-
Perbudakan—Wabah yang Masih AdaSedarlah!—2002 | 22 Juni
-
-
Perbudakan—Wabah yang Masih Ada
APAKAH perbudakan sudah lenyap? Kebanyakan orang mengira begitu. Kata itu menimbulkan gambaran seram tentang kebrutalan dan penindasan. Namun, dalam benak banyak orang, gambaran tersebut hanya ada di masa lalu. Sebagai contoh, orang-orang membayangkan kapal-kapal budak pada abad-abad silam—kapal kayu yang berderit-derit dengan palka yang penuh sesak dengan sejumlah besar orang yang ketakutan, berjejal-jejal dalam keadaan kotor yang hampir tak terbayangkan.
Memang, kapal-kapal budak semacam itu tidak lagi berlayar di laut, dan konvensi internasional dewasa ini melarang bentuk perbudakan itu. Namun, perbudakan sama sekali belum lenyap. Organisasi hak asasi manusia, Anti-Perbudakan Internasional, menghitung bahwa kira-kira 200 juta orang masih hidup dalam suatu bentuk perbudakan. Orang-orang itu bekerja dalam kondisi yang kemungkinan besar lebih buruk daripada yang diderita oleh budak-budak dari abad-abad sebelumnya. Bahkan, beberapa analis menyimpulkan bahwa ”ada lebih banyak orang yang berada dalam perbudakan dewasa ini daripada di zaman mana pun dalam sejarah”.
Kisah para budak modern ini sangat menyayat hati. Kanji,a yang masih berusia sepuluh tahun, menggiring kawanan ternak setiap hari untuk para majikan yang bengis yang kerap kali memukulinya. ”Jika beruntung, saya mendapatkan sepotong roti apak, kalau tidak, hari ini saya tidak akan makan,” jelasnya. ”Kerja keras saya tidak pernah dibayar karena saya seorang budak dan kepunyaan mereka. . . . Anak-anak seusia saya bermain-main dengan anak-anak lain, dan lebih baik saya mati daripada menempuh kehidupan yang mengerikan ini.”
Seperti Kanji, budak-budak zaman modern sering kali adalah anak-anak atau wanita. Mereka dipaksa untuk bekerja membanting tulang membuat karpet, membangun jalan, memotong tebu, atau bahkan bekerja sebagai pelacur. Dan, mereka dapat dijual hanya dengan harga 10 dolar AS. Beberapa anak bahkan dijual menjadi budak oleh orang tua mereka sendiri untuk menutupi utang.
Apakah Anda merasa bahwa ini semua sungguh memuakkan? Anda bukan satu-satunya. Dalam bukunya Disposable People, penulis bernama Kevin Bales mengulas, ”Perbudakan adalah perbuatan yang sangat tidak bermoral. Perbudakan bukan hanya sekadar mencuri hasil kerja keras seseorang; perbudakan adalah pencurian atas seluruh kehidupan seseorang.” Mengingat kebengisan manusia terhadap sesamanya, apa alasan bagi kita untuk percaya bahwa bencana perbudakan akan berakhir? Pertanyaan ini lebih berkaitan dengan Anda secara pribadi daripada yang Anda kira.
Seperti yang akan kita lihat, ada lebih dari satu bentuk perbudakan. Perbudakan mempunyai banyak sekali bentuk, beberapa di antaranya mempengaruhi setiap manusia yang hidup. Jadi, kita semua perlu tahu apakah kemerdekaan sejati akan ada bagi umat manusia. Tetapi, pertama-tama, mari kita ulas sejarah singkat perdagangan budak manusia.
[Catatan Kaki]
a Bukan nama asli.
[Gambar di hlm. 3]
Kaum wanita dan anak-anak yang miskin telah lama menjadi korban perdagangan budak
[Keterangan]
Top photo: UN PHOTO 148000/Jean Pierre Laffont
U.S. National Archives photo
-
-
Perjuangan Panjang Melawan PerbudakanSedarlah!—2002 | 22 Juni
-
-
Perjuangan Panjang Melawan Perbudakan
”Inilah artinya menjadi seorang budak: dianiaya dan menahannya, dipaksa dengan kekerasan agar menderita ketidakadilan.”—Euripides, seorang penulis drama asal Yunani dari abad kelima SM.
PERBUDAKAN memiliki sejarah yang panjang dan kerap kali sangat buruk. Sejak zaman peradaban terawal di Mesir dan Mesopotamia, bangsa-bangsa yang kuat telah memperbudak negeri-negeri tetangga mereka yang lemah. Dengan demikian, dimulailah salah satu kisah yang paling menyedihkan tentang ketidakadilan manusia.
Selama milenium kedua SM, Mesir memperbudak sebuah bangsa secara keseluruhan yang mungkin terdiri dari beberapa juta orang. (Keluaran 1:13, 14; 12:37) Sewaktu Yunani menguasai Mediterania, banyak keluarga Yunani memiliki sedikitnya satu budak—seperti keluarga zaman sekarang di beberapa negeri yang memiliki sebuah mobil. Filsuf Yunani Aristoteles membenarkan praktek ini dengan menyatakan bahwa kemanusiaan dibagi menjadi dua kelas, kelas kaum majikan dan kelas kaum budak, yang pertama memiliki hak alamiah untuk memerintah, sedangkan yang belakangan hanya dilahirkan untuk taat.
Orang Romawi malah mempraktekkan perbudakan yang lebih parah daripada orang Yunani. Pada zaman rasul Paulus, mungkin setengah penduduk kota Roma—tampaknya berjumlah ratusan ribu orang—adalah para budak. Dan, tampaknya Imperium Romawi harus memperoleh setengah juta budak setiap tahunnya untuk membangun monumen, bekerja di pertambangan, menggarap ladang, dan bekerja di vila megah orang kaya.a Para tawanan perang biasanya dipekerjakan sebagai budak, sehingga kebutuhan Roma yang tak pernah terpuaskan untuk memperoleh lebih banyak budak sangat memotivasi imperium itu untuk terus mengobarkan perang.
Meskipun perbudakan sedikit banyak berkurang sejak kejatuhan Imperium Romawi, praktek-prakteknya terus berlanjut. Menurut Domesday Book (1086 M), pada abad pertengahan, diperkirakan bahwa 10 persen tenaga kerja di Inggris adalah para budak. Dan, para budak masih diperoleh melalui penaklukan. Kata ”slave” (budak) dalam bahasa Inggris berasal dari kata ”Slav”, karena orang-orang Slavia membentuk bagian besar populasi budak di Eropa selama awal Abad Pertengahan.
Akan tetapi, sejak zaman Kristus, tidak ada benua yang menderita kehancuran karena perdagangan budak separah yang dialami Afrika. Bahkan, sebelum zaman Yesus, orang Mesir kuno memperjualbelikan budak-budak Etiopia. Selama kira-kira 1.250 tahun, diperkirakan 18 juta orang Afrika diangkut ke Eropa dan Timur Tengah untuk memenuhi permintaan akan budak di negeri-negeri di sana. Dengan adanya kolonisasi atas Benua Amerika yang dimulai pada abad ke-16, pasar budak yang baru pun dibuka, dan perdagangan budak lintas Atlantik segera menjadi salah satu bisnis yang paling menggiurkan di bumi. Para sejarawan menghitung bahwa antara tahun 1650 dan 1850, lebih dari 12 juta budak telah diangkut dari Afrika.b Banyak dari budak itu dijual di pasar budak.
Perjuangan Melawan Perbudakan
Selama berabad-abad, orang-perorangan maupun bangsa-bangsa telah berjuang untuk memerdekakan diri mereka dari perbudakan. Pada abad pertama sebelum Kristus, Spartacus memimpin sebuah pasukan yang terdiri dari 70.000 budak Romawi dalam sebuah perjuangan yang sia-sia demi kemerdekaan. Revolusi budak Haiti, sekitar dua abad silam, lebih sukses, menghasilkan pembentukan sebuah pemerintahan independen pada tahun 1804.
Tentu saja, perbudakan bertahan jauh lebih lama di Amerika Serikat. Di sana, ada budak-budak yang berjuang mati-matian untuk membebaskan diri mereka dan orang-orang yang mereka kasihi. Dan, ada juga orang-orang merdeka yang dengan tulus memerangi perbudakan dengan mendukung penghapusan budak atau membantu para budak yang melarikan diri. Meskipun demikian, baru pada abad ke-19 praktek tersebut akhirnya dilarang di seluruh negeri itu. Namun, bagaimana dengan dewasa ini?
Perjuangan yang Sia-Sia?
”Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun harus dilarang,” kata Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Tujuan itu, yang dengan antusias diumumkan pada tahun 1948, tentulah tujuan yang mulia. Banyak orang yang berhati tulus telah membaktikan waktu, tenaga, dan sumber daya mereka untuk mencapai tujuan itu. Akan tetapi, keberhasilan tidak datang dengan mudah.
Sebagaimana diperlihatkan di artikel awal, jutaan manusia masih membanting tulang dalam kondisi yang mengerikan tanpa menerima upah, dan banyak di antara mereka telah diangkut atau dijual di luar kehendak mereka. Meskipun adanya upaya-upaya yang bertujuan baik untuk menghapus perbudakan—dan penandatanganan konvensi internasional guna melarang perbudakan—kemerdekaan yang nyata bagi semua orang masih merupakan tujuan yang belum bisa dicapai. Ekonomi global menjadikan perdagangan budak terselubung lebih menggiurkan. Tampaknya, perbudakan justru semakin erat mencengkeram umat manusia. Apakah keadaan ini tanpa harapan? Mari kita lihat.
[Catatan Kaki]
a Sebuah narasumber zaman dahulu memperkirakan bahwa beberapa orang Roma yang sangat kaya dapat memiliki sebanyak 20.000 budak.
b Beberapa pemimpin agama yang tidak bermoral berpendapat bahwa Allah mendukung perdagangan brutal nyawa manusia ini. Akibatnya, banyak orang masih memiliki kesan yang keliru bahwa Alkitab membenarkan kekejaman semacam ini, padahal sebenarnya tidak. Silakan lihat artikel ”Pandangan Alkitab: Apakah Allah Menyetujui Perdagangan Budak?” dalam terbitan Sedarlah! 8 September 2001.
[Gambar di hlm. 4, 5]
Dahulu, orang-orang yang diangkut dari Afrika dalam kapal budak (atas) biasanya dijual di pasar gelap Amerika
[Keterangan]
Godo-Foto
Archivo General de las Indias
-
-
Saat Perbudakan Akan Berakhir!Sedarlah!—2002 | 22 Juni
-
-
Saat Perbudakan Akan Berakhir!
KEMERDEKAAN! Tidak banyak kata lain yang lebih memikat hati manusia daripada kata ini. Orang-orang bertempur dan menderita, hidup dan mati, dalam mengejar kemerdekaan. Namun, sayangnya, banyak orang telah melakukan hal itu tanpa menyaksikan kemajuan nyata yang berarti ke arah tujuan mereka. Adakah harapan untuk dimerdekakan dari perbudakan—harapan yang tidak akan berakhir dalam frustrasi dan kekecewaan? Ada.
Rasul Paulus diilhami untuk menulis janji Allah, ”Ciptaan itu sendiri juga akan dimerdekakan dari keadaan sebagai budak kefanaan dan akan mendapat kemerdekaan yang mulia sebagai anak-anak Allah.” (Roma 8:21) Tetapi, bagaimana kita dapat yakin bahwa Allah akan benar-benar mewujudkan ”kemerdekaan yang mulia” semacam itu? Salah satu cara adalah dengan menyelidiki cara Allah berurusan dengan umat manusia sepanjang sejarah.
”Di mana roh Yehuwa berada, di situ ada kemerdekaan,” kata Alkitab. (2 Korintus 3:17) Ya, roh Allah, atau tenaga aktif-Nya, luar biasa kuasanya. Sejak zaman dahulu, dalam berbagai cara, Allah telah menggunakannya untuk menyediakan kemerdekaan. Bagaimana? Nah, kita perlu ingat bahwa ada banyak jenis perbudakan. Kita sudah membahas salah satu bentuk terkejinya, yakni yang kuat memperbudak yang lemah dengan paksaan dan kekerasan. Tetapi, perhatikan beberapa bentuk lain dari perbudakan.
Orang-orang dapat memperbudak diri mereka sendiri dengan berbagai kecanduan yang sangat sulit dihentikan. Dan, orang-orang dapat diperbudak oleh dusta dan tipu daya, dibodohi untuk menjalani kehidupan yang tunduk kepada ajaran-ajaran palsu. Dan, ada suatu bentuk perbudakan yang paling terselubung, yang dapat membelenggu kita semua—tidak soal kita menyadarinya atau tidak—dan pengaruhnya sangat mematikan. Akan tetapi, patut ditandaskan bahwa meskipun dalam pembahasan ini kami menggabungkan beberapa bentuk perhambaan dalam suatu kelompok, kami sama sekali tidak menyamaratakannya. Masing-masing sangat berbeda. Namun, ada persamaan yang penting. Dalam jangka panjang, Allah kemerdekaan akan memastikan bahwa beban semua bentuk perbudakan ini akan disingkirkan dari umat manusia.
Kala Kecanduan Memperbudak
Perhatikan bagaimana buku When Luck Runs Out menjabarkan gila judi, ”Suatu kelainan yang mendesak orang dengan dorongan yang tak tertahankan dan yang tak terkendalikan untuk berjudi. Dorongan itu terus ada dan intensitas serta tekanannya semakin tinggi . . . sehingga, akhirnya, hal itu menyerang, menggerogoti, dan sering kali menghancurkan semua hal yang bernilai dalam kehidupannya.” Tidak seorang pun tahu berapa banyak orang yang diperbudak judi. Diperkirakan bahwa di Amerika Serikat saja terdapat sekitar enam juta orang.
Kebergantungan pada alkohol tidak kalah menghancurkan, malah bisa jadi lebih menghancurkan, dan di kebanyakan tempat lebih mewabah. Di sebuah negeri besar, sebanyak setengah jumlah pria dewasa menderita kecanduan alkohol dalam taraf tertentu. Ricardo, yang menjadi pecandu alkohol sejak 20 tahun yang lalu, menjelaskan apa arti jenis kecanduan ini, ”Sejak saat Anda bangun, tubuh Anda berteriak-teriak meminta alkohol—untuk menenangkan saraf Anda, untuk melupakan problem Anda, atau hanya untuk memberi Anda kepercayaan diri secukupnya guna menghadapi kehidupan. Anda menjadi terobsesi untuk mendapatkan minuman beralkohol, tetapi Anda mencoba meyakinkan diri sendiri dan orang lain di sekeliling Anda bahwa perilaku Anda normal.”
Alkohol bukanlah satu-satunya bahan adiktif yang memperbudak orang. Di seluas dunia, ada berjuta-juta orang yang menyalahgunakan narkoba ilegal. Selain itu, sekitar 1,1 miliar orang menggunakan tembakau—yang berisi salah satu bahan yang paling adiktif dari semua narkoba. Banyak orang sangat ingin menghentikan kebiasaan ini, tetapi mereka merasa diperbudak. Apakah Yehuwa terbukti efektif sebagai Pembebas orang-orang dari bentuk-bentuk perbudakan yang sangat kuat ini?a
Perhatikan contoh Ricardo. ”Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya sadar bahwa alkohol mengendalikan kehidupan saya,” jelas Ricardo. ”Hal itu merongrong perkawinan, pekerjaan, dan keluarga saya, dan saya tahu bahwa saya tidak akan pernah mengatasi problem-problem saya jika saya tidak dapat meluputkan diri dari cengkeramannya. Dari pelajaran Alkitab, saya tahu bahwa kemiskinan—harfiah maupun rohani—menghantui para peminum berat. (Amsal 23:20, 21) Saya ingin memiliki hubungan yang baik dengan Allah, dan doa-doa tulus saya yang memohonkan bantuan Allah memungkinkan saya jujur pada diri sendiri. Seorang pria memberikan pengajaran Alkitab kepada saya dan terbukti menjadi sahabat yang sangat berharga. Ketika saya kambuh, ia tidak putus asa menghadapi saya, tetapi dengan sabar dan kukuh memperlihatkan kepada saya haluan yang Allah gariskan bagi orang Kristen sejati.”
Sekarang, Ricardo merasa dibebaskan dari perbudakannya yang dahulu—setidaknya dalam arti relatif. Ia dengan terus terang mengakui bahwa pada mulanya ia sewaktu-waktu kambuh. ”Tetapi, meskipun adanya kegagalan,” katanya, ”hasrat saya untuk melayani Yehuwa dengan setia, disertai dukungan istri saya dan rekan-rekan Kristen lainnya, telah membantu saya untuk mengendalikan situasinya. Saya menantikan saat yang telah Allah janjikan manakala ’tidak ada orang yang mengatakan, ”aku sakit” ’ dan kecanduan alkohol akan menjadi perkara masa lalu. Sementara itu, saya akan meneruskan pergumulan saya setiap hari untuk mempersembahkan tubuh saya sebagai ’korban yang hidup, kudus, diperkenan Allah’.”—Yesaya 33:24; Roma 12:1.
Di seputar dunia, beribu-ribu orang telah merasakan langsung pertolongan Allah seraya mereka berupaya membebaskan diri mereka dari berbagai kecanduan. Memang, andil mereka sangat besar dalam perbudakan diri sendiri, mungkin dengan menyerah kepada berbagai tekanan atau godaan. Meskipun demikian, mereka mendapati bahwa Yehuwa adalah Pembebas yang sangat sabar. Ia tidak segan-segan menolong dan menguatkan semua orang yang dengan sungguh-sungguh mau melayani-Nya.
”Kebenaran Itu Akan Memerdekakan Kamu”
Bagaimana dengan perbudakan oleh dusta dan tipu daya? Yesus Kristus meyakinkan kita bahwa kemerdekaan dari hal-hal itu bisa diperoleh. ”Jika kamu tetap ada dalam perkataanku,” katanya, ”kamu benar-benar muridku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8:31, 32) Sewaktu ia mengatakan hal itu, banyak dari pendengarnya diperbudak oleh kaidah yang kaku dari tradisi Farisi. Bahkan, Yesus mengatakan tentang para pemimpin agama pada zamannya, ”Mereka mengikat tanggungan-tanggungan yang berat dan menaruhnya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau memindahkannya dengan jari tangan mereka.” (Matius 23:4) Ajaran Yesus memerdekakan orang dari perbudakan demikian. Ia membuka kedok dusta keagamaan, bahkan mengidentifikasi sumber mereka. (Yohanes 8:44) Dan, ia mengganti dusta tersebut dengan kebenaran, dengan jelas menyingkapkan tuntutan-tuntutan Allah yang masuk akal bagi umat manusia.—Matius 11:28-30.
Seperti murid-murid Yesus, ribuan orang dewasa ini mendapati bahwa dengan pertolongan Allah, mereka dapat membebaskan diri dari dusta agama dan tradisi yang salah yang telah memperbudak mereka. Setelah mempelajari kebenaran Alkitab yang menyegarkan, mereka mendapati diri terbebas dari rasa takut yang menekan akan orang mati, terbebas dari teror siksaan kekal dalam api neraka yang menyala-nyala, dan terbebas dari tekanan untuk membayar sejumlah uang, yang dengan susah payah diperoleh, untuk pelayanan keagamaan yang dilakukan oleh para pemimpin agama yang mengaku mewakili Kristus—yang mengatakan, ”Kamu menerima dengan cuma-cuma, berikan dengan cuma-cuma.” (Matius 10:8) Selain itu, suatu kemerdekaan yang bahkan lebih besar lagi akan segera tiba.
Perbudakan yang Paling Terselubung
Perhatikan bagaimana Yesus menguraikan suatu bentuk perbudakan yang terselubung, seperti yang disebutkan di awal, yang mempengaruhi setiap pria, wanita, dan anak di bumi, ”Sesungguh-sungguhnya aku mengatakan kepadamu: Setiap orang yang berbuat dosa adalah budak dosa.” (Yohanes 8:34) Siapakah yang dapat mengklaim bahwa ia tidak berdosa? Bahkan, rasul Paulus mengakui, ”Yang baik yang aku inginkan, tidak aku lakukan, tetapi yang buruk yang tidak aku inginkan, itulah yang aku praktekkan.” (Roma 7:19) Meskipun tidak seorang pun dapat memerdekakan diri sendiri dari belenggu dosa, keadaan kita bukannya tanpa harapan.
Yesus meyakinkan para muridnya, ”Jika Putra memerdekakan kamu, kamu akan benar-benar merdeka.” (Yohanes 8:36) Penggenapan janji ini akan berarti kemerdekaan sejati dari segala bentuk perbudakan yang paling merusak. Untuk mengerti caranya kita dapat meluputkan diri darinya, pertama-tama kita harus mengetahui bagaimana pada mulanya kita sampai diperbudak.
Alkitab menyingkapkan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas memilih, tanpa kecenderungan berdosa. Namun, seorang putra rohani Allah, yang tidak kelihatan dan mementingkan diri, ingin memperoleh kekuasaan atas umat manusia, tidak peduli bahwa hal ini akan membuat manusia menderita. Untuk mencapai tujuan itu, malaikat pemberontak ini, yang belakangan disebut Setan si Iblis, menyebabkan orang tua pertama kita, Adam dan Hawa, menjauh dari Allah. Setelah Adam dengan sengaja tidak menaati instruksi spesifik Allah, ia bukan hanya menjadi seorang pedosa melainkan juga mewariskan ketidaksempurnaan dan kematian kepada semua keturunannya. (Roma 5:12) Akhirnya, Setan menjadi ”penguasa dunia ini”, dan ’dosa berkuasa sebagai raja bersama kematian atas umat manusia’.—Yohanes 12:31; Roma 5:21; Penyingkapan (Wahyu) 12:9.
Bagaimana kita dapat dimerdekakan? Dengan menjadi murid Yesus, kita dapat memperoleh manfaat dari kematian Kristus sebagai korban yang memiliki kuasa untuk ”meniadakan pribadi yang mempunyai sarana penyebab kematian, yaitu si Iblis” dan untuk ”memerdekakan semua orang yang oleh karena takut akan kematian, berada dalam perbudakan sepanjang kehidupan mereka”. (Ibrani 2:14, 15) Bayangkan itu—kemerdekaan dari perbudakan dosa dan kematian! Bukankah gagasan kemerdekaan semacam ini menggugah kita?
Namun, bagaimana dengan bentuk perbudakan yang kita bahas di awal? Apakah akan ada akhir dari perbudakan paksa atas manusia ini?
Dasar Harapan yang Pasti
Tentu saja, kita dapat yakin bahwa bentuk perbudakan yang menjijikkan semacam itu akan dilenyapkan. Mengapa? Nah, pertimbangkanlah hal ini: Allah Yehuwa secara langsung bertanggung jawab atas pembebasan terbesar sepanjang sejarah manusia. Anda mungkin sudah mengenal kisah sejarah ini.
Dahulu, bangsa Israel diperbudak oleh Mesir, dipaksa bekerja keras dengan tangan dan diperlakukan dengan brutal. Mereka berseru kepada Allah meminta tolong, dan Dia, karena belas kasihan-Nya yang besar, mendengar mereka dan bertindak. Dengan menggunakan Musa dan Harun sebagai juru bicara-Nya, Yehuwa mengeluarkan tuntutan agar Firaun sang penguasa Mesir membiarkan bangsa Israel pergi dengan merdeka. Raja yang angkuh itu berulang kali menolak, bahkan setelah Yehuwa mendatangkan rangkaian tulah yang menghancurkan ke atas tanah itu. Akhirnya, Allah membuat Firaun menyerah. Akhirnya, bangsa Israel pun merdeka!—Keluaran 12:29-32.
Kisah yang mendebarkan, bukan? Namun, Anda mungkin bertanya-tanya mengapa Allah tidak melakukan sesuatu yang serupa dewasa ini. Mengapa Ia tidak turun tangan dalam urusan-urusan dunia dan mengakhiri perbudakan? Ingatlah, Yehuwa bukan ’penguasa dunia’—Setan-lah penguasanya. Karena tantangan yang dahulu timbul di Eden, Yehuwa mengizinkan Musuh yang fasik ini berkuasa untuk waktu yang terbatas. Perbudakan, penindasan, dan kekejaman benar-benar merupakan ciri khas kekuasaan Setan. Di bawah pengaruh semacam ini, pemerintahan manusia telah membangun sejarah yang menyengsarakan. Alkitab dengan tepat menyimpulkan sejarah itu, ”Manusia menguasai manusia sehingga ia celaka.”—Pengkhotbah 8:9.
Namun, untuk berapa lama? Alkitab menjelaskan bahwa kita hidup pada ”hari-hari terakhir”, saat manakala sifat mementingkan diri dan ketamakan akan merajalela. (2 Timotius 3:1, 2) Hal ini berarti bahwa tidak lama lagi, Kerajaan Allah, yang diajarkan Yesus kepada kita agar didoakan, akan mewujudkan suatu masyarakat yang adil-benar yang di dalamnya perbudakan akan dilarang. (Matius 6:9, 10) Yesus Kristus, Raja yang dilantik Allah, akan mengambil tindakan untuk memapas habis setiap sisa perbudakan hingga musuh yang terakhir, kematian, ditiadakan.—1 Korintus 15:25, 26.
Ketika hari itu akhirnya tiba, umat manusia yang setia akan menyaksikan bahwa kemerdekaan umat Allah dari perbudakan di Mesir hanyalah sebuah gambaran pendahuluan yang kecil dari kebebasan yang jauh lebih besar ini. Ya, pada waktunya, ”ciptaan itu sendiri juga akan dimerdekakan dari keadaan sebagai budak kefanaan”. Akhirnya, semua orang dapat menikmati sepenuhnya ”kemerdekaan yang mulia sebagai anak-anak Allah”.—Roma 8:21.
[Catatan Kaki]
a Pada abad pertama, kegelojohan merupakan hal yang umum dalam perjamuan besar orang Romawi. Karena itu, orang Kristen diingatkan agar tidak membiarkan makanan atau apa pun yang serupa dengan hal itu memperbudak mereka.—Roma 6:16; 1 Korintus 6:12, 13; Titus 2:3.
[Gambar di hlm. 7]
Diperkirakan bahwa di Amerika Serikat saja, sekitar enam juta orang menjadi budak judi
[Gambar di hlm. 7]
Ratusan juta orang diperbudak narkoba, alkohol, dan tembakau
[Gambar di hlm. 8, 9]
Seperti Ricardo, ribuan orang telah merasakan sendiri pertolongan Allah untuk memerdekakan diri dari kecanduan
[Gambar di hlm. 10]
Sebagaimana Israel dahulu kala dimerdekakan dari perbudakan, tidak lama lagi para penyembah Allah yang sejati akan menikmati kebebasan yang jauh lebih besar
-