru muncul setelah banyak kerugian terjadi.
Sebagai kontras, Alkitab memberikan nasihat yang seimbang dan dapat diandalkan tentang pokok perkawinan. Alkitab mengakui bahwa beberapa keadaan yang ekstrem membuat perceraian diizinkan. (Matius 19:9) Pada waktu yang sama, Alkitab mengutuk perceraian yang didasarkan atas alasan sepele. (Maleakhi 2:14-16) Alkitab juga mengutuk ketidaksetiaan dalam perkawinan. (Ibrani 13:4) Menurut Alkitab, perkawinan menyangkut komitmen, ”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu [”berpaut”, ”NW”] dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”a—Kejadian 2:24; Matius 19:5, 6.
Dewasa ini nasihat Alkitab tentang perkawinan masih relevan sama seperti ketika Alkitab ditulis. Bila suami dan istri memperlakukan satu sama lain dengan kasih serta respek dan memandang perkawinan sebagai hubungan yang eksklusif, perkawinan kemungkinan besar akan tetap bertahan—dan demikian juga dengan keluarga.
Pedoman Praktis bagi Para Orang-Tua
Beberapa dekade yang lalu, banyak orang-tua—didorong oleh ”gagasan-gagasan inovatif” berkenaan pelatihan anak—berpikir bahwa ”melarang adalah hal yang terlarang”.8 Mereka khawatir bahwa menetapkan batas-batas kepada anak-anak akan menyebabkan trauma dan frustrasi. Para penasihat pendidikan anak, yang bermaksud baik sekalipun, berkukuh bahwa orang-tua hendaknya hanya memberikan koreksi yang lembut kepada anak-anak mereka. Namun banyak dari para pakar tersebut kini mempertimbangkan kembali peranan disiplin, dan para orang-tua yang peduli kini mencari kejelasan atas masalah ini.
Akan tetapi, selama ini Alkitab telah memberikan nasihat yang jelas dan masuk akal tentang membesarkan anak. Hampir 2.000 tahun yang lalu, Alkitab mengatakan, ”Bapak-bapak, janganlah membuat anak-anakmu kesal, tetapi teruslah besarkan mereka dalam disiplin dan pengaturan-mental dari Yehuwa.” (Efesus 6:4) Kata benda Yunani yang diterjemahkan ”disiplin” berarti ”asuhan, pelatihan, pengajaran”.9 Alkitab mengatakan bahwa disiplin, atau instruksi semacam itu, merupakan bukti dari kasih orang-tua. (Amsal 13:24) Anak-anak akan membuat kemajuan pesat bila mereka mempunyai pedoman moral yang jelas dan pertimbangan yang matang untuk membedakan apa yang benar dan yang salah. Disiplin merupakan petunjuk bahwa orang-tua mereka peduli terhadap mereka dan terhadap pribadi macam apa mereka kelak.
Namun wewenang orang-tua—”tongkat didikan”—tidak boleh kejam.b (Amsal 22:15; 29:15) Alkitab memperingatkan para orang-tua, ”Jangan keterlaluan dalam mengoreksi anak-anakmu, jika demikian engkau akan membekukan hati mereka.” (Kolose 3:21, Phillips) Juga diakui bahwa hukuman fisik biasanya bukan metode mengajar yang paling efektif. Amsal 17:10 mengatakan, ”Suatu hardikan lebih masuk pada orang berpengertian dari pada seratus pukulan pada orang bebal.” Selain itu, Alkitab menganjurkan disiplin sebagai tindakan pencegahan. Di Ulangan 11:19, orang-tua didesak untuk memanfaatkan waktu santai guna menanamkan nilai-nilai moral dalam diri anak-anak mereka.—Lihat juga Ulangan 6:6, 7.
Nasihat Alkitab yang abadi kepada orang-tua memang jelas. Anak-anak membutuhkan disiplin yang penuh kasih dan konsisten. Pengalaman praktis memperlihatkan bahwa nasihat demikian benar-benar ampuh.c
Menanggulangi Perintang-Perintang yang Memecah-belah Orang-Orang
Orang-orang dewasa ini dipecah-belah oleh perintang ras, nasional, dan etnik. Tembok pemisah buatan manusia ini turut menyebabkan pembantaian atas manusia-manusia yang tidak bersalah dalam peperangan di seluruh dunia. Jika dilihat dari kacamata sejarah, sungguh suram prospek bagi pria dan wanita, yang berbeda ras dan bangsa, untuk memandang dan memperlakukan satu sama lain dengan sederajat. ”Jalan keluarnya,” kata seorang negarawan Afrika, ”ada di hati kita.”11 Namun mengubah hati manusia tidaklah mudah. Akan tetapi, pertimbangkanlah bagaimana berita Alkitab memikat hati dan mengembangkan sikap sederajat.
Ajaran Alkitab bahwa Allah ”menjadikan dari satu pria setiap bangsa manusia” menutup kemungkinan timbulnya gagasan yang mengunggulkan ras tertentu. (Kisah 17:26) Ini memperlihatkan bahwa sebenarnya hanya ada satu ras—ras manusia. Alkitab selanjutnya menganjurkan kepada kita untuk ’menjadi peniru Allah’, yang tentang-Nya dikatakan, ”[Ia] tidak berat sebelah, tetapi dalam setiap bangsa orang yang takut kepadanya dan mengerjakan keadilbenaran dapat diterima olehnya.” (Efesus 5:1; Kisah 10:34, 35) Bagi orang-orang yang mencamkan Alkitab dengan serius dan yang benar-benar berupaya untuk hidup selaras dengan ajarannya, pengetahuan ini mendatangkan pengaruh yang mempersatukan. Pengaruhnya menjangkau tempat yang paling dalam, di lubuk hati manusia, menyingkirkan perintang buatan manusia yang memecah-belah orang-orang. Perhatikan sebuah contoh.
Sewaktu Hitler mengobarkan perang di seluruh Eropa, hanya ada satu kelompok orang Kristen—Saksi-Saksi Yehuwa—yang dengan teguh menolak untuk ikut serta dalam pembantaian atas manusia-manusia yang tidak bersalah. Mereka tidak bersedia ”mengangkat pedang” terhadap sesama manusia. Mereka mengambil pendirian ini karena hasrat mereka untuk menyenangkan Allah. (Yesaya 2:3, 4; Mikha 4:3, 5) Mereka benar-benar percaya akan apa yang Alkitab ajarkan—bahwa tidak ada bangsa atau ras yang lebih baik daripada yang lain. (Galatia 3:28) Karena pendirian mereka yang cinta damai, Saksi-Saksi Yehuwa termasuk di antara para narapidana pertama dalam kamp-kamp konsentrasi.—Roma 12:18.
Namun tidak semua yang mengaku mengikuti Alkitab mengambil pendirian demikian. Tidak lama setelah Perang Dunia II, Martin Niemöller, seorang pemimpin agama Protestan asal Jerman menulis, ”Siapa pun yang hendak menyalahkan Allah karena [peperangan] tidak mengenal, atau tidak ingin mengenal, Firman Allah. . . . Gereja-gereja Kristen, selama berabad-abad, telah berulang-kali memberikan diri untuk memberkati peperangan, tentara, dan senjata serta . . . berdoa dengan cara yang bertentangan dengan sifat-sifat Kristen untuk membinasakan musuh-musuh mereka di medan perang. Semua ini adalah kesalahan kita dan kesalahan bapak-bapak leluhur kita, namun Allah sama sekali tidak dapat dipersalahkan. Dan kita orang-orang Kristen dewasa ini merasa sangat malu terhadap apa yang disebut sekte Siswa-Siswa Alkitab yang Sungguh-Sungguh [Saksi-Saksi Yehuwa], yang ratusan dan ribuan anggotanya masuk ke kamp-kamp konsentrasi dan [bahkan] mati karena mereka menolak dinas militer dan menolak untuk menembak manusia.”12
Sampai hari ini, Saksi-Saksi Yehuwa terkenal karena persaudaraan mereka, yang mempersatukan orang-orang Arab dan Yahudi, Kroasia dan Serbia, Hutu dan Tutsi. Namun, Saksi-Saksi dengan senang hati mengakui bahwa persatuan demikian dimungkinkan, bukan karena mereka lebih unggul daripada orang-orang lain, namun karena mereka dimotivasi oleh kuasa dari berita Alkitab.—1 Tesalonika 2:13.
Pedoman Praktis yang Memajukan Kesehatan Mental yang Baik
Kesehatan fisik seseorang sering kali dipengaruhi oleh taraf kesehatan mental dan emosi. Misalnya, penelitian ilmiah telah meneguhkan pengaruh yang membahayakan dari kemarahan. ”Sebagian besar bukti yang ada memperlihatkan bahwa orang yang cepat marah lebih berisiko untuk mengidap penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah dan jantung (maupun penyakit lainnya) karena berbagai alasan, termasuk berkurangnya dukungan sosial, meningkatnya dampak fisik sewaktu marah, dan meningkatnya pemuasan diri dalam perilaku yang membahayakan kesehatan,” kata Dr. Redford Williams, Direktur dari Riset Perilaku di Pusat Medis Duke University, dan istrinya Virginia Williams, dalam buku mereka Anger Kills.13
Ribuan tahun sebelum penelitian-penelitian ilmiah tersebut, Alkitab, dalam istilah yang sederhana namun jelas, mengaitkan antara keadaan emosi dan kesehatan jasmani kita, ”Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” (Amsal 14:30; 17:22) Dengan bijaksana, Alkitab menasihati, ”Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu,” dan ”Janganlah lekas-lekas marah dalam hati.”—Mazmur 37:8; Pengkhotbah 7:9.
Alkitab juga memuat nasihat yang masuk akal untuk mengendalikan kemarahan. Misalnya, Amsal 19:11 (NW) mengatakan, ”Pemahaman seseorang pasti memperlambat kemarahannya, dan adalah keindahan di pihaknya untuk memaafkan pelanggaran.” Kata Ibrani untuk ”pemahaman” berasal dari sebuah kata kerja yang menarik perhatian kepada ”pengetahuan akan alasan” terjadinya sesuatu.14 Nasihat yang bijaksana adalah, ”Berpikirlah sebelum bertindak.” Berupaya memahami alasan-alasan dasar di balik cara orang-orang lain berbicara atau bertindak dapat membantu seseorang untuk lebih toleran—dan tidak cepat marah.—Amsal 14:29.
Satu bagian lain dari nasihat yang praktis terdapat di Kolose 3:13, yang mengatakan, ”Teruslah bertahan dengan sabar menghadapi satu sama lain dan ampuni satu sama lain dengan lapang hati.” Kejengkelan-kejengkelan kecil merupakan bagian dari kehidupan. Pernyataan ”teruslah bertahan dengan sabar” memaksudkan agar kita mentoleransi hal-hal yang tidak kita sukai dalam diri orang-orang lain. ’Mengampuni’ berarti membiarkan kekesalan berlalu. Kadang-kadang adalah bijaksana untuk membiarkan perasaan-perasaan pahit berlalu daripada memupuknya; menyimpan kemarahan hanya akan menambah beban kita.—Lihat kotak ”Pedoman Praktis Bagi Hubungan Antarmanusia”.
Dewasa ini, ada banyak sumber nasihat dan bimbingan. Namun Alkitab benar-benar unik. Nasihatnya tidak sekadar teori, saran-sarannya juga tidak mencelakakan kita. Sebaliknya, hikmatnya telah terbukti ”sangat dapat dipercaya”. (Mazmur 93:5, NW) Selain itu, nasihat Alkitab bersifat abadi. Meskipun Alkitab dirampungkan hampir 2.000 tahun yang lalu, kata-katanya masih berlaku. Dan itu berlaku dengan pengaruh yang setara, tidak soal warna kulit atau negeri tempat kita tinggal. Kata-kata Alkitab juga memiliki kuasa—kuasa untuk mengubah orang-orang menjadi lebih baik. (Ibrani 4:12) Dengan demikian, membaca buku tersebut dan menerapkan prinsip-prinsipnya dapat meningkatkan mutu kehidupan saudara.
[Catatan Kaki]
a Kata Ibrani da·vaqʹ, yang dalam hal ini diterjemahkan ”berpaut”, ”mengandung arti berdampingan dengan seseorang dalam kasih sayang dan keloyalan”.4 Dalam bahasa Yunani, kata yang diterjemahkan ’akan berpaut’ di Matius 19:5 dihubungkan dengan kata yang berarti ”menempel”, ”menyemen”, ”menyatukan dengan kuat”.5
b Di zaman Alkitab, kata ”tongkat” (Bahasa Ibrani, sheʹvet) berarti sebuah ”batang” atau ”tongkat”, seperti yang digunakan oleh seorang gembala.10 Dalam ikatan kalimat ini, tongkat wewenang mengartikan bimbingan yang pengasih, bukan kekejaman yang brutal.—Bandingkan Mazmur 23:4.
c Lihat pasal ”Latihlah Anak Saudara Sejak Bayi”, ”Membantu Anak Remaja Saudara Berhasil”, ”Adakah Seorang Pemberontak di Rumah?”, dan ”Lindungi Keluarga Saudara Terhadap Pengaruh yang Merusak” dalam buku Rahasia Kebahagiaan Keluarga, yang diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.
[Blurb di hlm. 24]
Alkitab memberikan nasihat yang jelas dan masuk akal sehubungan dengan kehidupan keluarga
[Kotak di hlm. 23]
Ciri-Ciri Keluarga yang Sehat
Beberapa tahun yang lalu, seorang pendidik dan penasihat keluarga mengadakan survei berskala luas. Dalam survei ini, lebih dari 500 penasihat profesional yang menangani masalah-masalah keluarga diminta mengomentari sifat-sifat yang mereka amati terdapat dalam keluarga yang ”sehat”. Menarik, di antara sifat-sifat yang paling umum yang dicantumkan adalah yang lama berselang telah disarankan oleh Alkitab.
Kebiasaan komunikasi yang baik berada di urutan yang pertama, termasuk metode-metode yang efektif dalam menyelesaikan perselisihan. Suatu kebijakan umum yang terdapat dalam keluarga-keluarga yang sehat adalah ”jangan sampai seorang pun pergi tidur dengan perasaan marah terhadap satu sama lain”, tulis sang penulis dari survei tersebut.6 Namun, lebih dari 1.900 tahun yang lalu, Alkitab menasihati, ”Jadilah murka, namun jangan melakukan dosa; janganlah matahari terbenam seraya kamu dalam keadaan terpancing menjadi marah.” (Efesus 4:26) Pada zaman Alkitab, hari-hari dihitung dari matahari terbenam sampai matahari terbenam. Jadi, lama sebelum para pakar modern membuat penyelidikan atas keluarga-keluarga, Alkitab dengan bijaksana menasihatkan: Selesaikan dengan segera masalah-masalah yang memecah-belah—sebelum suatu hari berakhir dan memulai hari yang lain.
Keluarga-keluarga yang sehat ”tidak akan memulai pokok pembicaraan yang dapat menimbulkan kemarahan persis menjelang mereka meninggalkan rumah atau menjelang tidur”, tulis sang penulis. ”Berulang-kali saya mendengar mereka mengatakan tentang ’waktu yang tepat’.”7 Keluarga-keluarga demikian tanpa disengaja mengumandangkan amsal Alkitab yang dicatat lebih dari 2.700 tahun yang lalu, ”Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.” (Amsal 15:23; 25:11) Metafora ini mungkin menyinggung perhiasan emas dalam bentuk apel yang ditempatkan di atas nampan perak berukir—harta yang mahal dan indah pada zaman Alkitab. Ini menyampaikan keindahan dan nilai dari kata-kata yang diucapkan pada waktu yang tepat. Dalam keadaan-keadaan yang penuh tekanan, kata-kata yang tepat yang diucapkan pada waktu yang tepat sangat berharga.—Amsal 10:19.
[Kotak di hlm. 26]
Pedoman Praktis bagi Hubungan Antarmanusia
”Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam.” (Mazmur 4:5) Dalam sebagian besar kasus yang menyangkut pelanggaran kecil, adalah bijaksana untuk menahan kata-kata saudara, dengan demikian menghindari konflik emosi.
”Ada orang yang lancang mulutnya [”berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu”, ”NW”] seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan.” (Amsal 12:18) Berpikirlah sebelum saudara berbicara. Kata-kata yang tanpa dipikir lebih dahulu dapat melukai orang lain dan menghancurkan persahabatan.
”Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” (Amsal 15:1) Dibutuhkan pengendalian diri untuk memberikan tanggapan dengan lemah lembut, karena haluan demikian sering kali mencegah berkembangnya problem dan mendukung hubungan yang penuh damai.
”Memulai pertengkaran adalah seperti membuka jalan air; jadi undurlah sebelum perbantahan mulai.” (Amsal 17:14) Adalah bijaksana untuk menjauhkan diri saudara dari keadaan yang mengundang amarah sebelum saudara hilang kesabaran.
”Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh.” (Pengkhotbah 7:9) Emosi sering kali mendahului tindakan. Orang yang cepat tersinggung adalah bodoh; karena haluannya dapat membawa kepada kata-kata atau tindakan yang gegabah.
[Gambar di hlm. 25]
Saksi-Saksi Yehuwa termasuk di antara narapidana pertama dalam kamp konsentrasi
-
-
Buku NubuatBuku bagi Semua Orang
-
-
Buku Nubuat
Orang-orang berminat akan masa depan. Mereka berupaya mendapat prediksi yang handal mengenai banyak bidang, mulai dari prakiraan cuaca hingga indikator ekonomi. Akan tetapi, sewaktu mereka bertindak berdasarkan prakiraan tersebut, mereka sering kali kecewa. Alkitab memuat banyak ramalan, atau nubuat. Seberapa akuratkah nubuat-nubuat tersebut? Apakah itu adalah sejarah yang ditulis jauh di muka? Ataukah itu hanyalah sejarah berkedok nubuat?
NEGARAWAN Roma bernama Cato (234-149 SM) dilaporkan mengatakan, ”Saya bertanya-tanya apakah seorang peramal tidak akan tertawa bila melihat peramal yang lain.”1 Memang, sampai saat ini, banyak orang merasa skeptis terhadap para peramal, astrolog, dan juru ramal lain. Sering kali, ramalan mereka menggunakan istilah-istilah yang tidak jelas dan memungkinkan timbulnya begitu banyak ragam penafsiran.
Namun, bagaimana dengan nubuat-nubuat Alkitab? Apakah ada alasan untuk merasa skeptis? Atau apakah ada dasar untuk merasa yakin?
Bukan Sekadar Perkiraan yang Cerdas
Orang-orang yang berpengetahuan boleh jadi mencoba menggunakan trend yang dapat diobservasi untuk membuat spekulasi-spekulasi akurat sehubungan dengan masa mendatang, namun spekulasi-spekulasi itu tidak pernah seratus persen akurat. Buku Future Shock mengatakan, ”Setiap masyarakat menghadapi bukan hanya serangkaian masa depan yang belum tentu terjadi, melainkan juga serangkaian masa depan yang kemungkinan terjadi, dan suatu konflik sehubungan dengan masa depan yang sebaiknya terjadi.” Buku itu menambahkan, ”Tentu saja, tidak seorang pun dapat ’mengetahui’ masa depan dalam arti mutlak. Kita hanya dapat membuat sistematikanya dan memperdalam asumsi-asumsi kita serta berupaya menetapkan probabilitas terhadap asumsi-asumsi tersebut.”2
Namun para penulis Alkitab sebenarnya tidak ”menetapkan probabilitas terhadap asumsi-asumsi” tentang masa depan. Ramalan mereka juga tidak dapat dikesampingkan sebagaimana layaknya pernyataan yang tidak jelas, yang menimbulkan banyak ragam penafsiran. Sebaliknya, banyak nubuat mereka diutarakan dengan sangat jelas dan luar biasa spesifik, sering kali meramalkan perkara-perkara yang justru bertolak belakang dengan apa yang diperkirakan orang. Sebagai contoh, perhatikan apa yang Alkitab katakan jauh di muka tentang kota purba Babilon.
’Disapu Bersih dan Dipunahkan’
Babilon purba menjadi ”permata kerajaan-kerajaan”. (Yesaya 13:19, The New American Bible) Kota besar yang semrawut ini terletak strategis di jalur perdagangan antara Teluk Persia dan Laut Tengah, merupakan depot niaga bagi perdagangan darat dan laut antara Timur dan Barat.
Pada abad ketujuh SM, Babilon merupakan ibu kota dari Imperium Babilonia yang tampaknya mustahil ditaklukkan. Kota Babilon dilintasi oleh Sungai Efrat dan air sungai dimanfaatkan untuk mengairi suatu parit yang lebar dan dalam, serta suatu jaringan kanal. Selain itu, kota ini dilindungi oleh sistem tembok-tembok lapis dua yang kokoh, diperkuat oleh sejumlah menara pelindung. Tidak heran, penduduknya merasa aman.
Meskipun demikian, pada abad kedelapan SM, sebelum Babilon mencapai puncak kejayaannya, nabi Yesaya menubuatkan bahwa Babilon akan ’disapu bersih dan dipunahkan’. (Yesaya 13:19; 14:22, 23) Yesaya juga menggambarkan secara terperinci bagaimana Babilon akan tumbang. Para penyerbu akan ’mengeringkan’ sungai-sungainya—sumber air bagi sistem perlindungan paritnya—membuat kota tersebut sangat lemah. Yesaya bahkan memberitahukan nama sang penakluk—”Kores”, seorang raja Persia yang agung, ”yang di hadapannya gerbang-gerbang akan terbuka dan tidak ada pintu yang tertutup”.—Yesaya 44:27–45:2, The New English Bible.
