PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g98 8/9 hlm. 6-8
  • Sewaktu Harapan dan Kasih Lenyap

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Sewaktu Harapan dan Kasih Lenyap
  • Sedarlah!—1998
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Sifat yang Menyelamatkan Kehidupan?
  • Dapat Timbul Keputusasaan
  • Bunuh Diri​—Tulah bagi Kaum Muda
    Sedarlah!—1998
  • Problem Sedunia
    Sedarlah!—2001
  • Mengapa Mereka Mengakhiri Hidup?
    Sedarlah!—2001
  • Bunuh Diri—Epidemi Tersembunyi
    Sedarlah!—2000
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1998
g98 8/9 hlm. 6-8

Sewaktu Harapan dan Kasih Lenyap

SEORANG gadis berusia 17 tahun dari Kanada menuliskan alasan mengapa ia ingin mati. Antara lain, ia mencantumkan: ’Merasa kesepian dan takut akan masa depan; merasa sangat kurang dibandingkan dengan rekan-rekan sekerja lain; perang nuklir; rusaknya lapisan ozon; penampilan saya sangat buruk, jadi saya tidak akan pernah mendapat suami dan akhirnya akan sendirian; saya rasa hidup ini tidak ada artinya, jadi untuk apa saya jalani; jika saya mati, saya tidak lagi membebani orang lain; saya tidak akan pernah disakiti lagi oleh siapa pun.’

Mungkinkah ini adalah sebagian alasan mengapa anak muda bunuh diri? Di Kanada, ”selain kecelakaan kendaraan bermotor, bunuh diri kini merupakan penyebab kematian paling umum di antara mereka”.​—The Globe and Mail.

Profesor Riaz Hassan, dari Flinders University di Australia Selatan, menyatakan dalam makalahnya ”Unlived Lives: Trends in Youth Suicide”, ”Ada beberapa alasan sosiologis sehubungan dengan pertanyaan tersebut dan tampaknya sangat berpengaruh terhadap meningkatnya bunuh diri remaja. Ini adalah tingkat pengangguran remaja yang tinggi; perubahan dalam keluarga Australia; meningkatnya penggunaan dan penyalahgunaan obat bius; meningkatnya tindak kekerasan remaja; kesehatan mental; dan semakin besarnya perbedaan antara ’kebebasan teoretis’ dan kemandirian yang dialami.” Makalah itu selanjutnya menyatakan bahwa hasil beberapa survei menyingkapkan adanya perasaan pesimis akan masa depan dan memperlihatkan bahwa ”sebagian besar kaum muda melihat masa depan mereka dan masa depan dunia dengan rasa takut dan waswas. Mereka membayangkan suatu dunia yang hancur oleh perang nuklir dan polusi serta kemerosotan lingkungan, suatu masyarakat yang tidak manusiawi dengan teknologi yang di luar kendali dan merajalelanya pengangguran”.

Menurut pol Gallup terhadap remaja usia 16 hingga 24 tahun, penyebab tambahan untuk bunuh diri adalah melebarnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin, meningkatnya jumlah rumah tangga dengan orang-tua tunggal, meningkatnya penggunaan senjata api, penganiayaan anak, dan ”ketidakpercayaan akan hari esok” secara umum.

Newsweek melaporkan bahwa di Amerika Serikat, ”keberadaan senjata api boleh jadi merupakan faktor terpenting [dalam bunuh diri remaja]. Sebuah penelitian yang membandingkan para korban bunuh diri remaja yang tidak memperlihatkan gangguan mental dengan anak-anak yang tidak melakukan bunuh diri mendapati satu perbedaan saja: adanya senjata api berpeluru di rumah. Inikah buktinya bahwa senjata api tidak membunuh orang-orang?” Dan, jutaan rumah memiliki senjata api berpeluru!

Rasa takut dan ketidakpedulian masyarakat dapat segera mendorong kaum muda yang lemah untuk bunuh diri. Perhatikan: Tingkat kejahatan disertai tindak kekerasan yang dilakukan terhadap remaja usia 12 hingga 19 tahun besarnya dua kali lipat dibandingkan dengan kejahatan terhadap penduduk secara umum. Penelitian mendapati bahwa ”wanita muda berusia 14 hingga 24 tahun paling besar kemungkinannya diserang”, majalah Maclean’s melaporkan. ”Wanita paling sering diserang dan dibunuh oleh orang-orang yang mengaku mengasihi mereka.” Akibatnya? Hal ini dan rasa takut yang lain ”mengikis kepercayaan dan perasaan aman dari gadis-gadis ini”. Dalam sebuah penelitian, hampir sepertiga wanita yang pernah diperkosa mengaku telah mempertimbangkan untuk bunuh diri.

Sebuah laporan dari Selandia Baru menyajikan sudut pandangan lain dari bunuh diri pada usia muda, dengan menyatakan, ”Nilai-nilai duniawi dan materialistis yang populer menyamakan kesuksesan individu dengan kekayaan, penampilan menarik, dan kekuasaan membuat banyak orang muda merasa tidak berarti dan dibuang oleh masyarakat.” Selain itu, The Futurist mengatakan, ”[Kaum muda] memiliki kecenderungan kuat untuk pemuasan instan, menginginkan segala sesuatu dan ingin segera memperolehnya. Acara TV favorit mereka adalah opera sabun. Mereka ingin agar dunia mereka penuh dengan orang-orang yang sama menariknya, mengenakan pakaian mode terbaru, punya banyak uang dan prestise, dan tanpa kerja keras.” Begitu banyaknya penantian yang tidak realistis dan tidak terpenuhi demikian tampaknya mengakibatkan suatu taraf keputusasaan dan dapat menuntun pada bunuh diri.

Sifat yang Menyelamatkan Kehidupan?

Shakespeare menulis, ”Kasih menghibur bagaikan sinar matahari seusai hujan.” Alkitab mengatakan, ”Kasih tidak pernah berkesudahan.” (1 Korintus 13:8) Dalam sifat itu terdapat kunci untuk problem kaum muda yang cenderung bunuh diri​—kerinduan untuk kasih dan komunikasi. The American Medical Association Encyclopedia of Medicine menyatakan, ”Orang-orang yang ingin bunuh diri biasanya merasa kesepian tanpa harapan, dan kesempatan untuk berbicara kepada seorang pendengar yang simpatik dan berpengertian adakalanya sudah cukup untuk mencegah tindakan yang putus asa itu.”

Kaum muda sering kali sangat membutuhkan kasih dan perasaan dimiliki. Memenuhi hal ini semakin sulit seraya hari-hari berlalu dalam dunia yang menghancurkan dan tanpa kasih ini​—dunia yang di dalamnya mereka nyaris tidak punya wewenang apa pun. Penolakan dari orang-tua akibat keluarga berantakan dan perceraian dapat turut menjadi faktor bunuh diri di kalangan remaja. Dan, penolakan ini banyak bentuknya.

Perhatikan kasus orang-tua yang jarang berada di rumah bersama anak-anak mereka. Ayah dan ibu mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka atau mengejar rekreasi yang tidak melibatkan anak-anak. Secara tidak langsung ini menyiratkan pesan penolakan yang cukup jelas terhadap anak-anak mereka. Wartawan dan peneliti terkemuka, Hugh Mackay, mengomentari bahwa, ”orang-tua semakin mementingkan diri. Mereka mendahulukan diri sendiri guna mempertahankan gaya hidup mereka. . . . Kasarnya, punya anak kini bukan zamannya lagi. . . . Hidup semakin keras dan orang-orang semakin asyik dengan diri sendiri”.

Selain itu, dalam beberapa kebudayaan, pria-pria yang memiliki citra diri jantan mungkin tidak ingin terlihat sebagai pengasuh. Wartawan Kate Legge melukiskannya dengan tepat, ”Pria yang cenderung melayani masyarakat umumnya memilih tugas menyelamatkan kehidupan atau memadamkan kebakaran daripada tugas mengasuh anak . . . Mereka lebih menyukai tugas kepahlawanan melawan kekuatan eksternal yang membutuhkan kekuatan fisik dan tidak perlu banyak bicara daripada tugas yang menyangkut interaksi dengan orang.” Dan, tentu saja, dewasa ini salah satu tugas yang paling banyak menyangkut interaksi dengan orang adalah menjadi orang-tua. Menjadi orang-tua yang buruk sama dengan menolak seorang anak. Akibatnya, putra-putri Anda dapat mengembangkan citra diri negatif dan keterampilan sosial yang buruk. The Education Digest menyimpulkan, ”Tanpa citra positif akan diri sendiri, anak-anak tidak punya dasar untuk membuat keputusan demi manfaat terbaik mereka sendiri.”

Dapat Timbul Keputusasaan

Para peneliti percaya bahwa keputusasaan adalah penyumbang utama bunuh diri. Gail Mason, penulis tentang bunuh diri di kalangan remaja Australia, mengamati, ”Keputusasaan dianggap lebih dikaitkan dengan gagasan untuk bunuh diri daripada depresi. Keputusasaan adakalanya didefinisikan sebagai salah satu gejala depresi. . . . Biasanya ini terlihat dalam bentuk perasaan putus asa dan kecil hati akan masa depan kaum muda secara umum, dan masa depan ekonomi mereka secara khusus: serta yang lebih jarang, perasaan putus asa mengenai situasi global.”

Contoh buruk berupa ketidakjujuran di pihak para pemimpin masyarakat tidak menggugah kaum muda untuk meningkatkan tingkat etika dan moral mereka sendiri. Sikapnya kemudian menjadi, ”Buat apa?” Harper’s Magazine mengomentari kesanggupan kaum muda untuk mendeteksi kemunafikan, dengan mengatakan, ”Kaum muda, dengan penciuman mereka yang tajam terhadap kemunafikan, pada kenyataannya adalah pembaca yang mahir​—tetapi bukan pembaca buku. Apa yang sedemikian seriusnya mereka baca adalah gejala-gejala sosial yang muncul dari dunia tempat mereka harus mencari nafkah kelak.” Dan, apa yang terbaca dari gejala-gejala itu? Penulis Stephanie Dowrick menyimpulkan, ”Tidak seperti yang sudah-sudah, kita sangat dibanjiri oleh informasi tentang caranya untuk hidup. Tidak seperti yang sudah-sudah, orang-orang semakin kaya atau semakin terdidik, namun di mana-mana terdapat keputusasaan.” Dan, tidak banyak pemuka politik dan agama yang dapat dijadikan tokoh anutan. Dowrick mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan, ”Bagaimana kita memperoleh hikmat, ketangguhan, dan bahkan makna dari penderitaan yang sia-sia? Bagaimana kita dapat memupuk kasih dalam suasana mementingkan diri, keras kepala, dan tamak?”

Anda akan menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dalam artikel kami berikutnya, dan ini mungkin mengejutkan Anda.

[Blurb di hlm. 6]

”Sebagian besar kaum muda melihat masa depan mereka dan masa depan dunia dengan rasa takut dan waswas”

[Blurb di hlm. 7]

”Kesempatan untuk berbicara kepada seorang pendengar yang simpatik dan berpengertian adakalanya sudah cukup untuk mencegah tindakan yang putus asa itu”

[Kotak di hlm. 6]

Beberapa Indikator Bunuh Diri

• Susah tidur, hilangnya selera makan

• Mengasingkan atau menarik diri, cenderung mengalami kecelakaan

• Kabur dari rumah

• Perubahan penampilan yang dramatis

• Penyalahgunaan obat bius dan/atau alkohol

• Resah dan agresif

• Bicara soal kematian; pesan tertulis untuk bunuh diri; karya seni yang melukiskan tindak kekerasan, khususnya terhadap diri sendiri

• Perasaan bersalah

• Ada saat-saat putus asa, khawatir, depresi, dan menangis

• Membagi-bagikan milik pribadi

• Rentang perhatian yang semakin pendek

• Kehilangan minat akan kegiatan yang menyenangkan

• Mengkritik diri sendiri

• Promiskuitas seksual

• Penurunan prestasi di sekolah secara tiba-tiba, problem absen sekolah

• Menjadi anggota kultus atau geng

• Penuh kegembiraan setelah depresi

Berdasarkan Teens in Crisis (Asosiasi Administrator Sekolah Amerika) dan Depression and Suicide in Children and Adolescents, oleh Philip G. Patros dan Tonia K. Shamoo

[Gambar di hlm. 7]

Kasih yang hangat dan keibaan hati dapat membantu seorang muda menghargai kehidupan

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan