-
Polisi—Mengapa Mereka Dibutuhkan?Sedarlah!—2002 | 8 Juli
-
-
Polisi—Mengapa Mereka Dibutuhkan?
SEPERTI apa jadinya hidup ini kalau tidak ada polisi? Nah, apa yang terjadi pada tahun 1997 sewaktu 18.000 petugas polisi mogok kerja di kota Recife, Brasil, sehingga lebih dari sejuta penduduknya sama sekali tidak memperoleh pelayanan polisi?
”Dalam lima hari yang penuh dengan kekacauan di kota metropolis tepi pantai ini, angka pembunuhan harian meningkat tiga kali lipat,” lapor The Washington Post. ”Delapan bank dirampok. Geng-geng mengamuk di sebuah mal perbelanjaan dan mengacau permukiman penduduk kelas atas sambil menembak-nembakkan senjata api. Dan, tidak ada yang mematuhi peraturan lalu lintas. . . . Gelombang kejahatan ini telah mengakibatkan begitu banyak mayat sehingga hampir melampaui kapasitas kamar mayat dan sangat banyak pasien membanjiri rumah sakit pemerintah terbesar, tempat para korban yang tertembak dan tertusuk dibaringkan di lantai koridor.” Menteri kehakiman dilaporkan mengatakan, ”Pelanggaran hukum separah ini belum pernah terjadi di sini.”
Di mana pun kita tinggal, kejahatan selalu ada dan tersembunyi di balik lapisan tipis peradaban. Kita butuh perlindungan polisi. Tentu saja, kebanyakan dari kita telah mendengar tentang kebrutalan, korupsi, ketidakpedulian, dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh beberapa petugas polisi. Insiden ini bervariasi kadarnya dari satu negeri ke negeri lainnya. Namun, apa jadinya kita tanpa polisi? Bukankah polisi justru sering kali menyediakan pelayanan yang berharga? Sedarlah! bertanya kepada beberapa polisi di berbagai belahan dunia tentang mengapa mereka memilih karier ini.
Pelayanan Sosial bagi Masyarakat
”Saya senang membantu orang-orang,” kata Ivan, seorang polisi Inggris. ”Saya tertarik dengan keragaman pekerjaannya. Masyarakat umumnya tidak sadar bahwa menangani kejahatan hanyalah 20 hingga 30 persen pekerjaan polisi. Pekerjaan polisi sebetulnya lebih condong ke pelayanan sosial bagi masyarakat. Sewaktu sedang berpatroli, saya sering menangani kasus kematian mendadak, kecelakaan lalu lintas, tindak kejahatan, dan orang lansia yang kebingungan dan butuh bantuan. Rasanya puas sekali kalau dapat memulangkan seorang anak yang hilang atau membantu korban kejahatan menghadapi trauma emosinya.”
Stephen adalah seorang mantan polisi di Amerika Serikat. Ia mengatakan, ”Sebagai seorang polisi, kita memiliki sumber daya dan waktu untuk memberikan bantuan yang terbaik sewaktu orang datang kepada kita dengan tulus untuk meminta bantuan. Hal itulah yang membuat saya tertarik kepada pekerjaan ini. Saya ingin siap membantu orang dan menanggung beban mereka. Saya merasa bahwa saya turut melindungi orang-orang dari kejahatan, setidaknya hingga taraf tertentu. Saya menangkap lebih dari 1.000 orang dalam lima tahun. Namun, menemukan anak hilang, menolong pasien Alzheimer yang kesasar, dan menemukan kendaraan yang dicuri, semuanya menghasilkan kepuasan. Selain itu, ada keasyikan dalam mengejar dan menangkap pelaku kejahatan.”
”Saya ingin menolong orang-orang yang berada dalam keadaan darurat,” kata Roberto, seorang polisi di Bolivia. ”Sewaktu muda, saya mengagumi polisi karena mereka melindungi orang-orang dari bahaya. Di awal karier saya, saya berpatroli dengan berjalan kaki di pusat kota, tempat berdirinya gedung-gedung pemerintah. Kami menghadapi demonstrasi politik hampir setiap hari. Tugas saya adalah mencegah agar situasinya tidak berubah menjadi kekerasan. Saya mendapati bahwa jika saya ramah dan bersikap masuk akal dengan para pemimpinnya, saya dapat menghindari kerusuhan yang dapat mencederai banyak orang. Rasanya memuaskan.”
Cakupan pelayanan yang disediakan polisi sangat luas. Mereka telah menangani berbagai situasi, mulai dari menyelamatkan kucing di pohon sampai menyelamatkan sandera yang disekap para teroris dan menghadapi perampok bank. Meskipun demikian, sejak kepolisian modern didirikan, mereka telah menjadi fokus harapan dan sekaligus kekhawatiran. Artikel berikut akan membahas mengapa demikian.
-
-
Perlindungan Polisi—Harapan dan KekhawatiranSedarlah!—2002 | 8 Juli
-
-
Perlindungan Polisi—Harapan dan Kekhawatiran
BANYAK orang di Inggris pada awal abad ke-19 menolak proposal untuk membentuk pasukan polisi profesional yang berseragam. Mereka khawatir bahwa jika pemerintah pusat memiliki pasukan bersenjata, hal itu dapat mengancam kebebasan mereka. Ada yang khawatir kalau pasukan ini akhirnya akan menjadi sistem polisi mata-mata seperti yang dimiliki Prancis di bawah pimpinan Joseph Fouché. Meskipun demikian, mereka diharuskan bertanya kepada diri sendiri, ’Apa jadinya kita tanpa polisi?’
London telah menjadi kota terbesar dan terkaya di dunia; kejahatan terus meningkat dan mengancam bisnis. Relawan penjaga malam, penangkap pencuri profesional, maupun para detektif swasta Bow Street, tidak sanggup melindungi orang-orang dan properti mereka. Kata Clive Emsley dalam bukunya, The English Police: A Political and Social History, ”Semakin banyak orang beranggapan bahwa kejahatan dan ketidaktertiban seharusnya tidak ada dalam masyarakat yang beradab.” Jadi, penduduk London berharap segala sesuatu akan berlangsung dengan baik dan memutuskan dibentuknya pasukan polisi profesional di bawah pengarahan Sir Robert Peel.a Pada bulan September 1829, para konstabel (polisi) berseragam dari Kepolisian Metropolitan mulai berpatroli.
Sejak awal sejarah modern mereka, subjek tentang polisi telah menimbulkan pro dan kontra antara harapan dan kekhawatiran—harapan bahwa mereka akan menyediakan keamanan dan kekhawatiran bahwa mereka akan menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Kepolisian Amerika Dimulai
Di Amerika Serikat, New York City merupakan kota pertama yang memiliki pasukan polisi profesional. Seraya kekayaan kota ini bertambah, bertambah pula kejahatannya. Pada tahun 1830-an, setiap keluarga dapat membaca kisah-kisah mengerikan tentang kejahatan yang dicetak di berbagai surat kabar murah yang baru diterbitkan—penny press. Protes masyarakat meningkat, dan New York membentuk pasukan polisinya pada tahun 1845. Sejak saat itu, penduduk New York mengagumi polisi London dan begitu pula sebaliknya.
Seperti halnya orang Inggris, orang Amerika juga merasa khawatir terhadap adanya pasukan bersenjata di tangan pemerintah. Namun, kedua negara ini memiliki solusi yang berbeda. Orang Inggris memilih pasukan polisi yang sopan, bertopi tinggi, dan berseragam biru gelap. Mereka hanya dipersenjatai pentungan pendek yang tersembunyi. Hingga sekarang, para bobby Inggris ini masih tidak membawa senjata api kecuali dalam situasi darurat. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh sebuah laporan, ”semakin banyak orang yang merasa yakin . . . bahwa cepat atau lambat, polisi Inggris akan menjadi pasukan bersenjata lengkap”.
Di Amerika Serikat, rasa takut bahwa kekuasaan pemerintah akan disalahgunakan menghasilkan dikeluarkannya Amandemen Kedua dalam Konstitusi AS, yang menjamin ”hak rakyat untuk memiliki dan membawa Senjata Api”. Akibatnya, polisi menginginkan senjata api. Akhirnya, hal ini menghasilkan tembak-menembak di jalanan yang menjadi ciri khas polisi dan perampok Amerika, setidaknya dalam kesan masyarakat. Alasan lain sikap orang Amerika mengenai membawa senjata api adalah karena pasukan polisi yang pertama di Amerika Serikat lahir di dunia yang sangat berbeda dengan London. New York sudah kacau-balau seraya populasinya menjamur. Masuknya ribuan imigran terutama dari Eropa dan orang Afrika-Amerika setelah dimulainya Perang Sipil pada tahun 1861-65 mengakibatkan tindak kekerasan rasial. Polisi merasa bahwa mereka harus menerapkan metode yang lebih tegas.
Oleh karena itu, polisi sering dianggap sebagai orang-orang jahat yang dibutuhkan. Orang-orang rela menghadapi ekses-ekses yang kadang terjadi dengan harapan memperoleh ketertiban dan keamanan hingga taraf tertentu. Akan tetapi, di beberapa bagian dunia, pasukan polisi jenis lain muncul.
Polisi yang Menakutkan
Pada awal abad ke-19, sewaktu pasukan polisi modern mulai berkembang, sebagian besar umat manusia hidup di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Eropa. Secara umum, polisi Eropa diorganisasi untuk melindungi para penguasa dan bukannya rakyat. Bahkan, orang Inggris, yang sangat membenci gagasan tentang polisi bersenjata yang bergaya militer di tanah air mereka sendiri, tampaknya tidak banyak protes soal penggunaan polisi militer untuk menundukkan koloni-koloninya. Rob Mawby, dalam bukunya Policing Across the World, mengatakan, ”Insiden kebrutalan, korupsi, tindak kekerasan, pembunuhan, dan penyalahgunaan kekuasaan polisi terjadi pada hampir setiap dekade sejarah polisi kolonial.” Setelah menunjukkan bahwa polisi kerajaan-kerajaan Eropa juga menyediakan beberapa keuntungan, buku yang sama ini menambahkan bahwa hal itu ”sangat mempengaruhi bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk menganggap polisi sebagai alat pemerintah dan bukan pelayan masyarakat”.
Pemerintah-pemerintah lalim, yang takut akan timbulnya revolusi, hampir selalu menggunakan polisi rahasia untuk memata-matai warga mereka. Polisi seperti itu memperoleh informasi melalui penyiksaan dan menghilangkan orang-orang yang dianggap melakukan makar melalui pembunuhan atau penangkapan tanpa persidangan. Nazi punya Gestapo, Uni Soviet punya KGB, dan Jerman Timur punya Stasi. Hebatnya, Stasi mempekerjakan 100.000 petugas dan mungkin setengah juta informan untuk mengendalikan populasi sekitar 16 juta orang. Mereka mendengarkan percakapan telepon selama 24 jam dan membuat laporan tertulis tentang sepertiga populasi di sana. ”Petugas Stasi tidak tahu batas dan tidak tahu malu,” kata John Koehler dalam bukunya, Stasi. ”Para pemimpin agama, termasuk para pejabat tinggi denominasi Protestan maupun Katolik, direkrut secara besar-besaran sebagai informan rahasia. Kantor-kantor dan bilik-bilik pengakuan dosa mereka dijejali alat penyadap.”
Akan tetapi, polisi yang menakutkan tidak hanya ada di pemerintahan yang lalim. Polisi kota besar di tempat-tempat lain telah dituduh menyebabkan teror sewaktu mereka menjalankan gaya penegakan hukum yang terlalu agresif, khususnya jika sasaran mereka adalah kaum minoritas. Sewaktu mengomentari tentang suatu skandal yang dipublikasikan secara luas di Los Angeles, sebuah majalah berita menyatakan bahwa skandal itu ”memperlihatkan bahwa kebejatan polisi telah mencapai suatu tingkat baru dalam pelanggaran hukum dan memunculkan istilah baru: polisi gangster”.
Oleh karena itu, para pejabat pemerintah bertanya-tanya, Apa yang dapat dilakukan kesatuan-kesatuan kepolisian untuk memperbaiki citra mereka? Dalam upaya untuk menandaskan peranan mereka sebagai pelayan masyarakat, banyak pasukan polisi telah mencoba menekankan aspek-aspek yang berorientasi pada masyarakat dalam tugas mereka.
Harapan akan Polisi yang Melayani Masyarakat
Gaya tradisional polisi Jepang yang melayani masyarakat telah menarik minat dunia. Berdasarkan tradisi, polisi Jepang bekerja dari kantor-kantor distrik kecil yang dioperasikan oleh sekitar dua belas petugas yang bekerja secara bergilir. Kata dosen kriminologi asal Inggris yang sudah lama tinggal di Jepang, Frank Leishman, ”Cakupan kegiatan pelayanan yang ramah yang disediakan para petugas koban (kantor polisi kecil) sudah melegenda: memberikan informasi tentang alamat di jalan-jalan Jepang yang umumnya tidak bernama; meminjamkan payung tak bertuan kepada para komuter yang terperangkap hujan; memastikan agar para sararimen (pekerja kantor) yang mabuk mendapat kereta terakhir untuk pulang; dan memberikan nasihat tentang ’masalah-masalah warga’.” Polisi yang berorientasi pada masyarakat telah menjadi faktor yang membuat jalan-jalan di Jepang aman, suatu reputasi yang sangat diidam-idamkan.
Mungkinkah polisi jenis ini dapat diterapkan dengan efektif di tempat-tempat lain? Beberapa orang yang mempelajari kriminologi mulai melihat hikmahnya. Kemajuan modern dalam bidang komunikasi telah cenderung menjauhkan polisi dari orang-orang yang mereka layani. Dewasa ini, di banyak kota, polisi sering kali sepertinya hanya bereaksi kalau ada keadaan darurat. Kadang-kadang, tampak bahwa konsep awal berupa pencegahan kejahatan telah hilang. Sebagai tanggapan terhadap kecenderungan ini, neighborhood watch atau semacam siskamling (sistem keamanan lingkungan) kembali populer.
Neighborhood Watch
”Sistem ini cukup berhasil; hal ini banyak mengurangi kejahatan,” kata Dewi, seorang petugas polisi di Wales. ”Neighborhood watch berarti mengajak orang-orang untuk saling menjaga. Kami mengorganisasi berbagai pertemuan sehingga warga dapat mengenal satu sama lain, saling memberi nama dan nomor telepon, dan mendengarkan caranya mencegah kejahatan. Saya menikmati proyek ini karena hal ini menghadirkan kembali perasaan bermasyarakat di antara warga. Sering kali, orang-orang bahkan tidak kenal tetangganya sendiri. Program ini berjalan lancar karena meningkatkan kewaspadaan masyarakat.” Hal ini juga memperbaiki hubungan antara polisi dan masyarakat.
Prakarsa lainnya adalah mengajak polisi agar lebih berbelas kasihan terhadap korban. Viktimolog (pakar penanganan korban) terkenal asal Belanda, Jan van Dijk, menulis, ”Polisi harus diajari bahwa sikap mereka terhadap korban sama pentingnya dengan sikap dokter terhadap pasiennya.” Di banyak negeri, polisi masih belum menganggap kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan sebagai kejahatan yang serius. Namun, Rob Mawby mengatakan, ”Cara polisi menangani kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan telah sangat membaik beberapa tahun belakangan ini. Meskipun demikian, masih ada banyak hal yang harus diperbaiki.” Salah satunya adalah penyalahgunaan kekuasaan, dan ini berlaku bagi hampir semua pasukan polisi.
Kekhawatiran terhadap Korupsi oleh Polisi
Terkadang, rasanya naif kalau mengatakan bahwa kita merasa dilindungi oleh polisi, khususnya sewaktu beredar berita tentang korupsi oleh polisi. Laporan-laporan seperti itu sudah ada sejak permulaan sejarah polisi. Buku NYPD—A City and Its Police melukiskan bahwa pada tahun 1855, ”banyak penduduk New York merasa sulit membedakan antara preman dan polisi”. Buku Faces of Latin America, oleh Duncan Green, melaporkan bahwa pasukan polisi di sana ”terkenal sarat dengan korupsi, ketidakbecusan, dan pelanggaran hak asasi”. Kepala staf sebuah kesatuan polisi Amerika Latin yang berkekuatan 14.000 personel mengatakan, ”Apa yang bisa diharapkan dari polisi yang gajinya cuma kurang dari [100 dolar AS] per bulan? Kalau dia ditawari suap, bisakah dia menolaknya?”
Seberapa seriuskah masalah korupsi? Jawabannya bergantung pada siapa yang Anda tanyai. Seorang polisi Amerika Utara yang telah bertahun-tahun berpatroli di sebuah kota yang berpenduduk 100.000 orang menjawab, ”Polisi yang tidak jujur pasti ada, tapi sebagian besar jujur. Itulah yang saya amati sendiri.” Di pihak lain, seorang investigator kejahatan yang telah berpengalaman selama 26 tahun di negara lain menjawab, ”Saya kira korupsi itu ada di mana-mana. Kejujuran di kalangan polisi sudah sangat jarang. Jika seorang polisi menggeledah rumah yang kemalingan dan menemukan uang, kemungkinan besar ia akan mengambilnya. Jika ia menemukan benda-benda berharga hasil curian, ia akan mengambil sebagian darinya.” Mengapa beberapa polisi menjadi korup?
Ada yang awalnya menjunjung standar etika yang tinggi tetapi kemudian takluk pada pengaruh rekan-rekan yang korup dan standar bejat dari dunia kejahatan yang dengannya mereka sehari-hari terlibat. Buku What Cops Know mengutip kata-kata seorang petugas patroli Chicago, ”Polisi kenal baik dengan kejahatan melalui pengalaman pribadi mereka. Mereka dikelilingi kejahatan. Mereka menyentuhnya . . . merasakannya . . . membauinya . . . mendengarkannya . . . mereka harus menanganinya.” Kontak dengan kebejatan demikian dapat dengan mudah memberikan efek negatif.
Meskipun polisi menyediakan pelayanan yang sangat berharga, hal itu masih jauh dari ideal. Dapatkah kita mengharapkan sesuatu yang lebih baik?
[Catatan Kaki]
a Polisi Inggris menjadi dikenal dengan sebutan bobby berdasarkan nama pendirinya, Sir Robert (Bobby) Peel.
[Kotak/Gambar di hlm. 8, 9]
”Bobby Inggris Hebat-Hebat, Ya?”
Orang Inggris termasuk yang pertama-tama menikmati kemewahan berupa pasukan polisi profesional. Mereka ingin masyarakatnya terorganisasi dengan baik—seperti sistem kereta kuda mereka yang efisien dan begitu tepat waktu. Pada tahun 1829, Menteri Dalam Negeri, Sir Robert (Bobby) Peel, meyakinkan Parlemen untuk menyetujui dibentuknya Polisi Metropolitan London, yang bermarkas besar di Scotland Yard. Para bobby ini, yang pada awalnya tidak disukai karena mengambil tindakan tegas terhadap para pemabuk dan penjudi jalanan, akhirnya menjadi favorit masyarakat.
Pada tahun 1851, London dengan bangga mengundang dunia untuk datang ke Great Exhibition (Pameran Akbar) dan mengagumi pencapaian industri Inggris. Para tamu dibuat kagum oleh jalan-jalan yang tertib dan tidak adanya pemabuk, pelacur, dan gelandangan. Polisi-polisi yang efisien mengatur keramaian, mengangkatkan kopor pengunjung, membantu orang menyeberang jalan, dan bahkan membopong para wanita lansia ke taksi. Tidak heran, orang-orang Inggris dan juga para pengunjung dari luar negeri sering mengatakan, ”Bobby Inggris hebat-hebat, ya?”
Mereka tampak begitu efektif dalam mencegah kejahatan sampai-sampai kepala konstabel kota Chester pada tahun 1873 membayangkan saat manakala kejahatan profesional sama sekali tidak ada! Polisi juga mulai mengorganisasi pelayanan ambulans dan pemadam kebakaran. Mereka mengatur pengumpulan dana untuk menyediakan sepatu dan pakaian bagi orang miskin. Ada yang mengorganisasi klub bagi anak-anak lelaki, acara jalan-jalan, dan rumah-rumah liburan.
Tentu saja, polisi baru ini juga punya masalah dalam mendisiplin polisi yang melakukan korupsi dan bertindak brutal. Namun, kebanyakan dengan bangga menjaga ketertiban tanpa banyak menggunakan kekerasan. Pada tahun 1853, para polisi di Wigan, Lancashire, harus menghadapi kerusuhan yang ditimbulkan oleh para penambang yang mogok kerja. Sang sersan yang berani, yang hanya memiliki sepuluh orang anak buah, dengan kukuh menolak menggunakan senjata-senjata api dari sang pemilik tambang. Semangat yang berkembang ini tergambar dalam sepucuk surat yang diterima oleh Hector Macleod pada tahun 1886 sewaktu ia mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi. Sebagaimana dikutip dalam The English Police, surat itu berbunyi, ”Jika Anda kasar, Anda akan kehilangan simpati masyarakat . . . Saya mendahulukan kepentingan umum karena Anda adalah abdi masyarakat, orang-orang yang sekarang ini harus Anda layani, dan sudah merupakan tugas Anda untuk menyenangkan mereka maupun komandan Anda.”
Hayden, seorang purnawirawan inspektur Polisi Metropolitan, mengatakan, ”Kami diajarkan untuk selalu bertindak dengan pengendalian diri karena keberhasilan tugas polisi membutuhkan dukungan masyarakat. Pentung kayu kami yang pendek benar-benar merupakan sarana paling akhir yang tidak ingin digunakan oleh kebanyakan petugas sepanjang seluruh karier mereka.” Yang juga turut menyumbang pada citra positif bobby Inggris adalah sebuah serial TV populer yang telah ditayangkan selama 21 tahun tentang seorang konstabel jujur yang mengenal semua orang di daerah tugasnya, Dixon of Dock Green. Film ini kemungkinan besar mendorong polisi untuk bertindak sesuai dengan citra tersebut, tetapi yang pasti, hal ini mendorong penduduk Inggris untuk mengagumi polisi.
Sikap ini berubah pada tahun 1960-an, dan tradisi kebanggaan nasional ini telah berubah menjadi tradisi mempertanyakan pihak berwenang. Laporan-laporan tentang korupsi dan rasisme di jajaran kepolisian merusak citra polisi pada tahun 1970-an, meski mereka berupaya memperoleh dukungan publik melalui program neighborhood watch. Baru-baru ini, setelah dikenai beberapa tuduhan rasisme dan memalsukan barang bukti guna memperoleh keputusan bersalah, polisi telah mengerahkan upaya yang tulus lebih lanjut untuk mengadakan perbaikan.
[Keterangan]
Photograph above: http://www.constabulary.com
[Kotak/Gambar di hlm. 10]
Keajaiban di New York?
Jika polisi mengerahkan upaya khusus, hasilnya bisa menakjubkan. New York sejak lama telah dianggap sebagai salah satu kota yang paling berbahaya di dunia, dan pada akhir tahun 1980-an, tampaknya polisi di sana sudah putus asa dan tidak sanggup lagi mengendalikan kejahatan. Tekanan ekonomi memaksa pemerintah kota untuk tidak menaikkan upah dan mengurangi tenaga kepolisian. Para pengedar narkoba memperluas aktivitas mereka dan mengakibatkan gelombang tindak kekerasan yang mengerikan. Penduduk pusat kota tidur sambil mendengar suara tembakan. Pada tahun 1991, ada kerusuhan-kerusuhan besar soal ras, dan polisi sendiri melancarkan protes keras untuk menyatakan keluhan mereka.
Akan tetapi, seorang kepala polisi baru berminat untuk memotivasi para petugasnya dan mengadakan pertemuan rutin dengan mereka untuk menganalisis strategi, wilayah per wilayah. James Lardner dan Thomas Reppetto dalam buku mereka, NYPD, menjelaskan, ”Kepala reserse atau kepala Biro Narkotik adalah orang-orang yang namanya sering dibaca di surat kabar oleh para komandan wilayah tetapi jarang mereka temui. Sekarang, mereka semua sering mengadakan pertemuan selama berjam-jam.” Angka kejahatan mulai menurun. Angka pembunuhan dilaporkan menurun secara progresif dari hampir 2.000 pada tahun 1993 menjadi 633 pada tahun 1998—yang terendah dalam 35 tahun. Penduduk New York menyebutnya sebagai keajaiban. Penurunan angka kejahatan yang dilaporkan selama delapan tahun terakhir ini telah mencapai 64 persen.
Bagaimana perbaikan ini dicapai? The New York Times tanggal 1 Januari 2002, mengatakan bahwa salah satu kunci suksesnya adalah Compstat, ”suatu sistem pelacak kejahatan yang mencakup pemeriksaan statistik per wilayah setiap minggu untuk mengidentifikasi dan menanggapi masalah segera setelah masalah itu muncul”. Mantan komisaris polisi Bernard Kerik menyatakan, ”Kami mengamati di mana kejahatan terjadi, mengapa itu terjadi, dan kemudian kami memindahkan pasukan [polisi] dan sumber daya guna memastikan agar perhatian dipusatkan di daerah-daerah itu. Begitulah caranya kami mengurangi kejahatan.”
[Gambar di hlm. 7]
Kantor polisi khas Jepang
[Gambar di hlm. 7]
Polisi lalu lintas di Hong Kong
[Gambar di hlm. 8, 9]
Pengendali massa di pertandingan sepak bola Inggris
[Gambar di hlm. 9]
Tugas polisi mencakup membantu korban kecelakaan
-
-
Polisi—Apa Masa Depan Mereka?Sedarlah!—2002 | 8 Juli
-
-
Polisi—Apa Masa Depan Mereka?
TANPA polisi, kemungkinan besar akan ada anarki. Namun, sekalipun ada polisi, apakah dunia kita aman? Di kebanyakan kota dewasa ini, juga di banyak daerah pedesaan, ada keprihatinan yang serius tentang keamanan. Dapatkah kita mengharapkan polisi untuk menyelamatkan kita dari kejahatan terorganisasi dan dari penjahat kambuhan? Dapatkah kita mengharapkan polisi untuk membuat jalan-jalan kita aman? Apakah mereka akan memenangkan perang melawan kejahatan?
David Bayley menyampaikan sebuah pendapat dalam bukunya, Police for the Future, ”Polisi tidak mencegah kejahatan,” katanya. ”Polisi sebenarnya hanyalah bagaikan plester yang ditempel pada kanker. . . . Untuk menyelamatkan masyarakat dari kejahatan, kita tidak dapat mengandalkan polisi, bahkan jika mereka mengabdikan diri untuk mencegah kejahatan.” Penelitian memperlihatkan bahwa tiga kegiatan utama polisi—mempatroli jalan-jalan, merespons panggilan darurat, dan menyelidiki kejahatan—tidak mencegah kejahatan. Mengapa demikian?
Berupaya mencegah kejahatan dengan sekadar meningkatkan jumlah polisi akan terlalu mahal dan hal itu mustahil. Kalaupun ada peningkatan patroli, tampaknya para penjahat tidak memperhatikan atau mempedulikannya. Respons yang cepat juga tidak mencegah banyaknya kejahatan. Polisi telah melaporkan bahwa kalau mereka tidak tiba di tempat kejadian perkara dalam waktu kurang dari satu menit, pelakunya pasti sudah kabur. Para penjahat tampaknya tahu bahwa jarang ada polisi yang bisa secepat itu. Penyidikan kriminal juga tidak membantu. Bahkan sekalipun para petugas reserse berhasil membuktikan kesalahan para penjahat dan memenjarakan mereka, hal itu tampaknya tidak mencegah kejahatan. Amerika Serikat memenjarakan lebih banyak penjahat daripada bangsa lain mana pun, tetapi masih saja memiliki angka kriminalitas yang sangat tinggi; sedangkan Jepang, yang jumlah narapidananya lebih sedikit, malah termasuk yang angka kejahatannya terendah. Bahkan, program-program seperti neighborhood watch tidak memiliki efek yang bertahan lama, khususnya di daerah-daerah yang rawan kejahatan. Terbongkarnya kejahatan-kejahatan tertentu, seperti perdagangan narkoba atau perampokan, memiliki hasil yang mencolok untuk sementara, tetapi, lagi-lagi, sulit untuk bertahan lama.
”Fakta bahwa polisi tidak sanggup mencegah kejahatan seharusnya tidak mengagetkan orang-orang yang suka berpikir,” kata Police for the Future. ”Secara umum dipahami bahwa yang menentukan tingkat kejahatan dalam masyarakat adalah keadaan-keadaan sosial di luar kendali kepolisian dan juga di luar kendali sistem peradilan pidana secara keseluruhan.”
Apa yang Akan Terjadi Seandainya Tak Ada Polisi?
Apa yang akan Anda lakukan seandainya tidak ada polisi yang berjaga? Apakah Anda akan memanfaatkan ketidakhadiran mereka untuk melanggar hukum? Sungguh mencengangkan, banyak orang dari kelas menengah dan atas yang dihormati rela mempertaruhkan reputasi dan masa depan demi keuntungan tidak halal dari kejahatan kerah-putih. The New York Times baru-baru ini melaporkan tentang ’112 orang yang dituduh melakukan penipuan, yang dikatakan terlibat dalam rencana penipuan atas perusahaan-perusahaan asuransi kendaraan. Yang termasuk para tertuduh adalah pengacara, dokter, kiropraktor, seorang ahli terapi fisik, seorang ahli akupunktur, dan seorang petugas administrasi Departemen Kepolisian’.
Baru-baru ini, kasus penipuan lain berskala besar mengejutkan para pendana dunia seni yang kaya raya sewaktu para mantan pengurus utama rumah lelang Sotheby’s di New York dan rumah lelang Christie’s di London dijatuhi hukuman karena melakukan pemalsuan harga. Mereka dan rumah lelang mereka diharuskan membayar denda dan ganti rugi sebanyak ratusan juta dolar AS! Jadi, ketamakan yang tak pernah terpuaskan akan uang menyerang setiap lapisan masyarakat.
Apa yang terjadi di Recife, Brasil, pada tahun 1997 sewaktu polisi mogok kerja, memperlihatkan bahwa banyak orang tidak segan-segan melakukan kejahatan sewaktu tidak ada penghalang. Keyakinan religius apa pun yang mereka miliki tidak mempengaruhi tingkah laku mereka. Mereka dapat dengan mudah mengencerkan atau mengabaikan etika dan prinsip. Tidak heran, polisi di kebanyakan negara selalu kalah dalam dunia yang cenderung melanggar hukum ini, entah itu pelanggaran kecil atau besar.
Di pihak lain, ada orang-orang yang menaati hukum karena mereka memang merespek kalangan berwenang. Rasul Paulus memberi tahu orang-orang Kristen di Roma agar taat kepada kalangan berwenang yang keberadaannya diizinkan Allah, karena mereka ini menjaga ketertiban di masyarakat setidaknya hingga taraf tertentu. Mengenai kalangan berwenang demikian, Paulus menulis, ”Ia adalah pelayan Allah, penuntut-balas untuk menyatakan kemurkaan ke atas orang yang mempraktekkan apa yang buruk. Karena itu, ada alasan yang mendesak bagi kamu sekalian untuk tunduk, bukan hanya karena kemurkaan itu tetapi juga karena hati nuranimu.”—Roma 13:4, 5.
Mengubah Keadaan Sosial
Pekerjaan polisi pasti berpengaruh pada perbaikan kondisi sosial. Jika jalan-jalan tampak bersih dari narkoba dan kekerasan, orang cenderung meniru reputasi komunitas yang telah diperbaiki tersebut. Namun, kenyataannya, mereformasi masyarakat berada di luar kesanggupan polisi mana pun.
Dapatkah Anda membayangkan suatu masyarakat yang orang-orangnya sangat merespek hukum sampai-sampai mereka tidak membutuhkan polisi? Dapatkah Anda membayangkan suatu dunia yang orang-orangnya begitu peduli terhadap satu sama lain sampai-sampai mereka selalu rela saling membantu dan tidak perlu meminta bantuan polisi? Mungkin hal ini kedengarannya cuma khayalan. Namun, kata-kata Yesus berikut ini, meski sedang membahas konteks lain, benar-benar cocok. Ia mengatakan, ”Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bagi Allah semua perkara mungkin.”—Matius 19:26.
Alkitab melukiskan suatu saat di masa depan manakala semua manusia akan menjadi rakyat dari suatu pemerintahan yang didirikan oleh Allah Yehuwa. ”Allah yang berkuasa atas surga akan mendirikan suatu kerajaan . . . Kerajaan itu akan meremukkan dan mengakhiri semua kerajaan ini.” (Daniel 2:44) Dengan mendidik semua orang yang tulus dalam jalan kasih Allah, pemerintahan baru ini akan mengubah keadaan sosial yang menghasilkan kejahatan. ”Bumi pasti akan dipenuhi dengan pengetahuan akan Yehuwa seperti air menutupi dasar laut.” (Yesaya 11:9) Raja yang dilantik Yehuwa, Yesus Kristus, akan sanggup mencegah semua kejahatan. ”Ia tidak akan menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang. Tetapi ia akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan, dan akan menjatuhkan keputusan terhadap orang-orang yang tertindas di negeri dengan kejujuran.”—Yesaya 11:3, 4, Terjemahan Baru.
Tidak akan ada lagi penjahat atau kejahatan. Polisi tidak akan dibutuhkan. Setiap orang ”akan duduk, masing-masing di bawah tanaman anggurnya dan di bawah pohon aranya, dan tidak akan ada orang yang membuat mereka gemetar”. (Mikha 4:4) Jika Anda ingin menjadi bagian dari ”bumi baru” yang dilukiskan dalam Alkitab, sekaranglah saatnya untuk menyelidiki apa yang telah Allah janjikan dalam Firman-Nya.—2 Petrus 3:13.
[Kutipan di hlm. 12]
Dapatkah Anda membayangkan suatu masyarakat yang orang-orangnya sangat merespek hukum sampai-sampai mereka tidak membutuhkan polisi?
[Kutipan di hlm. 12]
Tidak akan ada penjahat atau kejahatan
[Kotak/Gambar di hlm. 11]
Polisi versus Teroris
Sebagaimana diilustrasikan oleh peristiwa tanggal 11 September 2001 di New York City dan Washington, DC, pembajakan pesawat udara, penyanderaan, dan teroris menghadapkan polisi kepada beberapa tantangan tersulit dalam melindungi publik. Pasukan-pasukan khusus di banyak bagian dunia telah dilatih untuk menyerbu pesawat yang diparkir dan mengambil alih kendali. Mereka juga telah mempelajari caranya masuk secara tiba-tiba ke dalam gedung—turun dari atap dengan tali, melompat lewat jendela, dan melemparkan granat pengejut (granat yang mengeluarkan gelombang kejut berfrekuensi sangat tinggi yang membuat orang pingsan) serta tabung gas air mata. Para petugas yang terlatih demikian sering kali berhasil menyergap dan mengatasi teroris tanpa banyak membahayakan sandera.
[Keterangan]
James R. Tourtellotte/U.S. Customs Service
[Gambar di hlm. 12]
Benda-benda yang tidak akan dibutuhkan lagi dalam dunia baru Allah
-