Para Suami dan Istri—Atasilah Percekcokan dengan Komunikasi
KELUARGA—Tempat Perteduhan yang Penuh Damai?
Senjata yang digunakan ialah kata-kata yang diarahkan dengan sangat tepat menusuk titik-titik lemah dalam pertahanan emosi satu sama lain. Bahkan caci-maki yang keras, teriakan, pukulan dan barang-barang yang beterbangan merupakan hal yang biasa bagi keluarga-keluarga yang telah menyatakan perang terbuka. Ada keluarga-keluarga lain, yang tidak lagi mengadakan perang terbuka tetapi telah menarik diri di balik tembok kebisuan dan air mata frustrasi. Namun sebagian besar mereka adalah anggota-anggota keluarga yang prihatin akan hubungan mereka satu sama lain. Apa yang menghalangi mereka sehingga tidak mendapatkan kehangatan yang sangat mereka dambakan dari kehidupan keluarga mereka? Bagaimana keadaan dapat diperbaiki? Artikel-artikel berikut memberikan beberapa jawaban yang realistis.
YANTI dan Rudy menurut banyak orang adalah ”pasangan suami istri yang sempurna”. Tetapi, Rudy mulai terlibat secara emosi dengan pekerjaannya. ’Pada waktu saya pulang, saya hanya ingin berbicara tentang tantangan-tantangan yang menggairahkan dalam pekerjaan saya.’ Selanjutnya Rudi mengakui, ’Meskipun saya memberikan Yanti ciuman dan pelukan, itu hanya sekedar saja, sebenarnya pikiran saya ada di tempat lain.’ Yanti tidak menanggapi kegairahan yang diperlihatkan si suami akan pekerjaannya. Sebagai ibu muda yang harus berjuang, ia merasa dilalaikan dan tidak diperhatikan. Lambat-laun hal ini menimbulkan kekesalan, karena Rudy tidak peka terhadap emosi istrinya.
Selang beberapa waktu Yanti jadi masa bodoh. Bila Rudy mengemukakan problem-problemnya, ia menanggapi dengan sikap acuh tak acuh, tanpa perasaan. Ia sudah ’mogok’ secara emosi. Meskipun Rudy sanggup mencari nafkah dengan baik dan Yanti seorang ibu yang cakap, mereka tidak lagi memenuhi kebutuhan pokok satu sama lain yang merupakan suatu karunia yang sangat penting, yaitu keakraban batin. Secara emosi mereka menjadi asing terhadap satu sama lain, dan kurangnya komunikasi pribadi ini sedikit demi sedikit menghancurkan perkawinan mereka.
Kebutuhan dari Hati
”Fungsi paling utama dari perkawinan,” menurut penasihat Marcia Laswell dan Norman Lobsenz, mungkin adalah ”mendapatkan dan memberikan . . . dukungan [emosi] kepada satu sama lain”. Dengan adanya serangan dari dunia di sekeliling kita, dukungan sedemikian dari orang-orang yang kita kasihi penting sekali. Kurangnya hal itu sangat menyakitkan hati, dan ”kepedihan hati mematahkan semangat”. (Amsal 15:13) Perasaan percaya diri dan semangat dapat dipatahkan.
Jika hati disakiti karena teman hidup tidak peka, amarah sering kali akan meledak. ”Bila ia duduk saja di sana dan mengatakan bahwa saya terlalu emosional, saya menjadi begitu marah,” kata seorang istri. ”Akhirnya saya menangis dan merasa tidak keruan.” Atau seperti yang dirasakan Rudy, ’Saya perhatikan bahwa bila kami berduaan saja, Yanti bersikap acuh tak acuh, tetapi jika ada yang menelepon atau berkunjung, ia begitu gembira bersama mereka, saya diabaikan sama sekali. Saya merasa sangat sedih dan pada waktu yang sama marah karena merasa seolah-olah saya diperalat saja. Meskipun semua kebutuhannya saya sediakan, ia bersikap seolah-olah lebih senang bergaul dengan orang lain.’
Ada pasangan yang memutuskan untuk menderita saja secara diam-diam, tetapi sebenarnya menjadi ”pintar bersandiwara”, seolah-olah semuanya beres dalam perkawinan mereka. Namun tubuh merasakan apa yang lebih senang diabaikan oleh otak. Rasa sakit yang kronis, sakit kepala, perut mulas, depresi, frigiditas, dan impotensi adalah keluhan-keluhan yang disampaikan kepada dokter oleh orang-orang yang mengalami konflik perkawinan yang tidak dapat diatasi. Sering kali, kekesalan yang makin meningkat mencapai puncaknya dalam perpisahan. Para peneliti memperkirakan bahwa separuh dari perkawinan-perkawinan pertama yang kini dilangsungkan di Amerika Serikat akan berakhir dalam perceraian.
Tetapi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi percekcokan dan memperkembangkan keakraban? Rahasianya: Terapkan prinsip-prinsip Alkitab. Allah, yang menciptakan hati dan pikiran, mengetahui kebutuhan hati dan emosi kita. Karena itu, Alkitab, yang berisi nasihatNya, memberikan bimbingan yang terbaik. Suatu pasangan tidak saja harus mengetahui tetapi dengan sungguh-sungguh berusaha menerapkan nasihat yang terilham ini. Jika Alkitab diterapkan, suatu pasangan dapat dibantu untuk memenuhi kebutuhan emosi satu sama lain secara memadai.—Efesus 5:22-33.
”Saya Tidak Tahu Apa Kemauannya”
Memang tidak mudah untuk mengetahui kebutuhan emosi teman hidup. Seseorang mungkin ragu-ragu untuk mengutarakan kebutuhannya kepada orang lain karena kuatir ditolak, akan merasa lebih sakit hati lagi, atau kecewa—atau mungkin ia tidak mengetahui apa sebenarnya kebutuhan itu. ”Sungguh, saya tidak tahu apa kemauannya,” pengakuan seorang suami. ”Ia terus saja mengatakan bahwa kita harus berbicara, dan kemudian pada waktu sudah berbicara, ternyata apa yang saya katakan selalu salah. . . . Jadi karena rasanya serba salah, maka saya diam saja.”
Tetapi, Alkitab menunjukkan bahwa, sebaliknya dari membungkam seperti suami ini, anda perlu menunjukkan pengertian. ”Rumah tangga dibangun dengan hikmat dan pengertian,” kata Amsal 24:3. (BIS) Maka, berusahalah mengerti apa yang ada di balik tindakan atau kata-kata teman hidup anda. Tanyalah pada diri sendiri, Mengapa ia mengatakan ini kepada saya? Apa yang sesungguhnya ia inginkan atau butuhkan?
Kadang-kadang, seorang istri dapat membingungkan suami dengan emosinya yang berubah-ubah. Tetapi ”orang yang berpengertian berkepala dingin”. Dan berusaha ”menimba” problem yang sesungguhnya dari istrinya. (Amsal 17:27; 20:5) Apakah ia sedang berjuang melawan suatu beban emosi yang menekan? (Bandingkan Pengkhotbah 7:7, NW.) Apakah perasaan tidak senangnya terhadap waktu atau jam anda pulang dari pekerjaan sebenarnya suatu luapan terhadap sikap acuh tak acuh dan kurangnya kasih sayang dari anda? Atau apakah anda telah menyakitinya karena sesuatu hal yang bersifat sembrono? Apakah dibutuhkan usaha ekstra—dan waktu—untuk menyelesaikan persoalannya? Namun, memahami adanya kebutuhan itu, baru langkah pertama.—Amsal 12:18; 18:19.
Membina Keakraban
Dalam Alkitab, Ayub mengatakan bahwa ucapan bibirnya akan memberikan kekuatan kepada pendengarnya. (Ayub 16:5) Ini juga berlaku dalam perkawinan. Ucapan yang tulus yang menaikkan harga diri teman hidup sangat menguatkan. ”Suami-suami,” perintah Alkitab, ”hendaklah hidup dengan penuh pengertian terhadap istrimu, dan dengan kesadaran bahwa mereka adalah kaum yang lemah. Perlakukanlah mereka dengan hormat [menganggapnya berharga; sangat mahal].” (1 Petrus 3:7, BIS) Jika anda membuat istri anda merasa berharga, kekesalannya sering akan luluh.
Memang, menurut kebiasaan, pasangan di negeri-negeri tertentu lebih akrab secara emosi. Namun, tidak soal adat-istiadat setempat, para suami yang menerapkan Alkitab dalam perkawinan, melihat betapa bernilainya keakraban secara emosi dengan istri. Karena mengetahui bahwa ia disayangi oleh suami, setiap istri akan merasa lebih mudah mengutarakan isi hatinya kepada suami, dan hal ini menambah kebahagiaan mereka.
”Seorang pendengar yang baik,” kata buku The Individual, Marriage and the Family, ”mempunyai kemampuan untuk membuat pihak yang lain merasa bahwa ia benar-benar penting dan apa yang ia katakan patut diperhatikan dan berarti.” Maka, pasangan-pasangan yang ingin memupuk keakraban harus menaruh perhatian kepada cara mereka mendengarkan. Seorang pendengar yang aktif memberikan perhatian penuh kepada pasangannya dan berusaha mengerti apa yang dikatakan pasangannya tanpa memotong, membantah, atau mengalihkan pokok pembicaraan. Mendengarkan dengan penuh tenggang-rasa, maupun memupuk minat pribadi yang tidak mementingkan diri terhadap masalah-masalah pasangan anda, merupakan inti dari keakraban.—Filipi 2:3, 4.
Untuk memperbaiki keakraban, para penasihat perkawinan selanjutnya menyarankan: (1) Belajarlah menceritakan dan mempercayakan rahasia kepada teman hidup ketimbang kepada orang lain. (2) Aturlah waktu khusus setiap hari, atau sedikitnya tiap minggu, tanpa gangguan, saat-saat di mana anda dapat mencurahkan perasaan dan pikiran. (3) Saling menceritakan pengalaman kecil setiap hari. (4) Dengan tetap tentu perlihatkan kasih dalam perkara-perkara kecil—memberikan hadiah kecil namun yang tidak diharapkan, melakukan suatu tugas yang tidak disenangi pasangan kita (tanpa diminta), menuliskan kata-kata kasih sayang pada sebuah kartu dan menaruhnya di tas kerjanya, atau memberikan sentuhan atau pelukan yang tidak disangka-sangka.
Namun, bahkan pasangan yang saling menyayangi kadang-kadang berselisih pendapat. Saran-saran di dalam kotak di atas dapat membantu agar perbantahan tidak menjadi perusak perkawinan.
Bahkan meskipun perselisihan paham menjadi serius, janganlah mengorbankan perkawinan anda. Suatu pasangan, yang berpisah karena percekcokan, akhirnya berdamai kembali dengan membaca bersama nasihat Alkitab untuk perkawinan di Kolose 3:18, 19 dengan tekad menerapkannya. Ketika mereka dengan terus terang membicarakan perasaan yang menimbulkan kekesalan, kedua-duanya bertanya, ”Mengapa kau tidak mengatakan kepada saya sebelumnya bahwa kau merasa demikian?” Mereka saling mendengarkan dan berusaha memahami pandangan satu sama lain. Kini, setelah rujuk kembali selama hampir sepuluh tahun, sang suami mengakui, ”Keadaan makin bertambah baik, kami berterima kasih atas nasihat yang indah dalam Firman Allah Yehuwa. Usaha kami tidak sia-sia, kami berbahagia.”
[Kotak di hlm. 4]
Dukungan Emosi—Betapa Penting?
”Kebanyakan pasangan yang perkawinannya bertahan lama sangat menghargai ketentraman emosi dari perkawinan tersebut.”—Dr. April Westfall, penasihat perkawinan dari Philadelphia.
”Ketidakmampuan untuk memahami logika dari emosi merupakan penyebab dari banyak ketidakpuasan di antara pasangan-pasangan, dan menjadikan perkawinan suatu hubungan yang paling sulit dalam hubungan antarmanusia.”—Worlds of Pain—Life in the Working-Class Family, oleh Lillian Rubin.
”Kurangnya pengertian kaum pria dan selanjutnya kurangnya tanggapan terhadap kebutuhan emosi istri mereka merupakan penyebab dan juga pengaruh dari ketidakbahagiaan dalam banyak perkawinan.”—Psychology Today, Oktober 1982.
[Kotak di hlm. 5]
Menyelesaikan Perselisihan
• Tentukan suatu waktu dan tempat yang disetujui bersama untuk berbicara.
• Tunjukkan dengan tepat apa masalahnya dan berpautlah pada itu.
• Tunjukkan sikap ingin menyelesaikan masalah, bukan memenangkannya.
• Pusatkan perhatian pada apa yang ada sekarang, bukan pada kejadian-kejadian di masa lampau yang tidak ada hubungannya.
• Biarkan pihak yang satu berbicara dan yang lain mendengarkan, jangan dua-dua sekaligus berbicara.
• Berusahalah untuk tidak menyerang secara pribadi atau menaruh dendam.
• Hendaklah spesifik, namun peka terhadap perasaan teman hidup.
• Jangan mencoba membaca pikiran. Mintalah penjelasan.
• Bersikaplah terbuka dalam memberi dan menerima umpan balik (feedback).
• Hindari kata-kata tajam dan caci maki.
• Hendaklah rela berkompromi demi kepentingan perkawinan anda.