PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apa Gerangan Ras Itu?
    Sedarlah!—1993 | 8 Agustus
    • Apa Gerangan Ras Itu?

      RAS! Apa yang Anda pikirkan sewaktu mendengar kata tersebut? Bagi beberapa orang, itu berarti diskriminasi dan penindasan. Bagi orang-orang lain, itu berarti kebencian, kerusuhan, dan bahkan pembunuhan.

      Mulai dari kerusuhan ras di Amerika Serikat hingga apartheid di Afrika Selatan, dari peperangan antar kelompok etnis di Eropa Timur hingga perjuangan di tempat-tempat seperti Sri Lanka dan Pakistan​—ras telah menjadi titik pusat tak terhitung banyaknya penderitaan manusia dan kehancuran.

      Namun mengapa kasus ini timbul? Bahkan di negeri-negeri yang masyarakatnya tampak toleran akan hampir segala sesuatu, mengapa ras merupakan persoalan yang begitu sensitif? Apa yang membuat ras menjadi sumbu yang menyulut begitu banyak bencana dan ketidakadilan? Dengan kata lain, mengapa orang-orang yang berbeda ras tidak bisa rukun satu sama lain?

      Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu mengetahui lebih banyak daripada sekadar apa gerangan ras dan dalam hal apa saja ras-ras berbeda. Kita juga harus memahami peranan yang dimainkan sejarah dalam hubungan dengan ras dewasa ini. Namun, pertama-tama, marilah kita tinjau apa yang dikatakan sains berkenaan pokok ini.

      Problem dalam Mengklasifikasikan Umat Manusia

      Orang-orang yang hidup di berbagai bagian dunia memiliki beragam karakteristik fisik. Ini mencakup warna kulit, bentuk raut muka, tekstur rambut, dan lain sebagainya. Perbedaan fisik demikian membedakan satu ras dari ras lainnya.

      Demikianlah, orang-orang pada umumnya menyebut putih dan hitam, menarik perhatian kepada warna kulit. Namun, orang-orang juga berbicara tentang keturunan Spanyol, Asia, Skandinavia, Yahudi, dan Rusia. Identifikasi yang disebut belakangan ini tidak banyak mengacu kepada karakteristik fisik melainkan kepada perbedaan geografis, bangsa, atau kebudayaan. Maka bagi kebanyakan orang, ras ditentukan bukan hanya oleh ciri-ciri fisik tetapi juga oleh kebiasaan, bahasa, kebudayaan, agama, dan kebangsaan.

      Akan tetapi, menarik sekali, beberapa penulis yang mengulas tentang pokok ini benar-benar enggan menggunakan kata ”ras”; mereka menaruh kata tersebut di dalam tanda kutip setiap kali kata itu muncul. Orang-orang lain sama sekali menghindari kata tersebut dan menggunakan istilah-istilah seperti ”takson etnik”, ”kelompok”, ”populasi”, dan ”varietas”. Mengapa? Karena kata ”ras”, sebagaimana umumnya diketahui, begitu sarat dengan makna tersembunyi dan implikasi sehingga penggunaannya, bila tanpa penjelasan yang sepatutnya, sering kali mengaburkan pokok pembahasan.

      Bagi para biolog dan antropolog, ras sering kali hanya didefinisikan sebagai ”sub-divisi dari suatu spesies yang mewarisi karakteristik fisik yang membedakannya dari populasi lain dalam spesies tersebut”.a Akan tetapi, permasalahannya adalah, Karakteristik mana yang dapat digunakan untuk melukiskan kelompok-kelompok yang berbeda di dalam spesies manusia?

      Faktor-faktor seperti warna kulit, warna dan tekstur rambut, bentuk mata dan hidung, ukuran otak, dan golongan darah telah diselidiki, namun tak satu pun dari hal-hal ini terbukti memuaskan sepenuhnya sebagai penentu varietas umat manusia. Ini disebabkan karena secara alamiah tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang semua anggotanya benar-benar seragam dalam ciri-ciri tersebut.

      Pertimbangkan warna kulit. Kebanyakan orang percaya bahwa umat manusia dapat dengan mudah dibagi menjadi lima ras melalui warna kulit: putih, hitam, sawo matang, kuning, dan merah. Ras putih pada umumnya dikatakan memiliki kulit putih, warna rambut yang terang, dan mata yang biru. Namun kenyataannya, terdapat banyak variasi dalam warna rambut, warna mata, dan warna kulit di kalangan orang-orang yang disebut ras putih. Buku The Human Species melaporkan, ”Bukan saja tidak ada populasi di Eropa dewasa ini yang mayoritas anggotanya memiliki satu tipe; populasi semacam itu memang tidak pernah ada.”

      Ya, mengklasifikasikan spesies umat manusia itu sulit, sebagaimana dinyatakan buku The Kinds of Mankind, ”Kita tampaknya hanya dapat mengatakan hal ini: meskipun tidak semua orang mirip dengan semua manusia lainnya, dan meskipun kita dapat melihat dengan jelas bahwa masyarakat tampak berbeda dalam banyak hal, para ilmuwan masih belum sepakat berkenaan tepatnya berapa banyak kategori yang terdapat dalam umat manusia. Mereka bahkan belum memutuskan kriteria apa yang dapat kita gunakan untuk menggolongkan orang-orang ke dalam satu ras atau ras lainnya. Beberapa ilmuwan kelihatannya ingin angkat tangan saja dan mengatakan bahwa problem tersebut terlalu berat​—bahwa tidak ada pemecahannya!”

      Semua ini mungkin tampak membingungkan. Meskipun para ilmuwan tampaknya tidak terlalu sulit dalam mengklasifikasikan binatang dan tumbuhan ke dalam genus, spesies, dan sub-spesies, mengapa mereka memiliki problem sedemikian sulit sewaktu membagi umat manusia ke dalam ras-ras?

      ”Mitos yang Paling Berbahaya Buatan Manusia”

      Menurut antropolog Ashley Montagu, banyak orang percaya bahwa ”ciri-ciri secara fisik dan mental saling berhubungan, bahwa perbedaan fisik dihubungkan dengan perbedaan yang agak nyata dalam kapasitas mental, dan bahwa perbedaan-perbedaan ini dapat diukur melalui tes IQ dan prestasi kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan”.

      Demikianlah, banyak orang percaya bahwa karena ras memiliki karakteristik fisik yang berbeda, ras-ras tertentu lebih unggul secara intelektual dan ras-ras lain lebih rendah. Akan tetapi, Montagu menyebut pemikiran demikian sebagai ”mitos yang paling berbahaya buatan manusia”. Para pakar lainnya setuju.

      Morton Klass dan Hal Hellman menjelaskan dalam The Kinds of Mankind, ”Orang perorangan memang berbeda; dalam semua populasi, ada yang jenius dan ada yang bodoh. Namun, setelah melakukan penelitian selama ini, para sarjana yang bertanggung jawab belum melihat bukti yang dapat mereka sepakati sebagai perbedaan genetik antara populasi dalam kaitan dengan kecerdasan atau kesanggupan.”

      Kalau begitu, mengapa begitu banyak orang masih percaya bahwa perbedaan-perbedaan fisik yang dangkal itu mengartikan bahwa ras-ras pada dasarnya berbeda? Sebenarnya, dengan cara bagaimana ras menjadi persoalan besar? Kita akan membahas masalah-masalah ini dalam artikel berikut.

  • Mengapa Ras Menjadi Persoalan Besar?
    Sedarlah!—1993 | 8 Agustus
    • Mengapa Ras Menjadi Persoalan Besar?

      SEMENJAK sejarah mulai dicatat, gagasan ”mereka” dan ”kami” telah mendominasi pikiran orang-orang. Banyak orang telah meyakinkan diri mereka bahwa merekalah satu-satunya manusia normal yang memiliki cara yang benar dalam melakukan segala sesuatu. Ini adalah apa yang disebut ilmuwan sebagai etnosentrisme, gagasan bahwa masyarakat beserta cara-cara yang dimiliki seseorang adalah segala-galanya.

      Misalnya, orang-orang Yunani purba memandang rendah ”orang-orang barbar”, istilah yang mereka terapkan kepada orang-orang non-Yunani. Istilah ”orang-orang barbar” berasal dari ujaran bahasa asing menurut telinga orang-orang Yunani, bagaikan rentetan kata-kata berbunyi ”bar-bar” yang tidak dapat dimengerti. Orang-orang Mesir yang ada sebelumnya dan orang-orang Romawi setelahnya juga merasa lebih unggul dibandingkan orang-orang dari bangsa-bangsa lain.

      Selama berabad-abad, orang-orang Cina menyebut negeri mereka Zhong Guo, atau Kerajaan Tengah, karena mereka yakin bahwa Cina adalah pusat dari dunia kalau bukan dari alam semesta. Belakangan, sewaktu misionaris-misionaris Eropa yang berambut merah, bermata hijau, dan berwajah kemerahan datang ke Cina, orang-orang Cina mencap mereka ”iblis dari negeri asing”. Demikian pula, sewaktu orang-orang Timur Jauh pertama kali tiba di Eropa dan Amerika Utara, mata mereka yang sipit dan apa yang dianggap kebiasaan yang aneh menjadikan mereka mangsa empuk untuk diejek dan dicurigai.

      Namun, terdapat fakta penting untuk dipertimbangkan, sebagaimana dikatakan buku The Kinds of Mankind, ”Untuk percaya bahwa [ras] seseorang lebih unggul adalah satu hal; berupaya membuktikannya, dengan menggunakan penemuan ilmiah adalah hal lain lagi.” Upaya-upaya untuk membuktikan bahwa satu ras lebih unggul dari ras lainnya relatif baru. Antropolog Ashley Montagu menulis, ”konsepsi bahwa ada ras-ras umat manusia yang bersifat alami atau biologis yang berbeda satu sama lain secara mental maupun secara fisik adalah gagasan yang tidak berkembang hingga periode akhir abad kedelapan belas”.

      Mengapa persoalan keunggulan rasial menjadi begitu menonjol selama abad ke-18 dan ke-19?

      Perdagangan Budak dan Ras

      Alasan utama adalah bahwa perdagangan budak yang menguntungkan telah mencapai puncaknya pada saat itu, dan ratusan ribu orang Afrika dibawa dengan paksa dan ditekan ke dalam perbudakan di Eropa dan Amerika. Sering kali keluarga-keluarga dipisahkan, pria, wanita, dan anak-anak dikirim ke berbagai belahan dunia tanpa pernah bertemu lagi satu sama lain. Bagaimana para pedagang budak dan pemilik budak, yang sebagian besar mengaku diri Kristen, dapat membenarkan tindakan yang tidak manusiawi semacam itu?

      Dengan mempropagandakan pandangan bahwa orang-orang Afrika kulit hitam secara alami lebih rendah. ”Saya cenderung untuk curiga bahwa semua orang negro, dan pada umumnya semua spesies lain dari manusia secara alami lebih rendah daripada orang-orang kulit putih,” tulis seorang filsuf Skotlandia abad ke-18 bernama David Hume. Malahan, Hume menyatakan bahwa siapa pun akan mendapati bahwa ”tidak ada satu pun penemuan yang cerdas di antara [orang-orang Negro], tidak ada seni, tidak ada ilmu pengetahuan”.

      Akan tetapi, pernyataan semacam itu keliru. The World Book Encyclopedia (1973) menyatakan, ”Kerajaan-kerajaan Negro yang sangat maju terdapat di berbagai bagian Afrika ratusan tahun yang lalu. . . . Antara tahun 1200 dan 1600, universitas Arab-Negro, berkembang di Timbuktu, Afrika Barat, dan menjadi termasyhur hingga ke Spanyol, Afrika Utara, dan Timur Tengah.” Meskipun demikian, orang-orang yang terlibat dalam perdagangan budak cepat menerima pandangan filsuf seperti Hume bahwa orang-orang kulit hitam adalah ras yang lebih rendah dibandingkan orang-orang kulit putih, malahan, tidak dipandang sebagai manusia.

      Agama dan Ras

      Para pedagang budak mendapat dukungan yang cukup berarti dari para pemimpin agama sehubungan pandangan rasial mereka. Pada awal tahun 1450-an, edikta-edikta paus Katolik Roma menyucikan penjajahan dan perbudakan atas ”para penyembah berhala” dan ”orang-orang kafir” agar ”jiwa” mereka dapat diselamatkan bagi ”Kerajaan Allah”. Setelah menerima berkat dari gereja, para penjelajah Eropa masa awal dan pedagang budak tidak merasa menyesal atas perlakuan brutal mereka terhadap penduduk pribumi.

