-
Sains—Pencarian yang Terus-menerus akan KebenaranSedarlah!—1993 | 8 Mei
-
-
Bagian 3
Sains—Pencarian yang Terus-menerus akan Kebenaran
Agama dan Sains—Campuran yang Buruk
RIBUAN tahun pencarian kebenaran ilmiah tampaknya telah membentuk dasar yang kokoh bagi penyelidikan berikutnya. Tentu, tidak ada yang dapat menghalangi kemajuan lebih lanjut. Meskipun demikian, kata The Book of Popular Science, ”kemajuan sains benar-benar buruk selama abad ketiga, keempat, dan kelima M”.
Dua peristiwa dengan jelas menyumbang kepada situasi ini. Pada abad pertama, suatu era religius telah dibawa masuk oleh Yesus Kristus. Dan beberapa dekade sebelumnya, pada tahun 31 S.M., suatu era politik yang baru telah lahir dengan berdirinya Kekaisaran Roma.
Berbeda dari filsuf-filsuf Yunani yang mendahului mereka, orang Roma ”lebih berminat memecahkan masalah kehidupan sehari-hari daripada mencari kebenaran abstrak”, kata buku referensi yang disebutkan di atas. Maka, secara masuk akal, ”sumbangan mereka kepada sains murni sangat sedikit jumlahnya”.
Akan tetapi, orang Roma membantu meneruskan pengetahuan ilmiah yang telah terkumpul hingga saat itu. Misalnya, Pliny Tua menyusun suatu himpunan sains pada abad pertama yang dinamakan Natural History (Sejarah Alami). Meskipun tak luput dari kekeliruan, ini berhasil melestarikan berbagai jenis informasi ilmiah yang jika tidak, mungkin sudah hilang pada generasi berikutnya.
Berkenaan agama, sidang Kristen yang berkembang pesat tidak terlibat dalam penelitian ilmiah pada masa itu. Ini bukan berarti umat Kristen menentang kegiatan tersebut, namun prioritas Kristen, sebagaimana ditetapkan oleh Kristus sendiri, adalah memahami dan menyebarkan kebenaran agama semata-mata.—Matius 6:33; 28:19, 20.
Sebelum abad pertama berakhir, orang-orang Kristen yang murtad sudah mulai mencemari kebenaran agama yang telah dipercayakan kepada mereka untuk disebarkan. Ini kemudian mengarah kepada terjadinya suatu bentuk kekristenan yang murtad, sebagaimana telah dinubuatkan. (Kisah 20:30; 2 Tesalonika 2:3; 1 Timotius 4:1) Peristiwa-peristiwa selanjutnya memperlihatkan bahwa penolakan mereka akan kebenaran agama disertai sikap acuh tak acuh—kadang-kadang bahkan sikap antagonistis—terhadap kebenaran ilmiah.
Eropa yang ”Kristen” Tidak Lagi Memimpin
The World Book Encyclopedia menjelaskan bahwa pada Abad-Abad Pertengahan (dari abad ke-5 hingga ke-15), ”di Eropa, para sarjana lebih berminat kepada teologi, atau penelitian mengenai agama, daripada penelitian mengenai alam”. Dan ”penandasan pada keselamatan dan bukannya pada penyelidikan alam” ini, ulas Collier’s Encyclopedia, ”lebih merupakan hambatan daripada dorongan bagi sains”.
Ajaran Kristus tidak dimaksudkan untuk menjadi penghambat demikian. Meskipun begitu, labirin berupa konsep agama palsu Susunan Kristen, termasuk penandasan yang berlebihan pada keselamatan jiwa yang seharusnya tidak berkematian, mendorong berkembangnya hambatan terhadap sains. Kebanyakan kegiatan belajar ada di bawah pengawasan gereja dan sebagian besar dilakukan di biara-biara. Sikap religius ini memperlambat pencarian akan kebenaran ilmiah.
Soal-soal ilmiah dinomorduakan setelah teologi sejak awal-mula Tarikh Masehi. Satu-satunya kemajuan ilmiah yang mungkin layak disebutkan hanyalah dalam bidang kedokteran. Misalnya, Aulus Celsus, penulis bidang kedokteran abad pertama M. dari Roma, yang disebut ”Hipokrates dari Roma”, menulis apa yang sekarang dianggap penting secara medis. Farmakolog Yunani bernama Pedanius Dioscorides, seorang ahli bedah tentara Nero, menyelesaikan sebuah buku teks farmakologi yang amat baik yang digunakan secara luas selama berabad-abad. Galen, seorang Yunani pada abad kedua, dengan menemukan fisiologi percobaan, mempengaruhi teori dan praktek medis pada zamannya hingga Abad-Abad Pertengahan.
Periode stagnasi ilmiah berlanjut bahkan setelah abad ke-15. Benar, ilmuwan-ilmuwan Eropa memang membuat penemuan-penemuan pada masa ini, namun sebagian besar, penemuan itu tidak asli. Majalah Time menyatakan, ”[Orang Cina] merupakan pakar-pakar sains pertama di dunia. Lama sebelum orang-orang Eropa, mereka telah mengetahui cara menggunakan kompas, membuat kertas dan serbuk mesiu, [dan] mencetak dengan jenis mesin yang dapat dipindah-pindahkan.”
Maka, karena terjadi kevakuman secara umum dalam pemikiran ilmiah di Eropa yang ”Kristen”, kebudayaan non-Kristen mengambil pimpinan.
Kemajuan Ilmiah
Menjelang abad kesembilan, ilmuwan-ilmuwan Arab segera memimpin dalam soal-soal sains. Khususnya selama abad ke-10 dan ke-11—sementara Susunan Kristen membuang-buang waktu—mereka menikmati masa kejayaan prestasi mereka. Mereka memberikan sumbangan yang bernilai dalam bidang obat-obatan, kimia, botani, fisika, astronomi, dan yang paling utama, matematika. (Lihat kotak, halaman 20.) Maan Z. Madina, rekan profesor kebudayaan Arab di Universitas Columbia, mengatakan bahwa ”trigonometri modern serta aljabar dan geometri dalam banyak hal adalah ciptaan orang Arab”.
Banyak dari pengetahuan ilmiah ini adalah asli. Namun beberapa darinya didasarkan atas asas yang luas dari filsafat Yunani dan dilahirkan, cukup mengejutkan, akibat keterlibatan agama.
Kira-kira pada awal Tarikh Masehi, Susunan Kristen menyebar ke Persia dan setelah itu ke Arab dan India. Pada abad kelima, Nestorius, patriakh dari Konstantinopel, terlibat dalam pertentangan yang mengarah kepada skisma (perpecahan) dalam gereja Timur. Ini mengarah kepada terbentuknya suatu kelompok yang memisahkan diri, Nestoria.
Pada abad ketujuh, sewaktu agama baru yaitu Islam muncul di panggung dunia dan memulai kampanye perluasannya, orang-orang Nestoria segera meneruskan pengetahuan mereka kepada penakluk mereka yang berkebangsaan Arab. Menurut The Encyclopedia of Religion, ”orang-orang Nestoria adalah orang-orang yang pertama kali memajukan sains dan filsafat Yunani dengan menerjemahkan teks-teks Yunani ke dalam bahasa Siria dan kemudian bahasa Arab”. Mereka juga ”yang pertama kali memperkenalkan obat-obatan Yunani ke Bagdad”. Ilmuwan-ilmuwan Arab mulai membangun di atas apa yang mereka pelajari dari orang-orang Nestoria. Bahasa Arab menggantikan bahasa Siria sebagai bahasa sains di kekaisaran Arab dan terbukti sebagai bahasa yang amat cocok untuk penulisan ilmiah.
Namun, bangsa Arab bukan hanya menerima tetapi juga menyumbangkan pengetahuan. Ketika orang-orang Moor pindah ke Eropa melalui Spanyol—untuk tinggal selama lebih dari 700 tahun—mereka membawa serta kebudayaan Muslim yang telah mengalami kemajuan. Dan selama kedelapan Perang Salib Kristen, antara tahun 1096 dan 1272, para tentara Barat terkesan oleh peradaban Islam yang maju yang mereka temui. Mereka pulang, sebagaimana dinyatakan seorang penulis, dengan ”segudang kesan baru”.
Penyederhanaan Matematika ala Arab
Satu sumbangan penting yang diberikan Arab kepada Eropa adalah diperkenalkannya angka-angka Arab untuk menggantikan angka-angka Romawi yang menggunakan huruf. Sebenarnya, istilah ”angka-angka Arab” tidak tepat. Istilah yang lebih akurat kemungkinan adalah ”angka-angka Hindu-Arab”. Memang, ahli matematika dan astronom Arab abad kesembilan al-Khwārizmī menulis tentang sistem ini, namun ia telah memperolehnya dari ahli matematika Hindu India, yang telah merancangnya lebih dari seribu tahun sebelumnya, pada abad ketiga S.M.
Sistem ini tidak begitu dikenal di Eropa sebelum ahli matematika terkemuka bernama Leonardo Fibonacci (juga dikenal sebagai Leonardo dari Pisa) memperkenalkannya pada tahun 1202 dalam Liber abaci (Kitab Abakus). Ketika memperlihatkan keuntungan dari sistem ini, ia menjelaskan, ”Sembilan angka India adalah: 9 8 7 6 5 4 3 2 1. Dengan sembilan angka ini dan dengan tanda 0 . . . angka berapa pun dapat ditulis.” Pada mulanya, orang-orang Eropa lamban menanggapi. Namun menjelang dekat Abad-Abad Pertengahan, mereka telah menerima sistem angka yang baru, dan kesederhanaannya mendorong kemajuan ilmiah.
Jika Anda meragukan bahwa angka Hindu-Arab merupakan penyederhanaan dari angka Romawi yang semula digunakan, coba hitung MCMXCIII di kurangi LXXIX. Bingung? Barangkali, 1.993 dikurangi 79 akan lebih mudah bagi Anda.
Menyulut Kembali Minat di Eropa
Berawal dari abad ke-12, minat belajar yang telah menyala dengan begitu terang di dunia muslim mulai meredup. Akan tetapi, ini disulut kembali di Eropa seraya kelompok-kelompok sarjana mulai memelopori universitas modern. Pada pertengahan abad ke-12, universitas di Paris dan di Oxford didirikan. Universitas Cambridge menyusul pada awal abad ke-13, dan universitas-universitas di Praha dan di Heidelberg berdiri pada abad ke-14. Menjelang abad ke-19, universitas-universitas telah menjadi pusat utama penyelidikan ilmiah.
Pada mulanya, sekolah-sekolah ini amat dipengaruhi oleh agama, kebanyakan penelitian berpusat atau condong kepada teologi. Tetapi pada waktu yang sama, sekolah-sekolah menerima filsafat Yunani, khususnya tulisan-tulisan Aristoteles. Menurut The Encyclopedia of Religion, ”metode Pengajaran . . . selama Abad-Abad Pertengahan . . . dibangun menurut logika Aristoteles tentang mendefinisikan, membagi, dan menalar dalam penjelasan teks dan pemecahan kesulitan-kesulitan”.
Seorang sarjana pada abad ke-13 yang berniat menggabungkan pengajaran Aristoteles dengan teologi Kristen adalah Thomas Aquinas, yang belakangan dijuluki ”Aristoteles Kristen”. Namun dalam beberapa hal, ia berbeda dari Aristoteles. Misalnya, Aquinas menolak teori bahwa dunia telah selalu ada, ia setuju dengan Alkitab bahwa dunia diciptakan. Dengan berpegang ”teguh pada kepercayaan bahwa alam semesta kita bersifat teratur yang dapat dipahami dengan terang penalaran”, kata The Book of Popular Science, ia ”memberi sumbangan yang berharga kepada perkembangan sains modern”.
Akan tetapi, kebanyakan pengajaran Aristoteles, Ptolomeus, dan Galen diterima sebagai kebenaran yang tidak mungkin keliru, bahkan oleh gereja. Karya referensi yang disebutkan di atas menjelaskan, ”Pada Abad-Abad Pertengahan, ketika minat akan percobaan ilmiah dan observasi langsung berada pada taraf terendah, kata-kata Aristoteles adalah hukum. Ipse dixit (’Ia sendiri yang mengatakannya’) merupakan argumen yang digunakan oleh para pelajar pada abad pertengahan untuk membuktikan kebenaran dari banyak hal yang disebut observasi ’ilmiah’. Di bawah keadaan-keadaan demikian, kesalahan-kesalahan Aristoteles, khususnya dalam bidang fisika dan astronomi, menghambat kemajuan ilmiah selama berabad-abad.”
Orang yang menantang ketundukan buta kepada pandangan terdahulu ini adalah biarawan abad ke-13 dari Oxford bernama Roger Bacon. Disebut ”tokoh terbesar dalam sains abad pertengahan”, Bacon hampir sendirian dalam menganjurkan penggunaan eksperimen sebagai sarana mempelajari kebenaran ilmiah. Dikatakan bahwa bahkan pada tahun 1269, berabad-abad sebelum ada pada masa hidupnya, ia meramalkan munculnya mobil, pesawat udara, dan kapal laut bermotor.
Namun, meskipun memiliki pandangan jauh ke muka dan otak yang cerdas, Bacon terbatas dalam pengetahuannya akan fakta-fakta. Ia amat percaya pada astrologi, sihir, dan alchemy (ilmu kimia yang bertujuan mengubah logam menjadi emas). Ini menunjukkan bahwa sains benar-benar adalah pencarian yang terus-menerus akan kebenaran, selalu membutuhkan perbaikan.
Meskipun penyelidikan ilmiah kelihatannya terbengkalai pada abad ke-14, seraya abad ke-15 hampir berakhir, pencarian manusia akan kebenaran ilmiah masih belum usai. Malahan, 500 tahun berikutnya akan sangat mengalahkan apa yang telah ada sebelumnya. Dunia berdiri di ambang revolusi ilmiah. Dan sebagaimana halnya setiap revolusi, yang satu ini pun memiliki pahlawan, musuh, dan terutama, korban. Pelajarilah lebih jauh pada artikel kami berikut ini.
[Kotak di hlm. 28]
Masa Kejayaan Sains Arab
Al-Khwārizmī (abad kedelapan-kesembilan), ahli matematika dan astronom dari Irak; terkenal karena menciptakan istilah ”aljabar”, dari kata al-jebr, yang dalam bahasa Arab berarti ”gabungan bagian-bagian yang terpisah”.
Abū Mūsā Jābir ibn Ḥayyān (abad kedelapan-kesembilan), ahli alchemy; disebut bapak kimia dari Arab.
Al-Battānī (abad kesembilan-kesepuluh), astronom dan ahli matematika; memperbaiki kalkulasi astronomi Ptolomeus, dengan demikian menentukan dengan jauh lebih saksama perkara-perkara seperti lamanya tahun dan musim-musim.
Ar-Rāzī (Rhazes) (abad kesembilan-kesepuluh), salah seorang dokter kelahiran Persia yang paling terkenal; yang pertama kali membedakan antara cacar air dengan campak dan mengklasifikasikan semua zat sebagai binatang, sayuran, atau mineral.
Abū ‘Alī al-Ḥasan ibn al-Haytham (Alhazen) dari Basra (abad ke-10 dan ke-11), ahli matematika dan fisika, memberikan sumbangan besar bagi teori optik, termasuk pembiasan, pencerminan, visi binokular, dan pembiasan pada atmosfer; pertama kali menjelaskan dengan tepat bahwa penglihatan adalah pengaruh cahaya yang datang dari suatu objek ke mata.
Omar Khayyám (abad ke-11 dan ke-12), pakar terkemuka berkebangsaan Persia di bidang matematika, fisika, astronomi, kedokteran, dan filsafat; sangat terkenal di Barat karena puisi-puisinya.
[Gambar di hlm. 26]
Aristoteles (atas) dan Plato (bawah) sangat mempengaruhi pemikiran ilmiah selama berabad-abad
[Keterangan]
National Archeological Museum of Athens
Musei Capitoini, Roma
-
-
Sains—Pencarian yang Terus-menerus akan KebenaranSedarlah!—1993 | 8 Mei
-
-
Bagian 4
Sains—Pencarian yang Terus-menerus akan Kebenaran
Kebangkitan Kembali Sains melalui Revolusi
KERUSUHAN melanda dunia selama pertengahan akhir dari abad ke-18 seraya revolusi mengubah peta politik, pertama di Amerika, kemudian di Perancis. Sementara itu, di Inggris, suatu revolusi jenis lain mulai, yaitu revolusi industri. Revolusi ini erat kaitannya dengan jenis revolusi yang satu lagi, revolusi ilmiah.
Beberapa orang menetapkan tahun 1540-an sebagai awal kelahiran kembali sains, sewaktu astronom Polandia, Nicolaus Copernicus dan ahli anatomi Belgia, Andreas Vesalius menerbitkan buku yang mempengaruhi pemikiran ilmiah secara menyeluruh. Orang-orang lain memperkirakan bahwa perubahan terjadi lebih awal, pada tahun 1452, sewaktu Leonardo da Vinci dilahirkan. Leonardo adalah peneliti gigih yang memberi banyak sumbangan ilmiah, ia mengembangkan gagasan-gagasan yang beberapa di antaranya merupakan bibit-bibit penemuan yang disempurnakan berabad-abad kemudian, seperti pesawat udara, tank militer, dan parasut.
Namun sains sebagaimana yang kita kenal sekarang, kata Ernest Nagel, profesor emeritus di Universitas Columbia, ”belum benar-benar mapan sebagai suatu lembaga yang berkesinambungan di masyarakat Barat hingga abad ketujuh belas dan kedelapan belas”. Begitu sains telah mapan, suatu titik balik penting dalam sejarah manusia telah dicapai. Kata buku The Scientist, ”Kira-kira antara tahun 1590 dan 1690, sekelompok besar orang jenius . . . menghasilkan begitu banyak kemajuan riset yang hampir tidak dapat dibandingkan dengan periode 100 tahun mana pun.”
Penjahat-Penjahat Mengaburkan Jejak
Sains palsu juga berkembang, bagaikan penjahat yang teori-teori kelirunya merintangi laju kemajuan ilmiah yang sejati. Teori phlogiston adalah satu di antaranya. ”Phlogiston” adalah kata Yunani yang artinya ”terbakar”. Teori ini diperkenalkan pada tahun 1702 oleh George Ernst Stahl, yang percaya bahwa phlogiston dilepaskan sewaktu bahan-bahan yang mudah terbakar dibakar. Ia menganggap bahwa phlogiston merupakan suatu prinsip sebaliknya daripada suatu zat nyata, namun kepercayaan bahwa itu adalah zat nyata berkembang selama bertahun-tahun. Baru antara tahun 1770 dan 1790, Antoine-Laurent Lavoisier berhasil membuktikan kekeliruan teori ini.
The Book of Popular Science mengakui bahwa meskipun teori phlogiston ”sama sekali salah, namun untuk satu jangka waktu tertentu, teori tersebut menyediakan hipotesa praktis yang rupanya menjelaskan banyak fenomena alam. Itu hanyalah salah satu dari banyak hipotesa ilmiah yang telah diuji secara seimbang dan yang telah terbukti tidak faktual selama bertahun-tahun”.
Alchemy adalah penjahat lainnya. Harrap’s Illustrated Dictionary of Science mendefinisikannya sebagai ”campuran filsafat, ajaran mistik, dan teknologi kimia, bermula sebelum era Kristen, dengan berbagai cara mengupayakan konversi logam dasar menjadi emas, mengupayakan perpanjangan hidup dan mencari rahasia keabadian hidup”. Sebelum ditolak, alchemy ikut menjadi dasar bagi ilmu kimia modern, suatu transformasi yang diselesaikan menjelang akhir abad ke-17.
Jadi, meskipun dikatakan sebagai penjahat-penjahat, teori phlogiston dan alchemy bukannya tidak memiliki nilai. Namun, tidak demikian dengan penjahat-penjahat manusia yang karena desakan agama memupuk sikap anti-sains. Persaingan antara sains dan teologi—keduanya mengaku sebagai wewenang tunggal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan alam semesta—sering mengarah kepada konfrontasi yang sengit.
Misalnya, pada abad kedua M., astronom kenamaan Ptolomeus merancang teori geosentris, yang menyatakan bahwa seraya planet-planet berputar dalam suatu lingkaran, pusat dari putaran itu yang disebut episiklus, juga bergerak mengelilingi lingkaran lainnya. Itu merupakan kecerdikan matematis yang terbaik dan merupakan penjelasan dari pergerakan yang kelihatan di langit dari matahari, bulan, planet-planet, dan bintang-bintang yang baru diterima secara luas pada abad ke-16.
Copernicus (1473-1543) mengembangkan suatu teori alternatif. Ia percaya bahwa seraya planet-planet, termasuk bumi, berputar mengitari matahari, matahari tidak bergerak. Gagasan ini—bumi yang bergerak tidak lagi merupakan pusat alam semesta—jika benar, akan mendatangkan dampak lebih lanjut. Tak sampai seratus tahun kemudian, astronom Italia Galileo Galilei, melalui teleskop melakukan penelitian yang meyakinkannya bahwa hipotesa Copernicus sehubungan bumi yang berputar mengitari matahari adalah benar. Tetapi, Gereja Katolik menolak pandangan Galileo dengan menganggap seolah-olah itu adalah bidah dan memaksa Galileo untuk mencabut pandangannya.
Kekeliruan agama telah menyebabkan para teolog gereja menyangkal kebenaran ilmiah. Baru setelah hampir 360 tahun kemudian gereja memulihkan nama baik Galileo. L’Osservatore Romano, dalam edisi mingguannya tertanggal 4 November 1992, mengakui ”kesalahan subjektif dari pengadilan” terhadap Galileo.
Penjahat-Penjahat Masih Ada
Demikian pula, pada abad ke-20 ini, agama-agama Susunan Kristen memperlihatkan ketidak-respekan serupa akan kebenaran. Ini dilakukan dengan memberikan restu kepada teori ilmiah yang belum tentu terbukti kebenarannya, secara ilmiah maupun agama. Contoh terbaik adalah teori evolusi yang tak terbukti, pada dasarnya merupakan keturunan tidak sah dari ”pengetahuan” ilmiah yang sangat rusak dan pengajaran agama palsu.a
Charles Darwin menerbitkan bukunya berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection pada tanggal 24 November 1859. Tetapi gagasan evolusi sebenarnya berakar dari masa pra-Kristen. Misalnya, filsuf Yunani bernama Aristoteles, menggambarkan manusia pada puncak dari suatu garis yang berkembang dari kehidupan binatang yang lebih rendah. Pada mulanya, para pendeta menolak teori Darwin, namun The Book of Popular Science menyatakan, ”Evolusi [belakangan] menjadi sesuatu yang lebih daripada sekadar teori ilmiah . . . Teori ini menjadi sebuah slogan dan bahkan sebuah filsafat.” Gagasan tentang kelangsungan hidup bagi yang paling kuat dan sehat menarik bagi orang-orang yang berupaya mencapai kedudukan tertinggi dalam kehidupan.
Penolakan kaum pendeta segera mereda. The Encyclopedia of Religion mengatakan bahwa ”teori evolusi Darwin bukan hanya memperoleh pengakuan tetapi juga sambutan meriah”, dan bahwa ”pada saat kematiannya pada tahun 1883, pendeta yang paling bijaksana dan pandai bicara telah sampai kepada kesimpulan bahwa evolusi selaras sepenuhnya dengan penerangan dari pemahaman kitab suci”.
Meskipun demikian, terdapat pengakuan berikut ini oleh The Book of Popular Science, ”Bahkan pendukung yang paling gigih dari doktrin evolusi organik terpaksa mengakui bahwa terdapat ketidak-akuratan dan kesenjangan yang mencolok dalam teori Darwin yang mula-mula.” Meski mengatakan bahwa ”kebanyakan dari teori Darwin yang mula-mula telah diubah atau disingkirkan”, buku tersebut juga mengatakan bahwa ”pengaruh [evolusi] atas hampir setiap bidang kegiatan manusia sangat besar. Sejarah, arkeologi, dan etnologi telah mengalami perubahan yang menyeluruh karena teori tersebut”.
Dewasa ini, banyak ilmuwan yang bijaksana dengan serius mempertanyakan teori evolusi. Sir Fred Hoyle, pendiri Institut Astronomi Teoretis Cambridge dan anggota dewan dari Lembaga Sains Nasional Amerika, menulis sebagai berikut kira-kira sepuluh tahun yang lalu, ”Secara pribadi, saya memiliki sedikit keraguan bahwa sejarawan ilmiah di masa depan akan menganggap misterius bahwa sebuah teori yang jelas kelihatan tidak praktis begitu luas dipercayai.”
Karena teori tersebut menjelaskan dasar utama keberadaan manusia, evolusi merampas hak sang Pencipta. Teori itu juga memungkiri pengakuannya sebagai sesuatu yang ilmiah dan tidak menyumbang kepada pencarian yang terus-menerus akan kebenaran ilmiah. Karl Marx dengan senang hati menganut evolusi dan gagasan ’kelangsungan hidup bagi yang paling kuat dan sehat’ untuk menyokong bangkitnya Komunisme. Tetapi evolusi adalah penjahat yang paling keji.
Siapa Korban-korbannya?
Siapa pun yang tertipu karena mempercayai teori sains palsu menjadi korban. Namun bahkan mempercayai kebenaran ilmiah tak luput dari bahaya. Kemajuan-kemajuan sains yang spektakuler yang dihasilkan revolusi sains menipu banyak orang sehingga mempercayai bahwa sekarang tidak ada yang di luar jangkauan sains.
Kepercayaan ini diintensifkan seraya kemajuan sains terus mengikis sikap anti-sains yang pernah dipupuk oleh agama palsu. Perdagangan dan politik mulai mengakui sains sebagai alat yang ampuh untuk digunakan dalam mencapai tujuan mereka, apakah itu untuk mendapatkan imbalan moneter atau untuk menggabungkan kekuatan politik.
Jelas dinyatakan, sains lambat laun berkembang menjadi suatu ilah sehingga terbentuklah saintisme. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikan hal ini sebagai ”kepercayaan yang berlebih-lebihan pada kesanggupan metode sains alam yang diterapkan kepada semua jenis penyelidikan”.
Seraya abad ke-19 berakhir, orang bertanya-tanya apa yang akan dihasilkan pada abad ke-20. Sanggupkah sains mendirikan ”surga yang nyata di atas bumi” sebagaimana diduga banyak orang? Atau apakah penjahat-penjahatnya akan terus menciptakan medan pertempuran revolusi dengan lebih banyak mayat korban bergelimpangan? ”Melakukan Keajaiban Abad Ke-20” yang muncul pada terbitan kami berikutnya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
[Kotak di hlm. 31]
Bergantung pada Listrik
PADA awal abad ke-19, listrik dianggap sebagai fenomena yang menarik namun dengan sedikit manfaat praktis. Orang-orang dari berbagai negeri dan latar belakang, termasuk H. C. Ørsted (1777-1851), M. Faraday (1791-1867), A. Ampère (1775-1836), dan B. Franklin (1706-90) membuat penemuan-penemuan penting yang membuktikan kebalikannya, dengan demikian meletakkan dasar bagi listrik di dunia dewasa ini—suatu dunia yang terhenti semua fungsinya tanpa listrik.
[Catatan Kaki]
a Salah satu pengajaran demikian adalah gagasan Fundamentalis bahwa ”minggu” penciptaan yang disebutkan di Kejadian merupakan suatu rangkaian hari yang masing-masing lamanya 24 jam harfiah. Alkitab menunjukkan bahwa hari-hari tersebut sebenarnya adalah periode yang terdiri dari beribu-ribu tahun.
[Gambar di hlm. 32]
Nicolaus Copernicus
Galileo Galilei
[Keterangan]
Foto diambil dari Giordano Bruno and Galilei (Edisi Jerman)
-