-
Agama BerpihakSedarlah!—1994 | 8 Oktober
-
-
Agama Berpihak
PADA tanggal 1 September 1939, Jerman menyerbu Polandia, dengan demikian menyulut Perang Dunia II. Tiga minggu kemudian, The New York Times memuat tajuk, ”Tentara Jerman Dimobilisasi Gereja.” Apakah gereja-gereja Jerman benar-benar mendukung peperangan Hitler?
Friedrich Heer, profesor sejarah beragama Katolik Roma di Vienna University, mengakui bahwa memang demikianlah halnya, ”Menurut fakta yang tak dapat dielakkan dari sejarah Jerman, Salib dan swastika menjadi lebih erat lagi, hingga swastika memproklamasikan berita kemenangan dari menara katedral-katedral Jerman, dengan bendera-bendera swastika di sekeliling altar dan para teolog Katolik dan Protestan, para pastor, tokoh-tokoh gereja, dan para negarawan menyambut aliansi dengan Hitler.”
Memang, para pemimpin gereja memberi dukungan habis-habisan kepada upaya peperangan Hitler, sebagaimana ditulis oleh Gordon Zahn profesor yang beragama Katolik Roma, ”Setiap orang Katolik Jerman yang berpaling kepada para pemuka agamanya untuk mendapatkan bimbingan dan pengarahan rohani berkenaan dinas dalam peperangan Hitler akan mendapat jawaban yang sangat mirip dengan yang akan diberikan oleh sang pemimpin Nazi sendiri.”
Agama-Agama di Pihak Musuh
Tetapi, apa yang dikatakan gereja-gereja di negara-negara musuh Jerman? The New York Times tanggal 29 Desember 1966 melaporkan, ”Di masa lalu, hierarki-hierarki Katolik setempat hampir selalu mendukung peperangan bangsa mereka, memberkati pasukan dan memanjatkan doa-doa memohon kemenangan, sementara kelompok uskup lain di pihak musuh secara terang-terangan mendoakan hasil yang sebaliknya.”
Apakah dukungan kepada kedua pasukan yang bertikai ini dilakukan dengan restu Vatikan? Pertimbangkan: Pada tanggal 8 Desember 1939, hanya tiga bulan setelah pecahnya Perang Dunia II, Paus Pius XII mengeluarkan surat pastoral Asperis Commoti Anxietatibus. Surat tersebut ditujukan kepada para pendeta militer dalam pasukan negara-negara yang sedang berperang, dan ia mendesak kedua belah pihak untuk menaruh keyakinan kepada uskup militer masing-masing. Surat itu memperingatkan para pendeta militer ”sebagai pejuang-pejuang di bawah bendera negara mereka agar juga berjuang demi Gereja”.
Agama sering mengambil pimpinan secara agresif dalam memobilisasi negara-negara untuk berperang. ”Bahkan dalam gereja-gereja kami, bendera-bendera peperangan kami kibarkan,” demikian pengakuan almarhum Harry Emerson Fosdick, seorang pendeta Protestan. Dan berkenaan perang dunia pertama, brigadir jenderal Inggris Frank P. Crozier mengatakan, ”Gereja-gereja Kristen adalah promotor-promotor haus darah terbaik yang kita miliki, dan kami memanfaatkan mereka tanpa batas.”
Akan tetapi, itu adalah riwayat agama di masa lalu. Bagaimana dengan peranannya dewasa ini dalam peperangan di republik-republik bekas Yugoslavia, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik Roma atau Ortodoks?
Tanggung Jawab Agama
Sebuah tajuk di Asiaweek tertanggal 20 Oktober 1993, menyatakan, ”Bosnia Adalah Episentrum Konflik Agama.” Sebuah tajuk untuk ulasan di San Antonio Express-News tertanggal 13 Juni 1993, menyatakan, ”Para Pemimpin Agama Hendaknya Mengakhiri Kesengsaraan di Bosnia.” Artikel itu mengatakan, ”Agama Katolik Roma, Ortodoks Timur dan Islam . . . tidak dapat melepaskan tanggung jawab atas apa yang sedang terjadi. Kali ini tidak, karena seluruh dunia menyaksikan warta berita di TV setiap malam. Itu adalah perang agama mereka. . . . Prinsip bahwa para pemimpin agama memikul tanggung jawab atas peperangan sudah jelas. Kesalehan palsu mereka telah menyulut peperangan. Dengan memberkati satu pihak melawan pihak yang lain, mereka melakukannya.”
Misalnya, mengapa kebencian antara para anggota Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur begitu besar? Para paus, patriarkh, dan pemimpin gereja lainnyalah yang bertanggung jawab. Sejak saat pemisahan total antara agama-agama ini pada tahun 1054, para pemimpin gereja terus memupuk kebencian dan peperangan di antara para anggota mereka. Surat kabar Montenegro Pobeda, tertanggal 20 September 1991, menuding perpecahan keagamaan berikut akibat-akibatnya dalam sebuah artikel tentang pertempuran baru-baru ini. Di bawah judul ”Para Pembunuh Atas Nama Allah”, artikel tersebut menjelaskan,
”Ini bukan persoalan politik antara [presiden Kroatia] Tudjman dan [pemimpin Serbia] Milošević, melainkan ini merupakan peperangan agama. Perlu dinyatakan bahwa hampir seribu tahun telah berlalu sejak Paus memutuskan untuk menyingkirkan saingannya yaitu agama Ortodoks. . . . Pada tahun 1054 . . . Paus mengumumkan bahwa Gereja Ortodoks bertanggung jawab atas pemisahan ini. . . . Pada tahun 1900, kongres Katolik yang pertama secara gamblang menjelaskan rencana pembantaian terhadap gereja Ortodoks untuk abad ke-20. Rencana [ini] sekarang sedang terwujud.”
Akan tetapi, konflik baru-baru ini bukanlah contoh yang pertama dari pertikaian agama pada abad ini. Lima puluh tahun yang lalu, selama Perang Dunia II, orang-orang Katolik Roma berupaya menghapus keberadaan Gereja Ortodoks di wilayah itu. Dengan dukungan paus, gerakan nasionalis Kroatia yang disebut Ustashi mulai berkuasa di negara Kroatia merdeka. The New Encyclopædia Britannica melaporkan bahwa pemerintahan yang direstui Vatikan ini menjalankan ”praktek-praktek yang luar biasa brutal, termasuk eksekusi atas ratusan ribu warga Serbia dan Yahudi”.
Dalam buku The Yugoslav Auschwitz and the Vatican, bukan hanya pembunuhan massal ini yang didokumentasikan—yang melibatkan puluhan ribu korban—namun keterlibatan Vatikan dalam praktek-praktek tersebut juga didokumentasikan.
Di lain pihak, Gereja Ortodoks telah mendukung orang-orang Serbia dalam pertempuran mereka. Malahan, kata-kata salah seorang pemimpin unit Serbia telah dikutip, ’Sang patriarkh adalah komandanku.’
Apa yang dapat dilakukan untuk menghentikan pembunuhan, yang di Bosnia dan Herzegovina saja telah kehilangan sebanyak 150.000 jiwa tewas ataupun hilang? Fred Schmidt menyatakan dalam San Antonio Express-News bahwa Dewan Keamanan PBB seharusnya mengeluarkan ”sebuah resolusi formal yang mendesak paus, patriarkh Konstantinopel, dan [para pemimpin lainnya] dari gereja Katolik, Ortodoks Timur, dan Islam yang memiliki yurisdiksi di Bosnia-Herzegovina untuk segera memerintahkan agar pertempuran dihentikan dan mengadakan perundingan untuk menentukan bagaimana para pengikut mereka dapat berupaya hidup berdampingan dengan para pemeluk agama lain”.
Dengan nada serupa, sebuah komentar di Progress Tribune dari Scottsdale, Arizona, menyimpulkan bahwa perang ”dapat dihentikan apabila para pemimpin agama di sana membuat upaya yang sungguh-sungguh untuk menghentikannya”. Artikel itu menyarankan agar mereka melakukan itu ”dengan segera mengekskomunikasi anggota jemaat yang menembakkan peluru di Sarajevo”.
Tidak Ada Kekuatan Sejati untuk Perdamaian
Akan tetapi, para paus secara konsisten telah menolak untuk mengekskomunikasi para penjahat perang yang paling keji, bahkan meskipun sesama penganut Katolik memohon agar tindakan demikian diambil. Misalnya, Catholic Telegraph-Register dari Cincinnati, Ohio, AS, di bawah judul ”Diasuh sebagai Katolik namun Menyangkal Iman—Kata Telegram kepada Paus”, melaporkan, ”Suatu permohonan telah diajukan kepada Pius XII agar Reichsfuehrer Adolph Hitler diekskomunikasi . . . ’Adolph Hitler’, demikian sebagian isi [telegram], ’dilahirkan dari orang-tua yang beragama Katolik, dibaptis sebagai pemeluk agama Katolik, dan diasuh serta dididik secara Katolik’.” Namun, Hitler tidak pernah diekskomunikasi.
Juga, pertimbangkan situasi di berbagai bagian dari belahan Afrika tempat berkecamuknya peperangan yang brutal. Lima belas uskup Katolik Roma dari bangsa-bangsa Afrika seperti Burundi, Rwanda, Tanzania, Uganda, dan Zaire mengakui bahwa, meskipun terdapat banyak ”orang Kristen” yang terbaptis di wilayah itu, ”konflik internal telah mengarah kepada pembantaian, pembinasaan, dan pengusiran secara paksa atas orang-orang”. Para uskup mengakui bahwa akar dari problem itu ”adalah karena agama Kristen belum cukup meresap dalam mental masyarakat”.
National Catholic Reporter tertanggal 8 April 1994, mengatakan bahwa ”paus . . . merasakan ’kepedihan yang hebat’ setelah mendengar laporan terbaru tentang konflik di sebuah negara kecil di Afrika [Burundi], yang penduduknya mayoritas Katolik”. Paus mengatakan bahwa di Rwanda, tempat sekitar 70 persen penduduknya beragama Katolik, ”bahkan orang Katolik bertanggung jawab” atas pembunuhan. Ya, agama Katolik di kedua belah pihak telah saling membantai, sama seperti yang telah mereka lakukan dalam tak terhitung banyaknya peperangan di masa lalu. Dan, seperti telah kita ketahui, agama-agama lain pun sama saja.
Oleh karena itu, apakah kita harus menyimpulkan bahwa semua agama berpihak dalam peperangan? Apakah ada agama yang merupakan kekuatan sejati bagi perdamaian?
[Gambar di hlm. 22]
Hitler, di sini terlihat bersama papal nuncio Basallo di Torregrossa, tidak pernah diekskomunikasi
[Keterangan]
Bundesarchiv Koblenz
-
-
Orang-Orang Kristen Sejati dan PerangSedarlah!—1994 | 8 Oktober
-
-
Orang-Orang Kristen Sejati dan Perang
YESUS memberi tahu murid-muridnya, ”Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” (Yohanes 13:34) Dapatkah orang-orang Kristen sejati menyatakan kasih demikian kepada satu sama lain dan pada waktu yang sama ikut berperang dan saling membunuh?
Pertimbangkan juga pertanyaan yang diajukan oleh rasul Paulus, ”Apakah Kristus terbagi-bagi?” (1 Korintus 1:13, Revised Standard Version, Catholic Edition) Tanyakan kepada diri sendiri, ’Mungkinkah ada perpecahan yang lebih besar daripada perpecahan yang mengakibatkan para pemeluk agama yang sama saling membunuh?’
Sesungguhnya, kita hendaknya tidak terkejut bila mengetahui bahwa orang-orang Kristen masa awal tidak turut berperang. Encyclopædia of Religion and Ethics yang terkenal karya Hasting mencatat, ”Pandangan yang sangat dominan dalam Gereja masa awal adalah bahwa perang merupakan suatu kelaliman yang terorganisasi yang di dalamnya Gereja dan para pengikut Kristus tidak boleh ambil bagian.”
Umat Kristen masa awal hidup selaras dengan perintah Yesus untuk saling mengasihi. Teolog Jerman Peter Meinhold menjelaskan, ”Meskipun Perjanjian Baru tidak menyatakan apa-apa sebagai jawaban atas pertanyaan apakah orang Kristen boleh atau tidak boleh menjadi tentara dan apakah mereka harus mengundurkan diri dari ketentaraan sewaktu mereka menjadi orang Kristen, gereja masa awal mengambil pendirian tegas dalam masalah ini. Menjadi Kristen sekaligus tentara dianggap tidak sejalan.” Apakah ada orang-orang dewasa ini yang berpendirian tegas seperti pendirian ”gereja masa awal”?
Apakah Ada Orang-Orang Kristen Sejati Dewasa Ini?
Encyclopedia Canadiana mengatakan, ”Pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa merupakan kebangkitan dan penetapan kembali kekristenan zaman dahulu yang dipraktekkan oleh Yesus dan murid-muridnya selama abad pertama dan kedua dari zaman kita. . . . Semuanya bersaudara.”
Bagaimana penerapan yang sebenarnya? ”Saksi-Saksi Yehuwa mempertahankan kenetralan yang tegas semasa perang,” kata Australian Encyclopædia. Meskipun secara individu mereka mungkin memilih untuk mengambil posisi ini, mereka tidak ikut campur dengan urusan pemerintah yang berwenang. Maka mereka tidak mendukung perang Hitler, dan tak seorang pun dari mereka diadili sebagai penjahat perang selama pengadilan Nuremberg.
Seorang Jerman yang didapati bersalah dan dieksekusi adalah Alfred Rosenberg, kepala Departemen Luar Negeri Partai Nazi. Dalam membela kebijakan Nazi untuk menjebloskan Saksi-Saksi Yehuwa ke dalam kamp-kamp konsentrasi, Rosenberg bersaksi selama pengadilannya, ”Ketika saya sedang di dalam sel, seorang pendeta militer Amerika dengan sangat ramah telah memberi saya sebuah selebaran gereja dari Columbus [Ohio]. Dari selebaran itu, saya berkesimpulan bahwa Amerika Serikat juga menangkap Saksi-Saksi Yehuwa selama perang dan bahwa hingga bulan Desember 1945, 11.000 dari mereka masih ditahan dalam kamp-kamp.” Memang benar bahwa Saksi-Saksi Yehuwa telah sangat netral, tidak berpihak dalam pertikaian politik. Mereka tidak menumpahkan darah siapa pun, dalam Perang Dunia II atau dalam peperangan lain mana pun.
Di Hungaria, seorang penulis dalam majalah Ring tertanggal 4 November 1992, mengatakan tentang Saksi-Saksi Yehuwa, ”Mereka akan memilih mati daripada membunuh seseorang. Oleh karena itu, saya yakin bahwa seandainya hanya Saksi-Saksi Yehuwa yang mendiami bumi ini, maka peperangan tidak akan pecah di mana-mana.” Reo M. Christenson, seorang profesor ilmu politik, membahas dalam The Christian Century apakah seorang Kristen sejati dapat ambil bagian dalam perang, dan ia menyimpulkan:
”Dapatkah kita dengan serius membayangkan Yesus melemparkan granat tangan kepada musuh-musuhnya, menggunakan senapan mesin, melontarkan bom molotov, menjatuhkan bom nuklir atau meluncurkan sebuah ICBM (peluru kendali) yang akan membunuh atau membuat cacat ribuan ibu dan anak-anak? Pertanyaan ini begitu tidak masuk akal sehingga tidak membutuhkan jawaban. Jika Yesus tidak mungkin melakukan ini dan pada waktu yang sama tetap setia pada sifat-sifatnya, maka bagaimana mungkin kita dapat melakukan itu dan tetap setia kepadanya?” Sebuah pertanyaan yang menggugah pikiran.
Namun, agama-agama dunia terus berpihak dalam peperangan. Orang Katolik terus membunuh orang Katolik, dan para pemeluk agama lainnya membunuh orang-orang dari agama mereka sendiri maupun anggota gereja lainnya. Mengikuti ajaran Yesus Kristus, menuntut keyakinan yang teguh dan ketabahan.
[Gambar di hlm. 24]
Dapatkah kita dengan serius membayangkan Yesus menggunakan senapan mesin dalam peperangan?
[Keterangan]
Foto U.S. National Archives
-