Ini merupakan ramalan yang berani. Namun apakah ramalan itu terjadi? Sejarah menjawabnya.
”Tanpa Bertempur”
Dua abad setelah Yesaya mencatat nubuatnya, pada malam tanggal 5 Oktober 539 SM, bala tentara Media-Persia di bawah pimpinan Kores Agung berkemah di dekat Babilon. Namun orang-orang Babilon merasa aman-aman saja. Menurut sejarawan Yunani Herodotus (abad kelima SM), persediaan pangan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan selama bertahun-tahun.3 Mereka juga memiliki Sungai Efrat dan tembok-tembok Babilon yang perkasa untuk melindungi mereka. Meskipun demikian, pada malam itu juga, menurut Tawarikh Nabonidus, ”bala tentara Kores memasuki Babilon tanpa bertempur”.4 Bagaimana mungkin?
Herodotus menjelaskan bahwa di dalam kota, orang-orang ”sedang menari dan beria-ria pada suatu festival”.5 Akan tetapi, di luar sana, Kores telah mengalihkan air Sungai Efrat. Seraya permukaan air menurun, bala tentaranya berjalan menyusuri palung sungai, dengan air sebatas paha. Mereka berbaris melewati tembok-tembok menara dan memasuki apa yang disebut Herodotus ”gerbang-gerbang yang terbuka di sungai”, gerbang-gerbang yang dengan ceroboh dibiarkan terbuka.6 (Bandingkan Daniel 5:1-4; Yeremia 50:24; 51:31, 32.) Sejarawan-sejarawan lain, termasuk Xenophon (± 431–± 352 SM), serta batu bertulisan paku yang ditemukan oleh para arkeolog, meneguhkan kejatuhan mendadak Babilon ke tangan Kores.7
Dengan demikian, nubuat Yesaya tentang Babilon tergenap. Benarkah demikian? Mungkinkah bahwa ini sebenarnya bukan ramalan, melainkan tulisan yang dibuat setelah peristiwanya terjadi? Sebenarnya, pertanyaan ini pun dapat diajukan sehubungan dengan nubuat-nubuat Alkitab yang lain.
Sejarah Berkedok Nubuat?
Jika para nabi Alkitab—termasuk Yesaya—sekadar menulis kembali sejarah sehingga tampak seperti nubuat, maka pria-pria ini hanyalah penipu yang lihai. Namun, apa yang menjadi motif mereka melakukan muslihat demikian? Nabi-nabi yang sejati tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa mereka tidak dapat disuap. (1 Samuel 12:3; Daniel 5:17) Dan kita telah membahas bukti-bukti kuat bahwa para penulis Alkitab (yang kebanyakan di antaranya adalah para nabi) adalah pria-pria yang dapat dipercaya yang bersedia menyingkapkan bahkan kesalahan-kesalahan mereka sendiri yang memalukan. Tidaklah mungkin pria-pria semacam ini cenderung untuk melakukan penipuan yang rumit, menyamarkan sejarah sebagai nubuat.
Ada hal lain lagi yang perlu dipertimbangkan. Banyak nubuat Alkitab berisi kecaman tajam terhadap bangsa dari para nabi itu sendiri, termasuk para imam dan penguasanya. Yesaya, misalnya, mencela kondisi moral yang memprihatinkan dari orang-orang Israel—baik para pemimpin maupun rakyatnya—pada zamannya. (Yesaya 1:2-10) Nabi-nabi lain dengan penuh semangat menyingkapkan dosa-dosa para imam. (Zefanya 3:4; Maleakhi 2:1-9) Benar-benar sulit dimengerti mengapa mereka merekayasa nubuat berisi kecaman yang paling tajam terhadap bangsa mereka sendiri dan mengapa para imam bekerja sama dalam muslihat tersebut.
Selain itu, bagaimana mungkin para nabi—kalaupun mereka hanyalah penipu—mengumumkan hasil pemalsuan mereka? Melek huruf digalakkan di Israel. Semenjak usia dini, anak-anak diajarkan cara membaca dan menulis. (Ulangan 6:6-9) Pembacaan Alkitab pribadi sangat dianjurkan. (Mazmur 1:2) Ada pembacaan Tulisan-Tulisan Kudus untuk umum di sinagoga-sinagoga pada Sabat mingguan. (Kisah 15:21) Tampaknya sukar dipercaya bahwa suatu bangsa yang seluruhnya melek huruf, mengenal baik Tulisan-Tulisan Kudus, dapat diperdaya oleh tipu muslihat semacam itu.
Selain itu, masih ada hal lain lagi dalam nubuat Yesaya tentang kejatuhan Babilon. Nubuat itu memuat perincian yang sama sekali tidak mungkin ditulis setelah penggenapannya.
”Tidak Ada Penduduk untuk Seterusnya”
Apa yang akan terjadi atas Babilon setelah kejatuhannya? Yesaya menubuatkan, ”Tidak ada penduduk untuk seterusnya, dan tidak ada penghuni turun-temurun; orang Arab tidak akan berkemah di sana, dan gembala-gembala tidak akan membiarkan hewannya berbaring di sana.” (Yesaya 13:20) Sebenarnya, mungkin tampaknya aneh untuk meramalkan bahwa sebuah kota yang terletak sangat strategis akan secara permanen tidak dihuni. Mungkinkah kata-kata Yesaya ditulis setelah ia mengamati Babilon yang telantar?
Setelah diambil alih oleh Kores, Babilon yang berpenduduk—meskipun tidak lagi perkasa—masih berdiri selama berabad-abad. Ingatlah bahwa Gulungan Laut Mati mencakup sebuah salinan buku Yesaya yang lengkap dari abad kedua SM. Pada saat gulungan itu disalin, orang-orang Partia mengambil alih Babilon. Pada abad pertama M, terdapat permukiman orang-orang Yahudi di Babilon, dan Petrus sang penulis Alkitab mengunjungi kota tersebut. (1 Petrus 5:13) Pada saat itu, Gulungan Laut Mati Yesaya telah ada selama hampir dua abad. Maka, sejak abad pertama M, Babilon masih belum sepenuhnya telantar, namun buku Yesaya telah rampung lama berselang.a
Seperti yang dinubuatkan, Babilon pada akhirnya menjadi ”timbunan puing” belaka. (Yeremia 51:37) Menurut sarjana Ibrani Jerome (abad keempat M), pada zamannya Babilon merupakan tempat berburu yang di dalamnya ”segala jenis binatang buas” berkeliaran.9 Babilon tetap telantar sampai hari ini.
Yesaya sudah meninggal berabad-abad sebelum Babilon ditelantarkan. Namun puing-puing dari kota yang pernah sangat kuat ini, kira-kira 80 kilometer sebelah selatan Bagdad, di Irak modern, merupakan saksi bisu dari penggenapan kata-katanya, ”Tidak ada penduduk untuk seterusnya.” Pemulihan apa pun dari Babilon sebagai objek wisata mungkin dapat memikat para pengunjung, namun ’anak cucu dan anak cicit orang-orang Babilon’ sudah lenyap selamanya.—Yesaya 13:20; 14:22, 23.
Dengan demikian, yang diutarakan nabi Yesaya bukanlah ramalan yang tidak jelas yang dapat diberlakukan atas kejadian apa saja di masa depan. Yang ditulisnya pun bukan salinan sejarah yang dibuat tampak sebagai nubuat. Coba pikirkan: Untuk apa seorang penipu mempertaruhkan diri dengan ”bernubuat” tentang sesuatu yang sama sekali di luar kendalinya—bahwa Babilon yang perkasa tidak akan pernah lagi berpenghuni?
Nubuat tentang kejatuhan Babilon ini hanyalah satu contoh dari Alkitab.b Dari penggenapan atas nubuat-nubuat Alkitab, banyak orang melihat suatu petunjuk bahwa Alkitab pastilah berasal dari sumber yang lebih tinggi daripada manusia. Barangkali saudara akan setuju bahwa, setidak-tidaknya, buku tentang nubuat ini pantas diselidiki. Satu hal yang pasti: Terdapat perbedaan besar antara ramalan yang tidak jelas atau sensasional dari para peramal zaman modern dengan nubuat-nubuat dari Alkitab yang jelas, gamblang, dan spesifik.
[Catatan Kaki]
a Terdapat bukti kuat bahwa buku-buku dari Kitab-Kitab Ibrani—termasuk Yesaya—telah ditulis lama sebelum abad pertama M. Sejarawan Josephus (abad pertama M) menunjukkan bahwa kanon dari Kitab-Kitab Ibrani telah selesai lama sebelum zamannya.8 Selain itu, Septuaginta Yunani, suatu terjemahan dari Kitab-Kitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani, telah dimulai pada abad ketiga SM dan dirampungkan pada abad kedua SM.
b Untuk pembahasan lebih jauh tentang nubuat-nubuat Alkitab dan fakta-fakta sejarah yang mencatat penggenapannya, silakan lihat buku Alkitab—Firman dari Allah Atau dari Manusia?, yang diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc., halaman 117-33.
[Blurb di hlm. 28]
Apakah para penulis Alkitab adalah nabi yang akurat atau penipu yang lihai?
[Gambar di hlm. 29]
Puing-puing Babilon purba
-
-
Buku bagi Saudara?Buku bagi Semua Orang
-
-
Buku bagi Saudara?
”Membuat banyak buku tak akan ada akhirnya,” tulis Salomo kira-kira 3.000 tahun yang lalu. (Pengkhotbah 12:12) Dewasa ini, pengamatan tersebut masih sama benarnya seperti dahulu. Selain buku-buku klasik standar, ribuan buku baru dicetak setiap tahun. Dengan tersedianya begitu banyak buku yang dapat saudara pilih, mengapa saudara hendaknya membaca Alkitab?
BANYAK orang membaca buku untuk mencari hiburan atau untuk mendapat informasi, atau barangkali untuk keduanya. Demikian pula halnya dengan membaca Alkitab. Itu dapat menjadi pembacaan yang membangun, bahkan menghibur. Namun Alkitab bukan buku sembarang buku. Ia merupakan sumber pengetahuan yang unik.—Pengkhotbah 12:9, 10.
Alkitab menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah lama dipikirkan manusia—pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalu, masa sekarang, dan masa depan kita. Banyak orang bertanya-tanya: Dari mana kita berasal? Apa tujuan hidup ini? Bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan? Apakah akan selalu ada kehidupan di bumi? Seperti apa masa depan kita?
Secara keseluruhan, semua bukti kuat yang disajikan di brosur ini meneguhkan dengan jelas bahwa Alkitab akurat dan autentik. Kita telah membahas bagaimana nasihatnya yang praktis dapat membantu kita untuk menempuh kehidupan yang berarti dan bahagia dewasa ini. Karena jawaban-jawabannya yang memuaskan tentang masa sekarang, tentu saja jawabannya tentang masa lalu dan nubuat-nubuatnya tentang masa depan pantas diperhatikan dengan cermat.
Cara Mendapatkan Manfaat Maksimum
Banyak orang telah memulai pembacaan Alkitab namun berhenti sewaktu tertumbuk pada bagian-bagian yang sulit dimengerti. Jika itu yang saudara alami, ada beberapa hal yang dapat membantu.
Pilihlah terjemahan Alkitab yang handal dalam bahasa modern, seperti misalnya New World Translation of the Holy Scriptures.a Ada yang mulai dengan membaca kisah-kisah Injil mengenai kehidupan Yesus. Pengajarannya bijaksana, seperti yang terdapat dalam Khotbah di Gunung, mencerminkan pemahaman yang kuat akan watak manusia dan menggariskan cara memperbaiki kondisi kehidupan kita.—Lihat Matius pasal 5 sampai 7.
Selain membaca Alkitab secara keseluruhan, metode pengajaran menurut topik dapat sangat informatif. Ini mencakup analisis terhadap apa yang Alkitab katakan tentang topik tertentu. Saudara mungkin akan terkejut sewaktu mengetahui apa yang sebenarnya Alkitab katakan tentang topik-topik seperti jiwa, surga, bumi, kehidupan, dan kematian, serta tentang Kerajaan Allah—apa gerangan kerajaan itu dan apa yang akan dicapainya.b Saksi-Saksi Yehuwa memiliki suatu program pengajaran Alkitab menurut topik, yang disediakan secara cuma-cuma. Saudara dapat memperoleh keterangan tentang hal ini dengan menulis surat kepada Penerbit, menggunakan alamat yang cocok yang tertera di halaman 2.
Setelah menyelidiki bukti-buktinya, banyak orang berkesimpulan bahwa Alkitab berasal dari Allah, yang diidentifikasi sebagai ”Yehuwa” di dalam Alkitab. (Mazmur 83:18, NW) Saudara mungkin belum begitu yakin bahwa Alkitab berasal dari Allah. Kalau begitu, bagaimana jika saudara menyelidikinya sendiri? Kami yakin bahwa setelah mempelajarinya, merenungkannya, dan mungkin mengalami sendiri nilai praktis dari hikmatnya yang abadi, saudara akan merasakan bahwa Alkitab benar-benar buku bagi semua orang, dan khususnya—buku bagi saudara.
-