-
Halaman DuaSedarlah!—1988 (No. 28) | Sedarlah!—1988 (No. 28)
-
-
Problem pemukulan istri tidak mengenal batas-batas pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Pria-pria yang suka memukul istri terdapat dalam segala bangsa, kelompok suku bangsa, dalam agama ”Kristen” ataupun bukan Kristen. Mereka ada yang dokter, ahli hukum, usahawan, hakim, polisi, dan orang kebanyakan. Mereka berasal dari kalangan yang mempunyai penghasilan jutaan maupun yang tidak bekerja.
-
-
Istri-Istri yang Sering Dipukul—Menyingkapkan RahasianyaSedarlah!—1988 (No. 28) | Sedarlah!—1988 (No. 28)
-
-
Istri-Istri yang Sering Dipukul—Menyingkapkan Rahasianya
PEMUKULAN istri, mengejutkan sekali, adalah suatu hal yang umum. Majalah Psychology Today melaporkan bahwa ”satu dari 10 wanita diperlakukan dengan sangat kasar (dipukul, ditendang, digigit atau dengan cara lain yang lebih buruk) oleh suaminya pada suatu waktu dalam masa perkawinannya”. Satu tahun kemudian majalah Family Relations menunjukkan bahwa seriusnya problem tersebut bahkan lebih besar, dengan menyatakan bahwa ”satu dari dua wanita di Amerika Serikat akan mengalami tindak kekerasan di rumah”. Di Kanada, menurut sebuah laporan pada tahun 1987, satu dari setiap sepuluh wanita akan dipukul. Di negara-negara lain perkiraannya kurang lebih sama.
Salah seorang jaksa distrik di New York menambahkan kesaksian lebih lanjut mengenai problem yang meningkat dari istri-istri yang dipukul. ”Kekerasan terhadap wanita menjalar seperti wabah dalam masyarakat Amerika. FBI memperkirakan bahwa setiap 18 detik ada satu istri yang dipukul, dan setiap tahun sebanyak 6 juta wanita dipukul”. Telah dipastikan bahwa ”pemukulan istri menyebabkan lebih banyak cedera pada wanita yang mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit daripada akibat dari gabungan semua pemerkosaan, perampokan dan kecelakaan mobil”. Kira-kira 4.000 wanita dibunuh setiap tahun.
Jika penganiayaan terhadap istri merupakan rahasia keluarga yang sangat dijaga, mereka yang paling dekat dengan suami yang suka memukul, seperti kawan-kawan akrabnya, teman-teman sekerja, atau anggota-anggota keluarga yang di luar rumah, mungkin tidak pernah akan curiga bahwa ia suka memukul istrinya. Ia mungkin sukses di tempat kerja maupun dalam masyarakat, sering dihormati oleh teman-teman sejawatnya sebagai anutan. Banyak pria pemukul akan menghindari perkelahian di bar, atau di jalan, atau di tempat kerja. Banyak yang bahkan sangat pemurah.
Tetapi dengan istri mereka, hal yang terkecil dapat membuat mereka menjadi sangat kejam—makanan yang tidak disajikan pada waktunya, masakan yang kurang cocok dengan selera, model baju sang istri yang kurang disukainya, istri ingin menonton acara televisi yang berbeda dari pilihannya. Suatu penelitian di Inggris atas istri-istri yang suka dipukul menunjukkan bahwa 77 persen dari mereka yang diperlakukan dengan kasar, pukulan-pukulan tidak didahului dengan pertengkaran. Laporan-laporan menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, pemukulan ditimbulkan oleh sesuatu yang ”sepele seperti telur digoreng kurang sempurna atau sang istri mengikat rambutnya ke belakang”.
Seorang suami yang memukul istrinya mengakui bahwa ia ”dijengkelkan karena istrinya terlilit dalam sprei tempat tidur”. Perasaan ”dijengkelkan” tersebut dilampiaskan dengan menyepak istrinya dari tempat tidur dan kemudian membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai dengan keras sehingga menyebabkan gegar otak. Seorang istri yang sudah bertahun-tahun dipukuli dan diperlakukan dengan kasar mengatakan, ”Perlakuan kasar dapat timbul karena lupa menaruh sesuatu di meja makan.”
Seorang istri yang baru menikah tiga setengah tahun memperkirakan bahwa ia telah dipukul kira-kira 60 kali selama perkawinannya. ”Suami saya tidak menyukai teman-teman saya,” katanya. ”Lambat-laun saya tidak bergaul dengan mereka lagi.” Lama-lama ia tidak bergaul lagi dengan sanak-keluarganya karena sang suami tidak menyukai mereka. ”Jika saya mencoba menelepon, itu saja bisa menjadi alasan untuk mendapat pukulan lagi,” ia menjelaskan. Seorang istri lain yang mendapat perlakuan kasar mengatakan, ”Akhirnya tiap kali saya bertanya dulu sebelum melakukan sesuatu—masak apa, bagaimana mengatur ruangan.”
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemukulan istri lebih sering terjadi pada waktu malam, larut malam, atau pada akhir pekan. Akibatnya, staf rumah sakit bagian gawat darurat lebih sering menghadapi seorang wanita setelah pemukulan yang hebat daripada dokter pribadinya. Luka-luka yang perlu diobati akibat pemukulan sering berupa luka pendarahan, terutama pada kepala dan wajah. Luka-luka dalam juga umum—gegar otak, pecahnya gendang telinga, dan terutama jika sang istri sedang hamil, luka-luka di daerah perut. Sering, tanda bekas cekikan terlihat pada leher. Dalam banyak kasus, tulang-tulang yang patah harus disambung—tulang rahang, lengan, kaki, tulang rusuk, dan tulang selangka. Korban lain mungkin perlu dikirim ke pusat pengobatan untuk luka-luka bakar karena kena cairan yang mendidih atau air keras.
Seorang penulis mengatakan mengenai suami-suami yang suka memukul, ”Mereka benar-benar keji. Mereka mengunci istri mereka di kamar, mematahkan tulang mereka, membuat mereka cacat. Pria-pria ini menoreh istri mereka dengan pisau, mencoba obat-obat bius pada mereka, meninju wajah, perut dan buah dada mereka. Mereka menodongkan senjata pada kepala istri mereka—dan membunuh istri mereka.” Ada laporan mengenai istri-istri yang diikat dengan rantai pada tempat tidur, kabel-kabel dicopot dari mobil supaya tidak bisa dipakai, ancaman akan membunuh wanita itu bersama anak-anaknya jika ia mencoba melarikan diri. Tragedi-tragedi ini tidak ada akhirnya.
Selain penganiayaan fisik, yang mungkin sering terjadi, ada pula ancaman dan tuduhan, caci-maki, depresi, mimpi buruk, dan insomnia (penyakit tidak bisa tidur).
Pria macam apakah yang akan melakukan penganiayaan yang menyedihkan ini terhadap teman hidupnya—wanita kepada siapa ia mungkin sering mengatakan ’saya mencintaimu’ dan ’tanpa engkau hidup ini tidak berarti’? Pertimbangkan ciri-cirinya dalam artikel berikut.
-
-
Suami-Suami yang Suka Memukul—Tinjauan dari DekatSedarlah!—1988 (No. 28) | Sedarlah!—1988 (No. 28)
-
-
Suami-Suami yang Suka Memukul—Tinjauan dari Dekat
DENGAN suara bulat para ahli menyetujui bahwa pria yang suka memukul istri pada dasarnya mempunyai ciri-ciri yang sama. Para dokter, ahli hukum, polisi, pejabat pengadilan, dan karyawan di bidang kemasyarakatan—yang pekerjaannya membuat mereka sehari-hari berhubungan dengan kekerasan dalam keluarga—semuanya menyetujui hal ini. Seorang pejabat pengadilan mengatakan, ”Cinta kepada diri sendiri—itulah ciri utamanya. Persamaan (analogi) antara pemukul istri dan seorang anak kecil benar-benar luar biasa. Kisah mengenai ledakan kemarahan diceritakan oleh setiap wanita yang saya tangani. Si pemukul dapat berhubungan secara baik dengan dunia hanya jika dunia ini dapat memenuhi kebutuhannya.” Pejabat ini menyebut si pemukul ”sosiopatis” (sociopathic), yang berarti ia tidak mampu mempertimbangkan akibat dari tindakannya.
”Hal yang menarik,” kata seorang penulis, ”pria yang suka menganiaya pada umumnya memiliki citra diri yang sangat rendah, perasaan yang sama yang mereka coba paksakan ke dalam diri korban mereka.” ”Sifat menguasai dan cemburu, juga ketidakmampuan seks dan perasaan rendah diri, adalah ciri-ciri umum dari pria yang suka memukul wanita,” kata seorang wartawan. Menyetujui ciri-ciri seorang penganiaya istri, seorang psikiater terkemuka menambahkan pendapatnya, ”Pemukulan adalah salah satu cara dari pria yang rendah diri untuk membuktikan kejantanannya.”
Jelaslah bahwa seorang pria penganiaya akan menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan kendali dan memperlihatkan kekuasaan atas teman hidupnya. Seorang penganiaya istri menyatakan, ”Jika kami berhenti memukul, kami akan kehilangan kendali. Dan hal itu sama sekali tidak boleh terjadi, dan tidak bisa diabaikan.”
Sering, tanpa alasan, suami yang suka memukul mempunyai sifat ingin memiliki yang tidak masuk akal dan merasa cemburu. Ia mungkin mengkhayalkan hubungan yang romantis antara istrinya dengan pengantar pos, pengantar susu, teman dekat keluarga, atau siapa saja yang ditemui istrinya. Sekalipun ia memperlakukan istrinya dengan kasar, menyakiti tubuhnya, ia sangat kuatir akan perpisahan atau kehilangan istrinya. Jika istri yang dianiaya mengancam untuk meninggalkan dia, ia mungkin berbalik mengancam akan membunuhnya dan kemudian bunuh diri.
Perasaan cemburu sering muncul pada waktu sang istri hamil. Suami bisa jadi merasa terancam akan kemungkinan bahwa kasih sayang istrinya akan berpindah darinya, bahwa sang bayi akan menjadi pusat perhatian. Banyak wanita yang dipukul melaporkan bahwa tanda pertama dari penganiayaan oleh suami adalah ketika suami mereka memukul perut dengan sangat keras selama masa kehamilan yang pertama. ”Perasaan cinta kepada diri sendiri (narsisisme) yang dimiliki suami akan menyebabkan ia benar-benar ingin membunuh bakal anak tersebut,” kata seorang pejabat pengadilan.
Siklus Kekerasan
Segi lain dari ciri-ciri pemukul istri adalah siklus kekerasan yang dialami, sebagaimana diteguhkan oleh banyak istri yang dipukul. Pada tahap pertama, suami mungkin hanya akan menggunakan caci-maki atau bahasa kotor. Ia mungkin mengancam akan mengambil anak-anak dari istrinya, dengan mengatakan bahwa istrinya tidak akan melihat anak-anak lagi. Karena merasa terancam, sang istri akan mengakui bahwa segala sesuatu adalah salah dia, bahwa dialah penyebab dari perlakuan kasar suaminya. Kini ia berada di bawah telapak tangan suaminya. Sang suami memegang kendali. Namun ia harus memiliki kekuasaan yang lebih besar. Tahap pertama ini dapat timbul setiap saat setelah perkawinan—kadang-kadang hanya dalam beberapa minggu setelahnya.
Tahap kedua mungkin akan disertai ledakan kekerasan—menendang, meninju, menggigit, menarik rambut, membanting istrinya ke lantai, mengadakan hubungan seks dengan cara yang sangat kasar. Untuk pertama kali, sang istri menyadari bahwa itu bukan salah dia. Ia berpikir bahwa penyebabnya mungkin berasal dari luar—stress di tempat kerja atau ketidakcocokan dengan teman-teman sekerja.
Segera setelah ledakan kekerasan tersebut, sang istri dihibur oleh penyesalan suaminya. Sang suami kini berada pada tahap ketiga dari siklus tersebut. Ia melimpahi istrinya dengan hadiah-hadiah. Ia memohon pengampunannya. Ia berjanji bahwa hal tersebut tidak pernah akan terjadi lagi.
Namun hal itu terjadi lagi, dan berulang kali. Tidak ada lagi penyesalan. Sekarang hal itu menjadi cara hidup. Ia selalu mengancam akan membunuh istrinya jika sang istri mengancam akan meninggalkan rumah. Ia kini berada dalam kekuasaan penuh suaminya. Ingat kata-kata seorang pemukul istri yang tadi dikutip, ”Jika kami berhenti memukul, kami akan kehilangan kendali. Dan hal itu sama sekali tidak boleh terjadi.”
Persamaan Lain
Pria yang suka memukul istri selalu akan mempersalahkan teman hidup mereka karena memancing pemukulan. Seorang direktur program dari biro jasa bantuan untuk wanita-wanita yang dipukul melaporkan, ”Si pemukul akan mengatakan kepada pasangan wanitanya, ’Kamu tidak melakukan hal ini dengan benar, karena itu saya memukulmu.’ Atau, ’Makan malam terlambat, itulah sebabnya saya memukulmu.’ Selalu sang wanita yang salah dan jika tindakan mempermainkan emosi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun, sang wanita dicuci otak untuk mempercayainya.”
Seorang istri diberitahu oleh suaminya bahwa dialah yang memancing perlakuan-perlakuan kasar tersebut melalui hal-hal yang ia lakukan dengan salah. ”Dengan meningkatnya kekerasan, meningkat pula dalih-dalihnya. Dan selalu dikatakan, ’Lihat apa yang telah saya lakukan gara-gara kamu. Mengapa kamu ingin agar saya melakukan kekerasan seperti ini?’”
Seorang bekas pemukul istri, yang ayahnya juga suka memukul istri, mengatakan, ”Ayah saya tidak pernah dapat mengakui bahwa ia salah. Ia tidak pernah meminta maaf atau mau bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Ia selalu menyalahkan korbannya.” Putranya juga mengakui, ”Saya menyalahkan istri saya sebagai penyebab semua penganiayaan yang diterimanya.” ”Selama 15 tahun,” kata yang lain, ”saya menganiaya istri saya karena ia seorang Saksi Yehuwa. Saya menyalahkan istri saya untuk segala sesuatu. Saya tidak menyadari bahwa apa yang saya perbuat begitu jahat sampai saya mulai belajar Alkitab. Sekarang hal itu menjadi kenangan yang buruk dalam hidup saya. Saya mencoba untuk melupakannya, namun hal itu selalu ada dalam ingatan saya.”
Kisah mengenai ayah dan anak, yang kedua-duanya suka memukul istri, bukan hal yang unik. Hal tersebut, sebaliknya, merupakan ciri-ciri umum dari suami yang suka memukul. Sang anak mengakui bahwa pemukulan istri telah berlangsung 150 tahun dalam keluarganya, seolah-olah diteruskan dari ayah ke anak. Menurut Koalisi Nasional Melawan Kekerasan dalam Keluarga (di A.S.), ”dari antara anak-anak yang menyaksikan kekerasan di rumah, 60 persen dari anak laki-laki akhirnya menjadi pemukul istri dan 50 persen dari anak-anak perempuan menjadi korbannya”.
Seorang penulis surat kabar mengatakan, ”Sekalipun mereka mungkin tidak kena pukul dan tidak memperlihatkan gangguan secara lahiriah, anak-anak ini telah mempelajari sesuatu yang mungkin tidak pernah akan mereka lupakan, bahwa mengatasi problem dan stress dengan cara kekerasan dapat diterima.”
Mereka yang menyediakan penampungan bagi wanita-wanita yang dipukul mengatakan bahwa anak laki-laki yang pernah melihat ibu mereka dipukul oleh ayah mereka sering berlaku kasar terhadap ibu mereka atau mengancam akan membunuh saudara-saudara perempuan mereka. ”Ini bukan hanya permainan anak-anak,” kata seseorang. ”Itu niat yang sungguh-sungguh.” Setelah melihat orang-tua mereka menggunakan kekerasan untuk mengatasi kemarahan, anak-anak menganggap itu sebagai satu-satunya pilihan mereka.
Ada sebuah lagu anak-anak (dalam bahasa Inggris) yang mengatakan bahwa anak-anak perempuan terbuat dari ”gula dan penyedap, dan segala sesuatu yang enak”. Anak-anak perempuan ini kelak tumbuh menjadi ibu dan istri, yang kepadanya sang suami mengatakan ’saya tidak dapat hidup tanpa engkau’. Jadi, jelas sekali bahwa keadilan menentang tindakan penganiayaan terhadap istri, namun keadilan siapa—manusia atau Allah?
-
-
Saat Manakala Tidak Akan Ada Lagi PemukulanSedarlah!—1988 (No. 28) | Sedarlah!—1988 (No. 28)
-
-
Saat Manakala Tidak Akan Ada Lagi Pemukulan
DALAM sejarah, sejak kapan penganiayaan terhadap istri mulai ada? Suatu sumber mengutip apa yang diperkirakan sebagai hukum tertulis yang paling awal, tertanggal 2500 S.M., yang mengizinkan suami untuk memukul istri mereka.
Pada tahun 1700 S.M., Hamurabi, raja kafir dari Babilon membuat Kaidah Hamurabi yang terkenal, yang memuat hampir 300 ketetapan yang sah bagi manusia. Kaidah tersebut secara resmi menetapkan bahwa seorang istri harus tunduk sepenuhnya kepada suaminya, yang mempunyai hak yang sah untuk menghukum dia atas kesalahan apapun.
Maju lagi ke zaman Kekaisaran Roma, Undang-Undang Roma dari Paterfamilias mengatakan, ”Jika kamu mendapati istrimu berbuat zinah, kamu boleh membunuhnya tanpa pemeriksaan di pengadilan, sedangkan kamu sendiri bebas dari hukuman, tetapi jika kamu melakukan perzinahan atau hal-hal yang tidak senonoh, sang istri tidak boleh berbuat apa-apa terhadapmu, dan hukum tidak mengizinkan hal tersebut.”
Sebuah buku petunjuk perkawinan yang ditulis pada abad ke-15 Tarikh Masehi menasihati para suami yang melihat istri mereka melakukan pelanggaran ”agar mula-mula menggertak dan membuat dia ketakutan”, kemudian ”mengambil tongkat dan memukul dia dengan keras”.
Di Inggris, badan legislatif abad ke-19 berupaya untuk mengurangi penderitaan para wanita dengan secara sah menentukan seberapa besar tongkat yang boleh digunakan. Mereka membuat apa yang dikenal sebagai peraturan ibu jari (rule of thumb), yang mengizinkan seorang pria memukul istrinya dengan sebuah tongkat ”yang tidak lebih tebal dari ibu jarinya”.
Sekalipun di banyak negeri dewasa ini para suami tidak lagi dilindungi oleh hukum mengenai pemukulan istri, tradisi-tradisi sejarah ini masih terus berlaku di banyak bagian di bumi ini. Menurut laporan berita TV-CBS, Brazilia adalah sebuah negeri tempat wanita dipuja oleh kaum pria. Namun, bertentangan dengan itu, wanita juga direndahkan, dianiaya, dipukul, dan dibunuh tanpa perasaan menyesal. Menurut laporan tersebut lebih lanjut, perlakuan seperti itu didapati di segenap lapisan masyarakat, termasuk di pengadilan, yang memutuskan bahwa dalam ”membela kehormatannya”, seorang pria dapat bebas dari hukuman untuk pembunuhan, khususnya jika sang korban adalah istrinya sendiri. Seorang wartawan mengatakan, ”Banyak dari pembunuh tersebut bukan orang-orang primitif dari dusun yang terpencil tetapi orang-orang profesional yang berpendidikan.”
’Membela kehormatan seseorang’ dapat dibangkitkan hanya oleh sedikit pelanggaran atas peraturan suami—makanan tidak disajikan pada waktunya, keluar sendirian, mendapat pekerjaan atau gelar di universitas, atau tidak ”menyetujui setiap cara hubungan seks yang dikehendaki suami”.
Hukum Allah dan Pandangan Kristen
Hukum Allah mengatakan dengan jelas kepada para suami, ”Kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat. . . . Suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya.” (Efesus 5:25, 28, 29) Hukum ini menggantikan semua peraturan manusia, pada zaman dulu dan sekarang.
Tentu saja tidak ada suami Kristen yang akan membantah dengan mengatakan bahwa ia masih mencintai istri yang ia aniaya. Apakah seorang pemukul istri akan memukul tubuhnya sendiri—menarik rambutnya, meninju wajah dan tubuhnya karena ia benar-benar mengasihi dirinya sendiri? Apakah seorang pemukul istri dengan terus terang akan memberitahu orang lain di luar anggota keluarga dan orang-orang Kristen lain—bahwa dari waktu ke waktu ia memukul istrinya, menyakiti tubuhnya, karena ia sangat mencintai istrinya? Atau, sebaliknya, apakah ia mengancam istrinya agar tidak menceritakan hal itu kepada orang lain? Apakah anak-anak dipaksa bersumpah oleh ayah mereka untuk tidak menceritakan kepada orang lain mengenai perbuatannya yang kejam? Atau apakah mereka merasa malu untuk melakukan hal tersebut? Bukankah perbuatannya menyangkal pernyataannya bahwa ia benar-benar mengasihi istrinya? Kasih untuk satu sama lain adalah normal. Menganiaya istri tidak normal.
Akhirnya, jika seorang pria Kristen memukul istrinya, bukankah hal itu membuat semua perbuatan Kristennya yang lain menjadi sia-sia di pandangan Allah? Ingat, seorang ”pemarah” tidak memenuhi syarat untuk mendapat hak-hak istimewa dalam sidang Kristen. (1 Timotius 3:3; 1 Korintus 13:1-3; Efesus 5:28) Laporan-laporan menunjukkan bahwa pemukulan suami oleh istri mereka juga merupakan hal yang umum dalam sistem ini. Bukankah pertanyaan-pertanyaan yang sama berlaku bagi istri-istri tersebut?
Betapa penting agar para suami dan istri memperlihatkan buah roh dalam kehidupan mereka bersama sekarang: ”kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri”! (Galatia 5:22, 23) Jika kita dapat menghasilkan buah-buah ini sekarang, besar harapannya kita akan hidup dalam Firdaus di bumi tempat semua orang akan tinggal bersama dalam damai dan kasih yang tak berkesudahan.
[Gambar di hlm. 8]
Suami Kristen ’mengasihi istri mereka seperti tubuh mereka sendiri’, yang berarti ”Pemukulan Tidak Diizinkan!”
-