PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Halaman Dua
    Sedarlah!—1989 (No. 30) | Sedarlah!—1989 (No. 30)
    • Halaman Dua

      Dengan banyak cara dunia membuang norma-norma atau nilai-nilai sejati. Namun bagaimana dengan anda? Apakah anda menganggap sebagai sampah norma-norma yang sudah terbukti bermanfaat selama berabad-abad? Atau apakah anda dengan bijaksana menggunakan tempat sampah untuk hal-hal yang tak berguna dan tetap menyimpan norma-norma sebagai kekuatan yang membimbing kehidupan anda?

  • Apa yang Terjadi dengan Norma-Norma?
    Sedarlah!—1989 (No. 30) | Sedarlah!—1989 (No. 30)
    • Apa yang Terjadi dengan Norma-Norma?

      Dalam pidatonya pada Hari Gencatan Senjata pada tahun 1948, Jenderal Omar N. Bradley mengatakan, ”Kita mempunyai terlalu banyak manusia ilmiah, terlalu sedikit manusia rohani. Kita telah menguasai misteri atom tetapi menolak Khotbah di Bukit. . . . Dunia kita penuh dengan raksasa-raksasa nuklir namun bayi-bayi dalam hal etika. Kita tahu lebih banyak mengenai perang daripada perdamaian, tahu lebih banyak mengenai membunuh daripada kehidupan.” ”Umat manusia,” katanya, ”berada dalam bahaya terjerat dalam dunia ini oleh kementahan moral.”

      DAHULU ada norma-norma tradisional yang berdasarkan Alkitab. Namun sekarang hal itu tidak ada lagi. Sekarang nilai-nilai tersebut sudah dianggap kuno. Gaya hidup yang baru menjadi mode. ”Kebenaran” sekarang bersifat relatif. Tidak ada lagi yang benar atau salah. Tidak perlu menghakimi. Setiap orang memiliki nilai-nilainya sendiri, dapat memutuskan apa yang baik bagi diri sendiri, mengerjakan apa yang ia hendaki. Percabulan tidak salah. Perzinahan tidak salah. Perceraian tidak salah. Penelantaran anak-anak tidak salah. Dan akibat dari hal-hal itu—kehamilan kaum remaja yang membubung tinggi, jutaan aborsi, hancurnya kehidupan anak-anak juga tidak dipersalahkan. Dan karena tidak dianggap salah ataupun dipersalahkan, tidak ada perasaan bersalah. Dengan cara-cara ini dunia membuang nilai-nilai sejati ke tempat sampah.

      Pasangan manusia pertama memutuskan untuk menentukan sendiri apa yang benar dan apa yang salah. (Kejadian 2:17; 3:5) Dewasa ini, jutaan orang memutuskan bahwa tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Digerakkan oleh keinginan untuk berbuat semaunya, mereka mengesampingkan norma-norma tradisional dan berseru, ”Akhirnya kita bebas! Apapun boleh!” Yang dibuang adalah pengendalian—kemudian datanglah malapetaka!

      Kepala berita dalam sebuah majalah terkemuka bertanya, ”Bangsa [yang terdiri] dari Pendusta-Pendusta?” dan melanjutkan dengan uraian singkat ini, ”Para pejabat pemerintah menyembunyikan tindakan mereka. Para ilmuwan memalsukan riset. Para karyawan mengubah data-data karir mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Apa yang sedang terjadi di sini? Jawabannya, yang ditakuti oleh makin banyak kritikus masalah sosial, adalah berkurangnya kejujuran dasar dalam taraf yang sangat mengkhawatirkan.”

      Majalah lain yang terkemuka menerbitkan serangkaian artikel mengenai etika, yang dibumbui hal-hal menarik seperti: Transaksi-transaksi bisnis yang dicemari skandal, kepercayaan masyarakat yang dikhianati, pelanggaran-pelanggaran sebagai kegagalan umat manusia secara menyeluruh. Kesalahan diakui, tetapi kesalahan yang serius tidak, dan pasti bukan yang begitu terkutuk seperti dosa.

      Rangkaian artikel itu menyimpulkan, ”Jika orang Amerika ingin mencari keseimbangan etika yang lebih baik, mereka mungkin harus memeriksa kembali nilai-nilai yang ditawarkan oleh masyarakat dengan begitu menggiurkan: kedudukan tinggi dalam pekerjaan, kekuasaan politik, daya tarik seks, rumah mewah (penthouse) atau rumah menghadap danau, keuntungan yang besar. Lalu tantangan utamanya adalah mendefinisikan kembali hal-hal yang mereka inginkan yang akan memuaskan masyarakat maupun diri sendiri, mendefinisikan satu etika tunggal yang membimbing sarana dan pada waktu yang bersamaan mencapai tujuan yang sah.”

      Kepala berita berikut ini muncul dalam The New York Times, ”Para Pejabat di Seluruh Negara Bagian Menerima 105 dari 106 Suap yang Ditawarkan, Kata F.B.I”. Apakah uang suap yang ke-106 ditawarkan kepada orang yang jujur? Tidak, ”ia menganggap jumlahnya kurang banyak”.

      Matthew Troy, mantan anggota dewan penasihat kota madya dan pemimpin partai demokrasi dari Queens, New York City, ketika berbicara mengenai ”Korupsi dan Integritas dalam Pemerintahan” mengatakan kepada para mahasiswa di ruang kuliah bahwa suap adalah hal yang biasa. Pemberian suara untuk State Assembly (Majelis Negara Bagian) ditukar dengan jabatan hakim. ”Harga umum untuk jabatan hakim di Mahkamah Agung Negara Bagian adalah US$ 75.000, kedudukan di pengadilan yang lebih rendah dapat diperoleh dengan harga US$ 35.000.”

      Novelis James A. Michener menyoroti kegilaan tersebut seperti: memuliakan para petualang keuangan yang menimbun ratusan juta uang orang lain, skandal-skandal penjualan rahasia perusahaan, mereka yang tahu seni mencaplok perusahaan milik orang lain, unsur agama yang tak tahu malu dan menjadi mata gelap karena uang, AIDS yang menakutkan khalayak ramai, kaum teroris yang mengacau masyarakat, politikus-politikus yang merusak taman-taman nasional dan mengizinkan bencana ekologis, dan pemerintah yang menjual senjata kepada pihak yang dinyatakan sebagai musuh dan kemudian secara tidak sah menyalurkan keuntungan kepada revolusi di Amerika Tengah.

      Kesimpulan Michener secara keseluruhan, ”Tahun 1980-an harus diingat sebagai Dekade yang Buruk, karena munculnya banyak hal yang menjijikkan.” Dan semua ini hanya karena satu perkembangan yang sederhana: Nilai-nilai sejati telah dibuang ke tempat sampah.

      William J. Bennett, pada waktu itu Sekretaris Pendidikan di A.S., mengritik kegagalan untuk mengajarkan nilai-nilai moral di sekolah dan menyebutkan satu per satu problem kaum remaja yang timbul akibat kekurangan ini:

      ”Pokok: Kira-kira empat puluh persen dari anak-anak umur 14-an dewasa ini akan hamil paling sedikit satu kali sebelum berumur dua puluh tahun, dan separoh lebih dari anak-anak yang mereka lahirkan tidak sah.

      ”Pokok: Angka bunuh diri mencapai rekor, dan merupakan penyebab nomor dua dari kematian remaja.

      ”Pokok: Amerika Serikat menjadi yang paling utama di dunia industri dalam persentase pemakai obat bius.

      ”Dapatkah sekolah-sekolah kita ’memecahkan’ problem-problem ini? Tidak. Dapatkah mereka membantu? Ya. Apakah mereka berbuat sedapat-dapatnya untuk membantu? Tidak.

      ”Mengapa tidak? Sebagian, karena mereka segan mengajarkan salah satu tujuan utama dari pendidikan, yaitu pendidikan moral. Sebagai contoh, sebuah artikel baru-baru ini mengutip beberapa pendidik di daerah New York yang menyatakan bahwa ’mereka sengaja menghindari upaya untuk memberi tahu murid-murid apa yang secara etis benar dan salah’.

      ”Artikel itu menceritakan tentang pertemuan pengarahan dengan lima belas murid sekolah lanjutan pertama dan atas. Dalam pertemuan itu murid-murid menganggap teman sekolahnya bodoh karena mengembalikan US$ 1.000 yang ia temukan dalam sebuah dompet di sekolah.” Penasihat tidak memberikan pendapatnya atas kesimpulan mereka, dan menerangkan, ”Jika saya mulai dengan apa yang benar dan yang salah, saya bukan penasihat mereka.”

      Komentar Bennet, ”Dahulu, penasihat memberikan nasihat. Ia menasihati murid-murid mengenai banyak hal—dan di antaranya, mengenai apa yang benar dan yang salah.”

      Kegagalan Keluarga, Sekolah, dan Gereja

      Rumah dengan cepat menjadi tempat yang tandus dalam hal pengajaran nilai-nilai. Pecahnya keluarga membuat rumah menjadi ruang kelas yang buruk—kedua orang-tua bekerja, perceraian, keluarga dengan orang-tua tunggal yang bekerja, anak-anak ditinggalkan dengan pengasuh atau di sekolah penitipan anak atau sendirian di rumah dengan TV sebagai teman yang menganjurkan seks untuk kesenangan dan mengajarkan kekerasan sebagai jalan keluar bagi persoalan-persoalan. Kolumnis Norman Podhoretz mengomentari akibatnya, ”Dampaknya antara lain ialah meningkatnya perbuatan kriminal; meningkatnya pemakaian obat bius dan alkohol; meningkatnya kehamilan remaja, aborsi dan penyakit kelamin, dan meningkatnya angka kematian remaja karena kekerasan (pembunuhan, kecelakaan kendaraan bermotor, bunuh diri). Satu-satunya yang tampak menurun adalah prestasi akademis.”

      Podhoretz selanjutnya mengatakan, ”Dua ahli sosiologi menemukan bukti statistik yang kuat dari apa yang kita semua tahu hanya dengan melihat sekeliling kita. Mereka mendapati makin lebih banyak orang mementingkan ’kepuasan diri’ di atas semua nilai lainnya. Mereka mendapati makin lebih sedikit orang yang mau mengorbankan kepentingan sendiri, atau bahkan kelebihan yang ada pada mereka, demi kebutuhan dan tuntutan anak-anak mereka. Jumlah yang mengejutkan sebanyak dua pertiga dari semua orang-tua di Amerika berpendapat bahwa ’orang-tua harus bebas menempuh kehidupan mereka sendiri sekalipun itu berarti memberikan lebih sedikit waktu bagi anak-anak mereka’.”

      John D. Garwood, ketika menjadi dekan pendidikan di Universitas Negeri Fort Hays, Kansas, A.S., mengomentari hilangnya nilai-nilai sejati, ”Kegagalan keluarga-keluarga, sekolah-sekolah dan gereja-gereja kita untuk meneruskan sistem nilai-nilai yang kokoh dan bertahan lama bagi orang-orang yang mereka pengaruhi, telah menghasilkan banyak dari problem-problem kita dewasa ini. Sejarawan Inggris terkenal Arnold Toynbee melihat dalam Dunia Barat dewasa ini menurunnya kejujuran, kurangnya tujuan nasional dan penandasan yang membahayakan pada materialisme, menurunnya kebanggaan akan ketrampilan kerja, pengabdian kepada tingkat konsumsi yang tinggi dengan penandasan akan kepuasan diri. Ia melihat dalam gaya hidup bangsa kita banyak dari unsur-unsur yang menggiring imperium Roma kepada kejatuhannya.”

      Dibuangnya nilai-nilai sejati menyebabkan dunia mengejar lebih banyak hal tanpa akal sehat. Kaya dalam hal materi tetapi miskin dalam batin, manusia ditinggalkan menggelepar-gelepar tanpa arah. Jalan keluarnya adalah kembali ke sumber nilai-nilai sejati.

  • Sumber dari Norma-Norma Sejati
    Sedarlah!—1989 (No. 30) | Sedarlah!—1989 (No. 30)
    • Sumber dari Norma-Norma Sejati

      DALAM setiap masyarakat manusia ada suatu kaidah moral. Tidak soal mereka mau mengakuinya atau tidak, semua orang merasakan kebutuhan akan bimbingan dari atas dan di luar diri mereka. Secara naluri mereka memandang kepada kuasa yang lebih tinggi untuk disembah atau dilayani. Mungkin itu matahari, bulan, bintang, gunung, sungai, binatang, manusia, atau suatu organisasi. Kaidah moral mereka mungkin dikemukakan dalam salah satu tulisan suci dari berbagai kebudayaan. Kebutuhan tersebut terdapat dalam diri manusia di mana-mana. Hal itu bersifat naluriah dalam diri manusia.

      ”Agama,” menurut psikiater terkemuka C. G. Jung, ”adalah sikap naluri yang khusus bagi manusia, dan perwujudannya dapat ditemukan sepanjang sejarah manusia.” Ilmuwan terkenal Fred Hoyle menulis mengenai ”kaidah moral yang ada dalam setiap masyarakat manusia” dan menambahkan, ”Mudah untuk menyusun argumen besar guna memperlihatkan bahwa perasaan moral dalam diri manusia tetap ada sekalipun adanya godaan [dan penganiayaan] yang selalu melawannya.”

      Tulisan suci yang paling terkenal dan tersebar luas, Alkitab, mengakui adanya perasaan moral bawaan dalam diri manusia. Alkitab mengatakan dalam Roma 2:14, 15, ”Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.”

      Hoyle berpendapat bahwa evolusi merupakan ”suatu piagam terbuka untuk bentuk apapun dari tingkah laku oportunistis”, dan ia melanjutkan, ”Terus terang, saya dihantui oleh keyakinan bahwa filsafat nihilistik, yang diterima oleh mereka yang disebut intelek setelah terbitnya publikasi The Origin of Species (Asal-Mula Spesies), mengikat manusia kepada haluan pemusnahan diri yang otomatis. Saat itulah sebuah mesin Hari Kiamat mulai dipasang. . . . Banyak orang dewasa ini merasa ada sesuatu yang keliru yang bersifat mendasar dengan masyarakat, namun sayang sekali, mereka menghamburkan tenaga mereka untuk memprotes hal-hal yang tidak begitu penting.”

      Kecerdasan di Balik Asal-usul Kehidupan

      Kemudian, dengan ketepatan matematis, Hoyle selanjutnya menunjukkan bahwa kemungkinan munculnya kehidupan di bumi secara kebetulan adalah nol. Menurut dia, para ilmuwan ortodoks telah dipalingkan dari gagasan mengenai suatu kuasa penciptaan oleh ”ekses-ekses agama zaman dulu”. Tetapi Hoyle percaya bahwa kehidupan diciptakan oleh suatu kekuatan yang cerdas yang ada di ruang angkasa universal. Ia percaya bahwa apa yang mustahil di bumi bisa saja terjadi di ruang angkasa—namun ia tetap merumuskan bahwa bahkan di ruang angkasa suatu kecerdasan perlu bekerja. Bentuk kehidupan yang paling sederhana sekalipun, sebuah bakteri, begitu rumit sehingga kecerdasan pasti terlibat dalam penciptaannya, namun ia tidak sanggup menyatakan bahwa kecerdasan itu adalah Allah.

      Orang-orang lain yang ”merasa ada sesuatu yang keliru yang bersifat mendasar dengan masyarakat” tidak segan-segan berbuat demikian. Di antaranya ialah psikiater Jung, yang dikutip di atas, ”Orang yang tidak berpaut erat kepada Allah dari kekuatannya sendiri tidak dapat memberikan perlawanan terhadap bujukan fisik dan moral dari dunia. Untuk itu ia membutuhkan bukti pengalaman batin yang kuat, satu-satunya yang dapat melindungi dia dari kehanyutan dalam masyarakat yang tak terelakkan.”

      Hakim Ketua Francis T. Murphy dari Divisi Pengadilan Banding mengatakan bahwa manusia modern ”tidak mengetahui arti yang paling berharga dari kehidupannya dan meragukan bahwa kehidupan mempunyai arti. Apapun dalih moralnya, sebenarnya ia telah mengusir Allah dari kehidupannya, dari kantornya, dari rumahnya. Karena itu ia telah kehilangan pusat moral”. Dari dunia olahraga, Howard Cosell mengemukakan pendapat yang sama ketika membahas problem penyalahgunaan obat bius di kalangan atlit. Ia mengatakan, ”Tidak ada lagi pusat moral yang jelas di Amerika . . . dan itu merupakan problem bagi seluruh masyarakat.”

      ”Tidak mungkin,” kata kolumnis Georgie Anne Geyer, ”ada masyarakat atau bangsa yang bermoral tanpa iman kepada Allah, karena semua yang dengan cepat berakhir dengan ’saya’, dan ’saya’ saja tidak ada artinya. . . . Bila ’saya’ menjadi ukuran dari semua perkara—dengan mengorbankan Allah, gereja, keluarga dan norma-norma tingkah laku masyarakat dan pemerintahan yang diakui—kita berada dalam kesulitan.”

      Aleksandr Solzhenitsyn berkata bahwa jika ia diminta untuk menguraikan ciri utama abad ke-20 dengan beberapa patah kata, ia akan mengatakan, ”Manusia telah melupakan Allah.” Ia melanjutkan, ”Seluruh abad kedua puluh sedang dihisap ke dalam pusaran ateisme dan pemusnahan diri. . . . Semua upaya untuk menemukan jalan keluar dari keadaan yang menyedihkan dari dunia dewasa ini akan sia-sia kecuali kita mengarahkan kembali kesadaran kita, dalam pertobatan kepada Pencipta dari semua: tanpa ini, tidak akan ada harapan jalan keluar, dan kita akan mencari dengan sia-sia.”

      Selama enam ribu tahun, manusia telah mencoba menentukan apa yang benar dan apa yang salah menurut caranya sendiri. Kini kecenderungan modern adalah berbuat semaunya sendiri—tidak ada yang benar dan yang salah. Sejarah mencatat akibat-akibat yang menghebohkan dari kedua cara tersebut, yang membuktikan bahwa manusia tidak dapat menentukan langkahnya sendiri. ”Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” (Amsal 14:12; Yeremia 10:23) Allah Yehuwa menciptakan manusia, mengenalnya dari luar dan dalam, dan telah menyediakan peta menuju kebahagiaan, ”FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mazmur 119:105) Firman-Nya, Alkitab, memberitahukan nilai-nilai sejati demi manfaat manusia. Kotak di sebelah memuat beberapa dari hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

      [Kotak di hlm. 7]

      Norma-Norma untuk Dipatuhi

      ▸ Kasihi Allah Yehuwa dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatanmu.

      ▸ Kasihi sesamamu seperti diri sendiri.

      ▸ Perbuatlah kepada orang lain apa yang kamu ingin orang lain perbuat kepadamu.

      ▸ Ikuti Yesus sebagai Teladanmu.

      ▸ Ampuni orang lain sebagaimana kamu ingin diampuni.

      ▸ Hormati ayahmu dan ibumu.

      ▸ Hendaklah saling mendahului dalam memberi hormat.

      ▸ Setialah dalam segala urusanmu.

      ▸ Kejarlah perdamaian dengan semua orang.

      ▸ Carilah kelembutan, kebaikan, pengendalian diri.

      ▸ Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapapun.

      ▸ Kalahkan kejahatan dengan kebaikan.

      ▸ Jangan menyembah allah-allah palsu.

      ▸ Jangan menyembah berhala.

      ▸ Jangan membunuh.

      ▸ Jangan mencuri.

      ▸ Jangan menjadi saksi dusta.

      ▸ Jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia.

      ▸ Jangan menginginkan milik sesamamu.

      ▸ Jangan menyimpan amarah sampai matahari terbenam.

  • Norma-Norma Apa yang Mengatur Kehidupan Anda?
    Sedarlah!—1989 (No. 30) | Sedarlah!—1989 (No. 30)
    • Norma-Norma Apa yang Mengatur Kehidupan Anda?

      SEBELUM menjawab pertanyaan itu, anda mungkin perlu mempertimbangkan pertanyaan ini: Apa yang anda inginkan dari kehidupan? Kekayaan, kemasyhuran, kesenangan, petualangan yang sensasional, kepuasan seks? Atau apakah anda mencita-citakan nama baik dalam hal kejujuran, amal, sifat pengasih, pelayanan kepada masyarakat, kerohanian? Apapun halnya, prinsip Alkitab ini berlaku, ”Apa yang ditabur orang, itu juga yang dituainya.”—Galatia 6:7.

      Jika anda membuang nilai-nilai sejati, anda harus bersedia menerima akibatnya. Hakim Pengadilan Tinggi Paul R. Huot menunjuk beberapa dari antaranya. Ketika menyebutkan mengenai penyimpangan dari respek kepada hukum, sopan-santun sosial, dan disiplin, ia mengatakan, ”Tidak ada lagi masalah hitam dan putih. Semuanya kelabu. Kelakuan baik sudah hilang. Rasa hormat sudah lenyap. Kesusilaan pun lenyap. Makin sedikit orang mengenal perbedaan antara apa yang benar dan salah. Sekarang yang disebut dosa adalah kalau ketahuan, bukan lagi pelanggarannya.”

      Seraya pengetahuan bertambah dan kekuasaan meningkat, kebutuhan akan moralitas untuk mengatur penggunaannya juga makin besar. (Amsal 24:5) Sayangnya, bertambahnya pengetahuan dan kekuasaan telah diiringi oleh keruntuhan moralitas. Sejarawan Arnold Toynbee mengomentari hal ini, ”Sangat menyedihkan bila kita pikir bahwa kita sudah begitu sukses dalam bidang teknologi, tetapi catatan kita dalam hal kegagalan moral tidak terhitung banyaknya. . . . Jika kesenjangan moralitas terus melebar, saya meramalkan bahwa pada suatu waktu penduduk sipil mungkin akan selalu membawa bom-bom atom ukuran saku ke manapun mereka pergi.”

      Kecenderungan dewasa ini adalah meremehkan nilai-nilai sejati dan membuang dosa ke tempat sampah. Sikap tersebut sama dengan sikap perempuan pezinah di Amsal 30:20, ”Inilah jalan perempuan yang berzinah: ia makan, lalu menyeka mulutnya, dan berkata: Aku tidak berbuat jahat.” Namun dosa tetap ada pada diri kita, tetap kuat dan nyata, hanya beroperasi dengan nama-nama lain seperti keterbukaan, kebebasan, relativisme, penjelasan nilai-nilai, aliran tidak menghakimi—semuanya secara ringkas disebut ”moralitas baru”.

      Membuat yang Salah Kelihatan Benar

      Sebenarnya tidak ada yang benar-benar berubah sejak zaman Yesaya. Kata-katanya tetap mengena, ”Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit.” (Yesaya 5:20) Untuk membuat yang salah kelihatan benar, mereka mengubah tanda-tanda pada termometer, membuat demam menjadi normal.

      Nilai-nilai mana membawa hasil yang baik? Yang mana membuat anda bahagia, menghasilkan teman-teman yang loyal, membawa damai dan kepuasan batin? Apakah anda menginginkan nama baik dalam kejujuran, ketulusan, keprihatinan terhadap orang lain? Apakah anda ingin disukai, direspek, dikasihi? Atau apakah anda lebih menghargai harta yang tidak terbatas, mencicipi kuasa dari kekayaan? Apakah pemuasan keinginan daging merupakan yang paling penting? Apakah begitu penting bagi anda untuk memusatkan perhatian pada kepuasan diri?

      Seks gelap kini meluas, menikmati tepukan perkenan dari media dan masyarakat pada umumnya. Tetapi betapa menghancurkan bagi perkawinan dan keluarga dan kesejahteraan anak-anak! Sebagai akibat dari kebebasan seks ini adalah kebejatan yang luar biasa berupa perbuatan homoseks yang tidak wajar yang begitu merajalela dewasa ini dan yang ditoleransi dan bahkan disetujui oleh beberapa agama utama dari Susunan Kristen. Sehubungan dengan praktik-praktik demikian, Firman Allah menyatakan, ”Seharusnya mereka malu karena telah melakukan semua yang hina itu. Tetapi mereka tebal muka dan tidak tahu malu.”—Yeremia 6:15, BIS.

      Yesus menandaskan kebutuhan rohani, dengan mengatakan, ”Berbahagialah mereka yang sadar akan kebutuhan rohani mereka karena merekalah yang empunya kerajaan surga.” (Matius 5:3, NW) Tetapi banyak orang meremehkan kebutuhan ini dan tidak berbuat apa-apa untuk memenuhinya; padahal tanpa hal tersebut kehidupan menjadi tidak berarti. Sekalipun banyak prestasi dunia telah dicapai, kehidupan semacam itu tetap tidak akan berarti, tidak menghasilkan kebahagiaan sejati dan kepuasan batin. Dan patut disayangkan, mereka yang sadar akan kebutuhan tersebut dan mencarinya di gereja-gereja Susunan Kristen keluar dengan tangan hampa, karena dalam Susunan Kristen, seperti dinubuatkan nabi Amos, terdapat ’kelaparan, bukan kelaparan akan makanan dan bukan kehausan akan air, melainkan akan mendengarkan firman Yehuwa’.—Amos 8:11.

      Lagi pula, banyak orang di gereja tidak menginginkan pengajaran rohani yang sehat, tetapi ”mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng”. (2 Timotius 4:3, 4) Kaum pendeta maupun awam merasa seperti orang-orang pada zaman Yesaya, yang mengatakan kepada mereka yang menyediakan kebutuhan rohani, ”’Jangan menilik,’ dan kepada para pelihat: ’Janganlah lihat bagi kami hal-hal yang benar, tetapi katakanlah kepada kami hal-hal yang manis, lihatlah bagi kami hal-hal yang semu, menyisihlah dari jalan dan ambillah jalan lain, janganlah susahi kami dengan Yang Mahakudus, Allah Israel.’”—Yesaya 30:10, 11.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan