-
Bagaimana dengan Seks Pranikah?Pertanyaan Kaum Muda—Jawaban yang Praktis
-
-
Akibat Setelahnya
Bahkan pada zaman Alkitab, ada orang-orang yang mengadakan hubungan seks pranikah. Seorang wanita yang imoral akan mengundang seorang pemuda untuk memuaskan hawa nafsunya, dengan berkata: “Marilah kita memuaskan berahi hingga pagi hari, dan bersama-sama menikmati asmara.” (Amsal 7:18) Namun, Alkitab memperingatkan bahwa kesenangan yang dinikmati hari ini dapat menimbulkan sakit keesokan harinya. “Karena bibir perempuan jalang menitikkan tetesan madu dan langit-langit mulutnya lebih licin dari pada minyak,” kata Salomo. “Tetapi,” ia melanjutkan, “kemudian ia pahit seperti empedu, dan tajam seperti pedang bermata dua.”—Amsal 5:3, 4.
Salah satu akibat yang mungkin timbul setelah itu ialah penyakit yang ditularkan melalui seks. Bayangkan betapa menyedihkan jika bertahun-tahun kemudian seseorang mengetahui bahwa pengalaman seksualnya telah menimbulkan kerugian yang tak dapat diperbaiki, mungkin kemandulan atau problem kesehatan yang serius! Seperti diperingatkan Amsal 5:11: “Pada akhirnya engkau akan mengeluh, kalau daging dan tubuhmu habis binasa.” Akibat dari seks pranikah juga adalah anak-anak yang tidak sah (lihat halaman 184-5), aborsi, dan perkawinan sebelum waktunya—masing-masing dengan akibatnya yang menyakitkan hati. Ya, seseorang yang mengadakan hubungan seks pranikah, benar-benar “berbuat dosa terhadap tubuhnya sendiri.”—1 Korintus 6:18, BIS.
Menyadari bahaya-bahaya tersebut, Dr. Richard Lee menulis dalam Yale Journal of Biology and Medicine (Jurnal Biologi dan Obat-Obatan dari Yale): “Kita membanggakan diri kepada kaum remaja kita mengenai prestasi besar kami dalam mencegah kehamilan dan mengobati penyakit kelamin, tanpa mengindahkan pencegah yang paling dapat dipercaya dan spesifik, tidak mahal dan tidak meracuni perasaan tertekan karena penyakit kelamin dan masa kehamilan—keadaan yang kuno, terhormat, dan bahkan sehat dari keperawanan.”
Perasaan Bersalah dan Kecewa
Banyak remaja selanjutnya mendapati bahwa seks pranikah sangat mengecewakan. Akibatnya? Perasaan bersalah dan berkurangnya harga diri. Dennis yang berumur 23 tahun mengakui: “Hal itu sangat mengecewakan—tidak ada perasaan senang atau kehangatan cinta seperti yang disangka semula. Sebaliknya kesadaran penuh akan betapa salahnya perbuatan itu memukul saya. Saya benar-benar merasa malu terhadap kurangnya pengendalian diri saya.” Seorang wanita muda mengakui: “Saya kembali kepada kenyataan dengan pukulan yang memuakkan. . . . Pesta telah berakhir dan saya merasa muak, murahan, dan najis. Saya sama sekali tidak merasa lebih baik ketika mendengar dia [sang pria] mengatakan, ‘Mengapa kau tidak menghentikan kita sebelum berlangsung terlalu jauh?’”
Reaksi semacam itu tidak jarang, menurut Dr. Jay Segal. Setelah meneliti kegiatan seks dari 2.436 mahasiswa universitas, ia menyimpulkan: “Pengalaman pertama [dalam hubungan seks] yang tidak memuaskan dan mengecewakan jauh lebih banyak daripada yang memuaskan dan menggetarkan dengan perbandingan hampir dua banding satu. Pihak pria maupun wanitanya ingat bahwa mereka sangat kecewa.” Memang, bahkan pasangan-pasangan yang sudah menikah kadang-kadang mempunyai kesulitan dalam hal seks. Namun dalam perkawinan, di mana ada kasih dan ikatan yang tulus, problem-problem semacam itu biasanya dapat diselesaikan.
Akibat Seks Bebas
Ada remaja-remaja yang sama sekali tidak merasa bersalah dalam mengadakan hubungan, maka mereka berbuat apa saja untuk mendapatkan kepuasan hawa nafsu, berhubungan seks dengan beragam pasangan. Seorang peneliti, Robert Sorensen, dalam penelitiannya atas seksualitas remaja, mengamati bahwa remaja-remaja seperti itu akan menanggung akibat dari hubungan seks bebas itu. Sorensen menulis: “Dalam wawancara-wawancara kami secara perorangan, banyak [remaja yang mengadakan hubungan seks bebas] menyingkapkan . . . bahwa mereka menganggap mereka melakukan kegiatan tanpa tujuan yang berarti dan dengan sedikit kepuasan diri.” Empat puluh enam persen dari mereka menyetujui pernyataan, “Dengan cara saya hidup seperti sekarang ini, kebanyakan dari kecakapan saya akan terbuang dengan sia-sia.” Sorensen selanjutnya mendapati bahwa remaja-remaja yang melakukan hubungan seks bebas ini melaporkan memiliki perasaan “percaya diri dan harga diri” yang rendah.
Halnya tepat seperti dikatakan Amsal 5:9 (Klinkert): Mereka yang melakukan imoralitas “menyerahkan kemuliaan [mereka] kepada orang lain.”
Keesokan Paginya
Setelah suatu pasangan mengadakan hubungan gelap, mereka sering memandang satu sama lain dengan perasaan yang berbeda daripada sebelumnya. Seorang anak laki-laki mungkin mendapati bahwa perasaannya terhadap gadis itu tidak sehebat semula; ia mungkin bahkan mendapati gadis itu kurang menarik. Seorang gadis, sebaliknya, mungkin merasa dimanfaatkan. Ingat kisah Alkitab tentang pria muda Amnon dan betapa tergila-gila ia terhadap sang perawan Tamar. Namun, setelah bersetubuh dengannya, “timbullah kebencian yang sangat besar pada Amnon terhadap gadis itu.”—2 Samuel 13:15.
Seorang gadis bernama Maria mengalami hal yang sama. Setelah mengadakan hubungan seks, ia mengakui: “Saya membenci diri sendiri (karena kelemahan saya), dan saya membenci pacar saya. Sebenarnya, hubungan seks yang kami sangka akan lebih mendekatkan kami ternyata mengakhiri hubungan kami. Saya bahkan tidak ingin bertemu lagi dengan dia.” Ya, dengan mengadakan hubungan seks pranikah, suatu pasangan melewati garis yang tidak pernah akan dapat mereka lampaui kembali!
Paul H. Landis, seorang peneliti yang dihormati dalam bidang kehidupan keluarga, mengamati: “Dampak sementara [dari seks pranikah] mungkin memang meneguhkan hubungan itu, namun dampak jangka panjangnya dapat sangat berbeda.” Sesungguhnya, pasangan-pasangan yang mengadakan hubungan seks mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berpisah dari mereka yang tidak melakukannya! Alasannya? Hubungan yang tidak sah akan mengembangkan perasaan cemburu dan tidak percaya. Seorang remaja mengakui: “Beberapa orang bila mengadakan persetubuhan, setelah itu berpikir, ‘jika ia mau melakukannya dengan saya mungkin ia telah melakukannya dengan orang lain.’ Sebenarnya, demikianlah perasaan saya. . . . Saya luar biasa cemburu dan ragu-ragu, dan curiga.”
Betapa jauh hal ini dari kasih sejati, yang “tidak cemburu, . . . tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.” (1 Korintus 13:4, 5) Kasih yang membina hubungan yang bertahan lama tidak didasarkan pada nafsu yang buta.
-
-
Bagaimana dengan Seks Pranikah?Pertanyaan Kaum Muda—Jawaban yang Praktis
-
-
[Kotak/Gambar di hlm. 184, 185]
‘Hal Itu Tidak Mungkin Akan Terjadi atas Diri Saya!’—Problem Kehamilan Remaja
“Lebih dari satu di antara 10 remaja menjadi hamil setiap tahun, dan angka perbandingannya makin meningkat. Jika polanya tidak berubah, empat di antara 10 wanita muda akan menjadi hamil sedikitnya satu kali pada waktu masih dalam usia remaja.” Demikian laporan Teenage Pregnancy: The Problem That Hasn’t Gone Away (Kehamilan Remaja: Problem Yang Belum Hilang). Dan gadis-gadis macam apakah yang menjadi hamil? Jurnal Adolescence berkata: “Gadis-gadis usia sekolah yang menjadi hamil berasal dari semua golongan sosial-ekonomi . . . Segala macam suku, segala macam agama, dan semua bagian dari negeri ini, di desa dan di kota.”
Hanya sedikit yang benar-benar ingin menjadi hamil. Dalam penelitiannya berkenaan hal-hal penting yang menjadi tolok ukur atas 400 remaja yang hamil, Frank Furstenberg, Jr., mengungkapkan bahwa “kebanyakan berulang kali menyatakan dalam wawancara, ‘Saya tidak pernah mengira hal itu akan terjadi atas diri saya.’”
Namun mengamati bahwa beberapa dari teman-teman mereka telah menikmati hubungan seks tanpa menjadi hamil, beberapa gadis berpikir mereka dapat berbuat demikian juga. Furstenberg juga menyatakan: “Sejumlah [gadis] mengungkapkan bahwa mereka tidak mengira mereka dapat menjadi hamil ‘segera setelah itu.’ Yang lain berpikir bahwa jika mereka hanya ‘sewaktu-waktu’ melakukan hubungan seks, mereka tidak akan menjadi hamil. . . . Makin lama mereka melakukan hal itu tanpa menjadi hamil, makin besar kemungkinannya mereka mengambil risiko yang lebih tinggi.”
Tetapi, kebenarannya ialah, kapan saja seseorang melakukan hubungan seks, ada risiko menjadi hamil. (Dari sekelompok 544 gadis, ‘hampir seperlima menjadi hamil dalam waktu enam bulan setelah memulai persetubuhan.’) Banyak yang seperti Robin, seorang ibu yang tidak menikah, yang dengan sengaja memutuskan untuk tidak menggunakan kontrasepsi. Robin takut—seperti halnya banyak remaja—bahwa menggunakan pil kontrasepsi akan merusak kesehatannya. Ia mengakui lebih lanjut: “Jika saya memakai alat kontrasepsi, saya harus mengakui kepada diri sendiri bahwa saya melakukan sesuatu yang salah. Saya tidak dapat melakukan itu. Maka saya menghilangkan saja dari pikiran apa yang saya lakukan dan berharap tidak akan terjadi sesuatu.”
Jalan pikiran seperti itu umum di kalangan ibu-ibu yang tidak menikah. Dalam hasil penelitian Furstenberg, “hampir separuh dari remaja-remaja mengatakan bahwa adalah sangat penting bagi seorang wanita agar menunggu sampai perkawinan untuk mulai mengadakan persetubuhan . . . Tidak disangkal, ada kesenjangan yang nyata antara kata-kata dan perbuatan . . . Mereka memperoleh satu set standar dan harus belajar hidup dengan [standar] lain.” Konflik emosional ini “membuat wanita-wanita tersebut sangat sulit menangani secara realistis akibat dari perilaku seks mereka.”
Bahkan menggunakan kontrasepsi bukan jaminan bahwa seorang gadis tidak akan menjadi ibu yang tidak menikah. Buku Kids Having Kids (Anak-Anak yang Mempunyai Anak) mengingatkan kita: “Setiap metode mempunyai persentase kegagalan. . . . Bahkan sekalipun remaja-remaja yang belum menikah secara konsisten menggunakan metode kontrasepsi. . . . 500.000 [remaja di A.S.] tetap akan menjadi hamil setiap tahun.” Seorang ibu yang tidak menikah berumur 16 tahun bernama Pat kemudian dikutip mengungkapkan keluhan: “Saya menggunakan [pil-pil kontrasepsi] dengan setia. Saya sungguh-sungguh tidak pernah lupa satu hari pun.”
“Jangan sesat!” Alkitab memperingatkan. “Allah tidak membiarkan diriNya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” (Galatia 6:7) Kehamilan hanya satu dari hal-hal yang tidak menyenangkan yang dapat dituai seseorang dari percabulan. Untunglah, ibu-ibu yang tidak menikah, seperti semua orang lain yang telah terjerat dalam imoralitas, dapat berbalik dan menghampiri Allah dengan sikap bertobat seperti Raja Daud, yang berdoa: “Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!” (Mazmur 51:4) Allah akan memberkati upaya orang-orang yang akan bertobat tersebut dalam membesarkan anak-anak mereka “dalam ajaran dan nasihat Tuhan [“Yehuwa,” NW].”—Efesus 6:4.
Namun, yang lebih baik ialah menghindari seks pranikah! Jangan diperdayakan oleh mereka yang berkata bahwa anda dapat tanpa khawatir menikmati hal itu.
-