PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Seperti Apakah Moral Dewasa Ini?
    Sedarlah!—2000 | 8 April
    • Seperti Apakah Moral Dewasa Ini?

      Suatu pagi pada bulan April 1999, ada sesuatu yang memecahkan ketenteraman kota Littleton, dekat Denver, Colorado, AS. Dua remaja berjas hujan hitam memasuki SMU setempat dan mulai menembaki para siswa dan guru. Mereka juga meledakkan bom. Dua belas siswa serta seorang guru tewas, dan lebih dari 20 orang luka-luka. Kedua pelaku kejahatan itu mengakhiri pembantaian tersebut dengan bunuh diri. Mereka baru berusia 17 dan 18 tahun serta sangat membenci kelompok-kelompok tertentu.

      SUNGGUH menyedihkan, contoh yang disebutkan di atas bukanlah insiden lokal. Surat kabar, radio, dan televisi melaporkan terjadinya insiden serupa di seluas dunia. Menurut National Center for Education Statistics (Pusat Pendidikan Statistik Nasional), dilaporkan ada sekitar 11.000 tindak kekerasan bersenjata di sekolah-sekolah Amerika pada tahun 1997. Di Hamburg, Jerman, laporan tindak kekerasan meningkat 10 persen pada tahun 1997, dan 44 persen pelaku kejahatan adalah remaja di bawah usia 21 tahun.

      Korupsi di kalangan politisi dan pejabat pemerintah merupakan hal biasa. Sebuah laporan yang dibuat oleh pejabat tinggi Uni Eropa (UE) Anita Gradin pada tahun 1998 menyingkapkan bahwa kerugian akibat korupsi di kalangan UE pada tahun 1997 diperkirakan mencapai 1,4 miliar dolar. Ini meliputi segala bidang, mulai dari pengabaian tiket parkir hingga penggelapan dana bantuan pertanian atau subsidi UE lainnya. Pencucian uang (money laundering) besar-besaran serta penyelundupan senjata dan narkoba dibiarkan, juga para karyawan UE menerima suap dari organisasi kriminal untuk tutup mulut. Keseluruhan Komisi UE mengundurkan diri pada tahun 1999.

      Akan tetapi, yang melakukan kecurangan bukan hanya para petinggi. Laporan Komisi UE tentang pekerja ilegal menyingkapkan bahwa hingga 16 persen produk nasional kotor UE mencakup pendapatan dari bisnis gelap dan penggelapan pajak. Di Rusia, pendapatan gelap dilaporkan mencapai 50 persen. Selain itu, di Amerika Serikat, Asosiasi Penyelidik Resmi Kecurangan menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika mengalami kerugian sebesar 400 miliar dolar lebih, karena para pegawai mencuri uang atau properti perusahaan.

      Internet digunakan oleh banyak pedofilia yang berupaya memikat anak-anak untuk mengadakan kegiatan seks ilegal. Keprihatinan terhadap pornografi anak di Internet telah meningkat, demikian menurut juru bicara Save the Children cabang Swedia. Pada tahun 1997, di Norwegia, lembaga ini menerima 1.883 info tentang situs Web pornografi anak di Internet. Tahun berikutnya, jumlahnya membubung hingga hampir 5.000 info. Kebanyakan bahan ini dibuat di negara-negara yang pemerintah pusat atau daerahnya tidak mampu mengawasi kegiatan yang menjijikkan ini.

      Apakah Zaman Dulu Lebih Baik Keadaannya?

      Banyak orang yang ngeri melihat kebejatan moral dunia dewasa ini mungkin merindukan suasana gotong royong pada zaman orang-tua atau kakek-nenek mereka. Mungkin, mereka pernah mendengar bahwa kehidupan orang zaman dulu tenteram dan bahwa kejujuran serta aspek-aspek moral lainnya dijunjung tinggi di semua lapisan masyarakat pada waktu itu. Kakek-nenek kita mungkin bercerita tentang zaman sewaktu orang-orang masih rajin dan murah tangan, ikatan kekeluargaan masih kokoh, dan anak-anak muda terlindungi serta membantu di pertanian atau di bengkel orang-tua mereka.

      Ini menimbulkan pertanyaan: Benarkah moral orang-orang zaman dulu memang lebih baik? Atau, apakah itu hanyalah nostalgia belaka, yang mendramatisir kenangan kita tentang masa yang telah lalu? Marilah kita perhatikan bagaimana para sejarawan dan pengamat sosial lainnya menjawab.

  • Apakah Moral Lebih Buruk Daripada Sebelumnya?
    Sedarlah!—2000 | 8 April
    • Apakah Moral Lebih Buruk Daripada Sebelumnya?

      JIKA Anda bertanya kepada para sejarawan, ”Apakah moral masyarakat sekarang lebih baik atau lebih buruk daripada zaman sebelumnya?” beberapa akan menjawab bahwa membandingkan moral pada periode waktu yang satu dengan periode waktu yang lain merupakan sesuatu yang sulit. Mereka mungkin merasa bahwa setiap zaman harus dinilai menurut konteksnya masing-masing.

      Misalnya, pertimbangkan tentang perkembangan kejahatan dengan tindak kekerasan di Eropa sejak abad ke-16. Empat ratus tahun yang lalu, pembunuhan memang bukan peristiwa langka. Orang-orang sering main hakim sendiri, dan pertikaian antarkeluarga menjadi hal yang umum.

      Meskipun demikian, sejarawan Arne Jarrick dan Johan Söderberg menulis dalam buku Människovärdet och makten (Martabat dan Kekuasaan Manusia) bahwa periode antara tahun 1600 hingga tahun 1850 ”bercirikan kehidupan bermasyarakat yang beradab dan tulus” di beberapa tempat. Masyarakat menjadi lebih baik dalam hal memikirkan kebutuhan orang lain​—mereka menjadi lebih berempati. Misalnya, para sejarawan lain mengamati bahwa pencurian dan pelanggaran hak milik pada abad ke-16 jauh lebih sedikit daripada sekarang ini. Khususnya di pedesaan, sangat jarang terjadi kasus pencurian oleh geng pencoleng yang terorganisasi.

      Tentu saja, institusi perbudakan ada, dan merekalah penghasil beberapa bentuk kejahatan paling serius dalam sejarah​—penculikan manusia di Afrika oleh pedagang Eropa dan penyiksaan jutaan budak ini di negeri-negeri tujuan mereka.

      Oleh karena itu, sewaktu menengok kembali abad-abad yang silam, kemungkinan besar kita akan mendapati bahwa apabila ditilik dari segi sejarah, beberapa keadaan kelihatan lebih baik, sedangkan keadaan lainnya lebih buruk. Meskipun begitu, ada sesuatu yang sangat berbeda dan sangat serius​—bahkan, yang belum pernah ada​—terjadi pada abad ke-20 dan masih terjadi.

      Abad ke-20​—Titik Balik

      Sejarawan Jarrick dan Söderberg menyatakan, ”Pada tahun 1930-an, pembunuhan sekali lagi meningkat dan, sungguh menyedihkan, sejak itu trend ini terus berlanjut selama lebih dari setengah abad.”

      Menurut banyak komentator, terjadi kemerosotan moral berskala besar selama abad ke-20. Sebuah esai tentang filsafat moral mengatakan, ”Tampak jelas bahwa pandangan masyarakat terhadap seks dan terhadap hal-hal yang berterima secara moral telah banyak berubah dibandingkan dengan 30 hingga 40 tahun lalu​—dahulu masyarakat memerinci jelas hal-hal yang berterima secara moral melalui peraturan yang ketat, namun sekarang, masyarakat lebih berpandangan bebas dan individualistis.”

      Ini berarti bahwa perilaku seksual dan aspek moral lainnya adalah hal-hal yang dianggap sebagai urusan pribadi oleh kebanyakan individu sekarang. Untuk mengilustrasikan hal ini, esai tersebut mengutip statistik yang menunjukkan bahwa pada tahun 1960, hanya 5,3 persen dari semua anak di Amerika Serikat berstatus anak di luar nikah. Pada tahun 1990, angkanya mencapai 28 persen.

      Dalam sebuah ceramah di Universitas Notre Dame, Senator AS Joe Lieberman melukiskan moral dari zaman kita sebagai ”kevakuman nilai-nilai . . . saat gagasan-gagasan tradisional tentang baik dan buruk lambat laun menjadi usang”. Menurut Lieberman, fenomena ini ”telah berlangsung setidaknya dalam dua generasi”.

      Sekularisasi

      Apa komentar para sejarawan dan pengamat lainnya sehubungan dengan hebatnya kemerosotan tersebut selama abad ke-20? ”Salah satu perubahan yang terpenting di masyarakat pada dua abad terakhir ini adalah sekularisasi,” kata buku Människovärdet och makten. Sekularisasi berarti bahwa ”orang diberi kesempatan untuk menentukan sendiri pendirian mereka berkenaan dengan sudut pandang mereka sendiri. Gagasan ini . . . berasal dari para filsuf Pencerahan dari abad ke-18, yang merupakan orang-orang pertama . . . yang menolak Alkitab sebagai satu-satunya sumber kebenaran”. Dengan demikian, agama, khususnya Susunan Kristen, tidak lagi dipandang sebagai pembimbing moral seperti sediakala.

      Namun, mengapa filsafat yang dirumuskan pada abad ke-18 ini baru populer 200 tahun kemudian? ”Gagasan-gagasannya tidak mudah memasyarakat,” kata buku yang disebutkan di atas. ”Gerakan menuju sekularisasi berjalan lambat.”

      Bahkan, kalaupun trend pengabaian standar moral tradisional dan nilai-nilai Kristen berjalan lambat selama sebagian besar dari 200 tahun itu, trend tersebut melesat cepat pada abad ke-20 ini. Inilah sebenarnya yang terjadi selama beberapa dekade yang telah lewat. Mengapa?

      Sifat Mementingkan Diri dan Ketamakan

      Suatu faktor pendukung yang kuat adalah pembangunan teknologi dan ekonomi yang pesat di masyarakat abad ke-20. Sebuah artikel di majalah berita Jerman, Die Zeit, menyatakan bahwa kita hidup dalam ”era yang dinamis dan bukannya statis, seperti abad-abad sebelumnya”. Artikel tersebut menjelaskan bahwa hal ini telah menghasilkan sistem ekonomi pasar, yang didasarkan atas kompetisi dan didorong oleh sifat mementingkan diri.

      ”Sifat mementingkan diri ini,” lanjut artikel itu, ”tidak dapat dihentikan oleh apa pun. Akibatnya, berkembanglah kebrutalan dalam kehidupan sehari-hari, juga korupsi, yang di beberapa negara telah mencapai tingkat pemerintahan. Orang hanya memikirkan dirinya sendiri dan melampiaskan hasrat-hasrat mereka sendiri.”

      Pakar sosiologi Robert Wuthnow, dari Universitas Princeton, melalui jajak pendapat yang komprehensif, mendapati bahwa orang Amerika sekarang ini lebih berorientasi pada uang dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut penelitian itu, ”Banyak orang Amerika khawatir bahwa mendambakan uang telah mengesampingkan nilai-lain seperti respek terhadap orang lain, kejujuran dalam bekerja, dan partisipasi di masyarakat.”

      Ketamakan di masyarakat telah semakin meningkat karena banyak eksekutif bisnis mengenyangkan diri dengan kenaikan gaji yang besar dan uang pensiun yang menggiurkan, sementara menekan karyawannya untuk tidak menuntut gaji terlalu banyak. ”Masalah yang terdapat dalam pengejaran laba oleh para manajer adalah bahwa sikap mereka itu menular dan bahwa mereka merendahkan patokan moral orang-orang pada umumnya,” komentar Kjell Ove Nilsson, lektor kepala madya bidang etika dan teologi dari Konsili Kristen Swedia. ”Tentu saja, ini bisa merusak moral​—baik dalam tingkat masyarakat maupun tingkat individu.”

      Kultur Media

      Faktor lain yang tak kalah pentingnya, yang turut mengakibatkan pesatnya kemerosotan moral di akhir abad ke-20 adalah kultur media. ”Orang-orang yang menyebarkan nilai-nilai yang baru ini adalah para produser televisi, tokoh-tokoh perfilman, para pendukung dunia busana, gangsta rapper, dan orang-orang penting lainnya dalam lingkup kultur media elektronik,” kata Senator Lieberman. ”Para trend-setter ini mampu menguasai kultur kita dan khususnya anak-anak kita, dan mereka sering kurang peka atau tidak punya tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai berbahaya yang mereka tayangkan.”

      Sebagai contoh, Lieberman mengutip sebuah album dari band heavy metal yang menamakan diri Cannibal Corpse. Para penyanyinya melukiskan secara terperinci pemerkosaan terhadap seorang wanita di bawah ancaman pisau. Lieberman dan seorang rekannya mengimbau perusahaan rekaman yang bersangkutan agar menarik album rekaman itu dari pasaran. Namun, seperti dikatakan Lieberman, mereka gagal.

      Oleh karena itu, orang-tua yang bertanggung jawab dewasa ini mau tidak mau akan bersaing ketat dengan kultur media dalam mempengaruhi dan mengasuh anak-anaknya. Tetapi, bagaimana dengan keluarga yang orang-tuanya tidak tanggap? ”Dalam kasus demikian,” kata Lieberman, ”kultur media akan menjadi trend-setter tunggal dan kemampuan sang anak untuk membedakan antara yang baik dan buruk, serta prioritasnya dalam hidup, sebagian besar akan dibentuk oleh apa yang mereka pelajari dari televisi, film, dan CD player.” Dan, akhir-akhir ini, Internet mulai masuk ke dalam daftar ini.

      Kembali ke ”Moral Zaman Batu”

      Bagaimana dampak pengaruh-pengaruh negatif ini nyata di kalangan kaum muda? Antara lain, dalam tahun-tahun belakangan ini, semakin banyak anak dan remaja melakukan tindak kekerasan yang kejam terhadap anak-anak lain maupun terhadap orang dewasa.

      Sebuah kasus yang menggegerkan terjadi di Swedia pada tahun 1998. Dua anak lelaki, berusia lima dan tujuh tahun, mencekik teman mainnya yang berusia empat tahun sampai mati! Banyak yang bertanya-tanya: Apakah anak-anak ini tidak punya batas-batas perasaan yang mengisyaratkan mereka untuk berhenti sewaktu sudah keterlaluan? Seorang psikiater anak memberikan komentar yang bagus ini, ”Batas-batas perasaan yang mencegah seseorang agar perbuatannya tidak keterlaluan merupakan sesuatu yang harus dipelajari,” katanya. ”Ini ada hubungannya dengan . . . teladan apa yang ditiru oleh anak-anak ini dan apa yang mereka pelajari dari orang-orang dewasa di sekitar mereka.”

      Fenomena yang sama dapat diamati pada para penjahat yang bengis. Menurut Sten Levander, profesor psikiatri di Swedia, dewasa ini, antara 15 hingga 20 persen dari semua narapidana adalah psikopat​—orang yang sangat egois, tidak punya empati, dan tidak mampu atau tidak mau memahami konsep benar dan salah. Bahkan di antara anak-anak dan remaja yang kelihatannya normal, para peneliti melihat adanya penumpulan perasaan moral. ”Kita kembali ke moral Zaman Batu,” demikian pendapat Christina Hoff Sommers, seorang profesor filsafat. Ia memperhatikan bahwa ketika mahasiswa-mahasiswanya yang masih muda dihadapkan kepada pertanyaan tentang apa yang benar dan apa yang salah, reaksi kebanyakan mahasiswa justru sangat bingung. Kemudian, mereka menjawab bahwa tidak ada yang benar atau salah. Mereka yakin bahwa setiap orang harus memikirkan apa yang terbaik bagi dirinya.

      Belakangan ini, banyak mahasiswanya berkeberatan terhadap prinsip keunikan martabat dan nilai hidup manusia. Sebagai contoh, sewaktu ditanya apa yang akan mereka lakukan bila dihadapkan kepada pilihan antara menyelamatkan nyawa binatang peliharaan mereka atau nyawa sesama manusia yang tidak mereka kenal, banyak yang menjawab bahwa mereka akan memilih si binatang.

      ”Masalahnya bukan bahwa kaum muda itu kurang pengetahuan, tak dapat dipercaya, kejam, atau licik,” kata Profesor Sommers. ”Kasarnya, mereka itu tidak punya konsep benar atau salah.” Ia berpendapat bahwa sebenarnya banyak kaum muda dewasa ini bertanya-tanya apakah ada benar atau salah, dan ia merasa bahwa sikap ini mendatangkan ancaman terbesar atas masyarakat.

      Maka, peruntuhan moral di zaman kita ini merupakan suatu kenyataan. Banyak orang khawatir bahwa hal ini akan mengakibatkan konsekuensi yang parah. Artikel dalam Die Zeit, yang dirujuk di atas, mengatakan bahwa ekonomi pasar bebas dewasa ini perlahan-lahan dapat ”merosot mutunya dan mungkin suatu hari akan jatuh seperti halnya sistem sosialis baru-baru ini.”

      Apa sebenarnya arti semua ini? Dan, masa depan macam apa yang terbentang di hadapan kita?

      [Gambar hlm. 6, 7]

      ”Orang-orang yang menyebarkan nilai-nilai yang baru ini adalah para produser televisi, tokoh-tokoh perfilman, para pendukung dunia busana, ’gangsta rapper’ . . . ”

  • Apa Arti Semua Ini?
    Sedarlah!—2000 | 8 April
    • Apa Arti Semua Ini?

      JIKA Anda menganalisis standar moral dalam tahun-tahun belakangan ini, Anda akan melihat suatu trend yang jelas. Tak diragukan lagi, standar-standar moral semakin terkikis seraya semakin bertambahnya jumlah manusia. Ada apa sebenarnya di balik fakta ini?

      Apakah ini mengartikan bahwa, seperti yang dinyatakan beberapa orang, seluruh peradaban kita dan semua umat manusia pasti akan binasa, mendekati kemusnahan? Atau, apakah perubahan-perubahan itu hanyalah bagian dari pasang surutnya sejarah?

      Begitulah anggapan banyak orang. Mereka memandang peruntuhan moral pada zaman kita hanya sebagai trend, salah satu dari antara banyak trend yang datang dan pergi dalam sejarah. Mereka dengan yakin berharap agar trend ini akan berbalik dan standar moral yang tinggi akan datang kembali. Betulkah anggapan itu?

      ”Hari-Hari Terakhir”

      Mari kita bahas fakta-fakta ini dari sudut pandang sebuah buku yang selama berabad-abad diterima luas sebagai wewenang atas masalah-masalah moral​—Firman Allah, Alkitab. Pikiran kita akan terbuka bila kita membandingkan dunia dewasa ini dengan uraian nubuat Alkitab tentang era yang paling menentukan dalam sejarah manusia. Inilah periode waktu yang disebut ”hari-hari terakhir” atau ”penutup sistem ini”. (2 Timotius 3:1; Matius 24:3) Sebagaimana tersirat dari ungkapan-ungkapan di atas, periode ini akan menandai akhir yang pasti dari era lama dan awal era baru.

      Firman Allah menubuatkan bahwa hari-hari terakhir akan ditandai dengan adanya ”masa kritis yang sulit dihadapi”. Untuk membantu para pengamat yang waspada mengidentifikasi hari-hari terakhir, Alkitab memberikan sejumlah perincian yang secara bersamaan memberikan penjabaran yang jelas, atau tanda majemuk, tentang periode waktu yang unik ini.

      Sifat Buruk Orang-Orang

      Perhatikan salah satu ciri dari tanda ini, yang dewasa ini menonjol, ’Orang-orang akan berpengabdian yang saleh hanya secara lahiriah tetapi mereka tidak hidup sesuai dengan kuasanya.’ (2 Timotius 3:2, 5) Tidak ada periode lain dalam sejarah yang bercirikan sekularisasi yang kuat dan menyeluruh semacam itu. Allah secara luas ditolak sebagai satu-satunya wewenang, dan kebanyakan orang tidak menerima Alkitab sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Tentu saja, agama masih ada, tetapi kebanyakan sudah tidak terlalu berpengaruh lagi. Agama hanyalah lapisan pernis.

      Alkitab menyebutkan ciri lain dari tanda itu, ”Orang-orang akan . . . tidak mempunyai pengendalian diri, garang”, dan ”oleh karena bertambahnya pelanggaran hukum, kasih kebanyakan orang akan mendingin”. (2 Timotius 3:2, 3; Matius 24:12) Kata Yunani yang diterjemahkan ”garang” bermakna, antara lain, ”tidak memiliki simpati dan perikemanusiaan”. Dewasa ini, anak-anak yang masih kecil pun menunjukkan sifat ”garang” dan melakukan kejahatan yang semakin kejam.

      Selain itu, pesatnya pembangunan teknik dan ekonomi, serta ketamakan yang dihasilkannya telah menyebabkan semakin banyak orang mengabaikan nilai-nilai lama. Tanpa memikirkan orang lain, mereka menghalalkan segala cara untuk sedapat-dapatnya memuaskan keinginan mereka yang mementingkan diri. Peningkatan perjudian besar-besaran merupakan bukti lain dari sifat mementingkan diri ini, dan statistik kejahatan dari beberapa dekade yang lampau juga merupakan bukti kuat dan jelas tentang hal ini.

      Suatu ciri yang khususnya meluas di zaman kita adalah yang satu ini, ”Manusia akan . . . mencintai kesenangan sebaliknya daripada mengasihi Allah”. (2 Timotius 3:2, 4) Salah satu contohnya adalah orang-orang menginginkan kesenangan sensual, namun tidak menginginkan tanggung jawab untuk hidup bersama sebagai satu pasangan dalam perkawinan untuk seumur hidup. Hasilnya adalah membanjirnya keluarga berantakan, anak-anak yang tak bahagia dan tak betah di rumah, orang-tua tunggal, dan penyakit hubungan seksual.

      Aspek lain dari tanda itu adalah ”orang-orang akan menjadi pencinta diri sendiri, pencinta uang”. (2 Timotius 3:2) Menurut majalah Jerman Die Zeit, ”penggerak utama sistem [ekonomi dewasa ini] adalah sifat mementingkan diri”. Lebih daripada sebelumnya, mengejar uang merupakan hal terpenting dalam hidup banyak orang. Dalam pengejaran yang mementingkan diri ini, nilai-nilai yang lain diabaikan.

      Peristiwa-Peristiwa Dunia

      Selain melukiskan kehancuran nilai-nilai kemanusiaan, Alkitab juga menubuatkan bahwa hari-hari terakhir akan ditandai oleh pergolakan luar biasa yang akan mempengaruhi umat manusia. Misalnya, Alkitab berkata, ”Bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan; dan akan ada gempa bumi yang hebat, dan di berbagai tempat akan ada sampar dan kekurangan makanan.”​—Lukas 21:10, 11.

      Selain dari abad ke-20, tidak ada periode lain dalam sejarah saat begitu banyak orang terlibat dalam begitu banyak malapetaka yang mengguncang dunia selama periode yang sangat terbatas. Misalnya, lebih dari 100 juta orang tewas dalam peperangan yang terjadi pada abad ke-20, angka ini berkali-kali lipat lebih besar daripada gabungan jumlah korban perang yang terjadi beberapa abad sebelumnya. Di abad ke-20, terjadi dua perang yang begitu berbeda dengan perang-perang lain, yang disebut perang dunia. Konflik-konflik global demikian tidak pernah terjadi sebelumnya.

      Daya Penggerak yang Keji

      Alkitab juga menyingkapkan keberadaan makhluk roh yang sangat kuat, ”yang disebut Iblis dan Setan”, yang bertujuan memikat orang-orang agar menjauhi nilai-nilai sejati dan menjerumuskan mereka pada kebejatan moral. Alkitab mengatakan bahwa selama hari-hari terakhir, Setan telah turun ke bumi, ”dengan kemarahan yang besar, karena ia tahu bahwa waktunya tinggal sedikit”.​—Penyingkapan 12:9, 12.

      Si Iblis dilukiskan di Alkitab sebagai ”penguasa dari wewenang udara, roh yang sekarang bekerja dalam diri putra-putra ketidaktaatan”. (Efesus 2:2) Ini berarti bahwa si Iblis mengerahkan pengaruh yang sangat kuat terhadap banyak manusia, biasanya tanpa disadari manusia, seperti halnya kita tidak menyadari adanya polusi udara yang tidak kelihatan.

      Misalnya, pengaruh Setan terlihat dalam banyak sarana komunikasi modern: video, film, televisi, Internet, iklan, buku, majalah, dan surat kabar. Kebanyakan sarana ini, khususnya bertarget kaum muda yang tidak waspada, berisi trend yang ekstrem dan menjijikkan, seperti rasialisme, okultisme, perbuatan amoral, dan kekerasan yang sadis.

      Banyak orang yang tulus terkesan melihat kesamaan antara deskripsi Alkitab tentang hari-hari terakhir dan keadaan nyata dunia pada zaman kita ini. Memang, terdapat beberapa peristiwa dalam sejarah sebelum abad ke-20 yang secara kecil-kecilan tampak cocok dengan deskripsi Alkitab. Namun, hanya abad ke-20, dan sekarang abad ke-21, yang menyaksikan tanda itu.

      Era Baru yang Akan Datang

      Tidaklah benar umat manusia akan musnah, tidak benar pula segala sesuatu akan terus berlangsung seperti yang sudah-sudah. Sebaliknya, Alkitab menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat dunia sekarang yang mendominasi bumi akan digantikan oleh sesuatu yang sama sekali baru.

      Setelah Yesus menyebutkan satu per satu ciri-ciri tanda hari-hari terakhir, ia berkata, ”Dengan cara ini kamu juga, apabila kamu melihat hal-hal ini terjadi, ketahuilah bahwa kerajaan Allah sudah dekat.” (Lukas 21:31) Kerajaan surgawi Allah merupakan tema utama pengabaran Yesus. (Matius 6:9, 10) Dan, Allah melantik dia menjadi Raja dari Kerajaan ini, pemerintahan yang akan segera berkuasa di atas seluruh bumi.​—Lukas 8:1; Penyingkapan 11:15; 20:1-6.

      Pada pengujung hari-hari terakhir, Kerajaan surgawi Allah di tangan Kristus akan melenyapkan semua musuh Kerajaan itu​—Iblis dan pendukungnya​—lalu mengganti masyarakat yang bangkrut moralnya dewasa ini dengan dunia baru yang adil-benar. (Daniel 2:44) Di dunia baru ini, orang-orang yang berhati jujur akan menikmati kehidupan kekal di atas bumi yang diubah menjadi firdaus.​—Lukas 23:43; 2 Petrus 3:13; Penyingkapan 21:3, 4.

      Orang-orang yang sangat membenci keruntuhan moral dewasa ini dan memahami bahwa tanda majemuk dari hari-hari terakhir sedang digenapi dalam bentuk peristiwa-peristiwa sekarang ini dapat menantikan masa depan yang luar biasa. Untuk itu, kita bersyukur kepada Allah Yang Mahakuasa, yang peduli terhadap kita, manusia, dan yang memiliki maksud-tujuan mulia bagi ciptaan-Nya, bumi ini.​—Mazmur 37:10, 11, 29; 1 Petrus 5:6, 7.

      Saksi-Saksi Yehuwa mengundang Anda untuk belajar lebih banyak tentang Pencipta kita yang pengasih dan prospek untuk hidup di dunia yang bersih secara moral, yang akan Ia berikan kepada semua orang yang mencari-Nya. Seperti yang Alkitab katakan, ”Ini berarti kehidupan abadi, bahwa mereka terus memperoleh pengetahuan mengenai dirimu, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenai pribadi yang engkau utus, Yesus Kristus.”​—Yohanes 17:3.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan