PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Perkawinan​—⁠Asal Mula dan Tujuannya
    Menara Pengawal (Edisi Pelajaran)—2016 | Agustus
    • Adam dan Hawa di taman Eden

      Perkawinan—Asal Mula dan Tujuannya

      ”Allah Yehuwa berfirman, ’Tidak baik apabila manusia terus seorang diri. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya.’”​—KEJ. 2:18.

      NYANYIAN: 36, 11

      APA JAWABAN SAUDARA?

      • Mengapa dapat dikatakan bahwa perkawinan adalah karunia dari Allah?

      • Jelaskan sejarah perkawinan dari zaman Adam sampai Yesus.

      • Apa saja yang perlu dipertimbangkan orang Kristen sewaktu memutuskan akan menikah atau tidak?

      1, 2. (a) Bagaimana asal mula perkawinan? (b) Apa yang disadari pria dan wanita pertama mengenai perkawinan? (Lihat gambar di awal artikel.)

      PERNIKAHAN adalah hal yang umum. Tapi, bagaimana asal mulanya dan apa tujuannya? Dengan mengetahui hal ini, kita akan punya pandangan yang benar tentang perkawinan dan berkatnya. Allah menciptakan manusia pertama, Adam, dan memintanya menamai binatang-binatang. Adam memperhatikan bahwa semua binatang punya pasangan, ”tetapi bagi manusia tidak ditemukan seorang penolong sebagai pelengkap dirinya”. Maka, Allah membuat Adam tertidur nyenyak, mengambil tulang rusuknya, dan menciptakan seorang wanita. Lalu, Yehuwa membawa wanita itu kepada Adam untuk menjadi istrinya. (Baca Kejadian 2:20-24.) Jadi, perkawinan adalah karunia dari Yehuwa.

      2 Ribuan tahun kemudian, Yesus mengulangi apa yang Yehuwa katakan di Taman Eden, ”Seorang pria akan meninggalkan bapaknya dan ibunya dan akan berpaut pada istrinya, dan keduanya akan menjadi satu daging.” (Mat. 19:4, 5) Karena Allah mengambil tulang rusuk Adam untuk menciptakan wanita pertama, pasangan itu pasti menyadari bahwa hubungan mereka sangat dekat. Yehuwa tidak pernah menginginkan suami dan istri bercerai atau memiliki lebih dari satu teman hidup dalam waktu bersamaan.

      PERKAWINAN ADALAH BAGIAN DARI TUJUAN YEHUWA

      3. Apa salah satu tujuan penting dari perkawinan?

      3 Adam senang dengan istrinya, yang ia namai Hawa. Hawa adalah pelengkap dan penolongnya. Adam dan Hawa akan berbahagia sebagai suami dan istri. (Kej. 2:18) Salah satu tujuan penting dari perkawinan adalah untuk memenuhi bumi. (Kej. 1:28) Anak-anak akan menyayangi orang tua mereka. Tapi, mereka akhirnya akan pergi untuk menikah dan membentuk keluarga sendiri. Manusia akan memenuhi bumi dan membuat seluruh bumi menjadi firdaus.

      4. Apa yang terjadi dengan perkawinan yang pertama?

      4 Perkawinan pertama menjadi rusak ketika Adam dan Hawa tidak menaati Yehuwa. Setan Si Iblis, ”ular yang semula”, menipu Hawa. Ia mengatakan bahwa Hawa bisa memiliki pengetahuan istimewa serta bisa memutuskan apa yang baik dan jahat dengan memakan buah dari ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”. Hawa tidak menghormati Adam sebagai kepala keluarga karena ia tidak bertanya dulu kepadanya sebelum memutuskan untuk makan buah itu. Dan, Adam tidak menaati Allah karena ia tidak menolak buah itu, tapi malah ikut memakannya.​—Pny. 12:9; Kej. 2:9, 16, 17; 3:1-6.

      5. Apa yang dapat kita pelajari dari tanggapan Adam dan Hawa terhadap Yehuwa?

      5 Sewaktu Yehuwa bertanya kepada mereka, Adam menyalahkan istrinya. Dia menjawab, ”Wanita yang kauberikan untuk mendampingi aku, dia memberi aku buah dari pohon itu, maka aku makan.” Lalu, Hawa menyalahkan ular yang telah menipunya. (Kej. 3:12, 13) Adam dan Hawa berdalih atas ketidaktaatan mereka. Yehuwa pun menghukum para pemberontak itu. Ini menjadi peringatan bagi kita! Agar perkawinan berhasil, suami istri harus menaati Yehuwa dan bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing.

      6. Apa arti dari Kejadian 3:15?

      6 Tidak soal apa yang Setan lakukan di Eden, Yehuwa memastikan agar manusia memiliki harapan. Harapan ini ada dalam nubuat pertama di Alkitab. (Baca Kejadian 3:15.) Menurut nubuat itu, Setan akan diremukkan oleh ”benih” dari ”wanita itu”. Banyak makhluk roh yang melayani di surga punya hubungan yang akrab dengan Allah. Mereka bagaikan istri bagi Yehuwa. Dia akan mengutus salah satu dari mereka untuk ”meremukkan” Iblis. Hasilnya, manusia yang taat bisa menikmati apa yang dihilangkan pasangan manusia pertama, yaitu kesempatan untuk hidup kekal di bumi sesuai dengan tujuan Yehuwa.​—Yoh. 3:16.

      7. (a) Apa yang terjadi dengan perkawinan sejak Adam dan Hawa memberontak? (b) Apa yang Alkitab minta dari suami istri?

      7 Pemberontakan Adam dan Hawa berdampak buruk atas perkawinan mereka dan semua perkawinan setelahnya. Misalnya, Hawa dan semua wanita akan merasakan sakit bersalin yang hebat. Wanita akan menuntut perhatian dari suaminya, tapi suaminya akan menguasai istrinya, bahkan ada yang menganiaya istrinya seperti yang kita lihat sekarang. (Kej. 3:16) Yehuwa ingin agar suami menjadi kepala keluarga yang pengasih. Dan, Ia ingin agar istri tunduk kepada suaminya. (Ef. 5:33) Jika pasangan Kristen mau bekerja sama, banyak masalah bisa diatasi.

      PERKAWINAN DARI ZAMAN ADAM SAMPAI AIR BAH

      8. Bagaimana perkawinan pada zaman Adam sampai Air Bah?

      8 Sebelum Adam dan Hawa mati, mereka memiliki anak-anak. (Kej. 5:4) Lalu, putra sulung mereka yang bernama Kain menikahi wanita yang berkerabat dengannya. Lamekh, keturunan Kain, adalah pria pertama yang disebutkan dalam Alkitab yang punya dua istri. (Kej. 4:17, 19) Dari zaman Adam sampai Nuh, hanya sedikit yang menyembah Yehuwa, yaitu Habel, Henokh, dan Nuh serta keluarganya. Alkitab mengatakan bahwa pada zaman Nuh, ”putra-putra dari Allah yang benar mulai memperhatikan bahwa anak-anak perempuan manusia itu elok parasnya. Lalu mereka mengambil istri-istri, yaitu semua yang mereka pilih”. Tapi, perbuatan ini tidak wajar. Mereka menghasilkan keturunan yang jahat dan bertubuh raksasa, yang disebut Nefilim. Pada masa itu, ”kejahatan manusia sangat banyak di bumi dan setiap kecenderungan niat hatinya selalu jahat semata-mata”.​—Kej. 6:1-5.

      9. Apa yang Yehuwa lakukan terhadap orang jahat pada zaman Nuh, dan apa pelajarannya bagi kita?

      9 Yehuwa menyatakan bahwa Ia akan membinasakan semua orang jahat dengan banjir besar. ”Nuh, seorang pemberita keadilbenaran” memperingatkan orang tentang itu. (2 Ptr. 2:5) Tapi, mereka mengabaikan peringatan Nuh karena terlalu sibuk dengan hidup mereka, termasuk soal menikah. Yesus menyamakan zaman Nuh dengan zaman kita. (Baca Matius 24:37-39.) Saat ini, kebanyakan orang tidak peduli dengan kabar baik tentang Kerajaan Allah. Kita menyampaikan kabar baik ini sebelum dunia yang bejat dihancurkan. Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari zaman Air Bah? Kita hendaknya tidak menganggap soal menikah dan memiliki anak menjadi begitu penting sehingga kita lupa bahwa hari Yehuwa sudah dekat.

      PERKAWINAN DARI ZAMAN AIR BAH SAMPAI ZAMAN YESUS

      10. (a) Di banyak kebudayaan, bagaimana pandangan orang terhadap kebejatan seksual? (b) Bagaimana perkawinan Abraham dan Sara menjadi teladan?

      10 Nuh dan tiga putranya hanya punya satu istri. Tapi setelah Air Bah, banyak pria punya lebih dari satu istri. Di banyak kebudayaan, kebejatan seksual sudah umum dan bahkan menjadi bagian dari tradisi agama. Ketika Abraham dan Sara pindah ke Kanaan, mereka tinggal di antara masyarakat amoral yang tidak menghormati perkawinan. Yehuwa menghancurkan kota Sodom dan Gomora karena masyarakatnya sangat amoral. Abraham berbeda dengan orang-orang itu. Dia adalah kepala keluarga yang baik, dan Sara adalah istri teladan yang tunduk kepada suaminya. (Baca 1 Petrus 3:3-6.) Abraham memastikan bahwa Ishak, putranya, menikahi wanita yang menyembah Yehuwa. Ishak juga berbuat yang sama terhadap Yakub, putranya. Belakangan, putra-putra Yakub menjadi nenek moyang dari 12 suku Israel.

      11. Bagaimana Hukum Musa melindungi orang Israel?

      11 Belakangan, Yehuwa membuat perjanjian dengan bangsa Israel. Ia memberi mereka Hukum Musa untuk melindungi suami istri. Misalnya, ada hukum tentang perkawinan, termasuk poligami. Agar ibadat mereka bersih, orang Israel tidak boleh menikah dengan yang tidak seiman. (Baca Ulangan 7:3, 4.) Jika ada masalah serius dalam perkawinan, para tua-tua akan membantu. Dan juga, ada hukum tentang ketidaksetiaan, kecemburuan, dan kecurigaan. Meski perceraian diizinkan, ada aturan yang melindungi setiap pasangan. Contohnya, suami bisa menceraikan istrinya karena ”sesuatu yang tidak pantas”. (Ul. 24:1) Alkitab tidak menjelaskan apa saja yang termasuk ”tidak pantas”. Tapi, suami tidak boleh memakai alasan sepele untuk menceraikan istrinya.​—Im. 19:18.

      JANGAN PERNAH MENGKHIANATI TEMAN HIDUP

      12, 13. (a) Pada zaman Maleakhi, bagaimana beberapa suami memperlakukan istri mereka? (b) Pada zaman sekarang, jika orang yang terbaptis berselingkuh dengan teman hidup orang lain, apa akibatnya?

      12 Pada zaman nabi Maleakhi, banyak orang Yahudi menceraikan istri mereka dengan berbagai alasan agar bisa menikahi wanita yang lebih muda atau yang tidak seiman. Pada zaman Yesus, orang Yahudi masih menceraikan istri ”atas dasar apa pun”. (Mat. 19:3) Allah Yehuwa membenci perceraian yang tidak sesuai dengan hukum-Nya.​—Baca Maleakhi 2:13-16.

      13 Sekarang, pengkhianatan dalam perkawinan tidak berterima bagi umat Yehuwa. Tapi, bisa jadi ada seorang terbaptis yang sudah menikah berzina dan bercerai agar nantinya bisa menikahi orang lain. Jika tidak bertobat, dia akan dipecat agar sidang tetap bersih. (1 Kor. 5:11-13) Untuk diterima kembali di sidang, orang itu harus ’menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan’. (Luk. 3:8; 2 Kor. 2:5-10) Tidak ditentukan berapa lama waktu harus berlalu agar seseorang bisa diterima kembali. Malah, bisa jadi dibutuhkan satu atau beberapa tahun untuk membuktikan bahwa orang itu sungguh-sungguh bertobat agar bisa diterima kembali. Dan setelahnya pun, dia masih harus ”berdiri di hadapan kursi penghakiman Allah” untuk membuktikan pertobatannya.​—Rm. 14:10-12; lihat The Watchtower 15 November 1979, hlm. 31-32.

      PERKAWINAN KRISTEN

      14. Apa tujuan dari Hukum secara keseluruhan?

      14 Bangsa Israel berada di bawah hukum Musa selama lebih dari 1.500 tahun. Hukum itu melindungi umat Allah. Misalnya, hukum itu berisi prinsip-prinsip yang berguna untuk menyelesaikan masalah keluarga, dan membimbing mereka kepada Mesias. (Gal. 3:23, 24) Setelah Yesus mati, Hukum itu berakhir dan Allah membuat pengaturan baru. (Ibr. 8:6) Beberapa hal yang diizinkan dalam Hukum Musa tidak lagi berlaku bagi orang Kristen.

      15. (a) Apa standar perkawinan dalam sidang Kristen? (b) Apa saja yang harus dipertimbangkan orang Kristen jika ia ingin bercerai?

      15 Orang Farisi pernah bertanya kepada Yesus tentang perkawinan. Yesus menjawab bahwa Allah mengizinkan orang Israel bercerai di bawah Hukum Musa meski itu bukan kehendak-Nya sejak awal. (Mat. 19:6-8) Jawaban Yesus memperlihatkan bahwa standar Allah yang semula untuk perkawinan menjadi standar bagi orang Kristen pada zaman sekarang. (1 Tim. 3:2, 12) Karena suami istri adalah ”satu daging”, mereka harus selalu hidup bersama. Mereka bisa tetap bersatu jika mereka mengasihi Allah dan saling mengasihi. Pasangan yang bercerai tanpa alasan perzinaan tidak boleh menikah lagi. (Mat. 19:9) Seseorang bisa saja mengampuni teman hidupnya yang amoral yang sudah bertobat. Itulah yang dilakukan nabi Hosea dan Yehuwa. Hosea mengampuni istrinya yang berzina, Gomer. Dan, Yehuwa mengampuni orang Israel yang bertobat. (Hos. 3:1-5) Selain itu, jika seseorang mendapati bahwa teman hidupnya berzina dan masih berhubungan seks dengan teman hidupnya yang bersalah, itu berarti bahwa dia telah mengampuni teman hidupnya itu. Jadi, tidak ada lagi dasar Alkitab untuk bercerai.

      16. Apa yang Yesus katakan tentang melajang?

      16 Yesus berkata bahwa amoralitas seksual adalah satu-satunya alasan bagi orang Kristen untuk bercerai. Lalu, ia menyebutkan tentang ”mereka yang memiliki karunia” untuk melajang. Yesus berkata, ”Biarlah dia yang dapat meluangkan tempat untuk itu meluangkan tempat untuk itu.” (Mat. 19:10-12) Banyak yang memilih untuk tidak menikah sebab mereka ingin berfokus melayani Yehuwa. Keputusan mereka harus dipuji!

      17. Apa yang perlu dipikirkan seseorang sewaktu memutuskan apakah ia akan menikah atau tidak?

      17 Seseorang perlu memikirkan baik-baik apakah ia akan menikah atau tidak. Ia perlu memutuskan apakah ia bisa melajang. Rasul Paulus menyarankan agar orang melajang. Tapi dia juga berkata, ”Karena meluasnya percabulan, biarlah setiap pria mempunyai istrinya sendiri dan setiap wanita mempunyai suaminya sendiri.” Paulus menambahkan, ”Jika mereka tidak mempunyai pengendalian diri, biarlah mereka menikah, karena lebih baik menikah daripada berkobar dengan nafsu.” Jadi, seseorang mungkin memutuskan untuk menikah agar terhindar dari kebiasaan bermasturbasi atau perbuatan amoral karena keinginan seksualnya yang kuat. Meski begitu, usia juga perlu dipertimbangkan. Paulus berkata, ”Jika seseorang berpikir bahwa ia berlaku tidak patut terhadap keperawanannya, jika itu sudah melewati mekarnya masa remaja, dan beginilah yang seharusnya dilakukan, biarlah ia melakukan apa yang ia inginkan; ia tidak berbuat dosa. Biarlah mereka menikah.” (1 Kor. 7:2, 9, 36; 1 Tim. 4:1-3) Jangan sampai seseorang merasa harus menikah hanya karena keinginan seksual yang kuat yang dirasakan oleh banyak anak muda. Dia mungkin belum cukup dewasa untuk memikul tanggung jawab perkawinan.

      18, 19. (a) Apa syarat bagi orang Kristen yang akan menikah? (b) Apa yang akan dibahas di artikel berikutnya?

      18 Pria dan wanita Kristen yang akan menikah harus sudah terbaptis dan mengasihi Yehuwa dengan sepenuh hati. Mereka juga harus benar-benar saling mencintai sehingga ingin menjalani kehidupan bersama. Yehuwa akan memberkati mereka karena mereka menaati nasihat untuk menikah ”dalam Tuan”. (1 Kor. 7:39) Dan, jika mereka terus mengikuti nasihat Alkitab, perkawinan mereka akan bahagia.

      19 Sekarang, kita hidup pada ”hari-hari terakhir”. Banyak orang tidak memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan agar perkawinan mereka bahagia. (2 Tim. 3:1-5) Di artikel berikutnya, kita akan membahas prinsip-prinsip Alkitab yang bagus agar orang Kristen bisa menikmati perkawinan yang bahagia, meski ada banyak tantangan. Dengan begitu, orang Kristen bisa terus melangkah di jalan yang menuju kehidupan abadi.​—Mat. 7:13, 14.

  • Membangun Perkawinan yang Bahagia
    Menara Pengawal (Edisi Pelajaran)—2016 | Agustus
    • Sepasang pengantin yang baru saja resmi menikah

      Membangun Perkawinan yang Bahagia

      ”Hendaklah kamu masing-masing . . . mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri; . . . istri harus memiliki respek yang dalam kepada suaminya.”​—EF. 5:33.

      NYANYIAN: 87, 3

      APA JAWABAN SAUDARA?

      • Tanggung jawab apa saja yang Allah berikan kepada suami dan istri?

      • Mengapa kasih dan kelembutan sangat penting dalam perkawinan?

      • Bagaimana Alkitab bisa membantu jika ada masalah dalam perkawinan?

      1. Meski perkawinan biasanya diawali dengan kebahagiaan, apa yang harus siap dihadapi suami istri? (Lihat gambar di awal artikel.)

      SAAT pengantin pria bertemu pengantin wanita pada hari pernikahan, kebahagiaan mereka tak terlukiskan. Semasa berpacaran, cinta mereka tumbuh subur sehingga mereka ingin menikah dan berjanji untuk saling setia. Setelah menikah dan mulai hidup bersama, mereka perlu membuat perubahan agar tetap bersatu. Yehuwa, Pencipta perkawinan, ingin agar suami istri bahagia. Maka, Ia memberikan nasihat yang bijaksana dalam Alkitab. (Ams. 18:22) Meski begitu, Alkitab memberi tahu bahwa manusia tidak sempurna yang menikah akan menghadapi masalah, atau ”kesengsaraan dalam daging mereka”. (1 Kor. 7:28) Bagaimana suami istri dapat memperkecil masalah? Dan, bagaimana orang Kristen dapat membangun perkawinan yang bahagia?

      2. Jenis kasih apa saja yang perlu diperlihatkan suami istri?

      2 Alkitab mengajar kita bahwa kasih adalah sifat yang penting. Dalam perkawinan harus ada beberapa jenis kasih. Misalnya, mereka perlu memperlihatkan kasih sayang dan cinta. Dan, jika mereka punya anak, kasih kepada anggota keluarga semakin penting. Tapi, yang dapat membuat perkawinan benar-benar bahagia adalah kasih yang berdasarkan prinsip Alkitab. Rasul Paulus menjelaskan jenis kasih ini dengan berkata, ”Hendaklah kamu masing-masing secara perorangan juga mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri; sebaliknya, istri harus memiliki respek yang dalam kepada suaminya.”​—Ef. 5:33.

      LEBIH MEMAHAMI TANGGUNG JAWAB SUAMI DAN ISTRI

      3. Cinta dalam perkawinan harus sekuat apa?

      3 Paulus menulis, ”Suami-suami, teruslah kasihi istrimu, sebagaimana Kristus juga mengasihi sidang jemaat dan menyerahkan dirinya baginya.” (Ef. 5:25) Pada zaman sekarang, orang Kristen meniru Yesus dengan saling mengasihi seperti Yesus mengasihi murid-muridnya. (Baca Yohanes 13:34, 35; 15:12, 13.) Cinta di antara suami istri harus sangat kuat sehingga mereka rela mati demi teman hidupnya. Tapi, sewaktu ada masalah besar, ada yang tidak mau berkorban demi teman hidupnya. Apa yang dapat membantu mereka? Kasih yang berdasarkan prinsip, yaitu kasih yang ”menanggung segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mempunyai harapan akan segala sesuatu, bertekun menanggung segala sesuatu”. Kasih seperti itu ”tidak berkesudahan”. (1 Kor. 13:7, 8) Suami istri harus ingat bahwa mereka telah berikrar untuk saling mencintai dan saling setia. Kalau mereka selalu ingat hal ini, mereka akan selalu meminta bantuan Yehuwa dan menyelesaikan masalah apa pun bersama-sama.

      4, 5. (a) Bagaimana seorang istri seharusnya memandang peranannya dalam keluarga? (b) Sebagai kepala keluarga, apa tanggung jawab suami? (c) Penyesuaian apa yang perlu dibuat oleh sepasang suami istri?

      4 Paulus menjelaskan tanggung jawab suami dan istri sebagai berikut, ”Hendaklah istri-istri tunduk kepada suami mereka sebagaimana kepada Tuan, karena suami adalah kepala atas istrinya sebagaimana Kristus juga adalah kepala atas sidang jemaat.” (Ef. 5:22, 23) Ini tidak berarti bahwa seorang suami lebih baik daripada istrinya. Yehuwa menganggap peran istri sangat berharga. Ini terlihat dari kata-kata-Nya, ”Tidak baik apabila manusia terus seorang diri. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya, sebagai pelengkap dirinya.” (Kej. 2:18) Seorang istri perlu menolong suaminya untuk menjadi kepala keluarga yang baik. Sebagai ”kepala atas sidang jemaat”, Yesus mengasihi sidangnya. Suami harus meniru Yesus dengan mengasihi istrinya. Dengan begitu, istrinya akan merasa aman sehingga ia lebih mudah menghormati dan mendukung suaminya.

      5 Istri Fred yang bernama Cathy mengakui, ”Sebelum menikah, semua hal saya urus sendiri. Setelah menikah, saya harus membuat penyesuaian dan belajar untuk mengandalkan suami saya. Ini tidak selalu mudah. Tapi, karena mengikuti nasihat Yehuwa, hubungan kami lebih dekat lagi.”[1] Fred berkata, ”Saya selalu sulit membuat keputusan. Setelah menikah, ini lebih sulit lagi karena saya harus memikirkan istri saya. Tapi, dengan berdoa meminta bimbingan Yehuwa dan mendengarkan saran istri saya, semakin mudah bagi saya untuk membuat keputusan. Saya merasa kami benar-benar tim yang kompak!”

      6. Bagaimana kasih menjadi ”ikatan pemersatu yang sempurna” sewaktu ada masalah dalam perkawinan?

      6 Hubungan suami istri bisa erat jika mereka ’terus bersabar seorang terhadap yang lain dan mengampuni satu sama lain dengan lapang hati’. Karena tidak sempurna, mereka berdua pasti membuat kesalahan. Tapi, mereka dapat belajar dari kesalahan mereka, belajar mengampuni, dan memperlihatkan kasih yang berdasarkan prinsip Alkitab. Kasih seperti ini adalah ”ikatan pemersatu yang sempurna”. (Kol. 3:13, 14) Kasih ini ditunjukkan dengan bersabar, berbaik hati, dan ”tidak mencatat kerugian”. (1 Kor. 13:4, 5) Jika ada perbedaan pendapat, mereka harus berupaya untuk segera menyelesaikannya pada hari itu juga. (Ef. 4:26, 27) Mereka harus rendah hati dan berani untuk bisa mengatakan ”Maaf ya, aku sudah buat kamu sedih”. Jika ini dilakukan, suami istri bisa menyelesaikan masalah dan menjadi semakin dekat.

      PENTINGNYA KELEMBUTAN

      7, 8. (a) Nasihat apa yang Alkitab berikan tentang hubungan seks dalam perkawinan? (b) Apa yang Alkitab katakan tentang bermesraan dalam perkawinan?

      7 Alkitab memberikan nasihat yang bagus agar suami istri punya pandangan yang benar tentang hubungan seks. (Baca 1 Korintus 7:3-5.) Suami istri harus mempertimbangkan perasaan dan kebutuhan satu sama lain. Jika seorang suami tidak lembut kepada istrinya, sang istri bisa jadi sulit menikmati hubungan seks. Suami harus memperlakukan istri ”sesuai dengan pengetahuan”. (1 Ptr. 3:7) Hubungan seks tidak boleh dipaksakan, tapi harus terjadi secara wajar. Pria sering kali lebih cepat terangsang daripada wanita. Tapi, hubungan seks seharusnya dilakukan ketika keduanya sama-sama siap.

      8 Alkitab tidak memberikan aturan khusus kepada suami istri tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam hal bermesraan dan berhubungan seks. Tapi, Alkitab menyebutkan pria dan wanita yang bermesraan. (Kid. 1:2; 2:6) Suami istri perlu saling bersikap lembut dan ini bisa ditunjukkan dengan bermesraan.

      9. Mengapa kita tidak boleh menaruh minat seksual terhadap siapa pun yang bukan teman hidup kita?

      9 Jika kita sangat mengasihi Allah dan sesama, kita tidak akan membiarkan siapa pun atau apa pun membahayakan perkawinan kita. Ada yang telah melemahkan atau bahkan merusak perkawinan mereka karena kecanduan pornografi. Kita perlu menolak pornografi dan tidak menaruh minat seksual kepada orang lain. Kita juga tidak akan melakukan apa pun yang bisa memberi kesan bahwa kita menggoda lawan jenis, karena itu tidak pengasih. Ingatlah bahwa Allah mengetahui semua pikiran dan tindakan kita. Dengan mengingat ini, kita akan semakin ingin menyenangkan Allah dan tetap setia kepada teman hidup kita.​—Baca Matius 5:27, 28; Ibrani 4:13.

      SEWAKTU MASALAH MUNCUL

      10, 11. (a) Seberapa banyak pasangan yang bercerai? (b) Apa kata Alkitab tentang perpisahan? (c) Apa yang akan membantu suami istri agar tidak cepat-cepat berpisah?

      10 Sewaktu masalah serius tidak bisa diatasi, ada pasangan yang memutuskan untuk berpisah atau bercerai. Di beberapa negeri, lebih dari 50 persen pasangan bercerai. Tentu saja, hal ini tidak umum di antara umat Allah. Tapi, semakin banyak pasangan Kristen menghadapi masalah serius dalam perkawinan mereka.

      11 Alkitab memberikan perintah ini, ”Seorang istri tidak [boleh] pergi dari suaminya; tetapi jika ia benar-benar harus pergi, hendaklah ia tetap tidak menikah atau jika tidak, rukun kembali dengan suaminya; dan seorang suami janganlah meninggalkan istrinya.” (1 Kor. 7:10, 11) Ada pasangan yang merasa bahwa masalah mereka begitu berat sehingga harus berpisah. Tapi, Yesus tidak menganggap enteng perpisahan. Setelah mengulangi apa yang awalnya Allah katakan tentang perkawinan, Yesus menambahkan, ”Apa yang telah Allah letakkan di bawah satu kuk hendaknya tidak dipisahkan manusia.” (Mat. 19:3-6; Kej. 2:24) Yehuwa ingin agar suami dan istri tetap bersama. (1 Kor. 7:39) Ingatlah bahwa kita semua bertanggung jawab kepada Yehuwa. Jadi, segeralah selesaikan masalah sebelum menjadi lebih parah.

      12. Apa saja yang dapat membuat suami istri ingin berpisah?

      12 Mengapa beberapa pasangan mengalami masalah serius? Ada yang merasa perkawinan mereka tidak sesuai harapan sehingga mereka kecewa atau marah. Sering kali, masalah muncul karena cara seseorang dibesarkan atau mengungkapkan perasaan tidak sama. Kadang ada ketidakcocokan dengan mertua dan ipar serta perbedaan pendapat dalam menggunakan uang dan membesarkan anak. Tapi, kita senang bahwa kebanyakan pasangan Kristen sanggup mengatasi masalah mereka karena mau mengikuti bimbingan Allah.

      13. Apa saja alasan untuk berpisah?

      13 Suami istri boleh berpisah karena alasan tertentu. Beberapa di antaranya adalah situasi ekstrem seperti teman hidup sengaja tidak dinafkahi, mendapat penganiayaan fisik yang hebat, dan tidak bisa beribadat kepada Yehuwa. Jika ada masalah besar, suami istri hendaknya meminta bantuan penatua. Para penatua punya banyak pengalaman dan dapat membantu mereka menerapkan nasihat Allah. Dan jika suami istri berdoa meminta roh kudus, mereka bisa mengikuti prinsip Alkitab dan memperlihatkan sifat-sifat Kristen.​—Gal. 5:22, 23.[2]

      14. Apa kata Alkitab kepada suami dan istri Kristen yang teman hidupnya bukan penyembah Yehuwa?

      14 Alkitab memperlihatkan bahwa ada alasan yang kuat bagi suami istri untuk tetap bersama-sama meski salah satu tidak menyembah Yehuwa. (Baca 1 Korintus 7:12-14.) Teman hidup yang tidak seiman ”disucikan” karena menikah dengan hamba Allah. Anak mereka yang di bawah umur dianggap ”kudus” sehingga mendapat perlindungan rohani dari Allah. Paulus menasihati pasangan Kristen, ”Istri, bagaimana engkau tahu bahwa engkau tidak dapat menyelamatkan suamimu? Atau, hai, suami, bagaimana engkau tahu bahwa engkau tidak dapat menyelamatkan istrimu?” (1 Kor. 7:16) Ada banyak suami dan istri Kristen yang berhasil membantu teman hidup mereka menjadi hamba Yehuwa.

      15, 16. (a) Nasihat apa yang Alkitab berikan untuk istri Kristen yang suaminya bukan hamba Allah? (b) Bagaimana status dan sikap seorang Kristen ”jika orang yang tidak percaya itu pergi”?

      15 Rasul Petrus menasihati para istri Kristen untuk tunduk kepada suami mereka ”agar jika ada yang tidak taat kepada firman itu, mereka dapat dimenangkan tanpa perkataan melalui tingkah laku istri mereka, karena telah menjadi saksi mata dari tingkah lakumu yang murni yang disertai respek yang dalam”. Seorang istri tidak perlu terus berbicara tentang imannya kepada sang suami. Kemungkinan besar, dia bisa membantu suaminya menerima kebenaran jika dia memperlihatkan ”roh yang tenang dan lembut, yang sangat bernilai di mata Allah”.​—1 Ptr. 3:1-4.

      16 Bagaimana jika teman hidup yang tidak seiman memutuskan untuk berpisah? Alkitab berkata, ”Jika orang yang tidak percaya itu pergi, biarlah ia pergi; dalam hal demikian seorang saudara atau saudari tidak terikat, tetapi Allah telah memanggil kamu kepada kedamaian.” (1 Kor. 7:15) Ini tidak berarti bahwa teman hidup yang beriman bebas menikah lagi berdasarkan Alkitab. Dia juga tidak perlu memaksa teman hidupnya untuk tetap tinggal. Perpisahan bisa menghasilkan kedamaian sampai taraf tertentu. Dan, hamba Yehuwa itu bisa berharap bahwa setelah beberapa waktu, teman hidupnya yang tidak seiman mungkin ingin kembali, dan memperbaiki perkawinan mereka. Suatu saat mungkin dia menjadi hamba Yehuwa.

      APA YANG TERPENTING DALAM PERKAWINAN?

      Sepasang suami istri mengabar bersama

      Jika ibadat kepada Yehuwa menjadi hal terpenting, perkawinan kita akan semakin bahagia (Lihat paragraf 17)

      17. Apa yang harus menjadi hal terpenting bagi pasangan Kristen?

      17 Kita hidup di bagian akhir dari ”hari-hari terakhir”. Karena itu, kita mengalami ”masa kritis yang sulit dihadapi”. (2 Tim. 3:1-5) Jadi, kita harus punya hubungan yang erat dengan Yehuwa sebagai perlindungan. ”Waktu hanya tinggal sedikit,” tulis Paulus. ”Mulai saat ini hendaklah orang yang beristri menjadi seolah-olah tidak beristri, . . . dan orang yang menggunakan dunia ini, seperti orang yang tidak menggunakannya sepenuhnya.” (1 Kor. 7:29-31) Paulus tidak memaksudkan bahwa teman hidup harus diabaikan. Tapi, karena kita hidup pada hari-hari terakhir, ibadat kepada Yehuwa harus menjadi yang terpenting dalam hidup kita.​—Mat. 6:33.

      18. Apakah perkawinan orang Kristen bisa bahagia?

      18 Pada masa yang sulit ini, ada banyak perkawinan yang gagal. Apakah perkawinan kita bisa bahagia? Tentu bisa, asalkan kita tetap akrab dengan Yehuwa dan umat-Nya, menerapkan prinsip Alkitab, dan mau dibimbing roh kudus Yehuwa. Dengan begitu, kita menghormati ”apa yang telah Allah letakkan di bawah satu kuk”.​—Mrk. 10:9.

      ^ [1] (paragraf 5) Nama-nama telah diubah.

      ^ [2] (paragraf 13) Lihat buku ”Tetaplah Berada dalam Kasih Allah”, apendiks ”Pandangan Alkitab tentang Perceraian dan Perpisahan”.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan