PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g93 8/8 hlm. 17-20
  • Mengapa Ras Menjadi Persoalan Besar?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Mengapa Ras Menjadi Persoalan Besar?
  • Sedarlah!—1993
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Perdagangan Budak dan Ras
  • Agama dan Ras
  • Sains Palsu dan Ras
  • Akibat Buruk dari Rasisme
  • Bangsa-Bangsa—Bagaimana Asal-Usul Mereka?
    Sedarlah!—1982 (No. 6)
  • Manakala Semua Ras Hidup Bersama dalam Damai
    Sedarlah!—1993
  • Bagaimana dengan Kebanggaan Rasial?
    Sedarlah!—1998
  • Apakah Allah Menganggap Satu Ras Lebih Unggul Daripada Ras Lain?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2011
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1993
g93 8/8 hlm. 17-20

Mengapa Ras Menjadi Persoalan Besar?

SEMENJAK sejarah mulai dicatat, gagasan ”mereka” dan ”kami” telah mendominasi pikiran orang-orang. Banyak orang telah meyakinkan diri mereka bahwa merekalah satu-satunya manusia normal yang memiliki cara yang benar dalam melakukan segala sesuatu. Ini adalah apa yang disebut ilmuwan sebagai etnosentrisme, gagasan bahwa masyarakat beserta cara-cara yang dimiliki seseorang adalah segala-galanya.

Misalnya, orang-orang Yunani purba memandang rendah ”orang-orang barbar”, istilah yang mereka terapkan kepada orang-orang non-Yunani. Istilah ”orang-orang barbar” berasal dari ujaran bahasa asing menurut telinga orang-orang Yunani, bagaikan rentetan kata-kata berbunyi ”bar-bar” yang tidak dapat dimengerti. Orang-orang Mesir yang ada sebelumnya dan orang-orang Romawi setelahnya juga merasa lebih unggul dibandingkan orang-orang dari bangsa-bangsa lain.

Selama berabad-abad, orang-orang Cina menyebut negeri mereka Zhong Guo, atau Kerajaan Tengah, karena mereka yakin bahwa Cina adalah pusat dari dunia kalau bukan dari alam semesta. Belakangan, sewaktu misionaris-misionaris Eropa yang berambut merah, bermata hijau, dan berwajah kemerahan datang ke Cina, orang-orang Cina mencap mereka ”iblis dari negeri asing”. Demikian pula, sewaktu orang-orang Timur Jauh pertama kali tiba di Eropa dan Amerika Utara, mata mereka yang sipit dan apa yang dianggap kebiasaan yang aneh menjadikan mereka mangsa empuk untuk diejek dan dicurigai.

Namun, terdapat fakta penting untuk dipertimbangkan, sebagaimana dikatakan buku The Kinds of Mankind, ”Untuk percaya bahwa [ras] seseorang lebih unggul adalah satu hal; berupaya membuktikannya, dengan menggunakan penemuan ilmiah adalah hal lain lagi.” Upaya-upaya untuk membuktikan bahwa satu ras lebih unggul dari ras lainnya relatif baru. Antropolog Ashley Montagu menulis, ”konsepsi bahwa ada ras-ras umat manusia yang bersifat alami atau biologis yang berbeda satu sama lain secara mental maupun secara fisik adalah gagasan yang tidak berkembang hingga periode akhir abad kedelapan belas”.

Mengapa persoalan keunggulan rasial menjadi begitu menonjol selama abad ke-18 dan ke-19?

Perdagangan Budak dan Ras

Alasan utama adalah bahwa perdagangan budak yang menguntungkan telah mencapai puncaknya pada saat itu, dan ratusan ribu orang Afrika dibawa dengan paksa dan ditekan ke dalam perbudakan di Eropa dan Amerika. Sering kali keluarga-keluarga dipisahkan, pria, wanita, dan anak-anak dikirim ke berbagai belahan dunia tanpa pernah bertemu lagi satu sama lain. Bagaimana para pedagang budak dan pemilik budak, yang sebagian besar mengaku diri Kristen, dapat membenarkan tindakan yang tidak manusiawi semacam itu?

Dengan mempropagandakan pandangan bahwa orang-orang Afrika kulit hitam secara alami lebih rendah. ”Saya cenderung untuk curiga bahwa semua orang negro, dan pada umumnya semua spesies lain dari manusia secara alami lebih rendah daripada orang-orang kulit putih,” tulis seorang filsuf Skotlandia abad ke-18 bernama David Hume. Malahan, Hume menyatakan bahwa siapa pun akan mendapati bahwa ”tidak ada satu pun penemuan yang cerdas di antara [orang-orang Negro], tidak ada seni, tidak ada ilmu pengetahuan”.

Akan tetapi, pernyataan semacam itu keliru. The World Book Encyclopedia (1973) menyatakan, ”Kerajaan-kerajaan Negro yang sangat maju terdapat di berbagai bagian Afrika ratusan tahun yang lalu. . . . Antara tahun 1200 dan 1600, universitas Arab-Negro, berkembang di Timbuktu, Afrika Barat, dan menjadi termasyhur hingga ke Spanyol, Afrika Utara, dan Timur Tengah.” Meskipun demikian, orang-orang yang terlibat dalam perdagangan budak cepat menerima pandangan filsuf seperti Hume bahwa orang-orang kulit hitam adalah ras yang lebih rendah dibandingkan orang-orang kulit putih, malahan, tidak dipandang sebagai manusia.

Agama dan Ras

Para pedagang budak mendapat dukungan yang cukup berarti dari para pemimpin agama sehubungan pandangan rasial mereka. Pada awal tahun 1450-an, edikta-edikta paus Katolik Roma menyucikan penjajahan dan perbudakan atas ”para penyembah berhala” dan ”orang-orang kafir” agar ”jiwa” mereka dapat diselamatkan bagi ”Kerajaan Allah”. Setelah menerima berkat dari gereja, para penjelajah Eropa masa awal dan pedagang budak tidak merasa menyesal atas perlakuan brutal mereka terhadap penduduk pribumi.

”Pada tahun-tahun 1760-an, sebagaimana juga banyak dekade setelahnya, perbudakan orang-orang kulit hitam disucikan oleh para tokoh gereja dan teolog Katolik, Anglikan, Lutheran, Presbiterian, dan Reformasi,” kata buku Slavery and Human Progress. ”Tidak ada gereja atau sekte modern yang berupaya mencegah para anggotanya untuk tidak memiliki atau bahkan terlibat dalam perdagangan budak-budak kulit hitam.”

Meskipun beberapa gereja berbicara mengenai persaudaraan Kristen seluas dunia, mereka juga memajukan pengajaran yang memperhebat pertentangan rasial. Misalnya, Encyclopaedia Judaica menyatakan bahwa ”hanya setelah melewati perjuangan panjang dan pembahasan teologis, orang-orang Spanyol mengakui bahwa ras-ras pribumi yang mereka temukan di Amerika adalah manusia yang dikaruniai jiwa”.

Implikasinya adalah bahwa selama ”jiwa” penduduk ras pribumi semacam itu ”diselamatkan” dengan ditobatkan ke dalam kekristenan, cara mereka diperlakukan secara fisik tidaklah penting. Dan bila itu menyangkut situasi orang-orang kulit hitam, para pemimpin agama berpendapat bahwa mereka bagaimanapun juga telah dikutuk oleh Tuhan. Alkitab disalahterapkan dalam upaya membuktikan hal ini. Para pemimpin agama Robert Jamieson, A. R. Fausset, dan David Brown, dalam komentar Alkitab mereka, mengatakan, ”Terkutuklah Kanaan [Kejadian 9:25]​—bencana ini telah digenapi dalam kebinasaan orang-orang Kanaan—​dalam degradasi orang-orang Mesir, dan perbudakan orang-orang Afrika, keturunan Ham.”​—Commentary, Critical and Explanatory, on the Whole Bible.

Pengajaran bahwa nenek moyang ras hitam sama sekali dikutuk tidak diajarkan dalam Alkitab. Kebenarannya adalah, ras hitam adalah keturunan Kusy, bukan Kanaan. Pada abad ke-18, John Woolman menyanggah bahwa menggunakan kutukan Alkitab ini untuk membenarkan perbudakan orang-orang kulit hitam, sehingga merampas hak-hak asasi mereka, ”merupakan dugaan yang terlalu kasar untuk diterima dalam pikiran siapa pun yang secara tulus ingin diatur oleh prinsip-prinsip yang kokoh”.

Sains Palsu dan Ras

Sains palsu juga menambahkan suara dalam upaya mendukung teori bahwa orang-orang kulit hitam adalah ras yang rendah. Buku Essay on the Inequality of Races, oleh penulis Prancis abad ke-19 bernama Joseph de Gobineau, meletakkan dasar bagi banyak karya tulis serupa yang menyusul setelah itu. Di dalamnya, Gobineau membagi umat manusia menjadi tiga ras yang terpisah dalam mengurutkan tingkat keunggulan: putih, kuning, dan hitam. Ia menyatakan bahwa sifat-sifat unik dari masing-masing ras dibawa di dalam darah, dan bahwa percampuran apa pun melalui perkawinan silang akan menghasilkan degradasi dan kehilangan sifat-sifat yang unggul.

Gobineau berpendapat bahwa pernah ada suatu ras murni terdiri dari orang-orang berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pirang, bermata biru, yang disebutnya Aria. Menurut pendapatnya, adalah ras Aria yang memperkenalkan peradaban dan bahasa Sansekerta ke India, dan adalah ras Aria yang membentuk peradaban Yunani dan Romawi purba. Namun melalui perkawinan silang dengan penduduk setempat yang lebih rendah, peradaban yang dulunya mulia ini hilang, berikut kejeniusan dan sifat-sifat baik dari ras Aria. Orang-orang terdekat dengan ras Aria murni yang tersisa, kata Gobineau, didapati di Eropa sebelah utara, yaitu, di kalangan orang-orang Nordik dan, secara luas, orang-orang Jerman.

Gagasan dasar Gobineau​—pembagian ketiga ras, pertalian darah, ras Aria—​tidak memiliki dasar ilmiah apa pun, dan hal itu sangat didiskreditkan oleh masyarakat ilmiah dewasa ini. Meskipun demikian, gagasan itu segera diterima oleh orang-orang lain. Di antaranya adalah seorang pria bangsa Inggris, Houston Stewart Chamberlain, yang begitu terpikat dengan gagasan Gobineau sehingga ia pindah ke Jerman dan menyokong gagasan bahwa hanya melalui orang-orang Jerman terdapat harapan untuk mempertahankan kemurnian ras Aria. Tampaknya, tulisan Chamberlain telah dibaca secara luas di Jerman, dan membawa akibat buruk.

Akibat Buruk dari Rasisme

Dalam bukunya Mein Kampf (Perjuangan Saya), Adolf Hitler menyatakan bahwa ras Jerman adalah ras super yang ditakdirkan untuk memerintah dunia. Hitler merasa bahwa orang-orang Yahudi, yang menurutnya bertanggung jawab atas sabotase terhadap perekonomian Jerman, merupakan rintangan terhadap takdir yang mulia ini. Dengan demikian, menyusullah pembantaian orang-orang Yahudi dan kelompok minoritas Eropa lainnya, yang tidak diragukan lagi merupakan salah satu periode tergelap dalam sejarah umat manusia. Ini merupakan akibat yang menghancurkan dari gagasan-gagasan rasisme, termasuk gagasan Gobineau dan Chamberlain.

Akan tetapi, keburukan semacam itu tidak terbatas pada Eropa saja. Di seberang lautan di tempat yang dijuluki orang dunia baru, gagasan yang tidak berdasar semacam itu mendatangkan penderitaan yang tak terkatakan atas generasi-generasi orang yang tidak bersalah. Meskipun budak-budak Afrika akhirnya dibebaskan di Amerika Serikat setelah Perang Sipil, undang-undang yang diberlakukan di banyak negara bagian membatasi orang-orang kulit hitam mendapatkan hak istimewa yang dinikmati warga negara lainnya. Mengapa? Warga negara kulit putih berpikir bahwa ras hitam tidak memiliki kapasitas intelektual untuk berpartisipasi dalam tugas-tugas kemasyarakatan dan pemerintahan.

Seberapa dalamnya perasaan-perasaan rasial semacam itu tertanam diilustrasikan melalui sebuah kasus yang melibatkan undang-undang anti perkawinan campur. Undang-undang ini melarang perkawinan antara orang kulit hitam dan orang kulit putih. Ketika menghukum pasangan yang melanggar undang-undang ini, seorang hakim mengatakan, ”Allah Yang Mahakuasa menciptakan ras putih, hitam, kuning, Melayu, dan merah, dan Ia menempatkan mereka di benua yang berbeda, dan kecuali ada campur tangan atas pengaturan-Nya tidak ada alasan untuk perkawinan semacam itu.”

Hakim itu mengatakan hal ini, bukan pada abad ke-19 dan bukan di daerah terpencil, tetapi pada tahun 1958​—dan tidak lebih dari 100 kilometer dari Kapitol AS! Sesungguhnya, baru pada tahun 1967 Mahkamah Agung AS membatalkan semua undang-undang yang menentang perkawinan antar ras.

Undang-undang diskriminasi semacam itu​—demikian pula dengan pemisahan di sekolah, gereja, dan lembaga umum lainnya dan diskriminasi dalam pekerjaan dan perumahan—​mengarah kepada pergolakan sipil, aksi protes, dan kekerasan yang telah menjadi makanan sehari-hari di Amerika Serikat dan di banyak tempat lainnya. Selain kehancuran kehidupan dan harta benda, kemarahan, kebencian, serta penghinaan dan penderitaan pribadi yang telah diakibatkannya hanya dapat dianggap sebagai aib dan sesuatu yang memalukan bagi apa yang dinamakan masyarakat beradab.

Dengan demikian, rasisme telah menjadi salah satu kekuatan yang paling merusak yang mempengaruhi masyarakat manusia. Tentu adalah patut bagi kita semua untuk menyelidiki hati kita masing-masing, dengan menanyakan diri kita sendiri, ”Apakah saya menolak pengajaran apa pun yang memaklumkan salah satu ras lebih unggul daripada ras lainnya? Apakah saya telah berupaya menyingkirkan dari diri saya sisa-sisa perasaan apa pun berkenaan keunggulan rasial?

Juga tepat apabila kita bertanya: Apakah ada harapan bahwa kerancuan dan ketegangan rasial, yang begitu parah dewasa ini, suatu hari akan dapat dimusnahkan? Dapatkah orang-orang dari berbagai bangsa, bahasa, dan kebiasaan hidup bersama dengan damai?

[Gambar di hlm. 19]

Orang-orang kulit hitam dipandang sebagai bukan manusia oleh banyak orang kulit putih

[Keterangan]

Diproduksi dari DESPOTISM—A Pictorial History of Tyranny

[Gambar di hlm. 20]

Kamp pembantaian Nazi merupakan akibat yang menghancurkan dari gagasan-gagasan rasisme

[Keterangan

U.S. National Archives photo

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan