-
Apa yang Terjadi di Sekolah-Sekolah Zaman Sekarang?Sedarlah!—1995 | 8 Desember
-
-
Apa yang Terjadi di Sekolah-Sekolah Zaman Sekarang?
”SEKOLAH-SEKOLAH Kita Sedang Dilanda Krisis: Cepat Panggil Polisi” merupakan kepala berita baru-baru ini di halaman depan sebuah surat kabar di New York City. Dewan Pendidikan New York City memiliki petugas keamanan sekolah sendiri—pasukan berkekuatan 3.200 orang—yang berpatroli di lebih dari 1.000 sekolah di kota. Kini banyak orang ingin agar polisi kota turut menjaga keamanan sekolah. Apakah mereka benar-benar dibutuhkan?
Sebuah kepala berita dari New York Times mengatakan, ”Laporan Mendapati 20% dari para Pelajar di New York City Membawa Senjata.” Kepala dari sekolah-sekolah di New York City dari tahun 1990 hingga 1992, Joseph Fernandez, mengakui, ”Baru kali ini saya melihat tindak kekerasan seperti yang sekarang terjadi di sekolah-sekolah di kota besar kita. . . . Pada waktu saya menerima jabatan sebagai rektor di New York pada tahun 1990 sungguh tak terbayangkan bahwa keadaan akan menjadi begitu buruk. Ini bukannya suatu fase, melainkan kejahatan besar.”
Seberapa Burukkah Keadaannya?
Fernandez melaporkan, ”Selama sepuluh bulan saya yang pertama sebagai rektor, rata-rata satu anak sekolah di New York terbunuh setiap dua hari—ditikam di rel kereta api bawah tanah, ditembak di pekarangan sekolah atau di sudut jalan . . . Beberapa sekolah menengah memiliki lima belas atau enam belas [petugas keamanan] yang berpatroli di koridor-koridor dan sekitarnya.” Ia menambahkan, ”Kekerasan di sekolah-sekolah kita bersifat mewabah, dan langkah-langkah luar biasa harus diambil. Sekolah-sekolah di Chicago, Los Angeles, Detroit—di semua pusat kota metropolitan yang besar—kini memiliki citra yang sama yaitu kebiadaban yang sangat mengerikan.
”Aib ini sangat jelas. Selama dua dekade terakhir kita sudah bisa memaklumi hal-hal yang tidak dapat dimaklumi: Sekolah-sekolah di Amerika sebagai medan perang. Gedung-gedung yang sarat dengan rasa takut dan intimidasi, bukannya sarana pencerahan.”
Ada petugas keamanan di 245 sistem sekolah di Amerika Serikat, dan di 102 dari antaranya, para petugas keamanan ini menyandang senjata. Tetapi bukan hanya mereka saja yang bersenjata. Menurut penelitian dari Universitas Michigan, diperkirakan bahwa para pelajar di Amerika Serikat membawa ke sekolah kira-kira 270.000 senjata, belum termasuk senjata-senjata lain, setiap harinya!
Bukannya malah membaik, situasi telah menjadi jauh lebih buruk. Alat pendeteksi metal yang digunakan di banyak sekolah telah gagal menghentikan arus senjata. Selama musim gugur tahun 1994, insiden kekerasan yang dilaporkan terjadi di sekolah-sekolah di New York City meningkat 28 persen dibanding dengan periode yang sama satu tahun sebelumnya! ”Untuk pertama kali,” demikian Phi Delta Kappan menjelaskan mengenai pol yang dilaksanakan di Amerika Serikat, ”kategori ’perkelahian, kekerasan, dan geng’ menempati peringkat pertama bersama-sama dengan ’kurangnya disiplin’ sebagai problem terbesar yang dihadapi sekolah-sekolah negeri setempat.”
Kekerasan di sekolah telah menciptakan krisis bagi sekolah-sekolah di banyak negeri. Di Kanada, surat kabar Globe and Mail dari Toronto memasang kepala berita: ”Sekolah Berubah Menjadi Kawasan yang Berbahaya”. Dan suatu survei di Melbourne, Australia, menyingkapkan bahwa hampir 60 persen dari anak-anak sekolah dasar diantar-jemput oleh orang-tua mereka karena takut diserang atau diculik.
Akan tetapi, kekerasan hanyalah bagian dari problem itu. Ada lagi hal-hal lain yang terjadi di sekolah-sekolah kita yang menyebabkan keprihatinan yang dalam.
Masalah Moral
Meskipun Alkitab mengatakan bahwa percabulan—mengadakan hubungan seksual di luar nikah—adalah salah, sekolah-sekolah sekarang tidak menjunjung ajaran moral yang sehat itu. (Efesus 5:5; 1 Tesalonika 4:3-5; Penyingkapan 22:15) Pasti hal ini turut menyebabkan situasi yang dilukiskan Fernandez ketika ia mengatakan, ”Sebanyak 80 persen remaja kita aktif melakukan hubungan seksual.” Di satu sekolah menengah di Chicago, sepertiga dari pelajar wanitanya hamil!
Beberapa sekolah menyediakan ruang penitipan untuk mengurus bayi-bayi para pelajar. Selain itu, kondom secara rutin dibagikan sebagai upaya yang sia-sia untuk membendung epidemi AIDS dan jumlah anak-anak di luar nikah yang meningkat. Sekalipun pembagian kondom itu tidak dimaksudkan untuk menganjurkan para pelajar melakukan percabulan, namun itu berarti menyetujui perbuatan mereka. Berkenaan moral, apa yang ada di benak para pelajar?
Seorang dosen kawakan di suatu universitas mengatakan bahwa terdapat ”jumlah yang mengejutkan dari anak-anak muda yang berpikir bahwa tidak ada istilah benar atau salah, sehingga pilihan moral bergantung pada apa yang kita rasakan”. Mengapa kaum muda berpikir seperti ini? Guru itu mengatakan, ”Mungkin pengalaman mereka di sekolah menengah telah menuntun mereka menjadi agnostik secara moral.” Apa konsekuensi dari ketidakpastian semacam itu dalam hal moral?
Tajuk rencana dari sebuah surat kabar baru-baru ini meratap, ”Kadang-kadang, tampaknya tidak ada pihak yang mau dipersalahkan atas semua ini. Tidak ada.” Ya, pesannya adalah bahwa apa pun diperbolehkan! Pikirkan contoh tentang pengaruh besar yang dapat ditimbulkan oleh ini atas para pelajar. Pada suatu perkuliahan mengenai pokok Perang Dunia II dan bangkitnya Naziisme, seorang profesor mendapati bahwa kebanyakan dari mahasiswanya yakin bahwa tidak ada pihak yang harus dipersalahkan atas Pembantaian Massal oleh Nazi! ”Dalam benak para mahasiswa,” kata dosen tersebut, ”Pembantaian Massal oleh Nazi bagaikan bencana alam: Itu tidak terelakkan dan tidak terhindarkan.”
Salah siapa bila para pelajar tidak dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Di Tengah-Tengah Masa yang Kritis
Guna membela pihak sekolah, seorang mantan guru mengatakan, ”Problemnya berasal dari masyarakat, dan sekolah hanya mencerminkan problem yang sudah ada di dalamnya.” Memang, sulit untuk dengan sukses mengajarkan apa yang gagal diterapkan oleh para pemuka masyarakat.
Dalam melukiskan hal ini, ketika perbuatan amoral dari para pejabat pemerintah AS menjadi berita utama, seorang kolumnis kenamaan menulis, ”Saya tidak habis pikir bagaimana guru-guru di abad yang sinis ini dapat mengajarkan moralitas. . . . ’Lihat saja Washington!’ demikian bahkan anak-anak yang masih kecil sekalipun akan memprotes. Mereka tahu . . . bahwa penipuan yang paling kotor dalam sejarah telah terjadi di bawah atap gedung putih yang megah itu.”
Alkitab menubuatkan bahwa ”pada hari-hari terakhir akan tiba masa kritis yang sulit dihadapi”. (2 Timotius 3:1-5) Sekarang ini benar-benar masa yang kritis! Mengingat hal ini, apa yang sedang dilakukan untuk mengatasi krisis di sekolah-sekolah dewasa ini dan untuk membantu para pelajar mendapat pendidikan yang baik? Apa yang dapat Anda lakukan sebagai orang-tua dan pelajar? Artikel-artikel berikut akan membahas hal ini.
-
-
Mencari Pendidikan yang Lebih BaikSedarlah!—1995 | 8 Desember
-
-
Akan tetapi, karena masa yang kritis ini, sangatlah sulit untuk menyediakan pendidikan semacam itu. Seorang mantan guru sekolah berkebangsaan Australia mengeluh, ”Kelas-kelas terdiri dari anak-anak yang suka akan kekerasan, yang menggunakan bahasa kotor dan kasar; anak-anak yang kelelahan karena kurang tidur gara-gara menonton TV; anak-anak yang kekurangan gizi atau kelaparan; dan anak-anak yang dibesarkan tanpa disiplin.” Dan guru-guru akan memberi tahu Anda, ”Anak-anak yang tidak bisa diatur mustahil untuk diajar.”
Albert Shanker, presiden dari Federasi Guru Amerika, melukiskan dilema para guru, ”Mereka berkewajiban untuk memberikan pendidikan tentang obat bius dan alkohol, pendidikan seks, . . . pelatihan berkenaan harga diri pelajar, pendeteksian anggota geng, . . . dan segudang hal lain. Segalanya kecuali pengajaran yang sesungguhnya. . . . Apa yang sebenarnya dituntut dari mereka adalah menjadi pekerja sosial, mama, papa, ahli terapi, polisi, ahli gizi, petugas kesehatan masyarakat, teknisi medis.”
Mengapa hal ini dituntut dari para guru? Alasannya ditunjukkan oleh suatu tinjauan sekilas atas kelompok murid-murid yang pada umumnya terdapat dalam salah satu kelas di satu kota besar di Amerika Serikat bagian timur laut. The New York Times melaporkan pernyataan dari seorang pakar mengenai kelas yang biasanya terdiri dari 23 siswa. Ia mengatakan bahwa ”8 hingga 15 siswa kemungkinan hidup dalam kemiskinan; 3 siswa mungkin dilahirkan dari ibu yang kecanduan obat bius; 15 siswa hidup bersama orang-tua tunggal”.
Jelaslah, keluarga sedang mengalami proses kehancuran. Di Amerika Serikat, hampir 1 dari setiap 3 kelahiran terjadi di luar nikah dan 1 dari setiap 2 perkawinan berakhir dengan perceraian. Namun persentase dari anak di luar nikah di Denmark, Inggris, Prancis, dan Swedia bahkan lebih tinggi. Upaya apa yang sedang dibuat untuk menghadapi krisis yang terjadi di sekolah?
Mencari Penyelesaiannya
Berbagai sekolah percobaan dan sekolah alternatif telah didirikan. Sekolah-sekolah ini biasanya lebih kecil—memungkinkan adanya pengawasan yang lebih ketat—dan banyak dari sekolah-sekolah ini mengembangkan kurikulum sendiri guna memenuhi kebutuhan anak-anak secara lebih baik. Di New York City, 48 sekolah berukuran kecil semacam itu telah dibuka sejak tahun 1993, dan 50 sekolah lagi sedang dalam perencanaan. ”Kekerasan [di sekolah]-lah yang mendorong dimulainya percobaan itu,” demikian kata The New York Times. Pada tahun 1992 lebih dari 500 sekolah alternatif telah dimulai di Rusia, dengan jumlah siswa lebih dari 333.000.
Di lain pihak, The Toronto Star melaporkan, ”Ribuan orang mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah swasta yang eksklusif.” Di propinsi Ontario Kanada saja hampir 75.000 anak masuk sekolah-sekolah swasta. Sekolah semacam itu sekarang juga terdapat di seluruh Rusia, dan majalah China Today mengatakan bahwa sekolah-sekolah ini telah bermunculan di Cina ”bagaikan tunas-tunas bambu seusai hujan musim semi”. The Handbook of Private Schools menyediakan daftar gratis untuk hampir 1.700 dari sekolah-sekolah semacam itu di Amerika Serikat, yang uang sekolah per tahunnya berkisar antara 20.000 dolar AS atau lebih.
Namun, para orang-tua lainnya memilih untuk mendidik anak-anak mereka di rumah. Di Amerika Serikat saja, diperkirakan bahwa jumlah anak yang bersekolah di rumah meningkat dari sekitar 15.000 pada tahun 1970 menjadi sebanyak satu juta pada tahun 1995.
Hasil-Hasil yang Berbeda
Tidak semua sistem sekolah di seluruh dunia memberikan hasil yang sebanding. Pada bulan Juli 1993, Shanker memberi tahu sekelompok pendidik AS, ”Negara-negara lain mengoperasikan sekolah dan mereka memperoleh hasil yang pada dasarnya lebih baik daripada kita.” Untuk melukiskan, ia menceritakan tentang pertemuannya dengan sepasang suami-istri dari Rusia yang telah pindah ke Amerika Serikat. Ia bercerita, ”Mereka mengatakan bahwa meskipun mereka memasukkan anak mereka di sekolah swasta yang sangat baik, anaknya yang duduk di kelas dua SMP belajar apa yang telah ia pelajari di kelas tiga SD di Rusia.”
Bekas negara Uni Soviet mengembangkan suatu sistem sekolah yang mengajar hampir semua dari rakyatnya agar dapat membaca dan menulis. Sebaliknya, menurut prakiraan Departemen Pendidikan AS, 27 juta orang Amerika tidak dapat membaca rambu jalan atau nomor di bus. Surat kabar Australia Canberra Times melaporkan bahwa ”hingga 25 persen anak-anak sekolah dasar memasuki sekolah menengah tanpa dapat membaca dan menulis”.
Krisis yang sekarang terjadi di sekolah-sekolah hingga taraf tertentu terjadi hampir di mana-mana. Buku Education and Society in the New Russia yang diterbitkan tahun 1994 mengatakan bahwa ”72,6 persen guru-guru di Soviet yang diwawancara setuju bahwa sistem sekolah sedang mengalami krisis yang parah”. Menurut Tanya, seorang mantan guru di Moskwa, faktor utama dari krisis itu adalah bahwa ”orang-tua dan siswa itu sendiri tidak lagi menghargai pendidikan”. Misalnya, ia memperhatikan bahwa ”seorang guru memperoleh penghasilan setengah dari yang diperoleh supir bus biasa—atau bahkan kurang”.
-