-
”Yehuwa, Allah yang Berbelaskasihan dan Murah Hati”Menara Pengawal—1998 | 1 Oktober
-
-
Yesus menceritakan ilustrasinya yang ketiga dalam bentuk perumpamaan.a Konon, banyak orang menyatakan perumpamaan ini sebagai cerita pendek terbaik sepanjang masa. Dengan membahas perumpamaan ini, kita akan dibantu untuk menghargai dan meniru belas kasihan Allah.—Lukas 15:3-10.
Putra yang Memberontak Pergi dari Rumah
5, 6. Dalam ilustrasi Yesus yang ketiga, bagaimanakah putra yang lebih muda memperlihatkan sangat kurangnya penghargaan?
5 ”Seorang pria tertentu mempunyai dua putra. Dan yang lebih muda dari antara mereka mengatakan kepada bapaknya, ’Bapak, beri aku bagian dari milik yang menjadi bagianku.’ Lalu ia membagi sarana penghidupannya kepada mereka. Kemudian, tidak banyak hari setelah itu, putra yang lebih muda mengumpulkan segala sesuatu dan mengadakan perjalanan ke luar negeri ke negeri yang jauh, dan di sana menghamburkan miliknya dengan menjalani kehidupan yang mengejar nafsu.”—Lukas 15:11-13.b
6 Putra yang lebih muda menunjukkan sangat kurangnya penghargaan. Pertama, ia menuntut warisannya, kemudian ia menghamburkan miliknya dengan ”menjalani kehidupan yang mengejar nafsu”. Pernyataan ”kehidupan yang mengejar nafsu” diterjemahkan dari suatu kata Yunani yang berarti ”hidup seenaknya”. Seorang ahli mengatakan bahwa kata itu ”menyatakan sama sekali tidak berbudi”. Maka, adalah tepat bila pemuda dalam perumpamaan Yesus ini sering kali dijuluki si pemboros, suatu kata untuk melukiskan orang yang suka berfoya-foya dan menghambur-hamburkan harta.
7. Dewasa ini, siapakah yang menyerupai si pemboros, dan mengapa orang-orang demikian mencari kebebasan di ”negeri yang jauh”?
7 Dewasa ini, apakah ada orang yang menyerupai si pemboros? Ya. Sayang sekali, sejumlah orang, walaupun relatif sedikit, telah meninggalkan ”rumah tangga” yang aman milik Bapak surgawi kita, Yehuwa. (1 Timotius 3:15) Beberapa dari antara mereka merasa bahwa lingkungan rumah tangga Allah terlalu mengekang, dan bahwa mata Yehuwa yang waspada lebih terasa sebagai perintang daripada sebagai perlindungan. (Bandingkan Mazmur 32:8.) Perhatikan kasus seorang wanita Kristen yang telah dibesarkan menurut prinsip-prinsip Alkitab tetapi belakangan terlibat dalam penyalahgunaan alkohol dan obat bius. Sewaktu menengok ke masa lalu yang suram dalam kehidupannya, ia mengatakan, ”Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa mengatur kehidupan saya sendiri. Saya ingin berbuat sesuka hati saya, dan saya tidak mau keinginan saya dihalangi oleh siapa pun.” Seperti si pemboros, wanita muda ini mencari kebebasan. Tragisnya, karena praktek-praktek tidak berdasarkan Alkitab yang dia lakukan, dia dipecat dari sidang Kristen.—1 Korintus 5:11-13.
8. (a) Bantuan apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang yang ingin hidup bertentangan dengan standar-standar Allah? (b) Mengapa seseorang harus bertimbang rasa terhadap pilihan pribadi orang lain berkenaan dengan ibadat?
8 Sungguh menyedihkan bila seorang rekan seiman berkeinginan untuk hidup bertentangan dengan standar-standar Allah. (Filipi 3:18) Bila ini terjadi, para penatua dan orang-orang lain yang memenuhi syarat secara rohani berupaya memperbaiki kembali orang yang berbuat salah. (Galatia 6:1) Meskipun demikian, tidak seorang pun dipaksa untuk menerima kuk sebagai seorang murid Kristen. (Matius 11:28-30; 16:24) Jika mereka telah dianggap dewasa secara hukum, anak-anak muda sekalipun harus menentukan pilihannya sendiri berkenaan dengan ibadat. Kita masing-masing adalah makhluk yang bebas memilih, yang akan memberikan pertanggungjawaban pribadi kepada Allah. (Roma 14:12) Tentu saja, kita juga akan ’menuai apa yang kita tabur’—inilah hikmah yang akhirnya didapat oleh si pemboros dalam perumpamaan Yesus.—Galatia 6:7, 8.
Putus Asa di Negeri yang Jauh
9, 10. (a) Perubahan keadaan seperti apakah yang dialami oleh si pemboros, dan bagaimanakah reaksinya sewaktu mengalami keadaan itu? (b) Lukiskan bagaimana beberapa orang dewasa ini yang meninggalkan ibadat sejati mengalami kemalangan yang serupa dengan yang dialami si pemboros.
9 ”Ketika ia telah menghabiskan segala sesuatu, bala kelaparan yang hebat terjadi di seluruh negeri itu, dan ia mulai mengalami kekurangan. Ia bahkan pergi dan mengikat diri kepada salah seorang warga negara negeri itu, dan dia menyuruhnya ke ladangnya untuk menggiring babi. Dan ia biasanya ingin dikenyangkan dengan polong dari pohon keratonia yang sedang dimakan babi, dan tidak seorang pun memberi dia sesuatu.”—Lukas 15:14-16.
10 Meskipun jatuh miskin, belum terpikir oleh si pemboros untuk pulang ke rumah. Sebaliknya, ia menemui seorang warga negara yang kemudian memberinya pekerjaan sebagai gembala babi. Karena Hukum Musa menyatakan babi sebagai binatang yang haram, pekerjaan semacam ini tidak mungkin diterima oleh seorang Yahudi. (Imamat 11:7, 8) Tetapi, seandainya si pemboros saat itu merasa hati nuraninya terganggu, ia pasti harus menekan perasaan itu. Lagi pula, ia tidak dapat berharap bahwa majikannya, yang adalah seorang warga negara setempat, akan mempedulikan perasaan seorang asing yang sudah tidak punya apa-apa lagi. Kemalangan si pemboros ini serupa dengan apa yang dirasakan banyak orang yang meninggalkan jalan lurus ibadat murni dewasa ini. Sering kali, orang-orang demikian terjun dalam kegiatan-kegiatan yang semula mereka anggap bejat. Misalnya, seorang pemuda, sewaktu berusia 17 tahun, memberontak melawan pengajaran Kristen yang telah ia terima sejak kecil. ”Perbuatan amoral dan penyalahgunaan obat bius melenyapkan pengaruh pengajaran Alkitab yang telah bertahun-tahun saya terima,” demikian pengakuannya. Tidak lama kemudian, ia dijebloskan ke penjara karena telah terlibat perampokan bersenjata dan pembunuhan. Meskipun belakangan ia berupaya pulih secara rohani, sungguh mahal harga yang harus dibayarnya untuk ”mendapat kenikmatan sementara dari dosa”!—Bandingkan Ibrani 11:24-26.
11. Bagaimanakah dilema si pemboros menjadi semakin rumit, dan bagaimanakah beberapa orang dewasa ini mendapati bahwa ternyata daya pikat dunia ini adalah ”tipu daya yang kosong”?
11 Dilema yang dihadapi si pemboros semakin rumit oleh karena kenyataan bahwa ”tidak seorang pun memberi dia sesuatu”. Di mana sahabat-sahabat barunya? Karena ia sekarang tidak mempunyai uang sepeser pun, ia seolah-olah menjadi sasaran ’kebencian’ mereka. (Amsal 14:20) Demikian pula dewasa ini, banyak orang yang menyimpang dari iman mendapati bahwa daya pikat dan pandangan dunia ini penuh ”tipu daya yang kosong”. (Kolose 2:8) ”Saya mengalami banyak penderitaan dan sakit hati bila tanpa bimbingan Yehuwa,” kata seorang wanita muda yang pernah meninggalkan organisasi Allah selama beberapa waktu. ”Saya berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan dunia ini, tetapi karena saya tidak benar-benar seperti mereka, mereka menolak saya. Saya merasa seperti anak hilang yang membutuhkan ayah untuk membimbing saya. Pada saat itulah saya sadar bahwa saya membutuhkan Yehuwa. Saya tidak mau lagi hidup terpisah dari-Nya.” Si pemboros dalam contoh Yesus akhirnya menyadari hal yang serupa.
Si Pemboros Sadar Kembali
12, 13. Faktor-faktor apakah telah membantu beberapa orang dewasa ini untuk sadar kembali? (Lihat kotak.)
12 ”Ketika ia sadar kembali, ia mengatakan, ’Betapa banyak orang upahan bapakku yang berlimpah dengan roti, sedangkan aku binasa di sini karena bala kelaparan! Aku akan bangkit dan mengadakan perjalanan ke bapakku dan mengatakan kepadanya, ”Bapak, aku telah melakukan dosa terhadap surga dan terhadap engkau. Aku tidak lagi layak disebut putramu. Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahanmu.”’ Maka bangkitlah ia dan pergi ke bapaknya.”—Lukas 15:17-20.
13 Si pemboros ”sadar kembali”. Selama beberapa waktu, ia mengejar kesenangan sesuka hatinya, seolah-olah berada di alam mimpi. Tetapi sekarang, ia menjadi sungguh-sungguh sadar akan keadaan rohaninya yang sebenarnya. Ya, meskipun ia terjatuh, masih ada harapan bagi pemuda tersebut. Ada sisi positif yang dapat ditemukan dalam dirinya. (Amsal 24:16; bandingkan 2 Tawarikh 19:2, 3.) Bagaimana dengan orang-orang yang meninggalkan kawanan domba Allah dewasa ini? Apakah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa mereka semua tidak tertolong, dan bahwa dalam setiap kasus, haluan mereka yang memberontak merupakan bukti bahwa mereka berdosa melawan roh kudus Allah? (Matius 12:31, 32) Tidak selalu. Ada orang-orang yang tersiksa oleh haluan perbuatan salahnya sendiri, dan seraya waktu berjalan, banyak dari antara mereka yang sadar kembali. ”Tak pernah sehari pun saya melupakan Yehuwa,” kata seorang saudari, ketika bercerita tentang masa sewaktu ia menjauh dari organisasi Allah. ”Saya selalu berdoa agar suatu hari nanti, entah dengan cara bagaimana, Ia bersedia menerima saya kembali dalam kebenaran.”—Mazmur 119:176.
14. Keputusan apakah yang dibuat oleh si pemboros, dan bagaimanakah ia menunjukkan kerendahan hati dalam membuat keputusan itu?
14 Tetapi, dalam situasi mereka sekarang, apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang tersesat ini? Dalam perumpamaan Yesus, si pemboros memutuskan untuk pulang ke rumah dan memohon ampun kepada ayahnya. ”Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahanmu,” demikian keputusan yang hendak dinyatakan oleh si pemboros. Seorang upahan adalah buruh harian yang dapat dipecat sewaktu-waktu. Kedudukan ini bahkan lebih rendah daripada seorang budak yang, dalam arti tertentu, dianggap sebagai anggota keluarga sendiri oleh majikannya. Jadi, sedikit pun tak terpikir oleh si pemboros untuk meminta kembali statusnya yang semula sebagai seorang putra. Ia rela menerima posisi terendah untuk membuktikan dari hari ke hari loyalitasnya yang baru kepada ayahnya. Akan tetapi, suatu kejutan menanti si pemboros.
Sambutan yang Menghangatkan Hati
15-17. (a) Bagaimanakah reaksi sang ayah sewaktu melihat putranya? (b) Apa yang hendak diperlihatkan oleh sang ayah dengan menyediakan jubah, cincin, dan kasut untuk putranya? (c) Apa yang hendak dipertunjukkan sang ayah dengan mengadakan sebuah pesta?
15 ”Ketika ia masih jauh, bapaknya melihatnya dan tergerak oleh rasa kasihan, dan dia berlari dan memeluk lehernya dan menciumnya dengan lembut. Lalu putra itu mengatakan kepadanya, ’Bapak aku telah melakukan dosa terhadap surga dan terhadap engkau. Aku tidak lagi layak disebut putramu. Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahanmu.’ Akan tetapi, bapak itu mengatakan kepada budak-budaknya, ’Cepat! bawalah ke luar sebuah jubah, yang terbaik, dan kenakan itu padanya, dan kenakanlah sebuah cincin pada tangannya dan kasut pada kakinya. Dan bawalah lembu jantan muda yang digemukkan, bantailah dan marilah kita makan dan bersukaria, karena putraku ini telah mati dan menjadi hidup kembali; ia telah hilang dan ditemukan.’ Dan mereka mulai bersukaria.”—Lukas 15:20-24.
16 Orang-tua yang pengasih mana pun pasti mengharapkan anaknya pulih secara rohani. Oleh karena itu, kita dapat membayangkan ayah si pemboros setiap hari mengamat-amati jalan setapak di depan rumahnya, harap-harap cemas menanti kepulangan putranya. Sekarang, ia melihat putranya menyusuri jalan setapak itu! Penampilan pemuda itu tentulah telah berubah. Namun, sang ayah masih mengenalinya ketika ia ”masih jauh”. Sang ayah tidak sekadar melihat baju compang-camping yang dikenakan dan semangat yang terpuruk; yang dia lihat adalah putranya, dan ia berlari menyongsongnya!
17 Ketika sang ayah sudah berada di dekat putranya, ia memeluk leher putranya dan dengan lembut menciumnya. Kemudian, ia memerintahkan budak-budaknya untuk menyediakan jubah, cincin, dan kasut bagi putranya. Jubah ini bukanlah sekadar penutup badan, tetapi ”yang terbaik”—barangkali jubah kebesaran penuh sulaman, yang biasanya diberikan kepada tamu-tamu kehormatan. Karena cincin dan kasut tidak biasa dikenakan oleh budak, sang ayah ingin memperlihatkan bahwa putranya disambut sepenuhnya sebagai anggota keluarga. Tetapi, masih ada lagi yang hendak dilakukan sang ayah. Ia memerintahkan agar diadakan pesta untuk merayakan kepulangan putranya. Jelaslah, pria ini mengampuni putranya bukan karena terpaksa, bukan pula karena kepulangan putranya ini membuatnya berkewajiban untuk mengampuni; ia ingin mengampuni seluas-luasnya. Hal itu membuatnya bersukacita.
18, 19. (a) Apakah yang saudara pelajari dari perumpamaan putra yang boros berkenaan dengan Yehuwa? (b) Seperti yang diperlihatkan dalam cara-Nya berurusan dengan Yehuda dan Yerusalem, bagaimanakah Yehuwa ’menantikan’ kepulangan para pedosa?
18 Sampai di sini, apakah yang diajarkan oleh perumpamaan putra yang boros mengenai Allah yang kepada-Nya kita mendapat hak istimewa untuk menyembah-Nya? Pertama, Yehuwa ”berbelaskasihan dan murah hati, lambat marah dan berlimpah dengan kebaikan hati yang penuh kasih dan kebenaran”. (Keluaran 34:6, NW) Ya, belas kasihan adalah sifat Allah yang menonjol. Ini adalah reaksi-Nya yang wajar terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan. Selain itu, perumpamaan Yesus ini mengajar kita bahwa Yehuwa ”siap mengampuni”. (Mazmur 86:5, NW) Dapat diumpamakan seperti Ia sedang mengamat-amati untuk mencari perubahan hati pada umat manusia yang berdosa, yang dapat Ia jadikan dasar untuk mengulurkan belas kasihan.—2 Tawarikh 12:12; 16:9.
19 Misalnya, perhatikan cara Allah berurusan dengan Israel. Nabi Yesaya diilhami Yehuwa untuk melukiskan bahwa Yehuda dan Yerusalem ’tidak sehat dari telapak kaki sampai kepala’. Namun, ia juga mengatakan, ”TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu.” (Yesaya 1:5, 6; 30:18; 55:7; Yehezkiel 33:11) Seperti sang ayah dalam perumpamaan Yesus, Yehuwa seolah-olah ’mengamat-amati jalan setapak’ itu. Ia sangat mengharapkan kepulangan siapa pun yang telah meninggalkan rumah tangga-Nya. Bukankah hal ini yang kita harapkan dari seorang ayah yang pengasih?—Mazmur 103:13.
20, 21. (a) Dengan cara bagaimana banyak orang dewasa ini ditarik oleh belas kasihan Allah? (b) Apakah yang akan dibahas pada artikel berikutnya?
20 Setiap tahun, belas kasihan Yehuwa menarik banyak orang untuk sadar dan kembali ke ibadat sejati. Betapa besar sukacita yang dirasakan oleh orang-orang yang mereka kasihi! Misalnya, perhatikan ayah Kristen yang disebutkan di permulaan. Syukurlah, putrinya memulihkan diri secara rohani dan kini melayani sebagai rohaniwan sepenuh waktu. ”Sayalah orang yang paling berbahagia di sistem perkara tua ini,” kata sang ayah. ”Air mata kesedihan telah berganti dengan air mata sukacita.” Pasti, Yehuwa juga bersukacita!—Amsal 27:11.
21 Tetapi, ada lebih banyak hal yang dapat kita pelajari dari perumpamaan si pemboros. Yesus melanjutkan kisahnya sehingga ia dapat memperbandingkan belas kasihan Yehuwa dengan pandangan yang kaku dan menghakimi yang terdapat di kalangan para penulis dan orang-orang Farisi. Bagaimana cara Yesus membuat perbandingan—dan apa artinya bagi kita—akan dibahas dalam artikel berikut.
-
-
Tirulah Belas Kasihan YehuwaMenara Pengawal—1998 | 1 Oktober
-
-
Tirulah Belas Kasihan Yehuwa
”Teruslah menjadi berbelaskasihan, sebagaimana Bapakmu berbelaskasihan.”—LUKAS 6:36.
1. Bagaimana orang-orang Farisi memperlihatkan bahwa mereka tidak berbelaskasihan?
MESKIPUN diciptakan menurut gambar Allah, manusia sering kali gagal meniru belas kasihan Allah. (Kejadian 1:27) Misalnya, perhatikanlah orang-orang Farisi. Secara kelompok, mereka tidak mau bersukacita sewaktu, pada hari Sabat, Yesus dengan berbelaskasihan menyembuhkan seorang pria yang layu tangannya. Malah, mereka bermufakat melawan Yesus ”agar mereka dapat membinasakannya”. (Matius 12:9-14) Pada kesempatan lain, Yesus menyembuhkan seorang pria yang buta sejak lahir. Sekali lagi, ”beberapa orang Farisi” merasa tidak punya alasan untuk bersukacita melihat keibaan hati Yesus. Sebaliknya, mereka mengeluh, ”Ini bukan pria dari Allah, karena dia tidak menjalankan Sabat.”—Yohanes 9:1-7, 16.
2, 3. Apa maksud pernyataan Yesus, ”Waspadalah terhadap ragi orang-orang Farisi”?
2 Sikap dingin orang-orang Farisi merupakan pelanggaran terhadap asas kemanusiaan dan merupakan dosa melawan Allah. (Yohanes 9:39-41) Sungguh beralasan jika Yesus memperingatkan murid-muridnya, ”Waspadalah terhadap ragi” dari kelompok elit ini dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya, seperti kelompok Saduki. (Matius 16:6) Ragi dalam Alkitab digunakan untuk menggambarkan dosa atau perusakan. Maka, Yesus sedang berbicara bahwa pengajaran ”penulis-penulis dan orang-orang Farisi” dapat merusak ibadat yang murni. Dengan cara bagaimana? Karena mereka mengajar orang-orang bahwa hukum Allah semata-mata terdiri dari aturan dan upacara yang sewenang-wenang, dan tidak mempedulikan ”perkara-perkara yang lebih berbobot”, termasuk belas kasihan. (Matius 23:23) Bentuk agama yang sarat upacara ini menjadikan ibadat kepada Allah sebagai suatu beban yang tak tertanggungkan.
3 Pada bagian kedua perumpamaan si pemboros, Yesus menyingkapkan bejatnya cara berpikir para pemimpin agama Yahudi. Dalam perumpamaan ini sang ayah, yang menggambarkan Yehuwa, sangat ingin mengampuni putranya yang bertobat. Tetapi, kakak putra ini, yang menggambarkan ”orang-orang Farisi maupun para penulis”, memiliki perasaan-perasaan yang bertolak belakang dalam hal ini.—Lukas 15:2.
Kemurkaan seorang Kakak
4, 5. Dalam arti apa kakak si pemboros ”hilang”?
4 ”Adapun putranya yang lebih tua berada di ladang; dan ketika ia datang dan sampai di dekat rumah ia mendengar konser musik dan tari-tarian. Maka ia memanggil salah seorang hamba untuk datang kepadanya dan menanyakan apa arti hal-hal ini. Dia mengatakan kepadanya, ’Saudaramu telah datang, dan bapakmu membantai lembu jantan muda yang digemukkan, karena ia mendapatkan dia kembali dalam keadaan sehat.’ Akan tetapi, ia menjadi murka dan tidak mau masuk.”—Lukas 15:25-28.
5 Jelaslah, dalam perumpamaan Yesus, bukan si pemboros saja yang bermasalah. ”Kedua putra pada perumpamaan ini hilang,” kata sebuah karya acuan, ”yang satu cemar karena tidak adil-benar, dan yang lainnya buta karena merasa dirinya adil-benar.” Perhatikan bahwa kakak si pemboros bukan hanya tidak mau bersukacita tetapi juga ”menjadi murka”. Akar kata Yunani untuk ”murka” berarti bukan sekadar suatu luapan amarah, tetapi suatu kondisi pikiran yang terus ada. Tampaknya, kakak si pemboros mempunyai semacam dendam kesumat, sehingga ia merasa tidak perlu merayakan pulangnya seseorang yang seharusnya tidak pernah angkat kaki dari rumah.
6. Kakak si pemboros menggambarkan siapa, dan mengapa?
6 Kakak si pemboros sangat cocok menggambarkan orang-orang yang kesal terhadap keibaan hati dan perhatian yang Yesus nyatakan kepada para pedosa. Orang-orang yang merasa diri adil-benar ini, tidak merasa tersentuh oleh belas kasihan Yesus; mereka juga tidak mencerminkan sukacita yang terjadi di surga bila seorang pedosa diampuni. Sebaliknya, belas kasihan Yesus membangkitkan murka mereka, dan mereka mulai ”memikirkan hal-hal yang fasik” di dalam hati mereka. (Matius 9:2-4) Pada suatu kesempatan, kemarahan beberapa orang Farisi begitu hebat sehingga mereka meminta keterangan seorang pria yang telah Yesus sembuhkan dan kemudian ”mencampakkannya ke luar” sinagoga—benar-benar mengusirnya! (Yohanes 9:22, 34) Seperti kakak si pemboros, yang ”tidak mau masuk”, para pemimpin agama Yahudi menolak keras ketika mereka mendapat kesempatan untuk ’bergirang bersama orang yang bergirang’. (Roma 12:15) Seraya Yesus melanjutkan perumpamaannya, ia membeberkan lebih jauh cara penalaran fasik mereka.
Penalaran yang Salah
7, 8. (a) Bagaimana kakak si pemboros tidak memahami makna hubungan antara putra dan ayah? (b) Bagaimana sang kakak tidak seperti ayahnya?
7 ”Lalu bapaknya keluar dan memohon kepadanya dengan sangat. Sebagai jawaban ia mengatakan kepada bapaknya, ’Lihat, bertahun-tahun aku telah bekerja bagaikan budak untukmu dan tidak pernah sekali pun aku melanggar perintahmu, namun kepadaku engkau tidak pernah sekali pun memberikan anak kambing agar aku bersukaria bersama sahabat-sahabatku. Namun segera setelah putramu ini datang, yang memakan habis sarana penghidupanmu bersama para sundal, engkau membantai baginya lembu jantan muda yang digemukkan.’”—Lukas 15:28-30.
8 Dari kata-katanya, tampak jelas bahwa kakak si pemboros tidak memahami apa sesungguhnya makna hubungan antara putra dan ayah. Ia melayani ayahnya hanya seperti seorang pekerja melayani majikannya. Seperti yang ia katakan kepada ayahnya, ”Aku telah bekerja bagaikan budak untukmu.” Benar, putra sulung ini tidak pernah angkat kaki dari rumah maupun melanggar perintah ayahnya. Tetapi, apakah ketaatannya digerakkan oleh karena kasih? Apakah ia benar-benar bersukacita sewaktu melayani ayahnya, atau sebaliknya apakah ia terbuai sikap berpuas diri, merasa yakin bahwa dirinya seorang putra yang baik hanya karena ia melakukan tugas-tugasnya ”di ladang”? Jika ia benar-benar seorang anak yang berbakti, mengapa ia tidak mencerminkan pikiran ayahnya? Pada saat dia mendapat kesempatan untuk menunjukkan belas kasihan kepada adiknya, mengapa tidak ada ruang untuk keibaan hati di dalam hatinya?—Bandingkan Mazmur 50:20-22.
9. Jelaskanlah bagaimana para pemimpin agama Yahudi seperti sang kakak.
9 Para pemimpin agama Yahudi digambarkan seperti sang kakak. Mereka merasa yakin bahwa mereka loyal kepada Allah karena mereka telah menaati kaidah-kaidah hukum dengan ketat. Memang, ketaatan itu penting. (1 Samuel 15:22) Tetapi, karena mereka berlebihan dalam menekankan kegiatan-kegiatan keagamaan, ibadat Allah menjadi seperti rutinitas mekanis, sekadar topeng pengabdian tanpa kerohanian yang sejati. Pikiran mereka terobsesi oleh tradisi. Mereka tak berperasaan. Lihat saja, mereka memperlakukan kaum awam seperti kotoran di telapak kaki mereka, bahkan dengan nada merendahkan menjuluki mereka ”orang-orang yang terkutuk”. (Yohanes 7:49) Benar, bagaimana mungkin Allah terkesan oleh perbuatan-perbuatan para pemimpin agama demikian ini jika hati mereka sangat jauh dari-Nya?—Matius 15:7, 8.
10. (a) Mengapa kata-kata, ”Aku menginginkan belas kasihan, dan bukan korban” merupakan nasihat yang cocok? (b) Seberapa seriuskah soal kurang berbelaskasihan itu?
10 Yesus memberi tahu orang-orang Farisi untuk ’pergi, dan belajar apa arti hal ini, ”Aku menginginkan belas kasihan, dan bukan korban”’. (Matius 9:13; Hosea 6:6) Prioritas mereka tidak jelas, karena tanpa belas kasihan, semua korban mereka tidak berguna. Ini benar-benar masalah yang serius, karena Alkitab menggolongkan orang-orang yang ”tidak berbelaskasihan” sebagai orang-orang yang Allah pandang ”layak mendapat kematian”. (Roma 1:31, 32) Maka, tidak mengherankan bila Yesus mengatakan bahwa secara kelompok, para pemimpin agama ini akan mendapat kebinasaan abadi. Jelaslah, karena mereka tidak berbelaskasihan, mereka pantas mendapat hukuman ini. (Matius 23:33) Namun, secara individu, orang-orang dari kelompok ini bisa saja tergugah. Maka, pada bagian akhir perumpamaannya, Yesus berupaya keras untuk memperbaiki pemikiran orang-orang Yahudi ini melalui kata-kata sang ayah kepada sang kakak. Marilah kita perhatikan bagaimana Yesus melakukan hal itu.
Belas Kasihan sang Ayah
11, 12. Bagaimana sang ayah dalam perumpamaan Yesus mencoba bertukar pikiran dengan putra sulungnya dan apa yang mungkin sang ayah maksudkan sewaktu menggunakan kata ”saudaramu”?
11 ”Lalu dia mengatakan kepadanya, ’Nak, engkau selalu berada bersamaku, dan semua perkara milikku adalah milikmu; namun kita harus bersukaria dan bergirang karena saudaramu ini telah mati dan menjadi hidup, dan ia telah hilang dan ditemukan.’”—Lukas 15:31, 32.
12 Perhatikanlah bahwa sang ayah menggunakan kata, ”saudaramu”. Mengapa? Ingat, pada awal perbincangan dengan ayahnya, sang kakak ini menyebut si pemboros ”putramu”—dan bukan ’saudaraku’. Sepertinya, ia tidak mengakui ikatan keluarga antara dia dan adiknya. Maka, sekarang sang ayah mengatakan kepada sang kakak, ’Ia bukan hanya putraku. Ia saudaramu, darah dagingmu sendiri. Sudah selayaknya engkau bergirang karena kepulangannya!’ Pesan yang Yesus ingin sampaikan seharusnya dapat dipahami dengan jelas oleh para pemimpin agama Yahudi. Para pedosa yang mereka pandang hina sebenarnya adalah ”saudara-saudara” mereka. Ya, ”di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa”. (Pengkhotbah 7:20) Kalau begitu, orang-orang Yahudi yang terkemuka ini sudah selayaknya bergirang ketika para pedosa bertobat.
13. Berakhirnya perumpamaan Yesus secara tiba-tiba, meninggalkan pertanyaan apa bagi kita?
13 Setelah kata-kata permohonan sang ayah, perumpamaan ini tiba-tiba berakhir. Seolah-olah Yesus mempersilakan para pendengarnya untuk menyimpulkan sendiri akhir kisah ini. Apa pun tanggapan sang kakak, tiap-tiap pendengar dihadapkan pada pertanyaan, ’Apakah saudara akan ikut bersukacita bersama surga bila ada seorang pedosa yang bertobat?’ Orang-orang Kristen dewasa ini juga mendapat kesempatan untuk mempertunjukkan jawaban atas pertanyaan ini. Bagaimana?
Meniru Belas Kasihan Allah Dewasa Ini
14. (a) Bagaimana cara kita menerapkan nasihat Paulus di Efesus 5:1 dalam soal berbelaskasihan? (b) Kita harus waspada agar tidak menyalahartikan belas kasihan Allah dengan cara bagaimana?
14 Paulus memberi tahu orang-orang Efesus, ”Jadilah peniru-peniru Allah, sebagai anak-anak yang dikasihi.” (Efesus 5:1) Maka, sebagai orang-orang Kristen, kita juga harus menghargai belas kasihan Allah, menanamkannya jauh di dalam lubuk hati kita, dan kemudian mempertunjukkan sifat ini sewaktu berurusan dengan orang-orang lain. Akan tetapi, kewaspadaan diperlukan. Belas kasihan Allah jangan disalahartikan sebagai menganggap enteng dosa. Misalnya, ada beberapa orang yang dengan seenaknya bernalar, ’Jika saya melakukan dosa, saya dapat selalu berdoa meminta ampun kepada Allah, dan Ia akan mengulurkan belas kasihan-Nya.’ Sikap demikian sama dengan yang Yudas, sang penulis Alkitab, sebutkan sebagai ”mengubah kebaikan hati Allah kita yang tidak layak diterima menjadi dalih untuk tingkah laku bebas”. (Yudas 4) Meskipun Yehuwa berbelaskasihan, ’tidaklah sekali-kali Ia membebaskan orang yang bersalah dari hukuman’ bilamana ia berurusan dengan para pelaku kesalahan yang tidak bertobat.—Keluaran 34:7; bandingkan Yosua 24:19; 1 Yohanes 5:16.
15. (a) Mengapa para penatua khususnya perlu mempertahankan pandangan yang seimbang berkenaan dengan belas kasihan? (b) Walaupun tidak mentoleransi para pelaku kesalahan yang disengaja, apa yang harus para penatua upayakan, dan mengapa?
15 Di pihak lain, kita juga perlu memperlihatkan kewaspadaan yang sama terhadap ekstrem yang lain—kecenderungan untuk menjadi kaku dan menghakimi orang-orang yang memperlihatkan pertobatan yang murni dan memperlihatkan kesedihan yang saleh atas dosa-dosa mereka. (2 Korintus 7:11) Karena para penatua dipercayakan untuk memelihara domba Yehuwa, adalah penting agar mereka mempertahankan pandangan yang seimbang dalam hal ini, terutama sewaktu menangani perkara-perkara pengadilan. Sidang Kristen harus dijaga bersih, dan adalah selaras dengan Alkitab bila ’menyingkirkan orang yang fasik’ melalui pemecatan. (1 Korintus 5:11-13) Pada waktu yang sama, sangatlah baik untuk mengulurkan belas kasihan bila ada alasan yang jelas untuk melakukan hal itu. Jadi, para penatua tidak mentoleransi para pelaku kesalahan yang disengaja, tetapi pada waktu yang sama mereka berupaya keras untuk bertindak penuh kasih dan berbelaskasihan, tanpa melanggar batas-batas keadilan. Mereka selalu menyadari prinsip Alkitab ini, ”Orang yang tidak mempraktekkan belas kasihan akan mendapat penghakimannya tanpa belas kasihan. Belas kasihan bersukacita dalam kemenangan atas penghakiman.”—Yakobus 2:13; Amsal 19:17; Matius 5:7.
16. (a) Dengan menggunakan Alkitab, perlihatkan bagaimana Yehuwa sangat menginginkan orang-orang yang bersalah kembali kepada-Nya. (b) Bagaimana kita dapat memperlihatkan bahwa kita menyambut kembalinya para pedosa yang bertobat?
16 Perumpamaan mengenai si pemboros menyatakan dengan jelas bahwa Yehuwa menginginkan orang-orang yang bersalah kembali kepada-Nya. Benar, selama belum ada bukti bahwa mereka tidak tertolong lagi, ia masih akan mengulurkan undangan kepada mereka. (Yehezkiel 33:11; Maleakhi 3:7; Roma 2:4, 5; 2 Petrus 3:9) Seperti ayah si pemboros, Yehuwa memperlakukan orang-orang yang bertobat secara bermartabat, menerima mereka kembali sepenuhnya sebagaimana layaknya anggota keluarga. Apakah saudara meniru Yehuwa dalam hal ini? Bila seorang rekan seiman, yang setelah beberapa waktu dipecat, diterima kembali, bagaimana tanggapan saudara? Kita sudah tahu bahwa ada ”sukacita di surga”. (Lukas 15:7) Tetapi, adakah sukacita di bumi, di sidang saudara, bahkan dalam hati saudara? Atau, seperti halnya sang kakak dalam perumpamaan tadi, apakah ada dendam, seolah-olah sambutan tidak perlu diberikan kepada seseorang yang seharusnya tidak pernah meninggalkan kawanan Allah?
-