-
Waspadalah terhadap ”Setiap Jenis Keinginan akan Milik Orang Lain”Menara Pengawal—2007 | 1 Agustus
-
-
Waspadalah terhadap ”Setiap Jenis Keinginan akan Milik Orang Lain”
”Bahkan jika seseorang berkelimpahan, kehidupannya bukanlah hasil dari perkara-perkara yang ia miliki.”—LUKAS 12:15.
1, 2. (a) Menurut pengamatan Saudara, orang-orang dewasa ini hanya berminat untuk mengejar apa? (b) Bagaimana sikap tersebut dapat mempengaruhi kita?
UANG, rumah, status, pekerjaan bergaji tinggi, keluarga—kebanyakan orang menganggap hal-hal ini sebagai ukuran kesuksesan atau jaminan masa depan. Di negeri kaya atau miskin, tampak jelas bahwa banyak orang hanya berminat untuk mengejar keuntungan dan kesuksesan materi. Di pihak lain, minat mereka pada hal-hal rohani—kalau pun ada—sedang merosot dengan cepat.
2 Situasi ini persis seperti yang Alkitab nubuatkan, ”Pada hari-hari terakhir akan datang masa kritis yang sulit dihadapi. Sebab orang-orang akan menjadi pencinta diri sendiri, pencinta uang, . . . mencintai kesenangan sebaliknya daripada mengasihi Allah, berpengabdian yang saleh hanya secara lahiriah tetapi mereka tidak hidup sesuai dengan kuasanya.” (2 Timotius 3:1-5) Karena sehari-hari hidup di antara orang-orang seperti itu, orang Kristen sejati senantiasa ditekan untuk mengikuti sikap mental dan gaya hidup seperti ini. Apa yang dapat membantu kita melawan upaya dunia untuk ’menekan kita ke dalam cetakannya’?—Roma 12:2, The New Testament in Modern English, oleh J. B. Phillips.
3. Apa nasihat Yesus yang akan kita kupas?
3 Sebagai ”Wakil Utama dan Penyempurna iman kita”, Yesus Kristus memberi kita pelajaran yang ampuh tentang hal ini. (Ibrani 12:2) Sekali peristiwa, sementara Yesus berbicara kepada sekumpulan orang tentang hal-hal yang menambah pemahaman rohani, seorang pria menyela pembahasan itu dengan sebuah permintaan, ”Guru, suruhlah saudara laki-lakiku berbagi warisan denganku.” Sebagai tanggapan, Yesus memberi pria itu—dan semua pendengarnya—beberapa nasihat yang serius. Ia menyerukan peringatan keras tentang keinginan akan milik orang lain dan menandaskan peringatan itu dengan ilustrasi yang menggugah pikiran. Kita sebaiknya mencermati kata-kata Yesus pada peristiwa itu dan menarik manfaat dengan menerapkannya dalam kehidupan kita sendiri.—Lukas 12:13-21.
Permintaan yang Tidak Pantas
4. Mengapa pria itu tidak sepantasnya menyela Yesus?
4 Sebelum disela oleh pria itu, Yesus sedang berbicara kepada murid-muridnya dan orang-orang lain tentang perlunya mewaspadai kemunafikan, tentang keberanian mengaku bersatu dengan Putra manusia, dan tentang hal menerima pertolongan roh kudus. (Lukas 12:1-12) Pastilah, ini adalah hal-hal yang harus dicamkan oleh murid-murid. Namun, di tengah-tengah ceramah yang menyelidik batin tersebut, pria itu tiba-tiba memotong dan meminta Yesus menengahi pertikaian keluarga soal harta materi. Ada pelajaran penting yang dapat kita peroleh dari peristiwa ini.
5. Permintaan pria itu menyingkapkan apa tentang dirinya?
5 Ada yang mengatakan bahwa ”karakter seseorang sering kali ditunjukkan oleh apa yang ia pikirkan sewaktu mendengarkan ceramah agama”. Sementara Yesus membicarakan hal-hal rohani yang serius, pria itu mungkin memikirkan cara memperoleh keuntungan finansial. Tidak disebutkan apakah kekesalannya tentang warisan itu beralasan atau tidak. Boleh jadi, ia mencoba memanfaatkan wewenang dan reputasi Yesus sebagai hakim yang bijaksana dalam urusan manusia. (Yesaya 11:3, 4; Matius 22:16) Yang pasti, pertanyaannya menyiratkan bahwa ada yang tidak beres dalam hatinya—sangat kurangnya penghargaan akan hal-hal rohani. Bukankah ini alasan yang baik agar kita memeriksa diri sendiri? Misalnya, di perhimpunan, mudah sekali pikiran kita mengembara atau terpusat pada apa yang ingin kita lakukan nantinya. Sebaliknya, kita harus menyimak apa yang dikatakan dan memikirkan cara menerapkannya sehingga dapat mempererat hubungan kita dengan Bapak surgawi kita, Allah Yehuwa, dan rekan-rekan Kristen kita.—Mazmur 22:22; Markus 4:24.
6. Mengapa Yesus tidak mau memenuhi permintaan pria itu?
6 Apa pun motif di balik permintaan pria itu, Yesus tidak mau memenuhinya. Sebaliknya, Yesus berkata kepadanya, ”Hai, pria, siapa yang mengangkat aku sebagai hakim atau juru-bagi atas kamu sekalian?” (Lukas 12:14) Dengan demikian, Yesus mengarahkan perhatian pada sesuatu yang diketahui orang-orang, karena menurut Hukum Musa, hakim-hakim di kota dilantik untuk memutuskan hal-hal seperti itu. (Ulangan 16:18-20; 21:15-17; Rut 4:1, 2) Di pihak lain, Yesus berminat pada hal-hal yang lebih penting—memberikan kesaksian tentang kebenaran Kerajaan dan mengajarkan kehendak Allah. (Yohanes 18:37) Dengan mengikuti teladan Yesus, kita tidak disimpangkan oleh soal-soal duniawi tetapi menggunakan waktu dan energi kita untuk memberitakan kabar baik serta ’membuat orang-orang dari segala bangsa menjadi murid’.—Matius 24:14; 28:19.
Waspadai Keinginan akan Milik Orang Lain
7. Apa kesimpulan Yesus yang tepat sasaran?
7 Karena sanggup mengamati niat hati yang terdalam, Yesus tahu bahwa ada masalah yang lebih serius di balik permintaan pria itu agar Yesus turun tangan dalam suatu persoalan pribadi. Jadi, ketimbang menampik permintaan itu begitu saja, Yesus menyingkapkan inti masalahnya dan berkata, ”Teruslah buka matamu dan berjagalah terhadap setiap jenis keinginan akan milik orang lain, karena bahkan jika seseorang berkelimpahan, kehidupannya bukanlah hasil dari perkara-perkara yang ia miliki.”—Lukas 12:15.
8. Apa keinginan akan milik orang lain itu, dan apa akibatnya?
8 Yang Yesus maksudkan bukan sekadar hasrat untuk memiliki uang atau hal-hal tertentu, yang bisa jadi memiliki kegunaan dan tujuan yang pantas. Kata Yunani yang ia gunakan dapat diterjemahkan menjadi ”ketamakan”, yang menunjukkan hasrat yang berlebihan untuk mendapatkan kekayaan atau barang tertentu atau milik orang lain. Itu bisa mencakup dorongan yang tamak dan tak terpuaskan untuk memperoleh sesuatu—boleh jadi kepunyaan orang lain—hanya demi memilikinya, tidak soal apakah ia memang membutuhkannya atau apa pengaruhnya atas orang lain. Orang tersebut membiarkan objek idamannya mendominasi pikiran dan tindakannya sedemikian rupa sehingga pada dasarnya itu telah menjadi allahnya. Ingatlah bahwa rasul Paulus menyamakan orang yang tamak dengan penyembah berhala, yang tidak akan mewarisi Kerajaan Allah.—Efesus 5:5; Kolose 3:5.
9. Apa saja bentuk keinginan akan milik orang lain? Berikan beberapa contoh.
9 Yang menarik, Yesus memperingatkan tentang ”setiap jenis keinginan akan milik orang lain”. Keinginan akan milik orang lain ini banyak bentuknya. Butir terakhir dari Sepuluh Perintah menyebutkan beberapa di antaranya, ”Jangan mengingini rumah sesamamu. Jangan mengingini istri sesamamu, ataupun budak laki-lakinya ataupun budak perempuannya ataupun lembu jantannya ataupun keledainya ataupun apa pun milik sesamamu.” (Keluaran 20:17) Alkitab sarat dengan contoh orang-orang yang jatuh ke dalam dosa serius karena salah satu jenis keinginan ini. Setan-lah yang pertama-tama menginginkan sesuatu yang bukan miliknya—kemuliaan, kehormatan, dan wewenang yang hanya dimiliki Yehuwa. (Penyingkapan 4:11) Hawa dengan tamak menginginkan hak untuk menetapkan sendiri apa yang benar dan apa yang salah, dan gara-gara ia tertipu dalam hal ini, umat manusia terseret ke dalam dosa dan kematian. (Kejadian 3:4-7) Hantu-hantu adalah malaikat yang tidak puas dengan ”kedudukan mereka yang semula tetapi meninggalkan tempat tinggal mereka sendiri yang cocok” demi sesuatu yang bukan hak mereka. (Yudas 6; Kejadian 6:2) Ingat juga Bileam, Akhan, Gehazi, dan Yudas. Bukannya puas dengan keadaan, mereka membiarkan hasrat yang berlebihan akan harta materi membuat mereka menyalahgunakan kepercayaan orang lain terhadap mereka, sehingga mereka terjerumus ke dalam kehancuran dan kebinasaan.
10. Bagaimana kita hendaknya ’terus membuka mata kita’, seperti nasihat Yesus?
10 Betapa tepat bahwa Yesus mengawali peringatannya dengan kata-kata ”teruslah buka matamu”! Mengapa? Karena mudah sekali seseorang melihat sifat ini pada diri orang lain, tetapi jarang yang mau mengakui bahwa dirinya sendiri tamak dan menginginkan milik orang lain. Namun, rasul Paulus menunjukkan bahwa ”cinta akan uang adalah akar segala macam perkara yang mencelakakan”. (1 Timotius 6:9, 10) Sang murid Yakobus menjelaskan bahwa ”apabila keinginan [yang salah] itu menjadi subur, ia akan melahirkan dosa”. (Yakobus 1:15) Selaras dengan nasihat Yesus, kita hendaknya ’terus membuka mata kita’, bukan untuk mengamati orang lain dan menilai mereka, melainkan untuk memeriksa diri dan melihat apa yang diinginkan hati kita, sehingga kita dapat waspada terhadap ”setiap jenis keinginan akan milik orang lain”.
Kehidupan yang Berkelimpahan
11, 12. (a) Apa peringatan Yesus tentang keinginan akan milik orang lain? (b) Mengapa kita perlu mengindahkan peringatan Yesus?
11 Ada lagi alasan lain mengapa kita harus waspada terhadap keinginan akan milik orang lain. Perhatikan apa yang Yesus katakan berikutnya, ”Bahkan jika seseorang berkelimpahan, kehidupannya bukanlah hasil dari perkara-perkara yang ia miliki.” (Lukas 12:15) Hal ini pastilah layak dipikirkan pada zaman yang materialistis ini, manakala kekayaan dan kemakmuran diidentikkan dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Melalui kata-kata itu, Yesus menunjukkan bahwa kehidupan yang benar-benar bermakna dan memuaskan tidak dihasilkan oleh atau bergantung pada harta materi, tidak soal seberapa banyak harta itu.
12 Namun, ada yang mungkin tidak sependapat. Mereka mungkin bernalar bahwa harta materi membuat kehidupan lebih nyaman dan nikmat, sehingga lebih berarti. Jadi, mereka mengabdikan diri pada karier yang memungkinkan mereka mendapatkan semua barang dan peralatan elektronik yang mereka inginkan. Mereka menyangka bahwa ini akan menghasilkan kehidupan yang baik. Tetapi, mereka gagal memahami inti perkataan Yesus.
13. Apa pandangan yang seimbang tentang kehidupan dan harta?
13 Yesus tidak menyoroti tentang apakah memiliki banyak harta itu benar atau salah, tetapi menandaskan bahwa kehidupan seseorang bukanlah hasil dari ”perkara-perkara yang ia miliki”. Mengenai hal ini, kita semua tahu bahwa untuk hidup, atau menunjang kehidupan, sebenarnya tidak dibutuhkan banyak hal. Kita hanya membutuhkan sedikit makanan, sesuatu untuk dikenakan, dan tempat untuk berbaring. Orang kaya memiliki hal-hal ini dengan berlimpah, dan orang miskin mungkin harus bergulat untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, semua perbedaan itu menjadi tidak ada artinya ketika kehidupan berakhir—semuanya lenyap. (Pengkhotbah 9:5, 6) Jadi, agar memiliki arti dan tidak sia-sia, kehidupan ini tidak bisa dan tidak boleh sekadar diisi dengan hal-hal yang dapat diperoleh atau dimiliki seseorang. Gagasan ini akan tampak jelas apabila kita memeriksa kehidupan seperti apa yang Yesus maksudkan.
14. Apa yang dapat kita pelajari dari kata ’kehidupan’ dalam catatan Alkitab?
14 Sewaktu Yesus mengatakan bahwa ”kehidupannya bukanlah hasil dari perkara-perkara yang ia miliki”, kata yang digunakan untuk ’kehidupan’ dalam Injil Lukas (Yunani, zo·eʹ) memaksudkan, bukan cara atau gaya hidup, melainkan kehidupan itu sendiri, kehidupan dalam arti yang sebenarnya.a Yesus mengatakan bahwa tidak soal kita kaya atau miskin, hidup mewah atau pas-pasan, kita tidak dapat sepenuhnya menentukan seberapa panjang umur kita atau bahkan apakah kita masih akan hidup besok. Yesus menyatakan dalam Khotbahnya di Gunung, ”Siapa di antara kamu yang dengan menjadi khawatir dapat menambahkan satu hasta kepada jangka hidupnya?” (Matius 6:27) Alkitab memperlihatkan dengan jelas bahwa Yehuwa-lah satu-satunya ”sumber kehidupan”, dan hanya Dia yang dapat mengaruniai orang-orang yang setia ”kehidupan yang sebenarnya”, atau ”kehidupan abadi”, kehidupan tanpa akhir, di surga atau di bumi.—Mazmur 36:9; 1 Timotius 6:12, 19.
15. Mengapa banyak orang mengandalkan harta materi?
15 Kata-kata Yesus menunjukkan betapa mudahnya orang-orang memiliki pandangan yang melenceng atau salah tentang kehidupan. Entah kaya entah miskin, semua manusia tidak sempurna dan mempunyai akhir yang sama. Musa yang hidup dahulu kala menyatakan, ”Masa hidup kami tujuh puluh tahun; dan jika karena memiliki keperkasaan khusus, delapan puluh tahun, namun segala upayanya hanya menghasilkan kesusahan dan hal-hal yang menyakitkan; karena itu akan berlalu dengan cepat, dan kami melayang lenyap.” (Mazmur 90:10; Ayub 14:1, 2; 1 Petrus 1:24) Oleh karena itu, orang yang tidak memupuk hubungan baik dengan Allah sering kali memiliki sikap mental ”marilah kita makan dan minum, sebab besok kita akan mati”, seperti yang disebutkan oleh rasul Paulus. (1 Korintus 15:32) Yang lain, karena merasa bahwa kehidupan ini cepat berlalu dan serba tidak menentu, berupaya mencari keamanan dan kestabilan melalui harta materi. Mungkin mereka merasa bahwa dengan memiliki banyak hal materi, kehidupan mereka akan lebih terjamin. Jadi, mereka tak henti-hentinya membanting tulang mengumpulkan harta, dengan keliru mengidentikkan hal-hal itu dengan keamanan dan kebahagiaan.—Mazmur 49:6, 11, 12.
Masa Depan yang Terjamin
16. Kehidupan yang benar-benar bermakna tidak didasarkan atas apa?
16 Memang benar bahwa dengan standar hidup yang lebih tinggi—dengan berlimpah makanan, pakaian, penaungan, dan kemewahan lain—seseorang bisa menikmati kehidupan yang jauh lebih nyaman atau perawatan kesehatan yang lebih baik, sehingga memperpanjang jangka kehidupannya selama beberapa tahun. Namun, apakah kehidupan semacam itu benar-benar lebih bermakna dan lebih terjamin? Makna sejati kehidupan tidak diukur dari seberapa lama seseorang bisa hidup atau seberapa banyak hal materi yang ia miliki atau nikmati. Rasul Paulus menunjukkan betapa berbahayanya apabila kita terlalu mengandalkan hal-hal seperti itu. Ia menulis kepada Timotius, ”Berilah perintah kepada orang kaya dalam sistem sekarang ini agar tidak tinggi hati, dan menaruh harapan mereka, bukan pada kekayaan yang tidak pasti, tetapi pada Allah, yang memberikan segala sesuatu dengan limpah kepada kita untuk kesenangan kita.”—1 Timotius 6:17.
17, 18. (a) Siapa saja teladan menonjol sehubungan dengan harta materi yang patut kita tiru? (b) Parabel apa yang Yesus sampaikan yang akan diulas dalam artikel berikut?
17 Menaruh harapan pada kekayaan tidaklah bijaksana karena kekayaan itu ”tidak pasti”. Patriark Ayub sangat kaya, tetapi sewaktu tiba-tiba ditimpa bencana, kekayaan tidak dapat menolongnya; hal itu lenyap dalam satu malam. Hubungannya yang kuat dengan Allah itulah yang membantunya berhasil melewati semua cobaan dan kesengsaraan. (Ayub 1:1, 3, 20-22) Abraham tidak membiarkan harta materi yang berlimpah menghalanginya menyambut tugas yang penuh tantangan dari Yehuwa, dan ia diberkati dengan menjadi ”bapak sejumlah besar bangsa”. (Kejadian 12:1, 4; 17:4-6) Mereka dan banyak orang lain adalah teladan yang patut kita tiru. Tua atau muda, kita perlu memeriksa diri untuk mengetahui apa yang benar-benar penting dalam kehidupan kita dan di mana kita menggantungkan harapan kita.—Efesus 5:10; Filipi 1:10.
18 Walaupun hanya terdiri dari beberapa patah kata, nasihat Yesus tentang keinginan akan milik orang lain dan pandangan yang patut tentang kehidupan sungguh sarat makna dan hikmah. Namun, ada lagi yang Yesus pikirkan, dan ia selanjutnya mengisahkan sebuah parabel, atau perumpamaan, yang menggugah pikiran tentang seorang pria kaya yang bersikap tidak masuk akal. Apa kaitan perumpamaan ini dengan kehidupan kita sekarang, dan apa pelajarannya bagi kita? Jawabannya ada dalam artikel berikut.
[Catatan Kaki]
a Kata Yunani lain yang diterjemahkan menjadi ”kehidupan” adalah biʹos, yang membentuk kata-kata seperti ”biografi” dan ”biologi” dalam bahasa Indonesia. Menurut Vine’s Expository Dictionary of Old and New Testament Words, biʹos memaksudkan ”periode atau jangka kehidupan”, ”cara hidup”, dan ”sarana kehidupan”.
-
-
Apakah Saudara ”Kaya terhadap Allah”?Menara Pengawal—2007 | 1 Agustus
-
-
Apakah Saudara ”Kaya Terhadap Allah”?
”Demikianlah jadinya dengan orang yang menimbun harta bagi dirinya sendiri tetapi tidak kaya terhadap Allah.”—LUKAS 12:21.
1, 2. (a) Demi apa orang bersedia membuat pengorbanan besar? (b) Tantangan dan bahaya apa yang harus dihadapi orang Kristen?
BERBURU harta karun bukan cuma permainan anak-anak; itu juga drama nyata yang dipentaskan berulang kali sepanjang masa oleh berbagai kalangan. Misalnya, demam emas pada abad ke-19 di Australia, Afrika Selatan, Kanada, dan Amerika Serikat memikat orang-orang dari tempat jauh, yang rela meninggalkan rumah dan orang yang dikasihi demi mencari keberuntungan di negeri asing yang adakalanya berbahaya. Ya, banyak orang bersedia mengambil risiko yang ekstrem dan membuat pengorbanan yang sangat besar guna meraih kekayaan yang mereka dambakan.
2 Meskipun kebanyakan orang kini tidak lagi berburu harta karun, mereka harus bekerja keras mencari nafkah. Dalam sistem ini, kegiatan itu bisa jadi sulit, berat, dan membebani. Mudah sekali perhatian seseorang tersita oleh makanan, pakaian, dan penaungan sehingga hal-hal yang lebih penting terabaikan atau bahkan terlupakan. (Roma 14:17) Yesus memberikan sebuah perumpamaan, atau parabel, yang menggambarkan kecenderungan manusia ini dengan akurat. Parabel itu terdapat di Lukas 12:16-21.
3. Ceritakan dengan singkat perumpamaan Yesus yang dicatat di Lukas 12:16-21.
3 Perumpamaan itu Yesus berikan pada peristiwa yang sama ketika ia berbicara tentang perlunya waspada terhadap keinginan akan milik orang lain, yang telah kita kupas secara cukup terperinci di artikel sebelumnya. Setelah memberikan peringatan tentang keinginan akan milik orang lain, Yesus bercerita tentang seorang kaya yang tidak puas dengan gudang-gudang yang penuh barang baik miliknya dan meruntuhkannya lalu membangun gudang yang lebih besar guna menyimpan lebih banyak barang. Persis ketika ia mengira bahwa ia siap untuk bersantai dan menikmati kehidupan yang nyaman, Allah memberi tahunya bahwa kehidupannya akan berakhir dan semua barang baik yang telah ia timbun akan berpindah ke tangan orang lain. Lalu, Yesus mengakhiri, ”Demikianlah jadinya dengan orang yang menimbun harta bagi dirinya sendiri tetapi tidak kaya terhadap Allah.” (Lukas 12:21) Pelajaran apa yang dapat kita peroleh dari parabel ini? Bagaimana kita dapat menerapkannya dalam kehidupan kita sendiri?
Orang yang Menghadapi Masalah
4. Apa yang dapat kita simpulkan tentang orang yang digambarkan dalam perumpamaan Yesus?
4 Perumpamaan Yesus mudah dipahami oleh kebanyakan orang. Kita memperhatikan bahwa Yesus mengawali kisah itu dengan berkata, ”Ada orang kaya yang tanahnya memberikan hasil yang baik.” Yesus tidak mengatakan bahwa orang itu memperoleh kekayaannya dengan cara-cara yang licik atau melanggar hukum. Dengan kata lain, ia bukan orang fasik. Malah, dari kata-kata Yesus, masuk akal untuk menganggap bahwa orang yang digambarkan dalam parabel itu telah bekerja keras. Paling tidak, dapat disimpulkan bahwa ia telah menyusun rencana dan menabung untuk masa depan, mungkin demi kesejahteraan keluarganya. Jadi, dari sudut pandang duniawi, ia bisa dianggap sebagai pekerja keras yang menganggap serius kewajibannya.
5. Masalah apa yang dihadapi orang dalam parabel Yesus?
5 Yang pasti, dalam parabel itu, Yesus menyebutnya orang kaya, artinya ia sudah memiliki berlimpah hal materi. Namun, seperti yang Yesus uraikan, orang kaya ini menghadapi masalah. Tanahnya memberikan hasil melebihi yang diharapkan, jauh lebih banyak daripada yang ia butuhkan atau sanggup urus. Apa yang harus ia lakukan?
6. Pilihan apa saja yang dihadapi banyak hamba Allah dewasa ini?
6 Banyak hamba Yehuwa dewasa ini menghadapi situasi yang mirip. Orang Kristen sejati berupaya jujur, rajin, dan bekerja dengan sungguh-sungguh. (Kolose 3:22, 23) Entah bekerja untuk orang lain atau mengelola bisnis sendiri, mereka sering kali sukses, bahkan mengungguli orang lain. Sewaktu ditawari kenaikan jabatan atau peluang baru, mereka harus mengambil keputusan. Haruskah mereka menerimanya atau mengembangkan bisnisnya? Demikian juga, banyak anak muda Saksi yang berprestasi di sekolah. Alhasil, mereka mungkin ditawari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi di sekolah bergengsi. Haruskah mereka menyambut kesempatan itu, seperti yang akan dilakukan orang lain?
7. Bagaimana orang dalam parabel Yesus itu mengatasi masalahnya?
7 Kembali ke perumpamaan Yesus, apa yang dilakukan orang kaya itu sewaktu tanahnya memberikan hasil yang begitu baik sehingga ia kehabisan tempat untuk menyimpan panenannya? Ia memutuskan untuk meruntuhkan gudang-gudangnya dan membangun yang lebih besar untuk menyimpan semua biji-bijian dan barangnya yang berlebih itu. Rencana itu tampaknya memberinya perasaan aman dan puas sehingga ia berpikir dalam hatinya, ”Aku akan mengatakan kepada jiwaku, ’Jiwa, engkau memiliki banyak barang yang baik tertimbun untuk bertahun-tahun; bersantailah, makan, minum, bersukarialah.’”—Lukas 12:19.
Mengapa ”Bersikap Tidak Masuk Akal”?
8. Unsur penting apa yang diabaikan orang dalam parabel Yesus?
8 Namun, seperti yang Yesus kisahkan, rencana orang kaya itu hanya memberinya rasa aman yang palsu. Meskipun tampak praktis, ada satu unsur penting yang ia abaikan—kehendak Allah. Orang itu hanya memikirkan dirinya sendiri, bagaimana ia dapat bersantai, makan, minum, dan bersukaria. Ia menyangka bahwa karena memiliki ”banyak barang yang baik”, ia juga akan hidup panjang selama ”bertahun-tahun”. Sungguh disayangkan, kenyataannya tidak seperti itu. Seperti yang Yesus katakan sebelumnya, ”bahkan jika seseorang berkelimpahan, kehidupannya bukanlah hasil dari perkara-perkara yang ia miliki”. (Lukas 12:15) Malam itu juga, segala sesuatu yang telah diperoleh orang itu dengan susah payah lenyap dalam sekejap, karena Allah berfirman kepadanya, ”Orang yang bersikap tidak masuk akal, malam ini mereka menuntut jiwamu darimu. Maka siapa yang akan memiliki perkara-perkara yang engkau timbun?”—Lukas 12:20.
9. Mengapa orang dalam parabel itu dikatakan bersikap tidak masuk akal?
9 Inilah intisari perumpamaan Yesus. Allah menyebut orang itu bersikap tidak masuk akal. Exegetical Dictionary of the New Testament menjelaskan bahwa bentuk kata Yunani yang digunakan ”selalu memaksudkan kurangnya pemahaman”. Menurut kamus itu, dalam parabel ini, Allah disebutkan menggunakan kata tersebut untuk menyingkapkan ”betapa sia-sianya rencana masa depan orang kaya itu”. Kata itu bukan memaksudkan orang yang kurang cerdas, melainkan ”orang yang tidak mau mengakui bahwa ia bergantung pada Allah”. Uraian Yesus tentang orang kaya itu mengingatkan kita akan apa yang belakangan Yesus katakan kepada orang Kristen di sidang abad pertama di Laodikia, Asia Kecil, ”Engkau mengatakan, ’Aku kaya dan telah memperoleh kekayaan dan tidak membutuhkan apa-apa’, namun engkau tidak tahu bahwa engkau sengsara, patut dikasihani, miskin, buta, dan telanjang.”—Penyingkapan 3:17.
10. Mengapa memiliki ”banyak barang yang baik” tidak menjamin bahwa seseorang akan hidup selama ”bertahun-tahun”?
10 Kita hendaknya mencamkan pelajaran ini. Mungkinkah kita seperti orang dalam parabel itu—bekerja keras untuk memastikan bahwa kita memiliki ”banyak barang yang baik” tetapi gagal melakukan apa yang dibutuhkan untuk memperoleh prospek kehidupan selama ”bertahun-tahun”? (Yohanes 3:16; 17:3) Alkitab berkata, ”Barang-barang bernilai tidak akan bermanfaat pada hari kemurkaan”, dan ”orang yang percaya akan kekayaannya—ia sendiri akan jatuh”. (Amsal 11:4, 28) Oleh karena itu, Yesus menambahkan pengingat terakhir ini pada parabel tersebut, ”Demikianlah jadinya dengan orang yang menimbun harta bagi dirinya sendiri tetapi tidak kaya terhadap Allah.”—Lukas 12:21.
11. Mengapa sia-sia untuk membangun harapan dan jaminan keamanan seseorang di atas harta materi?
11 Dengan mengatakan ”demikianlah jadinya”, Yesus menunjukkan bahwa apa yang menimpa orang kaya dalam perumpamaan itu juga akan menimpa orang-orang yang membangun kehidupan mereka—harapan dan jaminan keamanan mereka—semata-mata di atas harta materi. Yang salah bukanlah ”menimbun harta bagi dirinya sendiri”, melainkan kegagalan menjadi ”kaya terhadap Allah”. Sang murid Yakobus memberikan peringatan serupa sewaktu ia menulis, ”Hai, kamu yang mengatakan, ’Hari ini atau besok kami akan bepergian ke kota ini dan tinggal di sana selama satu tahun, dan kami akan melakukan bisnis dan menghasilkan keuntungan’, padahal kamu tidak tahu bagaimana hidupmu besok.” Apa yang seharusnya mereka lakukan? ”Sebaliknya, kamu seharusnya mengatakan, ’Jika Yehuwa menghendakinya, kami akan hidup dan juga melakukan ini atau itu.’” (Yakobus 4:13-15) Tidak soal seberapa kaya atau seberapa banyak barang yang seseorang miliki, semuanya akan sia-sia jika ia tidak kaya terhadap Allah. Kalau begitu, apa artinya menjadi kaya terhadap Allah?
Menjadi Kaya terhadap Allah
12. Apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi kaya terhadap Allah?
12 Dalam pernyataan Yesus, menjadi kaya terhadap Allah dikontraskan dengan menimbun harta materi bagi diri sendiri, atau memperkaya diri secara materi. Jadi, Yesus mengatakan bahwa fokus utama kehidupan kita hendaknya bukan menimbun kekayaan materi atau menikmati apa yang kita miliki. Sebaliknya, kita harus menggunakan sumber daya kita sedemikian rupa untuk memperkaya, atau membangun, hubungan kita dengan Yehuwa. Dengan demikian, kita pasti akan menjadi kaya terhadap Allah. Mengapa? Karena hal itu membuka pintu menuju banyak berkat dari-Nya. Alkitab memberi tahu kita, ”Berkat Yehuwa—itulah yang membuat kaya, dan ia tidak menambahkan kepedihan hati bersamanya.”—Amsal 10:22.
13. Bagaimana berkat Yehuwa ”membuat kaya”?
13 Sewaktu mengaruniakan berkat ke atas umat-Nya, Yehuwa selalu memberikan yang terbaik. (Yakobus 1:17) Misalnya, tempat tinggal yang Yehuwa berikan kepada bangsa Israel adalah ”negeri yang berlimpah dengan susu dan madu”. Meskipun negeri Mesir juga digambarkan seperti itu, setidaknya ada satu perbedaan yang sangat penting. Negeri yang Yehuwa berikan kepada bangsa Israel adalah ”negeri yang dipelihara oleh Yehuwa, Allahmu”, kata Musa kepada bangsa Israel. Dengan kata lain, mereka akan makmur karena Yehuwa akan memelihara mereka. Asalkan bangsa Israel tetap setia kepada Yehuwa, mereka akan diberkati dengan limpah dan menikmati jalan hidup yang jelas-jelas mengungguli semua bangsa di sekeliling mereka. Ya, berkat Yehuwa itulah yang ”membuat kaya”!—Bilangan 16:13; Ulangan 4:5-8; 11:8-15.
14. Apa yang dinikmati oleh orang-orang yang kaya terhadap Allah?
14 Ungkapan ”kaya terhadap Allah” juga diterjemahkan menjadi ”kaya di mata Allah” (Bahasa Indonesia Masa Kini) atau ”kaya di hadapan Allah”. (Terjemahan Baru) Orang-orang yang kaya secara materi biasanya khawatir tentang penampilan mereka di mata orang lain. Hal ini sering kali tercermin dalam cara hidup mereka. Mereka ingin membuat orang terkesan dengan apa yang Alkitab sebut ”pameran sarana kehidupan seseorang”. (1 Yohanes 2:16) Sebaliknya, orang-orang yang kaya terhadap Allah menikmati perkenan, pertolongan, serta kebaikan hati Allah yang tidak selayaknya diperoleh secara berlimpah dan memiliki hubungan pribadi yang hangat dengan-Nya. Karena menikmati kondisi yang demikian berharga, mereka pasti merasa bahagia dan aman, melampaui apa pun yang dapat ditawarkan oleh kekayaan materi. (Yesaya 40:11) Yang masih menjadi pertanyaan adalah: Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi kaya di mata Allah?
Kaya di Mata Allah
15. Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi kaya terhadap Allah?
15 Dalam perumpamaan Yesus, orang itu menyusun rencana dan bekerja keras hanya untuk memperkaya diri, dan ia dikatakan bersikap tidak masuk akal. Jadi, untuk menjadi kaya terhadap Allah, kita harus berupaya bekerja keras dan ikut serta sepenuhnya dalam kegiatan yang benar-benar bernilai dan bermanfaat di mata Allah. Di antaranya adalah perintah Yesus, ”Pergilah dan buatlah orang-orang dari segala bangsa menjadi murid.” (Matius 28:19) Menggunakan waktu, energi, dan bakat kita, bukan untuk kesuksesan pribadi, melainkan untuk pekerjaan memberitakan Kerajaan dan membuat murid, dapat disamakan dengan berinvestasi. Mereka yang melakukannya telah menuai keuntungan rohani secara berlimpah, seperti yang diperlihatkan oleh berbagai pengalaman berikut.—Amsal 19:17.
16, 17. Pengalaman apa saja yang dapat Saudara ceritakan untuk memperlihatkan jalan hidup yang membuat seseorang kaya di mata Allah?
16 Perhatikan pengalaman seorang pria Kristen di sebuah negeri Asia. Ia memiliki pekerjaan bergaji tinggi sebagai teknisi komputer. Namun, pekerjaannya menyita hampir semua waktunya sehingga ia merasa melarat secara rohani. Akhirnya, ketimbang berupaya mengembangkan kariernya, ia mengundurkan diri lalu beralih membuat es krim dan menjualnya di jalan sehingga punya lebih banyak waktu untuk mengurus kebutuhan dan tanggung jawab rohaninya. Bekas rekan-rekan sekerjanya mengejek dia, tetapi bagaimana hasilnya? ”Sebenarnya, kondisi keuangan saya jauh lebih baik daripada sewaktu saya bekerja dengan komputer,” katanya. ”Saya lebih bahagia karena saya tidak merasakan stres dan kekhawatiran yang dulu saya rasakan. Dan yang terpenting, saya kini merasa lebih dekat dengan Yehuwa.” Karena perubahan ini, ia dapat memasuki dinas sepenuh waktu, dan kini melayani di kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di negerinya. Berkat Yehuwa benar-benar ’membuatnya kaya’.
17 Contoh lain adalah seorang wanita yang dibesarkan dalam keluarga yang sangat menjunjung pendidikan. Ia mengenyam pendidikan di berbagai universitas di Prancis, Meksiko, serta Swiss, dan sedang meniti karier yang menjanjikan. ”Sukses tersenyum pada saya; pamor dan peluang emas menemani saya,” katanya, ”tetapi, dalam batin saya, ada kehampaan dan ketidakpuasan yang mendalam.” Lalu, ia belajar tentang Yehuwa. Ia berkata, ”Seraya saya maju secara rohani, timbullah keinginan untuk menyenangkan Yehuwa dan setidak-tidaknya membalas apa yang telah Ia berikan kepada saya. Hal ini membantu saya melihat dengan jelas jalan yang harus ditempuh—melayani Dia sepenuh waktu.” Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan segera dibaptis. Selama 20 tahun terakhir, ia melayani dengan bahagia dalam dinas sepenuh waktu. ”Ada yang menganggap bahwa saya telah menyia-nyiakan bakat saya,” tuturnya, ”tetapi mereka mengakui bahwa saya berbahagia, dan mereka mengagumi prinsip-prinsip kehidupan saya. Setiap hari, saya berdoa kepada Yehuwa untuk membantu saya rendah hati sehingga diperkenan oleh-Nya.”
18. Seperti Paulus, bagaimana kita dapat menjadi kaya terhadap Allah?
18 Saul, yang menjadi rasul Paulus, memiliki karier yang menjanjikan di hadapannya. Namun, belakangan ia menulis, ”Aku sesungguhnya juga menganggap segala sesuatu sebagai kerugian karena nilai yang unggul dari pengetahuan tentang Kristus Yesus, Tuanku.” (Filipi 3:7, 8) Bagi Paulus, kekayaan yang ia peroleh melalui Kristus mengungguli apa pun yang dapat ditawarkan oleh dunia. Demikian pula, dengan melepaskan semua ambisi yang mementingkan diri dan menempuh kehidupan yang berpengabdian yang saleh, kita pun dapat menikmati kehidupan yang kaya di mata Allah. Firman Allah meyakinkan kita, ”Hasil dari kerendahan hati dan takut akan Yehuwa adalah kekayaan dan kemuliaan dan kehidupan.”—Amsal 22:4.
-