      ”Pada tahun-tahun 1760-an, sebagaimana juga banyak dekade setelahnya, perbudakan orang-orang kulit hitam disucikan oleh para tokoh gereja dan teolog Katolik, Anglikan, Lutheran, Presbiterian, dan Reformasi,” kata buku Slavery and Human Progress. ”Tidak ada gereja atau sekte modern yang berupaya mencegah para anggotanya untuk tidak memiliki atau bahkan terlibat dalam perdagangan budak-budak kulit hitam.”

      Meskipun beberapa gereja berbicara mengenai persaudaraan Kristen seluas dunia, mereka juga memajukan pengajaran yang memperhebat pertentangan rasial. Misalnya, Encyclopaedia Judaica menyatakan bahwa ”hanya setelah melewati perjuangan panjang dan pembahasan teologis, orang-orang Spanyol mengakui bahwa ras-ras pribumi yang mereka temukan di Amerika adalah manusia yang dikaruniai jiwa”.

      Implikasinya adalah bahwa selama ”jiwa” penduduk ras pribumi semacam itu ”diselamatkan” dengan ditobatkan ke dalam kekristenan, cara mereka diperlakukan secara fisik tidaklah penting. Dan bila itu menyangkut situasi orang-orang kulit hitam, para pemimpin agama berpendapat bahwa mereka bagaimanapun juga telah dikutuk oleh Tuhan. Alkitab disalahterapkan dalam upaya membuktikan hal ini. Para pemimpin agama Robert Jamieson, A. R. Fausset, dan David Brown, dalam komentar Alkitab mereka, mengatakan, ”Terkutuklah Kanaan [Kejadian 9:25]​—bencana ini telah digenapi dalam kebinasaan orang-orang Kanaan—​dalam degradasi orang-orang Mesir, dan perbudakan orang-orang Afrika, keturunan Ham.”​—Commentary, Critical and Explanatory, on the Whole Bible.

      Pengajaran bahwa nenek moyang ras hitam sama sekali dikutuk tidak diajarkan dalam Alkitab. Kebenarannya adalah, ras hitam adalah keturunan Kusy, bukan Kanaan. Pada abad ke-18, John Woolman menyanggah bahwa menggunakan kutukan Alkitab ini untuk membenarkan perbudakan orang-orang kulit hitam, sehingga merampas hak-hak asasi mereka, ”merupakan dugaan yang terlalu kasar untuk diterima dalam pikiran siapa pun yang secara tulus ingin diatur oleh prinsip-prinsip yang kokoh”.

      Sains Palsu dan Ras

      Sains palsu juga menambahkan suara dalam upaya mendukung teori bahwa orang-orang kulit hitam adalah ras yang rendah. Buku Essay on the Inequality of Races, oleh penulis Prancis abad ke-19 bernama Joseph de Gobineau, meletakkan dasar bagi banyak karya tulis serupa yang menyusul setelah itu. Di dalamnya, Gobineau membagi umat manusia menjadi tiga ras yang terpisah dalam mengurutkan tingkat keunggulan: putih, kuning, dan hitam. Ia menyatakan bahwa sifat-sifat unik dari masing-masing ras dibawa di dalam darah, dan bahwa percampuran apa pun melalui perkawinan silang akan menghasilkan degradasi dan kehilangan sifat-sifat yang unggul.

      Gobineau berpendapat bahwa pernah ada suatu ras murni terdiri dari orang-orang berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pirang, bermata biru, yang disebutnya Aria. Menurut pendapatnya, adalah ras Aria yang memperkenalkan peradaban dan bahasa Sansekerta ke India, dan adalah ras Aria yang membentuk peradaban Yunani dan Romawi purba. Namun melalui perkawinan silang dengan penduduk setempat yang lebih rendah, peradaban yang dulunya mulia ini hilang, berikut kejeniusan dan sifat-sifat baik dari ras Aria. Orang-orang terdekat dengan ras Aria murni yang tersisa, kata Gobineau, didapati di Eropa sebelah utara, yaitu, di kalangan orang-orang Nordik dan, secara luas, orang-orang Jerman.

      Gagasan dasar Gobineau​—pembagian ketiga ras, pertalian darah, ras Aria—​tidak memiliki dasar ilmiah apa pun, dan hal itu sangat didiskreditkan oleh masyarakat ilmiah dewasa ini. Meskipun demikian, gagasan itu segera diterima oleh orang-orang lain. Di antaranya adalah seorang pria bangsa Inggris, Houston Stewart Chamberlain, yang begitu terpikat dengan gagasan Gobineau sehingga ia pindah ke Jerman dan menyokong gagasan bahwa hanya melalui orang-orang Jerman terdapat harapan untuk mempertahankan kemurnian ras Aria. Tampaknya, tulisan Chamberlain telah dibaca secara luas di Jerman, dan membawa akibat buruk.

      Akibat Buruk dari Rasisme

      Dalam bukunya Mein Kampf (Perjuangan Saya), Adolf Hitler menyatakan bahwa ras Jerman adalah ras super yang ditakdirkan untuk memerintah dunia. Hitler merasa bahwa orang-orang Yahudi, yang menurutnya bertanggung jawab atas sabotase terhadap perekonomian Jerman, merupakan rintangan terhadap takdir yang mulia ini. Dengan demikian, menyusullah pembantaian orang-orang Yahudi dan kelompok minoritas Eropa lainnya, yang tidak diragukan lagi merupakan salah satu periode tergelap dalam sejarah umat manusia. Ini merupakan akibat yang menghancurkan dari gagasan-gagasan rasisme, termasuk gagasan Gobineau dan Chamberlain.

      Akan tetapi, keburukan semacam itu tidak terbatas pada Eropa saja. Di seberang lautan di tempat yang dijuluki orang dunia baru, gagasan yang tidak berdasar semacam itu mendatangkan penderitaan yang tak terkatakan atas generasi-generasi orang yang tidak bersalah. Meskipun budak-budak Afrika akhirnya dibebaskan di Amerika Serikat setelah Perang Sipil, undang-undang yang diberlakukan di banyak negara bagian membatasi orang-orang kulit hitam mendapatkan hak istimewa yang dinikmati warga negara lainnya. Mengapa? Warga negara kulit putih berpikir bahwa ras hitam tidak memiliki kapasitas intelektual untuk berpartisipasi dalam tugas-tugas kemasyarakatan dan pemerintahan.

      Seberapa dalamnya perasaan-perasaan rasial semacam itu tertanam diilustrasikan melalui sebuah kasus yang melibatkan undang-undang anti perkawinan campur. Undang-undang ini melarang perkawinan antara orang kulit hitam dan orang kulit putih. Ketika menghukum pasangan yang melanggar undang-undang ini, seorang hakim mengatakan, ”Allah Yang Mahakuasa menciptakan ras putih, hitam, kuning, Melayu, dan merah, dan Ia menempatkan mereka di benua yang berbeda, dan kecuali ada campur tangan atas pengaturan-Nya tidak ada alasan untuk perkawinan semacam itu.”

      Hakim itu mengatakan hal ini, bukan pada abad ke-19 dan bukan di daerah terpencil, tetapi pada tahun 1958​—dan tidak lebih dari 100 kilometer dari Kapitol AS! Sesungguhnya, baru pada tahun 1967 Mahkamah Agung AS membatalkan semua undang-undang yang menentang perkawinan antar ras.

      Undang-undang diskriminasi semacam itu​—demikian pula dengan pemisahan di sekolah, gereja, dan lembaga umum lainnya dan diskriminasi dalam pekerjaan dan perumahan—​mengarah kepada pergolakan sipil, aksi protes, dan kekerasan yang telah menjadi makanan sehari-hari di Amerika Serikat dan di banyak tempat lainnya. Selain kehancuran kehidupan dan harta benda, kemarahan, kebencian, serta penghinaan dan penderitaan pribadi yang telah diakibatkannya hanya dapat dianggap sebagai aib dan sesuatu yang memalukan bagi apa yang dinamakan masyarakat beradab.

      Dengan demikian, rasisme telah menjadi salah satu kekuatan yang paling merusak yang mempengaruhi masyarakat manusia. Tentu adalah patut bagi kita semua untuk menyelidiki hati kita masing-masing, dengan menanyakan diri kita sendiri, ”Apakah saya menolak pengajaran apa pun yang memaklumkan salah satu ras lebih unggul daripada ras lainnya? Apakah saya telah berupaya menyingkirkan dari diri saya sisa-sisa perasaan apa pun berkenaan keunggulan rasial?

      Juga tepat apabila kita bertanya: Apakah ada harapan bahwa kerancuan dan ketegangan rasial, yang begitu parah dewasa ini, suatu hari akan dapat dimusnahkan? Dapatkah orang-orang dari berbagai bangsa, bahasa, dan kebiasaan hidup bersama dengan damai?

      [Gambar di hlm. 19]

      Orang-orang kulit hitam dipandang sebagai bukan manusia oleh banyak orang kulit putih

      [Keterangan]

      Diproduksi dari DESPOTISM—A Pictorial History of Tyranny

      [Gambar di hlm. 20]

      Kamp pembantaian Nazi merupakan akibat yang menghancurkan dari gagasan-gagasan rasisme

      [Keterangan

      U.S. National Archives photo

  • Manakala Semua Ras Hidup Bersama dalam Damai
    Sedarlah!—1993 | 8 Agustus
    • Manakala Semua Ras Hidup Bersama dalam Damai

      ”DARI satu orang saja [Allah] telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi.” (Kisah 17:26) Itulah pernyataan yang sederhana dari Alkitab berkenaan asal-usul keluarga manusia.

      Hal itu secara tidak langsung menyatakan bahwa seluruh umat manusia, tidak soal di mana mereka tinggal atau karakteristik fisik apa yang mereka miliki, berasal dari satu keturunan yang sama. Itu juga mengartikan bahwa meskipun terdapat segala perbedaan yang dapat dilihat, ”setiap orang dari bangsa manapun” memiliki potensi yang sama sejauh menyangkut kesanggupan dan kecerdasan. Ya, dalam pandangan Allah, umat manusia dari segala ras atau bangsa sederajat.​—Kisah 10:34, 35.

      Jika pandangan Alkitab benar, ada harapan bahwa semua prasangka dan ketidakadilan yang didasarkan atas perbedaan rasial dapat disingkirkan. Lagi pula, jika Alkitab saksama sehubungan asal-usul keluarga manusia, maka secara logis buku yang sama itu dapat pula memberikan kita informasi yang menyingkapkan bagaimana ras manusia dapat hidup bersama dengan damai.

      Nah, apa yang diperlihatkan fakta-faktanya? Apakah catatan Alkitab berkenaan asal-usul umat manusia diteguhkan oleh sains?

      Bukti Ilmiah

      Publikasi The Races of Mankind, oleh antropolog R. Benedict dan G. Weltfish, menyatakan, ”Kisah Alkitab tentang Adam dan Hawa, ayah dan ibu dari segenap bangsa (atau ras) manusia, berabad-abad yang lalu menceritakan kebenaran yang sama yang diperlihatkan sains dewasa ini: bahwa semua orang di bumi merupakan satu keluarga tunggal dan mempunyai asal-usul yang sama.” Para penulis ini juga menandaskan bahwa ”terbentuknya tubuh manusia yang menakjubkan . . . tidak mungkin ’kebetulan’ sama pada semua orang jika mereka tidak memiliki asal-usul yang sama”.

      Pamflet Race and Biology, oleh L. C. Dunn, profesor zoologi pada Universitas Columbia, mengatakan, ”Semua manusia jelas berasal dari satu spesies, serupa dalam semua karakter fisik yang mendasar. Anggota dari masing-masing kelompok dapat kawin-mengawinkan dan memang demikianlah halnya.” Kemudian, buku itu melanjutkan, ”Namun setiap manusia unik dan berbeda dalam hal-hal yang kecil dari setiap manusia lainnya. Ini sebagian akibat perbedaan lingkungan tempat orang-orang tinggal dan sebagian akibat perbedaan di dalam gen yang mereka warisi.”

      Bukti-bukti ilmiahnya meyakinkan. Berbicara secara biologis, tidak ada hal-hal seperti ras yang lebih unggul atau yang kurang unggul, ras yang murni atau yang sudah tercemar. Karakteristik seperti warna kulit, rambut, atau mata seseorang​—perkara-perkara yang mungkin dianggap penting secara rasial oleh beberapa orang—​bukanlah petunjuk kecerdasan atau kesanggupan seseorang. Sebaliknya, hal-hal itu adalah hasil warisan genetis.

      Ya, perbedaan rasial bersifat minimal, sebagaimana ditulis Hampton L. Carson dalam Heredity and Human Life, ”Paradoks (hal yang bertentangan) yang kita hadapi ialah bahwa tiap kelompok manusia tampaknya dari luar berbeda namun di balik perbedaan-perbedaan ini ada persamaan yang mendasar.”

      Jika semua manusia sebenarnya berasal dari satu keluarga, maka mengapa ada problem-problem rasial yang sangat buruk?

      Mengapa Ada Problem Tersebut

      Alasan mendasar adanya rasisme adalah awal buruk yang diberikan orang-tua umat manusia pertama kepada keturunan mereka. Adam dan Hawa sengaja memberontak melawan Allah dan oleh karenanya menjadi tidak sempurna, cacat. Sebagai akibatnya, ketidaksempurnaan Adam—kecenderungannya akan apa yang jahat—diwariskan kepada keturunannya. (Roma 5:12) Jadi, sejak lahir, semua manusia cenderung kepada sifat mementingkan diri dan keangkuhan, yang telah menuntun kepada pertikaian rasial dan bencana.

      Ada lagi alasan lain yang menimbulkan rasisme. Sewaktu Adam dan Hawa melepaskan diri dari bimbingan Allah, mereka mulai berada di bawah kuasa makhluk roh yang jahat yang Alkitab sebut sebagai Setan, atau si Iblis. Di bawah pengaruh makhluk ini, yang ”menyesatkan seluruh dunia”, upaya-upaya yang disengaja telah sering dibuat untuk memperdayakan orang-orang berkenaan masalah ras. (Wahyu 12:9; 2 Korintus 4:4) Etnosentrisme—gagasan bahwa kelompok sendiri lebih unggul—telah dikobarkan menjadi api yang menghanguskan, dan secara sadar atau tidak sadar, jutaan orang telah hanyut, bersama akibat-akibat yang menghancurkan.

      Terus terang, manusia-manusia yang mementingkan diri dan tidak sempurna di bawah pengendalian Setan telah menyebarkan seluruh pengajaran palsu berkenaan ras yang telah menjadi biang keladi masalah-masalah rasial.

      Oleh karena itu, agar umat manusia bersatu, semua manusia harus percaya bahwa kita benar-benar adalah satu keluarga manusia dan bahwa Allah memang menjadikan ’dari satu orang saja, semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi’. (Kisah 17:26) Selanjutnya, agar semua ras hidup bersama dalam damai, pengaruh Setan harus disingkirkan dari hubungan antar manusia. Apakah perkara-perkara ini akan pernah terwujud? Apakah ada dasar untuk percaya bahwa perkara-perkara tersebut akan terwujud?

      Mengakhiri Prasangka Rasial

      Yesus Kristus menyingkapkan bagaimana prasangka rasial dapat disingkirkan sewaktu ia memerintahkan para pengikutnya untuk ”saling mengasihi” sebagaimana ia mengasihi mereka. (Yohanes 13:34, 35) Kasih ini tidak hanya kepada anggota-anggota dari suatu ras atau ras-ras tertentu. Sama sekali tidak! ”Milikilah kasih akan seluruh persekutuan saudara-saudara,” demikian anjuran dari salah seorang muridnya.—1 Petrus 2:17, NW.

      Bagaimana kasih Kristen ini diperlihatkan? Alkitab menjelaskan sewaktu ia mendesak, ”Hendaklah kamu . . . saling mendahului dalam memberi hormat.” (Roma 12:10) Pikirkan apa arti pernyataan ini bila dilaksanakan! Masing-masing memperlakukan orang-orang lain, tidak soal ras atau kebangsaan, dengan martabat dan respek yang sejati, bukannya merendahkan mereka, namun sebaliknya, ’menganggap mereka lebih utama’. (Filipi 2:3) Bila semangat kasih Kristen yang sejati semacam itu ada, problem prasangka rasial terselesaikan.

      Memang, di pihak orang-orang yang telah diajarkan prasangka rasial, dibutuhkan upaya yang luar biasa untuk menyingkirkan dari diri mereka gagasan-gagasan demikian yang diilhami Setan. Namun hal itu dapat dilakukan! Pada abad pertama, semua orang yang dibawa kepada sidang Kristen mulai menikmati persatuan yang tak ada bandingannya. Rasul Paulus menulis tentang hal itu, ”Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28) Ya, pengikut Kristus yang sejati mulai menikmati persaudaraan yang sejati.

      Namun, beberapa orang mungkin membantah, ’Hal ini tidak akan pernah terjadi dewasa ini.’ Tetapi, itu telah terjadi di antara Saksi-Saksi Yehuwa—suatu organisasi yang terdiri dari lebih empat setengah juta orang! Tak dapat disangkal, tidak semua Saksi telah bebas sepenuhnya dari prasangka yang diajarkan oleh sistem yang fasik ini. Seorang wanita Amerika berkulit hitam dengan realistis menyatakan tentang rekan-rekan Saksinya yang berkulit putih, ”Saya mendeteksi bahwa sisa-sisa dari sikap menganggap rasnya sendiri lebih unggul masih ada dalam diri orang-orang tertentu dari antara mereka, dan saya kadang-kadang melihat beberapa di antara mereka merasa sedikit kikuk bila bergaul dekat dengan orang-orang dari ras lain.”

      Namun, wanita ini mengakui, ”Saksi-Saksi Yehuwa telah, hingga taraf yang tak tertandingi oleh masyarakat lainnya di bumi, menyingkirkan dari diri mereka prasangka rasial. Mereka benar-benar berupaya keras mengasihi satu sama lain tidak soal ras . . . Kadang-kadang, hati saya merasa hangat sehingga saya tak kuasa menahan air mata sewaktu merasakan kasih sejati dari Saksi-Saksi berkulit putih.”

      Apakah persatuan rasial yang dinikmati beberapa orang​—bahkan walaupun mereka berjumlah jutaan—​benar-benar membuat perbedaan yang sangat besar sedangkan jutaan orang lainnya dipengaruhi gagasan-gagasan Setan berkenaan keunggulan rasial? Tidak, kami setuju bahwa itu tidak mengatasi problem rasial. Hal itu melampaui apa yang dapat diupayakan manusia. Hanya Pencipta kita, Allah Yehuwa, dapat melakukan hal itu.

      Syukurlah, dalam waktu dekat ini, Yehuwa, melalui Kerajaan-Nya yang ada di tangan Putra-Nya, Yesus Kristus, akan melenyapkan dari bumi semua ketidakadilan dan semua orang yang dengan mementingkan diri mempromosikan diskriminasi dan kebencian, rasial atau hal-hal lainnya. (Daniel 2:44; Matius 6:9, 10) Kemudian, dengan program pendidikan yang sempurna di bawah kepemimpinan Kristus, semua ras akan benar-benar dipersatukan. Seraya pendidikan tersebut bergerak maju, orang-orang akan hidup dalam kerukunan yang sempurna tanpa bekas apa pun dari diskriminasi rasial. Janji Allah akhirnya akan digenapi, ”Segala sesuatu yang lama itu telah berlalu. . . . Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!”​—Wahyu 21:4, 5.

      Apakah Anda adalah orang yang menanti-nantikan masa manakala persaudaraan sejati terjadi, manakala semua ras hidup bersama dengan damai? Jika ya, kami mengundang Anda untuk hadir di Balai Kerajaan terdekat, tempat Saksi-Saksi Yehuwa berhimpun secara tetap tentu untuk mempelajari Alkitab. Silakan Anda melihat sendiri apakah mereka memperlihatkan kasih Kristen sejati​—kepada orang-orang dari segala ras.

      [Gambar di hlm. 22]

      Segera semua ras di mana-mana akan hidup bersama dalam damai

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan