PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apakah Memang Ada Permulaannya?
    Sedarlah!—1999 | 22 Juni
    • Apakah Memang Ada Permulaannya?

      SELAMA berabad-abad, banyak orang telah menatap langit malam dan merasa takjub melihat bintang-bintang yang gemerlapan. Alam semesta kita yang mahaluas dan mahaindah memang sungguh memukau. Siapa atau apa penyebab terbentuknya semua itu? Mengapa alam semesta ada? Apakah itu terbentuk dengan sendirinya, atau apakah ada permulaannya?

      Profesor astronomi, David L. Block, menulis, ”Gagasan bahwa alam semesta tidak terbentuk dengan sendirinya​—melainkan memiliki permulaan​—tidak selalu disukai.” Namun, pada dekade-dekade belakangan ini, bukti memaksa kebanyakan peneliti alam semesta untuk percaya bahwa alam semesta memang memiliki permulaan. ”Hampir semua astrofisikawan sekarang ini menyimpulkan,” lapor U.S.News & World Report pada tahun 1997, bahwa ”alam semesta bermula dengan big bang (ledakan besar) yang melontarkan materi-materi ke luar dan ke segala arah”.

      Sehubungan dengan kesimpulan yang telah luas diterima ini, Robert Jastrow, profesor astronomi dan geologi di Columbia University, menulis, ”Tidak banyak astronom yang yakin bahwa peristiwa ini​—kelahiran Alam Semesta secara tiba-tiba​—akan terbukti sebagai suatu fakta ilmiah, tetapi pengamatan langit melalui teleskop telah memaksa mereka menerima kesimpulan itu.”

      Apakah ”kelahiran Alam Semesta secara tiba-tiba” memang ”terbukti sebagai suatu fakta ilmiah”? Mari kita pertimbangkan bukti sejarah yang mengarah pada kesimpulan bahwa memang demikian halnya.

      Bukti Adanya Permulaan

      Teori relativitas umum dari Albert Einstein, yang diperkenalkan pada tahun 1916, menyiratkan bahwa alam semesta ini mengembang atau menciut. Namun, gagasan itu sama sekali bertentangan dengan pandangan yang diterima pada saat itu bahwa alam semesta ini statis, yang juga dipercayai oleh Einstein pada waktu itu. Jadi, dalam perhitungannya, ia memperkenalkan apa yang disebutnya ”tetapan (konstanta) kosmologis”. Penyesuaian ini dibuat karena ia mencoba menyelaraskan teorinya dengan kepercayaan yang diterima pada saat itu bahwa alam semesta ini statis dan tidak berubah.

      Akan tetapi, bukti yang terkumpul pada tahun 1920-an menyebabkan Einstein menyebut penyesuaian yang telah dibuatnya terhadap teori relativitas sebagai ’kesalahan terbesar’-nya. Pemasangan teleskop raksasa berdiameter 254 sentimeter di Gunung Wilson, Kalifornia, memungkinkan diperolehnya bukti tersebut. Pengamatan dengan teleskop itu selama tahun 1920-an membuktikan bahwa alam semesta sedang mengembang!

      Sebelumnya, teleskop-teleskop terbesar hanya dapat mengidentifikasi satu demi satu bintang dalam Bima Sakti, galaksi kita sendiri. Memang, para pengamat telah melihat bercak-bercak kabur cahaya yang dikenal sebagai nebula, tetapi mereka menyangkanya sebagai pusaran materi gas dalam galaksi kita sendiri. Namun, dengan teleskop Gunung Wilson yang lebih kuat, Edwin Hubble mengidentifikasi satu demi satu bintang dalam nebula-nebula ini. Bercak-bercak kabur cahaya ini belakangan diidentifikasi sebagai galaksi-galaksi seperti halnya Bima Sakti kita sendiri. Malahan, kini diperkirakan terdapat sebanyak 50 miliar hingga 125 miliar galaksi, masing-masing memiliki hingga ratusan miliar bintang!

      Pada akhir tahun 1920-an, Hubble juga mendapati bahwa galaksi-galaksi ini menjauh dari kita dan bahwa semakin jauh jaraknya dari kita, semakin cepat mereka menjauh. Para astronom menentukan seberapa cepat sebuah galaksi menjauh dengan spektrograf, yang mengukur spektrum cahaya dari bintang-bintang. Cahaya dari bintang-bintang jauh diarahkan melewati sebuah prisma yang memecah cahaya itu menjadi berbagai komponen warna.

      Cahaya dari sebuah benda yang bergerak menjauhi pengamat akan berwarna kemerahan dan disebut beringsutan merah (redshifted). Sebaliknya, cahaya dari benda yang mendekat disebut beringsutan biru (blueshifted). Menarik, selain beberapa galaksi yang berdekatan, semua galaksi yang dikenal memiliki garis-garis spektrum yang beringsutan merah. Jadi, para ilmuwan memastikan bahwa alam semesta ini mengembang secara teratur. Kecepatan mengembang ini ditentukan dengan mengukur derajat ingsutan merah dari garis-garis dalam spektrum.

      Apa kesimpulan kita terhadap fakta bahwa alam semesta ini mengembang? Nah, seorang ilmuwan mengundang orang-orang untuk memikirkan seandainya yang terjadi adalah proses sebaliknya. Dengan kata lain, membayangkan alam semesta yang mengembang ini sebagai sebuah film tetapi dimainkan mundur sehingga para penonton dapat melihat awal sejarah alam semesta. Dengan cara ini, alam semesta akan tampak menciut, bukannya mengembang. Dengan demikian, pada akhirnya alam semesta akan kembali ke satu titik asal tunggal.

      Dalam bukunya, Black Holes and Baby Universes and Other Essays, yang diterbitkan pada tahun 1993, fisikawan terkemuka bernama Stephen Hawking menyimpulkan bahwa ”sains dapat meramalkan bahwa alam semesta pastilah memiliki permulaan”.

      Akan tetapi, beberapa tahun yang lalu, banyak orang tidak percaya bahwa alam semesta memiliki permulaan. Fred Hoyle adalah seorang ilmuwan terkenal yang tidak sependapat dengan konsep bahwa alam semesta bermula dari apa yang ia ejek sebagai ’suatu ledakan besar’ (big bang). Antara lain, Hoyle berpendapat bahwa seandainya ada permulaan yang sedemikian dinamis, seharusnya masih ada jejak dari peristiwa itu yang tersimpan di suatu tempat di alam semesta ini. Seharusnya ada semacam fosil radiasi, semacam sisa-sisa pendaran yang pudar di angkasa. Apa yang disingkapkan oleh pencarian akan radiasi latar semacam itu?

      The New York Times terbitan 8 Maret 1998 melaporkan bahwa sekitar tahun 1965, ”astronom Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan radiasi latar itu di berbagai tempat, sisa-sisa cahaya dari ledakan pada zaman purba”. Artikel tersebut menambahkan, ”Teori [big bang] tampaknya sudah terbukti tanpa keraguan.”

      Namun, bertahun-tahun setelah temuan Penzias dan Wilson, beberapa orang mengajukan pertanyaan bahwa seandainya model big bang memang benar, mengapa belum teramati juga sedikit ketidakteraturan (irregularity) dalam sinyal radiasi tersebut? Agar galaksi dapat terbentuk, alam semesta membutuhkan daerah-daerah yang lebih dingin dan lebih padat sebagai tempat munculnya materi. Akan tetapi, eksperimen-eksperimen yang diadakan dari permukaan planet bumi oleh Penzias dan Wilson tidak menyingkapkan ada ketidakteraturan semacam itu.

      Oleh karena itu, pada bulan November 1989, satelit Penjelajah Latar Kosmis (Cosmic Background Explorer, atau COBE) diluncurkan ke angkasa luar oleh Badan Antariksa AS, NASA. Temuannya digambarkan sebagai sesuatu yang monumental. Profesor Block menjelaskan, ”Riak-riak yang dilaporkan oleh Radiometer Gelombang Mikro Diferensial yang dibawa COBE merupakan fluktuasi yang justru tercetak pada alam semesta kita, yang miliaran tahun yang lalu menyebabkan terbentuknya galaksi-galaksi.”

      Implikasi dari Bukti Tersebut

      Apa yang dapat kita simpulkan dari fakta bahwa alam semesta memiliki permulaan? Robert Jastrow mengatakan, ”Kita dapat menyebutnya big bang, tetapi ada kata-kata yang lebih tepat lagi, yakni momen penciptaan.” Penzias, yang ikut menemukan radiasi latar dari alam semesta, mengomentari, ”Astronomi menuntun kita pada suatu peristiwa yang unik, alam semesta yang tercipta dari ketiadaan.” Dan, pimpinan tim COBE, George Smoot, menyatakan, ”Apa yang telah kita temukan adalah bukti kelahiran alam semesta.”

      Apakah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa jika alam semesta memiliki permulaan, atau diciptakan, maka ada Pemula, atau Penciptanya? Banyak orang berpendapat demikian. Sehubungan dengan temuan COBE, Smoot menyatakan, ”Rasanya seperti melihat Allah.”

      Tentu saja, tanpa bukti ilmiah yang diperoleh dalam dekade-dekade belakangan ini pun, jutaan orang telah menaruh iman dalam pernyataan pembukaan dari Alkitab, ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.”​—Kejadian 1:1.

      Namun, tidak semua orang mau mengakui pernyataan Alkitab yang sederhana ini. ”Banyak ilmuwan tidak menyukai gagasan bahwa alam semesta memiliki permulaan, momen penciptaan,” kata fisikawan Stephen Hawking. Mereka ”tidak menyukai implikasi di luar sains dari teori tersebut”, tulis Michael J. Behe, ”dan berupaya keras mengembangkan alternatifnya”.

      Jadi pertanyaannya adalah: Apakah alam semesta muncul dengan sendirinya? Apakah itu terjadi secara kebetulan, atau apakah diciptakan oleh seorang Pencipta yang cerdas? Pikiran Anda akan terbuka setelah melihat bukti berikut ini.

  • Terjadi Secara Kebetulan, atau Diciptakan?
    Sedarlah!—1999 | 22 Juni
    • Terjadi Secara Kebetulan, atau Diciptakan?

      BANYAK ilmuwan tidak senang akan gagasan bahwa alam semesta diciptakan oleh seorang Pencipta yang cerdas. Jadi, mereka berspekulasi bahwa, entah bagaimana, alam semesta muncul dengan sendirinya. Tetapi, tidak seorang pun sanggup menjelaskan bagaimana itu terjadi.

      Sebenarnya, sebagaimana dilaporkan oleh majalah Scientific American terbitan bulan Januari 1999, ”Teori big bang tidak memberikan gambaran tentang kelahiran alam semesta.” Majalah itu menambahkan, ”Dibutuhkan teori lain yang memberikan gambaran tentang masa yang lebih awal untuk menjelaskan penciptaan semula dari alam semesta.”

      Namun, apakah masuk akal bagi Anda bahwa, dengan satu atau lain cara, alam semesta menciptakan dirinya sendiri? Fisikawan Charles H. Townes mengomentari, ”Memang benar bahwa para fisikawan berharap untuk melihat latar di balik ’big bang’ itu, dan agar dapat menjelaskan asal-usul alam semesta kita sebagai, misalkan, sejenis fluktuasi. Tetapi, kalau demikian halnya, berfluktuasi dari apa dan selanjutnya, bagaimana ini bermula? Menurut pandangan saya, pertanyaan tentang asal-usul tampaknya selalu tidak terjawab jika kita menyelidiki dari sisi ilmiah saja.”

      Orang-orang kini menerima bahwa, pada suatu masa, alam semesta belum ada dan, melalui suatu cara, ia menjadi ada. Dapatkah hal-hal yang telah kita ketahui tentang hukum alam semesta membantu kita memahami terjadinya alam semesta?

      ”Dua Sisi dari Uang Logam yang Sama”

      Kita telah membahas tentang energi dan materi. ”Materi hanyalah salah satu bentuk energi,” kata Scientific American. Hubungan antara materi dan energi ini dinyatakan melalui rumus Einstein yang terkenal, E=mc2 (energi sama dengan massa kali kuadrat kecepatan cahaya). Persamaan ini menyingkapkan bahwa massa, atau materi, yang kecil menyimpan energi yang tak terbayangkan. ”Ini menjelaskan,” kata Timothy Ferris, seorang dosen universitas, ”mengapa sebutir bom sebesar jeruk dapat menghancurleburkan sebuah kota.”

      Ditinjau dari sisi sebaliknya​—menurut teori Einstein, energi dapat juga diubah menjadi materi. Itu sebabnya, pembentukan alam semesta material melibatkan apa yang pernah seorang kosmolog sebut ”transformasi paling dahsyat dari materi dan energi, dan kita mendapat hak istimewa untuk melihatnya sekilas”.

      Namun, dari mana asal-usul materi dan energi yang dibutuhkan untuk ”transformasi” semacam itu? Sains tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Menarik, Alkitab berkata tentang Allah, ”Karena energi dinamisnya yang berlimpah, dan kekuasaannya sangat besar, tidak satu pun dari mereka [benda-benda angkasa] tidak hadir.” (Yesaya 40:26, NW) Apa pun cara yang Allah gunakan untuk menciptakan alam semesta, yang jelas Ia memiliki energi dan kekuatan yang dibutuhkan untuk melakukannya.

      Apakah bukti ilmiah menyediakan dasar untuk percaya bahwa suatu Pribadi Mahacerdas menciptakan alam semesta kita? Jawabannya dapat diperoleh bila kita melihat cara alam semesta ini bermula.

      Permulaan yang Teratur

      Pikirkan hal ini: Konversi tak terkendali dari materi menjadi energi dalam ledakan sebuah bom nuklir mengakibatkan kekacauan, sebagaimana terlihat di Jepang berupa kehancuran total kota Hiroshima dan sebagian kota Nagasaki oleh bom semacam itu pada tahun 1945. Akan tetapi, sebaliknya daripada kekacauan, alam semesta ini harmonis dan indah! Perhatikan juga planet bumi ini yang menakjubkan, dengan keanekaragaman kehidupannya yang memukau. Jelaslah, hal ini tidak mungkin ada tanpa pengarahan dan pengendalian secara cerdas!

      Majalah Newsweek terbitan 9 November 1998 mengulas implikasi dari temuan-temuan sehubungan dengan penciptaan alam semesta. Majalah itu mengatakan, fakta-fakta ”memperlihatkan bahwa asal-usul materi dan pergerakan lebih mirip dengan apa yang dikatakan Kejadian [dalam Alkitab], ex nihilo, dari ketiadaan, dalam ledakan cahaya dan energi yang memukau”. Perhatikan alasan yang Newsweek berikan untuk membandingkan permulaan alam semesta dengan peristiwa yang diuraikan Alkitab.

      ”Daya-daya yang dilepaskan pada waktu itu seimbang secara menakjubkan (ajaib?), dan sekarang pun masih demikian: Seandainya Big Bang sedikit lebih lemah, alam semesta akan berkurang kecepatan mengembangnya, dan akan segera (dalam beberapa juta tahun, atau beberapa menit​—yang pasti, segera) menciut kembali. Seandainya ledakan itu sedikit lebih kuat, alam semesta mungkin telah tercerai-berai menjadi substansi cair yang terlalu encer untuk menggumpal menjadi bintang-bintang. Kemungkinan hal ini terjadi secara kebetulan adalah​—kata yang sangat tepat untuk hal ini​—tak terbayangkan kecilnya. Perbandingan materi dan energi dengan volume ruang pada Big Bang haruslah di bawah seperkuadriliun dari 1 persen nilai ideal.”

      Newsweek memperlihatkan bahwa seolah-olah ada suatu ”Penyetel” alam semesta dan mengomentari, ”Kurang satu derajat saja (lihat di atas, kekeliruan seperkuadriliun dari ambang 1 persen), . . . dan akibatnya bukan saja ketidakharmonisan melainkan entropi (peluruhan materi dan energi menjadi keadaan diam) dan es abadi. Jadi, apa​—atau siapa?​—Penyetel agung itu?”

      Astrofisikawan Alan Lightman mengakui bahwa para ilmuwan ”benar-benar bingung melihat bahwa alam semesta diciptakan dalam suatu kondisi yang sangat teratur”. Ia menambahkan bahwa ”teori kosmologi apa pun yang berhasil haruslah menjelaskan secara tuntas problem entropi ini”​—mengapa alam semesta tidak menjadi kacau.

      Mengapa Menolak Percaya

      Bukankah Anda sependapat bahwa ”suatu kondisi yang sangat teratur” menunjuk kepada seorang Organisator? Sebagian besar orang sependapat. Tetapi, orang-orang yang menganut ateisme enggan mengakuinya. Mengapa? Karena kepercayaan mereka! Sebagaimana ditulis Profesor Ferris, ”ateisme adalah, mau tidak mau harus kita akui, suatu kepercayaan seperti halnya kepercayaan lain”. Dan, menurutnya, akan lebih baik ”jika kita mengesampingkan Allah sama sekali dari kosmologi”.

      Itulah yang dilakukan banyak orang​—tetapi dengan susah payah. Misalnya, setelah mengomentari banyak hal yang dapat dianggap sebagai bukti bahwa alam semesta ini dirancang, George Greenstein, profesor astronomi, menulis, ”Saya menjadi yakin bahwa ’kebetulan-kebetulan’ semacam itu mustahil terjadi secara kebetulan.” Meskipun demikian, Greenstein menegaskan, ”Allah bukanlah jawabannya.” Jadi, beberapa ilmuwan mengorbankan penalaran yang masuk akal guna melindungi kepercayaan ilmiah tradisional mereka.

      Akan tetapi, harus diakui bahwa ”kepercayaan” fisikawan terkenal Fred Hoyle goyah pada masa belakangan dalam hidupnya. Pada tahun 1980-an, ia mengakui, ”Penafsiran dengan akal sehat terhadap fakta-fakta memperlihatkan bahwa suatu pribadi mahacerdas telah campur tangan dengan fisika, juga kimia serta biologi, dan bahwa di alam ini tidak ada daya tak terkendali yang sepantasnya dibicarakan. Bagi saya, angka-angka dari fakta yang digunakan dalam perhitungan sungguh luar biasa sehingga kesimpulan ini nyaris tidak dapat dibantah.”

      Menarik, pada awal era penyelidikan ilmiah dalam pengertian modern, Sir Isaac Newton menarik kesimpulan yang serupa. Ia digugah oleh temuan-temuannya untuk menulis, ”Sistem yang paling indah ini berupa matahari, planet, dan komet, hanya dapat dihasilkan dari maksud-tujuan dan kekuasaan suatu Pribadi yang cerdas serta penuh kuasa.”

      Perhatikan salah satu konsekuensi penemuan hukum pergerakan oleh Newton dan Johannes Kepler.

      Bagaimana Penerbangan Ruang Angkasa Dimungkinkan

      Kepler menguraikan hukum-hukum pergerakan planet pada awal tahun 1600-an, dan The World Book of Encyclopedia mengomentari bahwa ini ”digunakan untuk menentukan orbit satelit buatan dan merencanakan penerbangan pesawat ruang angkasa”. Pada tahun 1687, Newton memperkenalkan hukum pergerakannya yang terkenal, dan hukum-hukum ini, ”seperti hukum Kepler, menjadi batu penjuru perencanaan penerbangan ruang angkasa”, kata ensiklopedia ini. Mengapa demikian?

      Karena dengan menggunakan hukum-hukum ini, manusia dapat menentukan melalui perhitungan matematika keberadaan benda tertentu di ruang angkasa pada suatu waktu. Perhitungan demikian dimungkinkan melalui pergerakan yang konsisten dan selalu dapat diramalkan dari benda-benda angkasa, termasuk bulan dan bumi. Misalnya, bulan bergerak dalam orbit mengelilingi bumi dengan kecepatan rata-rata 3.700 kilometer per jam, menyelesaikan perjalanannya kurang dari sebulan dengan ketepatan waktu yang mengagumkan. Bumi menyelesaikan perjalanan tahunannya mengelilingi matahari, dengan kecepatan sekitar 107.200 kilometer per jam, dengan ketepatan waktu yang sama.

      Jadi, sewaktu menuntun penerbangan ke bulan, manusia di bumi mengarahkan pesawat ruang angkasanya pada suatu titik di angkasa, beribu-ribu kilometer di depan bulan yang mengorbit. Melalui berbagai perhitungan, mereka tahu persis di mana bulan pasti akan berada pada waktu yang ditentukan. Dan, jika pesawat ruang angkasa itu mendapat petunjuk dan tenaga yang cukup, ia pun akan berada di titik itu, sehingga pendaratan di bulan dimungkinkan.

      Apa yang memungkinkan orang-orang meramalkan pergerakan benda-benda angkasa dengan sedemikian tepat? Astronot Amerika yang pertama kali mengorbit bumi, John Glenn, menyatakan sehubungan dengan keteraturan alam semesta, ”Mungkinkah ini terjadi secara kebetulan? . . . Bagi saya, itu mustahil.” Kemudian, ia menambahkan, ”Suatu Kekuatan menempatkan semua ini pada orbitnya dan menjaganya tetap di sana.”

      Ilmuwan ruang angkasa, Dr. Wernher von Braun, dengan rasa takjub terhadap hukum-hukum yang mengatur alam semesta, mengatakan, ”Penerbangan ruang angkasa berawak . . . sejauh ini telah membuka sebuah pintu kecil saja bagi kita untuk melihat ruang angkasa yang luar biasa luasnya. Apa yang kita lihat melalui lubang intip ke misteri alam semesta yang luar biasa ini hanya meneguhkan kepercayaan kita akan penciptanya.”

      Fisikawan terkenal, P.A.M. Dirac, yang adalah mantan dosen matematika di University of Cambridge, sependapat, ”Seseorang mungkin dapat melukiskan situasinya dengan mengatakan bahwa Allah adalah seorang pakar matematika yang sangat teratur, dan Ia menggunakan matematika yang sangat tinggi sewaktu membangun alam semesta.”

      Siapakah Guru Besar Matematika ini, Pribadi Mahacerdas ini, yang bertanggung jawab atas ciptaan yang menakjubkan?

      Diciptakan Oleh Siapa?

      Seandainya kita mengadakan perjalanan ke kawasan yang asing dan menemukan sebuah rumah indah yang dikelilingi taman yang terawat rapi dan kebun yang luar biasa indah, apakah kita akan menyimpulkan bahwa semua itu terjadi dengan sendirinya? Kesimpulan itu benar-benar tidak masuk akal. Seorang pembangun yang sangat ahli dan tukang kebun yang sangat terampil pastilah bertanggung jawab atasnya.

      Demikian pula, alam semesta kita yang agung, yang jauh lebih rumit lagi, jelaslah memiliki Pencipta. Dalam Alkitab, pribadi itu mengidentifikasi dirinya sendiri dengan sebuah nama, dengan mengatakan, ”Aku ini TUHAN [Yehuwa, NW], itulah nama-Ku.” (Yesaya 42:8) Dalam catatan Alkitab, pribadi-pribadi yang menghargai karya Allah menyerukan, ”Engkau layak, Yehuwa, ya Allah kami, untuk menerima kemuliaan dan kehormatan dan kuasa, karena engkau menciptakan segala sesuatu, dan karena kehendakmulah mereka ada dan diciptakan.”​—Penyingkapan (Wahyu) 4:11.

      Selain menyingkapkan nama pribadi yang Ia sendiri berikan kepada manusia, Yehuwa juga telah, melalui Firman tertulis-Nya, menyingkapkan maksud-tujuan-Nya untuk mempersiapkan bumi agar dihuni manusia. Dan, Yesus Kristus, Putra Allah sendiri, menjamin bahwa Firman Allah dapat diandalkan, sewaktu ia mengatakan, ”Firmanmu adalah kebenaran.”​—Yohanes 17:17.

      Belum lama berselang, sebuah majalah sains mengomentari, ”Tidak seperti generasi sebelumnya, kita tahu bagaimana kita sampai ada di sini. Tetapi, seperti semua generasi sebelumnya, kita masih tidak tahu alasannya.” Namun, jawaban untuk pertanyaan itu, Mengapa?, tersedia​—Firman Allah menyediakannya. Silakan pertimbangkan jawaban dalam artikel berikut ini.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan