-
Pengamatan Lebih Dekat atas AgamaSedarlah!—1989 (No. 29) | Sedarlah!—1989 (No. 29)
-
-
Pengamatan Lebih Dekat atas Agama
Mengapa agama begitu sering menimbulkan perpecahan, kebencian, dan mendukung perang-perang yang picik? Mengapa agama adalah topik yang begitu kontroversial? Apakah akan selalu begitu? Mulai terbitan ini, ”Sedarlah!” akan mengadakan penelitian yang mendalam tentang agama dan masa depannya—masa depan yang akan mempengaruhi setiap orang yang hidup sekarang, termasuk anda. Penelitian tersebut akan dibahas dalam terbitan ini dan terbitan-terbitan ”Sedarlah!” yang berikut.
JIKA ditanya, anda mungkin setuju dengan Voltaire sewaktu ia menyebut agama ”akar dari fanatisme dan perselisihan sipil, . . . musuh umat manusia”. Atau dengan perasaan tidak peduli anda mungkin berkata, seperti pendeta Anglikan abad ke-17 Robert Burton, ”Semua agama sama benarnya.”
Mungkin anda akan mengaku bahwa anda sama dengan orang yang oleh pengarang esai berkebangsaan Perancis pada abad ke-18, Joseph Joubert, digambarkan ”menemukan kesenangan dan kewajibannya dalam [agama]”.
Agama yang Hanya Setebal Kulit
Sekarang, seseorang yang memang ”menemukan kesenangan dan kewajibannya dalam [agama]” mempunyai alasan untuk merasa terganggu. Bahkan di negeri-negeri yang religius, banyak orang hanya memiliki gagasan yang samar-samar tentang apa yang seharusnya mereka percayai; pengaruh agama mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari tidak banyak. Di beberapa tempat, statistik memperlihatkan turunnya jumlah anggota gereja. Misalnya, statistik baru-baru ini di Jerman mengungkapkan bahwa hanya 6,8 juta orang Katolik menghadiri Misa dari jumlah total 26,3 juta. Tidak heran bila pastor-pastor Katolik mengatakan bahwa mereka tidak menganggap Republik Federal itu sebagai ”negeri-negeri Kristen kecuali dalam penafsiran yang dangkal sekali dari istilah tersebut”.
Menurut World Christian Encyclopedia, yang diterbitkan pada tahun 1982, ”yang merosot bukan hanya Kekristenan; melainkan seluruh fenomena agama”.
Mengapa Membahas Kembali Sejarah Agama?
Mengingat keadaan demikian, sebenarnya bagaimana masa depan agama? Seri kami yang terdiri atas 24 artikel Sedarlah! telah direncanakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan mempelajari kembali masa lampau agama, dari tahun-tahun awalnya sampai zaman modern, artikel-artikel ini akan memberikan sejarah agama sedunia secara ringkas, namun lengkap. Memeriksa sejarah lampau dengan sekilas akan membantu kita melihat masa depan agama sesuai dengan prinsip yang terkenal: Kita menuai apa yang kita tabur.
Jangan cepat-cepat mengatakan, ’Sejarah agama tidak menarik buat saya!’ Masa sekarang didasarkan atas masa lampau dan tidak soal seseorang beriman atau tidak, sejarah agama telah mempengaruhi setiap orang, secara langsung atau tidak langsung.
Orang yang tidak mengakui adanya Allah sebenarnya masih religius. Bagaimana mungkin? Dengan menggantikan Allah sebagai obyek pengabdian mereka dengan hal lain. J. M. Barrie, novelis Skotlandia pada awal abad ke-20, mengungkapkannya demikian, ”Agama seseorang adalah apa saja yang paling ia tekuni.”
Dalam majalah ini, agama didefinisikan sebagai bentuk ibadat, termasuk sistem dari sikap, kepercayaan, dan praktik-praktik keagamaan, apakah dilakukan sendiri atau dianjurkan oleh suatu organisasi. Agama biasanya adalah kepercayaan kepada Allah atau kepada sejumlah dewa, atau menganggap manusia, benda, keinginan, atau kuasa tertentu sebagai obyek penyembahan.
-
-
Bagian 1: 4026-2370 S.M.—Perpecahan Agama—Bagaimana MulainyaSedarlah!—1989 (No. 29) | Sedarlah!—1989 (No. 29)
-
-
Masa Depan Agama Ditinjau dari Masa Lalunya
Bagian 1: 4026-2370 S.M.—Perpecahan Agama—Bagaimana Mulainya
”Manusia menurut keadaan fisiknya adalah binatang yang religius.”—Edmund Burke, negarawan Irlandia abad ke-18
MANUSIA memiliki kebutuhan naluriah untuk beribadat. The New Encyclopædia Britannica mengatakan bahwa ”sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada orang, di mana saja, kapan saja, yang dalam suatu taraf tertentu tidak bersifat religius”. Sejak awal mula umat manusia, pria dan wanita secara logis memuja Pencipta mereka. Mereka memandang Dia sebagai Sumber petunjuk dan nasihat. Maka, sebenarnya, kelahiran agama di atas bumi bertepatan dengan penciptaan Adam. Menurut kronologi Alkitab, ini terjadi pada tahun 4026 S.M.
Beberapa mungkin keberatan dengan penggunaan istilah ”penciptaan Adam”. Tetapi teori evolusi yang tidak terbukti akhir-akhir ini mengalami kemunduran tajam, bahkan dari para pendukungnya sendiri. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat buku Kehidupan—Bagaimana asal mulanya? Melalui evolusi atau melalui penciptaan? yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab dan Risalat Menara Pengawal di New York.
Dewasa ini, seseorang tidak dapat atas dasar fakta membantah bahwa catatan Alkitab tentang asal mula umat manusia dari satu orang tidak ilmiah. Artikel Newsweek tahun 1988 melaporkan bahwa para ahli genetika sekarang cenderung menyetujui bahwa manusia modern berasal dari satu ibu. Ia mengutip ahli paleontologi Harvard, S. J. Gould, yang berkata bahwa ”semua manusia, walaupun berbeda dalam rupa luar, sebenarnya adalah anggota dari satu kesatuan yang belum lama muncul di satu tempat”. Ia menambahkan, ”Ada semacam persaudaraan biologis yang jauh lebih dalam daripada yang pernah kita sadari.”
Kenyataan ini membenarkan kesaksamaan Alkitab. Ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan penjelasannya tentang bagaimana konflik agama dimulai.
Bagaimana Satu Agama Menjadi Dua
The Encyclopedia of Religion (Ensiklopedi Agama) mengatakan bahwa hampir semua agama yang dikenal memiliki segi-segi kepercayaan yang amat serupa, meskipun berbeda dalam rincian. Misalnya, mereka percaya bahwa umat manusia jatuh dari kedudukan semula yang diperkenan ilahi, bahwa kematian tidak wajar, dan bahwa korban diperlukan untuk memperoleh kembali perkenan ilahi. Bukti kuat yang tidak langsung ini menunjukkan bahwa semua agama yang ada sekarang memiliki asal usul yang sama.
Alkitab menjelaskan bagaimana ini terjadi. Dikatakan bahwa pria dan wanita pertama menolak bimbingan Allah dan berpaling kepada sumber bimbingan dan nasihat yang lain. Meskipun jelas tidak mengetahui mengenai Setan dan pemberontakannya melawan Allah, mereka mengambil tindakan ingin bebas dan mengikuti saran dari makhluk ciptaan, yang diwakili oleh ular, dan bukannya dari sang Pencipta. Alkitab belakangan mengungkapkan bahwa Setan adalah suara sebenarnya di balik ular yang menyesatkan.—Kejadian 2:16-3:24; Wahyu 12:9.
Maka manusia keluar dari pemerintahan teokratis dan menetapkan sendiri standar-standar tentang yang baik dan jahat. Dengan tindakan mereka yang independen, Adam dan Hawa menaruh umat manusia pada jalan yang akan menghasilkan banyak ragam agama, semuanya membentuk ibadat palsu yang bertentangan dengan ibadat sejati yang dijalankan oleh saksi-saksi yang setia dari Yehuwa sepanjang sejarah. Secara langsung atau tidak langsung, ibadat palsu tersebut ditujukan kepada Musuh besar, Setan. Maka, rasul Paulus dapat menulis, ”Persembahan mereka adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan roh-roh jahat.” Ia seterusnya memperlihatkan bahwa hanya ada dua bentuk ibadat, dengan berkata, ”Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan [Yehuwa, NW] dan dari cawan roh-roh jahat. Kamu tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan [Yehuwa, NW] dan juga dalam perjamuan roh-roh jahat.”—1 Korintus 10:20, 21.
Maka, pemberontakan Adam memulai bentuk ibadat yang kedua, yang menempatkan makhluk ciptaan di atas Penciptanya. Dan sponsor yang sebenarnya dari agama baru itu adalah Setan si Iblis, yang mengangkat dirinya sendiri menjadi ”ilah” baru.—2 Korintus 4:4; 1 Yohanes 5:19.
Kedua putra pertama Adam dan Hawa, Kain dan Habel, memberikan persembahan kepada sang Pencipta, yang menunjukkan bahwa keduanya bersifat religius. Tetapi peristiwa yang selanjutnya menunjukkan bahwa mereka tidak bersatu dalam hal agama. Ini menjadi jelas kurang dari 130 tahun memasuki sejarah umat manusia, sewaktu persembahan yang dibuat Habel diterima oleh Pencipta, sedangkan persembahan Kain ditolak. Jelas, Allah tidak bersedia menerima sembarang agama pribadi saja. Kenyataan ini membuat Kain marah dan mendorong dia untuk membunuh saudaranya.—Kejadian 4:1-12; 1 Yohanes 3:12.
Untuk pertama kali dalam sejarah manusia, kebencian agama menodai bumi dengan darah orang yang tidak bersalah. Itu bukan yang terakhir kalinya. ”Mungkin separuh atau lebih dari perang-perang yang sekarang dipertarungkan di seluruh dunia merupakan konflik agama terbuka atau yang menyangkut perselisihan agama,” kata kolumnis surat kabar zaman sekarang.
Pada zaman Enos, keponakan Kain dan Habel, ”orang mulai memanggil nama [Yehuwa]”. (Kejadian 4:26) Karena Habel sebelumnya sudah mulai memanggil nama Allah dengan iman, ”memanggil nama [Yehuwa]” yang disebut belakangan ini memaksudkan bahwa orang mulai menggunakan nama itu dengan tidak senonoh atau dengan cara menghina. Ini jelas suatu kasus kemunafikan agama.
Targum Yerusalem, atau saduran dari orang Yahudi, menyatakan, ”Itulah generasi manakala mereka mulai berbuat salah, dan menjadikan diri sendiri berhala, dan memberi berhala-berhala mereka nama dari Firman Tuhan.” Penyembahan berhala, yang disertai tindakan pura-pura mewakili Allah, sejak itu menjadi ciri khas agama palsu.
Di Yudas 14, 15, kita membaca tentang nubuat Henokh yang setia berkenaan umat manusia yang menyembah berhala pada milenium pertama itu. Ia berkata, ”Sesungguhnya Tuhan [Yehuwa, NW] datang dengan beribu-ribu orang kudusNya, hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan dan karena semua kata-kata nista, yang diucapkan orang-orang berdosa yang fasik itu terhadap Tuhan.” Nubuat ini digenapi pada milenium kedua dari sejarah umat manusia, sewaktu agama palsu merajalela. Tindakan tak beriman itu mungkin bahkan termasuk memuja malaikat-malaikat yang karena tidak setia kepada Allah menjelma menjadi manusia di bumi dan mengawini ”anak perempuan manusia”, menghasilkan keturunan ”orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan”.—Kejadian 6:4.
Tetapi Nuh, ”mendapat kasih karunia di mata [Yehuwa]” karena ia ”hidup bergaul dengan Allah”. (Kejadian 6:8, 9) Ia dan keluarganya, seluruhnya delapan pemeluk agama yang benar, sangat sedikit dibanding orang-orang yang jahat. Karena banyaknya agama palsu dan mayoritas orang menjalaninya, ”kejahatan manusia besar di bumi”, dan ’bumi itu penuh dengan kekerasan’. (Kejadian 6:5, 11) Allah memutuskan akan mendatangkan air bah untuk memusnahkan manusia yang menjalankan agama palsu. Hanya Nuh dan keluarganya selamat di bawah perlindungan Allah, sehingga masuk akal jika mereka setelah itu ”mendirikan mezbah bagi [Yehuwa]” sebagai perbuatan dari ibadat sejati. (Kejadian 8:20) Air Bah dengan jelas menunjukkan yang mana dari dua sistem agama pada zaman Nuh yang benar dan yang mana yang salah.
Kejadian di atas didasarkan atas asumsi bahwa catatan Alkitab adalah benar. Tetapi selain bukti yang disebut pada awal artikel kami, silakan lihat bukti yang diberikan dalam kotak ”Apakah Memang Benar Ada Air Bah Sedunia?”
Masa Depan Agama—Masa Depan Anda
Mendapatkan pengetahuan mengenai masa lalu agama penting karena pada dasarnya hanya ada dua macam agama—agama yang diperkenan oleh Pencipta umat manusia dan agama yang jelas tidak diperkenan. Maka, secara logis, jika seseorang ingin mendapat perkenan sang Pencipta, ia harus mempunyai pandangan yang sama dengan Allah tentang agama. Jangan lupa bahwa kita semua terlibat karena ”manusia menurut keadaan fisiknya adalah binatang yang religius”.
Dalam meninjau masa lalu agama, mari kita melakukan itu dengan pikiran terbuka, lebih penting lagi, dengan hati yang mau menerima. Setiap kali suatu agama tertentu diteliti, marilah kita merenungkan untuk bertanya kepada diri sendiri apakah ajarannya dapat dimengerti, jelas, dan logis. Dan apa yang telah dicapainya? Apakah ia dapat menarik anggotanya lebih dekat kepada sang Pencipta dengan mengesankan kepada mereka pentingnya menaati perintah-perintah-Nya, atau sebaliknya apakah ia membiarkan mereka menetapkan standar-standar tingkah laku mereka sendiri? Apakah agama mengajar orang untuk bersandar pada Allah dalam menyelesaikan problem dunia? Atau apakah ia sebaliknya menyesatkan mereka agar bersandar pada sarana politik untuk melakukan hal itu? Apakah ia menganjurkan persatuan dan perdamaian di antara penduduk bumi, atau apakah ia sebaliknya menimbulkan perpecahan dan menghasut peperangan?
Pertanyaan-pertanyaan ini dan yang lainnya akan membantu kita membedakan antara satu agama pertama yang diperkenalkan Pencipta umat manusia dan banyak agama palsu yang diperkenalkan oleh musuh-Nya.
Apakah agama terlibat dalam kemerosotan moral dan runtuhnya etika zaman sekarang? Artikel selanjutnya akan membahas pertanyaan itu secara singkat.
[Kotak di hlm. 22]
Apakah Memang Benar Ada Air Bah Sedunia?
”Banjir dalam buku Kejadian bukannya suatu peristiwa yang tidak mungkin dalam zaman geologi yang belum lama, malahan itu secara alami sangat cocok dengan masa tersebut . . . Sebenarnya itu adalah masa yang paling mungkin untuk pergolakan yang begitu cepat dan hebat.”—The Flood Reconsidered (Air Bah Ditinjau Kembali).
”Arkeologi juga telah menggali versi lain dari kisah Air Bah [di buku Kejadian] . . . Persamaannya lebih menonjol daripada perbedaannya.”—Digging Up the Bible Lands (Menggali Negeri-Negeri dalam Alkitab).
”Bencana alam sedunia manakala bumi digenangi atau terendam oleh air [adalah] konsep yang terdapat dalam hampir setiap mitologi di dunia. . . . Dalam mitologi Inka hal itu ditimbulkan oleh allah tertinggi, Viracocha, yang tidak puas dengan manusia pertama dan memutuskan untuk memusnahkan mereka.”—Funk and Wagnalls Standard Dictionary of Folklore, Mythology and Legend.
”Persamaan yang lebih besar lagi dengan cerita buku Kejadian terdapat dalam epik Babel lain yang pahlawannya diberi nama Gilgamesh. . . . Kemungkinan besar itu mulai ada sekitar awal milenium kedua. . . . [Lempengan tanah liat XI] benar-benar utuh, maka ia memberikan versi yang paling lengkap dari cerita air bah dalam naskah tulisan-tulisan kuno.”—Encyclopædia Judaica.
”Seperti orang-orang Ibrani, Babel, Yunani, Skandinavia, dan orang lain yang hidup pada Zaman Kuno, banyak suku Indian dari Amerika Utara dan Selatan memiliki tradisi Air Bah. . . . ’Sewaktu misionaris-misionaris pertama datang’ . . . , Pendeta Myron Eells melaporkan pada tahun 1878, ’mereka mendapati bahwa orang-orang Indian itu memiliki tradisi banjir, dan bahwa satu pria dan istrinya diselamatkan dalam sebuah rakit’.”—Indian Legends of the Pacific Northwest (Legenda Indian dari Barat Laut Pasifik).
-