PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Kepulauan Solomon
    Buku Kegiatan 1992
    • Selama Saudara Fanidua tinggal dua minggu di kota Gizo, ia dianjurkan meneruskan pekerjaan pengabarannya oleh perwira polisi distrik tersebut, yang juga memberi tahu dia dan rekannya untuk menghubungi dia jikalau mereka menghadapi problem apa pun di daerah kekuasaannya yang meliputi kelompok Pulau New Georgia. Tidak lama kemudian perintis-perintis itu tiba di Munda, suatu tempat pemukiman di Lagoon Roviana di Pulau New Georgia.

      Sebenarnya Munda merupakan serangkaian desa-desa kecil yang terletak di tepi sebuah landasan pesawat yang dibangun pada awal 1940-an oleh tentara Jepang. Belakangan Angkatan Udara Amerika Serikat mengambil alih landasan udara itu, memperbesarnya dan menggunakannya selama sisa Perang Dunia ke II. Suku-suku di daerah ini merupakan masyarakat matriakhat. Saudara Fanidua mengenang, ”Sewaktu kami tiba di Munda dengan menggunakan kapal pos pemerintah, kami mulai bertanya-tanya di mana dan dengan siapa kami akan tinggal dan bagaimana sambutan orang-orang terhadap kebenaran di daerah baru ini. Kami berjalan di sepanjang jalan yang berada di tepi Lagoon dan tidak lama kemudian tiba di depan rumah Taude Kenaz, seorang Malaita. Saya tahu Taude akan menyambut kami, karena ia seorang yang juga berasal dari Kwara’ae, namun apakah kami akan dapat tinggal di rumahnya sewaktu di Munda sebagian besar bergantung pada sambutan yang akan kami terima dari pemilik tanah, yaitu ibu mertuanya yang sudah janda, Miriam.”

      Miriam seorang anggota yang terkenal dan dihormati dan dari suku Roviana di Pula New Georgia. Miryam bukan hanya mempunyai kuasa sebagai pemilik tanah tetapi juga sangat berpengaruh di gereja United. Almarhum suaminya telah berperan dalam memperkenalkan agama itu di daerah mereka. Karena Miriam sebelumnya bermimpi bahwa ia akan kedatangan beberapa pengunjung yang luar biasa, ia tidak dapat mempercayai penglihatannya sewaktu melihat kedua perintis dengan tas dan Alkitab di tangan berdiri di depan pintunya. Dengan segera ia mengundang mereka tinggal di rumahnya, suatu kejutan bagi para perintis tersebut. Sikap suka memberi tumpangannya terbukti merupakan berkat bagi seluruh keluarganya. Para perintis mengupayakan adanya pelajaran setiap malam dengan semua yang menunjukkan kebaikan hati ini. Miriam dan puterinya, Ester, dan Taude, suami Ester, adalah tiga orang baik hati tersebut.

      Selama masa inilah, pada tahun 1970, pengawas-pengawas keliling John Cutforth dan Jim Smith mengunjungi Munda dalam perjalanan kembali mereka ke Papua Nugini. Sewaktu melihat dengan cepat potensi minat di Munda, Saudara Smith memberi tahu para perintis bahwa adalah baik bila mereka dapat tinggal sampai sebuah sidang didirikan. Kedua pengawas ini dengan rajin membantu para perintis untuk mengorganisasi perhimpunan-perhimpunan. Untuk pertama kalinya, nyanyian pujian kepada Yehuwa terdengar di Pulau New Georgia! Seraya meninggalkan para perintis di Munda untuk memelihara para domba, pengawas-pengawas keliling itu pergi ke daerah-daerah lain.

      Tiba-tiba, pada suatu malam, para perintis dengan kasar dibangunkan oleh sekelompok orang-orang yang sedang marah. Gerombolan dipimpin oleh seorang polisi yang sedang tidak bertugas, yang dengan keras memerintahkan saudara-saudara untuk mengosongkan daerah itu dengan segera. Saudara Fanidua berpaling kepada gerombolan orang-orang itu dan memberi tahu mereka apa yang telah dikatakan oleh perwira polisi kepada mereka di Gizo, ”Seandainya kalian menghadapi problem apa pun di daerah yang di bawah kekuasaan saya, pastikan untuk menghubungi saya.” Mendengar hal ini, polisi itu menjadi takut, dan gerombolan orang bubar. Akan tetapi, berita mengenai gangguan ini dengan cepat tersebar dan didengar di Gizo oleh perwira polisi itu sendiri.

      Dengan segera perwira polisi itu menaiki pesawat pergi ke Munda. Segera setelah ia tiba, Saudara Fanidua diminta untuk datang ke kantor polisi setempat. Sewaktu memasuki kantor polisi, Saudara Fanidua memperhatikan bahwa dua perwira polisi setempat yang berpangkat tinggi hadir di sana. Kemudian jelaslah baginya; wawancara dengan perwira polisi itu adalah demi kefaedahan dua perwira polisi setempat. Setelah Saudara Fanidua menjelaskan mengapa dia dan rekannya datang ke Munda, perwira polisi itu meringkaskan pemeriksaan itu dengan berkata, ”Saya mempunyai agama sendiri, Anda, Albert [seraya menunjuk kepada seorang perwira], mempunyai agama. Anda, Aleks [yaitu perwira polisi yang satunya], mempunyai agamamu sendiri. Undang-undang Kepulauan Solomon menjamin kebebasan beribadat kepada siapa pun. Para Saksi itu tinggal di rumah Miriam atas undangannya. Ia seorang pemilik tanah yang terhormat, dan merupakan haknya yang sah sepenuhnya dan turun-temurun untuk mengundang orang-orang dari agama apa pun ke rumahnya sendiri, dan kalian sebagai penegak-penegak hukum, apakah sedang bertugas atau tidak, tidak berhak untuk mencegah Miriam menunjukkan minatnya terhadap Saksi-Saksi Yehuwa.” Dia mengakhirinya dengan menaruh dua perintis dalam pengawasan dan perlindungan khusus dari perwira-perwira polisi setempat.

  • Kepulauan Solomon
    Buku Kegiatan 1992
    • Maka Turunlah Salib di Propinsi Temotu

      Kira-kira 900 kilometer sebelah tenggara Honiara terletak Propinsi Temotu, yang mencakup pulau-pulau luar sebelah timur Kepulauan Solomon termasuk Kepulauan Santa Cruz. Propinsi Temotu situasinya khas. Hanya satu agama terdapat di sana, Gereja Anglikan. Selama bertahun-tahun tidak ada agama lain yang dapat mengesankan orang-orang yang berpikiran serius dari kepulauan tersebut. Namun pada tahun 1976, John Mealue, seorang pendeta awam Anglikan, dikirim ke Papua Nugini oleh gerejanya untuk belajar sebagai penerjemah dari bahasa-bahasa setempat. Suasana keagamaan dari propinsi itu akan berubah.

      Sewaktu tinggal di Papua Nugini, pada suatu pagi John membuka pintu untuk seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa. John mencicipi kabar baik Kerajaan. Setelah beberapa pembahasan, dengan cepat John menyadari bahwa apa yang didengarnya adalah kebenaran Alkitab. Meskipun dia telah terpilih untuk menjadi uskup Anglikan berikutnya dari Kepulauan Santa Cruz, ia mengundurkan diri dari pelajaran bahasanya dan kembali ke Kepulauan Solomon. Dalam perjalanan pulang ke Kepulauan Santa Cruz, ia singgah di kantor cabang di Honiara dan bertanya apakah seseorang dapat mengunjungi pulaunya untuk mendirikan sebuah sidang. Dengan segera kantor cabang membuat penyelenggaraan.

      Kembali di desanya, John mulai memberi kesaksian kepada saudara jasmaninya, James Sopi dan Drawman Alilvo, keduanya guru sekolah, namun mereka menentang beritanya. Saudara-saudaranya maupun yang lain-lain ingin tahu mengapa ia telah kembali. Secara langsung ia menjawab mereka dan memberi tahu mereka tentang kekecewaannya terhadap kaum pendeta. ”Selama ini mereka telah berdusta terhadap kita,” katanya, dan ia memberikan contoh-contoh kepada mereka. Ingatlah, bahwa sampai saat itu, John belum pernah diajar bagaimana caranya memberi kesaksian yang bijaksana. Pada suatu waktu, dengan kapak di tangannya, ia berjalan di tengah-tengah desa Malo dan menebang jatuh salib besar, menyeretnya di tanah dan melemparkannya ke laut. Tidak seorang pun yang berani menangkap dia. Namun, perbuatannya ini bukan hanya menyebabkan dia harus menghadap ke pengadilan pada suatu hari, tetapi karena dia telah menebang lambang suci mereka, para pemimpin agama meramalkan bahwa dalam waktu delapan hari John akan tewas.

      Delapan hari kemudian John masih hidup. Ini merupakan titik balik bagi orang-orang yang bersifat domba. Berita mengenal hal ini tersebar cepat, dan sewaktu John muncul di pengadilan, yang penuh bukan hanya ruang pengadilan setempat melainkan seluruh penjuru Lata Station, ibu kota propinsi Temotu, juga hiruk pikuk dengan orang-orang.

      Suasananya begitu sunyi senyap di ruang pengadilan sewaktu John berdiri untuk membela diri. Dia mengimbau kepada hati nurani orang banyak seraya ia berbicara secara rinci tentang asal usul salib, kemunafikan Susunan Kristen, dan bagaimana kaum pendeta telah membiarkan dia dan orang-orang sedaerahnya, secara rohani, tetap berada dalam Abad-Abad Kegelapan. Dalam menyampaikan vonisnya, hakim berkata, ”Tuduhan ditolak. Akan tetapi, Anda harus membayar denda sebesar 20 dolar karena menghancurkan milik pribadi.”

      Kaum pendeta kalah; mereka menginginkan John dihukum kerja paksa di penjara. Sejumlah orang termasuk saudara-saudaranya, James dan Drawman, terpengaruh oleh apa yang mereka dengar di pengadilan dan belakangan memeluk kebenaran.

      Cara Damai untuk Memberitakan

      Pada tahun 1981, Billy Kwalobili dan Joe Kwasui tiba di lapangan terbang Lata di Propinsi Temotu setelah selesai bekerja selama dua tahun dalam pembangunan kantor cabang. Mereka berharap untuk membantu agar kebenaran bertumbuh di daerah baru ini. Penyiar-penyiar baru yang memenuhi syarat perlu belajar bahwa ’seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang.’ (2 Tim. 2:24) Misalnya, pada suatu hari sewaktu sekelompok penyiar keluar untuk memberi kesaksian, segerombolan orang Anglikan yang marah yang dihasut oleh kaum pendeta menyerang salah seorang penyiar dan memerintahkan yang lain-lain untuk tidak mengabar di kampung mereka. Penyiar-penyiar baru berpikir bahwa satu-satunya jalan untuk melakukan pekerjaan kesaksian adalah dengan menyingkirkan penghalang yaitu gerombolan orang-orang itu dengan kekerasan. Maka mereka memukul dan melawan gerombolan orang-orang itu, dan mematahkan kaki dari salah seorang penentang! Untunglah, sebagai hasil pengajaran Lembaga dan teladan para perintis, dengan melewati saat-saat yang mendebarkan, para penyiar baru akhirnya mengetahui cara damai untuk memberitakan.

      Billy dan Joe menghadapi tantangan-tantangan lain juga. Pengawas-pengawas wilayah dan distrik akan tiba dalam waktu tiga minggu untuk menyelenggarakan kebaktian wilayah pertama sekali di Kepulauan Santa Cruz. Akan tetapi, ada suatu masalah besar; mereka tidak memiliki tempat kebaktian. Segera upaya dilakukan agar memperoleh sebidang tanah untuk Balai Kerajaan. Namun di mana? Meskipun ada banyak peminat di Nemba, ada tentangan kuat dari Gereja Anglikan. Sayangnya, para pemilik tanah tradisional semuanya merupakan anggota gereja dan menentang didirikannya Balai Kerajaan di daerah mereka. Maka keputusannya adalah untuk membangun di kampung asal John Mealue, di Pulau Malu’u, tiga jam mengayuh sampan dari Nemba.

      Sewaktu para perintis menghampiri John dengan cara ini, ia menjawab, ”Inilah apa yang saya inginkan sejak dahulu.” Maka pada hari itu juga, pembangunan dimulai dengan kecepatan tinggi. Pada waktu pembangunan sedang berjalan, pengawas wilayah tiba untuk kunjungan yang biasa ke sidang, maka ia pun ikut serta dalam pekerjaan pembangunan. Tepat pada waktunya, sebuah balai yang rapi, dibangun dengan baik dari daun-daun rumbia, dengan atap, panggung dan tiga sisi yang terbuka, berdiri dan siap untuk menampung orang banyak guna menghadiri acara kebaktian.

      Pada waktunya John, James, dan Drawman, beserta istri-istri mereka, dibaptis. Ketiga saudara jasmani ini sangat dihargai oleh Gereja Anglikan, tetapi setelah mereka menerima kebenaran, maka kaum pendeta menekan pejabat-pejabat pendidikan agar James dan Drawman dipecat dari pekerjaan mereka. Namun ini tidak melemahkan semangat kedua saudara ini. Mereka memutuskan untuk mencari nafkah dari berkebun dan menjadi nelayan dan menggunakan waktu mereka untuk mengabar dari rumah ke rumah tentang harta yang sejati, kebenaran-kebenaran kerajaan yang menakjubkan. Tidak lama kemudian lebih banyak orang lagi yang bergabung dengan mereka. Akhirnya, sebuah Balai Kerajaan dibangun di Nemba.

  • Kepulauan Solomon
    Buku Kegiatan 1992
    • Suatu Gigitan ”yang Berbeda” di Pulau Karang

      Beberapa saat setelah John Mealue menerima kebenaran, Michael Polesi dari Gawa di Pulau Karang di bagian timur kelompok pulau-pulau luar, masuk Perguruan Tinggi di Honiara. Michael adalah seorang Anglikan. Pada suatu pagi, sewaktu dia berjalan di dekat pasar tempat para Saksi berdiri di bawah pohon sambil memberikan kesaksian di jalan, dia memperhatikan bahwa beberapa pemuda mengejek atau mengolok-olok beberapa dari penyiar-penyiar yang lebih tua. Olok-olok mereka sering kali khusus ditujukan kepada Benjamin Ru’u, seorang Saksi yang sebagian dari salah satu kakinya diamputasi. Sewaktu Michael melihat dia berjalan dengan bantuan kaki palsu dari lututnya ke bawah, dia merasa iba kepada Benjamin dan mengambil buku Kebenaran yang Membimbing Kepada Hidup yang Kekal dari dia. Dia membawa buku itu pulang ke Malu di Kepulauan Santa Cruz, tempat dia mengajar di sekolah dasar.

      Di sana dia dihubungi oleh Drawman, saudara dari John Mealue, yang pada waktu itu masih sebagai guru sekolah dasar. Michael merasa berbahagia bahwa seseorang dapat membantunya memahami Alkitab. Sayangnya, tahun ajaran sekolah hampir berakhir, dan Michael akan segera pulang ke rumahnya dan keluarganya di Pulau Karang. Pada saat dia bersiap-siap untuk pulang, dia telah membaca tiga pasal dari buku Kebenaran. Akan tetapi, meskipun pengetahuan mengenai Alkitab sangat terbatas, dia mulai mengabar di kampung halamannya.

      Karena Michael tidak berhenti berbicara di depan umum tentang kebenaran, kaum pendeta menekan pejabat-pejabat pendidikan di Lata Station untuk memecatnya, sama seperti yang belakangan mereka lakukan kepada James dan Drawman. Michael memutuskan untuk menggarap tanah. Dia dan istrinya, Naomi, serta anak-anak mereka, akhirnya terpaksa meninggalkan kampung mereka sebagai orang-orang buangan. Jauh dari kampung mereka, mereka membangun sebuah rumah baru dan belakangan sebuah Balai Kerajaan. Sewaktu mereka meninggalkan kampung mereka, mereka membawa serta seekor anjing kecil bernama Different (yang berbeda), karena, seperti tutur Michael, ”Ini merupakan suatu tanda yang menunjukkan bahwa kami betul-betul berbeda dari dunia.” Sampai hari ini ini, menurut Michael, Different kelihatannya mengetahui perbedaan juga karena dia hanya menggigit pantat dari orang-orang yang bukan Saksi Yehuwa atau orang berminat.”

      Tetapi kembali ke cerita kita. Belakangan, James Sopi, Billy Kwalobili, dan Joe Kwasui tiba dengan kapal dari Kepulauan Santa Cruz selama tujuh hari untuk memberikan anjuran rohani kepada Michael dan membantu dia memelihara para peminat. Michael menjadi seorang pengabar yang bergairah dan belakangan dibaptis di Kebaktian Distrik di Honiara. Jumlah dari mereka yang bergabung dengan Michael sebagai penyiar-penyiar di Pulau Karang terus bertambah. Maka pada tahun 1984, David Kirite’e dan Ben Ramo tiba sebagai perintis-perintis istimewa. Akan tetapi, segala sesuatunya tidak berjalan mulus bagi mereka.

      Daun-Daun Berseru

      Salah satu dari problem-problem yang dialami David dan Ben sebagian disebabkan karena permusuhan yang timbul antara beberapa penduduk Pulau Karang dengan orang-orang Malaita. Sikap bermusuhan ini berkembang setelah terjadinya perkelahian antara kelompok-kelompok Anglikan yang bersaing di Honiara, yang terjadi sekitar saat tibanya para perintis. Maka timbul kesulitan bagi para perintis istimewa Malaita ini pergi sendirian ke mana pun untuk mengabar. Yang lebih memberatkan problem mereka, orang-orang hidup dalam ketakutan akan uskup dan imam-imam mereka. Kaum pendeta sering kali mengunjungi orang-orang untuk melihat apakah ada publikasi Lembaga di rumah mereka. Bila kedapatan, penghuni rumah pasti akan menerima teguran keras dan akan dipaksa untuk menyerahkan publikasi itu kepada imam-imam agar dimusnahkan. Oleh karena itu, sangatlah sulit untuk mengabar kepada siapa pun; orang-orang akan lari bila mereka melihat para Saksi datang.

      Para perintis menyadari bahwa mereka harus menggunakan cara lain untuk mengabar. ”Kami memutuskan untuk menggunakan daun-daun,” kata mereka. ”Kami akan pergi ke tempat jalan-jalan kecil yang menuju ke hutan, persimpangan dan memetik selembar daun yang besar di pohon yang berdekatan dan menuliskan ayat Alkitab pada daun-daun itu dengan huruf besar dan dengan huruf-huruf yang lebih kecil untuk penjelasan ayat itu. Kemudian dalam huruf-huruf yang sangat kecil, kami akan menulis, ’Bila Anda ingin memahami lebih banyak tentang ayat ini, silakan menulis kepada Saksi-Saksi di Kepulauan Solomon, atau tanyakanlah kepada Saksi mana pun yang dekat dengan tempat tinggal Anda.’”

      David dan Ben menceritakan kepada kita suatu contoh lain dari suatu kesaksian daun, ”Kami menuliskan sebuah tema, ’Kerajaan Allah’, dan kemudian di bawahnya, ayat pertama, Matius 24:14, dengan kata-kata ’Kami harus memberitakan hal ini.’ Dan kemudian di bawahnya, sebuah pertanyaan, ’Apakah yang akan dilakukan oleh Kerajaan Allah ini?’ Dan kemudian ayat terakhir, Wahyu 21:4.”

      Bila para perintis sedang memberi kesaksian di suatu daerah yang orangnya sangat menentang kebenaran, mereka akan menggunakan Mazmur 37:9 sebagai ayat terakhir di daun: ”Orang-orang yang jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan [Yehuwa] akan mewarisi negri.” Kemudian mereka menaruh daun ini di tengah-tengah jalan kecil ke hutan yang banyak dilalui orang dan pergi. Apakah cara pengabaran seperti ini mendatangkan hasil-hasil yang baik?

      Pada suatu hari salah seorang perintis menuliskan sebuah khotbah di selembar daun dengan bolpoin dan dengan hati-hati menaruhnya di tengah-tengah jalan yang banyak dilalui orang. Dia pergi ke suatu tempat yang berdekatan dan bersembunyi di antara pohon-pohon. Dia menunggu, ingin tahu siapa yang akan mengambil daun itu. Dia merasa kaget karena seekor anjing berkeliaran di jalan itu dan berhenti sejenak sambil menghembus-hembus daun itu. ”Saya berpikir anjing itu dapat membaca,” kata penyiar itu penuh humor. ”Karena dia mulai menggonggong ke arah daun itu. Anjing itu menjadi bersemangat dan begitu ribut sehingga seorang pemburu di semak-semak di dekatnya berpikir bahwa anjing itu telah menemukan seekor musang atau seekor biawak terperangkap di sebuah pohon. Maka pemburu itu lari ke tempat itu dan hanya menemukan anjing itu sedang menggonggong dan menggaruk daun itu. Dia mendorong anjing itu ke pinggir dan dengan hati-hati mengambil daun itu. Dia dengan sejenak membaca khotbah di daun itu dan kemudian dengan sama hati-hatinya menaruh kembali berita daun itu di tengah-tengah jalan.

      Perintis itu menutup kisahnya, ”Belakangan seraya saya melewati rumah pemburu itu, ia berseru kepada saya, ’Apakah Anda menaruh sesuatu di jalan?’ Kami memulai suatu pembahasan Alkitab yang segera menjadi pengajaran Alkitab yang tetap tentu. Kini orang itu dan seluruh keluarganya merupakan penyiar-penyiar kabar baik.”

      Orang Buta yang Melihat

      Billy Kwalobili menikah pada tahun 1986, dia dan istrinya, Lina, ditugaskan ke Pulau Karang sebagai perintis-perintis istimewa. Salah satu dari siswa-siswa Alkitab yang mereka sukai adalah seorang pemuda, Eriki, yang buta. Eriki merasa takjub akan suara-suara burung dan serangga dan dapat menirunya dengan sempurna. Melalui pengajaran Alkitabnya bersama Saudara dan Saudari Kwalobili, dia belajar tentang Dia yang menciptakan makhluk-makhluk tersebut. Ia juga belajar mengapa orang-orang sakit dan mengapa dia buta. Billy membacakan semua paragraf-paragraf dari bahan pelajaran dengan suara keras; Eriki mendengar dengan sungguh-sungguh dan kemudian menjawab pertanyaan dari paragraf itu dengan kata-kata sendiri. Eriki mengingat lebih dari 30 ayat.

      Sewaktu seorang pengawas keliling mengunjungi Eriki, ia menganjurkan, ”Jangan tahan dia. Biarkan dia mengabar.” Pada akhir minggu itu juga, Eriki bergabung dengan delapan penyiar yang lain seraya mereka melewati jalan melalui semak-semak yang lebat ke daerah itu. Pengawas keliling memegang salah satu ujung dari sebuah payung dan Eriki memegang ujung yang lainnya, dan cepat mengikuti dari belakang. Berkali-kali, suatu seruan terdengar, ”Berhati-hatilah! Ada sebatang kayu membentang di jalan!” atau, ”Awas ada batu di sebelah kiri!” maka Eriki akan mengangkat kakinya dan memanjat kayu itu atau melangkah ke samping untuk menghindari batu. Banyak orang mendengar kepada Eriki seraya ia berkata tentang harapannya, dan sewaktu ia mengutip ayat-ayat dari ingatannya, mereka menggelengkan kepala karena takjub, seraya mereka mengikutinya dari Alkitab mereka.

      Pada akhir kunjungan, Eriki berkata kepada pengawas keliling, ”Ada tiga hal yang saya betul-betul ingin untuk miliki kalau dapat.” Sewaktu ditanya apa hal-hal yang diinginkannya itu, ia menjawab, ”Sebuah Alkitab, buku nyanyian, dan sebuah tas untuk mengabar!”

      ”Tetapi mengapa Saudara membutuhkan hal-hal itu, Eriki?” tanya pengawas keliling. Eriki menjawab, ”Dengan demikian bila saya pergi ke Balai Kerajaan atau keluar dalam dinas, saya dapat bergabung dengan saudara-saudara dan saudari-saudari. Bila saya pergi mengabar, orang-orang mungkin tidak percaya akan apa yang saya katakan, tetapi bila saya menunjukkan kata-kata itu dalam Alkitab saya, mereka dapat mengikutinya. Dan supaya dapat membawa Alkitab dan buku nyanyian, saya memerlukan sebuah tas.” Dengan segera, Eriki diberi dua hadiah—sebuah Alkitab yang baru dan sebuah buku nyanyian. Karena saudara-saudara tidak memiliki tas kulit, mereka memotong karung beras menjadi dua dan menjahit kain untuk menggantung tas itu pada bahu. Eriki juga diberi ’tas berasnya’ untuk mengabar. Seperti suatu mimpi yang menjadi kenyataan baginya. Seluruh sidang ikut bersukacita dengan dia!

  • Kepulauan Solomon
    Buku Kegiatan 1992
    • Kabar Baik Menjangkau Propinsi Makira

      Pada tahun 1984 suatu daerah yang belum pernah dijelajahi oleh Saksi-Saksi mana pun terbuka. Itu adalah Pulau San Cristobal, yang penduduk kampung-kampungnya masih dikuasai oleh semangat kesukuan. Sulit menugaskan para perintis untuk mengabar di pulau itu karena cara hidup kesukuan yang turun-temurun tidak memberi peluang adanya tamu-tamu. Akan tetapi, prospek untuk pengabaran mulai kelihatan lebih cerah sewaktu seorang saudara, operator alat berat, dikirim ke San Cristobal oleh perusahaannya. Kantor cabang dengan cepat memanfaatkan hal ini dan mengirimkan James Ronomaelana, perintis istimewa dan kini anggota Panitia Cabang, ke San Cristobal untuk mengevaluasi kemungkinan membuka pekerjaan di situ.

      Sewaktu memberi kesaksian di pulau itu, pada mulanya James harus menahan banyak tentangan, dan pada suatu hari ia terkejut ketika melihat suatu tulisan yang memperingatkan, ”Orang-orang dari Yehuwa! Jangan memasuki daerah ini tanpa izin.” Namun demikian, saat-saat yang melemahkan demikian tidaklah memadamkan kegairahannya, justru ia telah diberkati dengan pengalaman yang mendebarkan. Ia menceritakan, ”Di sebuah kampung, saya menghampiri sebuah rumah besar. Penghuni rumah memiliki perkebunan kelapa dan ternak dan jelas lebih kaya dari tetangga-tetangganya. Maka saya berpaling dari rumah ini, seraya berpikir bahwa orang ini pasti tidak mempunyai waktu untuk kebenaran. Sewaktu saya berjalan pergi, saya mulai menimbang tindakan saya yang memalukan tersebut. Dengan bersungguh-sungguh saya bertanya kepada diri sendiri, ’Mengapa saya berpaling menjauhi tempat ini?’ dan kemudian dengan berani menjawab, ’Yehuwa mengirimkan saya ke sini, dan mungkin ini adalah yang terakhir kali saya akan berada di sini. Saya harus pergi dan berbicara kepada orang itu!’”

      Sewaktu ia sampai di rumah itu, ia bertemu dengan pemiliknya, Oswald dan Rachel Oli. Dengan penuh semangat James membuka percakapan dengan menunjukkan bahwa Allah mempunyai nama, dan Dia memiliki maksud-tujuan bagi bumi. Suami-istri itu gembira mengetahui bahwa Allah mempunyai maksud-tujuan untuk memulihkan firdaus di bumi. Pada kunjungan kedua, suatu pengajaran Alkitab dimulai. Oswald dan Rachel dengan cepat menyelaraskan kehidupan mereka dengan prinsip-prinsip Yehuwa yang adil-benar. Karena Oswald adalah penyumbang besar bagi gereja, tidak heran bahwa tentangan yang keras dari Gereja Anglikan diarahkan kepadanya. Pada waktu itu juga, perintis-perintis istimewa ditugaskan untuk membuka daerah itu lebih lanjut, yang menambah kepada kemarahan pastor-pastor setempat begitu rupa sehingga mereka bahkan memerintahkan anggota-anggota mereka menggunakan kekerasan untuk membungkamkan para perintis.

      Para perintis maupun Oswald dan keluarganya tidak gentar. Misalnya, sewaktu Hankton Salatalau, seorang perintis istimewa sedang memberi kesaksian kepada seorang peminat, seorang anggota Gereja Anglikan mulai berteriak mengejek Hankton. Sewaktu Hankton dengan penuh respek berjalan pergi, orang itu dengan licik menyerang Hankton dari belakang dan memukul roboh dia ke atas batu-batu karang yang tajam, tanpa belas kasihan menendangi tubuhnya selama lebih dari 15 menit. Orang-orang kampung merasa terkejut sewaktu mereka melihat hal itu dengan rasa ngeri. Akan tetapi, rasa takut yang besar terhadap pastor-pastor mereka menghalangi mereka untuk menolong dia, Hankton berbaring tak berdaya di tanah melindungi kepala dan tubuhnya dengan tangannya. Punggungnya yang berlumuran darah kelihatan seperti sepotong daging mentah yang terbelah oleh batu-batu karang. Akhirnya, beberapa orang kampung memiliki cukup keberanian untuk campur tangan. Mereka menangkap penyerang itu dan menahannya seraya Hankton, yang terluka parah, berjalan pulang.

      Sayangnya banyak orang di pulau itu masih merasa takut akan gereja. Akan tetapi, beberapa orang mulai melihat perbedaan antara Kekristenan sejati dan Susunan Kristen. Pada waktunya ketekunan dari empat perintis istimewa memperoleh imbalan. Dua sidang yang bekerja keras dan berbahagia tumbuh subur di San Cristobal. Oswald, Rachel, dan anak-anak mereka, maupun keluarga Rachel, kini merupakan penyiar-penyiar kabar baik yang tanpa gentar.

  • Kepulauan Solomon
    Buku Kegiatan 1992
    • [Gambar di hlm. 227]

      Daun taro digunakan sebagai payung. Berita-berita juga dapat dituliskan pada daun ini

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan