PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Kekesalan yang Meningkat terhadap Pajak?
    Sedarlah!—2003 | 8 Desember
    • Kekesalan yang Meningkat terhadap Pajak?

      ”Sekalipun saya banting tulang, hasilnya dirampas dari saya.”​—Peribahasa orang Babilonia, sekitar tahun 2300 SM.

      ”Dalam dunia ini, tidak ada yang pasti selain kematian dan pajak.”​—Negarawan AS Benjamin Franklin, tahun 1789.

      REUBEN bekerja sebagai wiraniaga. Setiap tahun, hampir sepertiga gaji yang ia peroleh dengan susah payah menguap dalam bentuk pajak. ”Saya tidak melihat ke mana perginya semua uang itu,” keluhnya. ”Dengan begitu banyaknya pemangkasan anggaran oleh pemerintah, kami menerima lebih sedikit pelayanan daripada yang sudah-sudah.”

      Akan tetapi, suka atau tidak, pajak adalah bagian dari kehidupan. Penulis Charles Adams mengatakan, ”Pemerintah telah memungut pajak penghasilan dalam banyak cara semenjak adanya peradaban.” Pajak telah sering menimbulkan kekesalan dan kadang-kadang memicu pemberontakan. Orang Inggris zaman dahulu yang memerangi orang Romawi, mengatakan, ”Jauh lebih baik dibantai daripada hidup dibebani pajak!” Di Prancis, kebencian terhadap gabelle, pajak garam, turut memicu Revolusi Prancis, masa manakala para pemungut pajak dipancung dengan guillotine. Pemberontakan gara-gara pajak juga berperan dalam perang kemerdekaan AS melawan Inggris.

      Tidak heran, kekesalan terhadap pajak terus ada hingga hari ini. Para pakar mengatakan bahwa sistem perpajakan di negara-negara berkembang sering kali ”tidak efisien” dan ”tidak adil”. Menurut seorang peneliti, ada sebuah negeri Afrika yang jatuh miskin yang memiliki ”lebih dari 300 pajak setempat, yang mustahil dikelola bahkan oleh pegawai yang paling cakap. Pemungutan yang patut dan mekanisme pemantauan tidak ada atau tidak diterapkan, . . . menciptakan peluang untuk penyalahgunaan”. BBC News melaporkan bahwa di sebuah negeri Asia, ”para pejabat setempat memberlakukan banyak . . . pungutan liar​—dari pajak untuk menanam pisang hingga pajak untuk menyembelih babi​—baik untuk [meningkatkan] keuangan pemerintah setempat maupun untuk menebalkan kocek mereka sendiri”.

      Kesenjangan antara si kaya dan si miskin mengobarkan api kekesalan. Publikasi PBB yaitu Africa Recovery mengatakan, ”Salah satu dari banyak perbedaan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang ialah bahwa negara maju mensubsidi para petani sedangkan negara berkembang memajaki para petani. . . . Penelitian Bank Dunia memperlihatkan bahwa subsidi AS saja mengurangi pendapatan tahunan Afrika Barat dari ekspor katun sebesar 250 [juta] dolar AS per tahun.” Maka, para petani di negara berkembang kesal sewaktu pemerintah mereka memungut pajak dari penghasilan mereka yang sudah kecil. Seorang petani di sebuah negeri Asia mengatakan, ”Setiap kali [pejabat pemerintah] datang ke sini, mereka pasti akan minta uang.”

      Kekesalan serupa belakangan ini terlihat di Afrika Selatan sewaktu pemerintah memberlakukan pajak tanah pada petani. Para petani mengancam akan menuntut ke pengadilan. Pajak itu ”akan menyebabkan kebangkrutan di kalangan petani dan lebih banyak pengangguran di kalangan pekerja pertanian”, kata seorang juru bicara para petani. Kadang-kadang, kekesalan terhadap pemajakan masih menimbulkan tindak kekerasan. BBC News melaporkan, ”Dua petani [Asia] terbunuh pada tahun lalu ketika polisi menyerbu sebuah desa yang penduduknya menentang pajak yang berlebihan.”

      Namun, bukan hanya si miskin yang kesal terhadap pembayaran pajak. Suatu jajak pendapat di Afrika Selatan menyingkapkan bahwa banyak wajib pajak yang makmur ”tidak rela membayar pajak tambahan​—sekalipun hal itu berarti bahwa pemerintah tidak akan bisa meningkatkan pelayanan yang penting bagi mereka”. Para selebriti terkemuka dalam bidang musik, film, olahraga, dan politik telah menjadi berita utama karena penggelapan pajak. Buku The Decline (and Fall?) of the Income Tax menyatakan, ”Sungguh menyedihkan, para pejabat tinggi kita, para presiden kita, juga sama sekali bukan model yang sempurna dalam menggugah warga negara biasa untuk menaati hukum perpajakan.”

      Barangkali Anda juga merasa bahwa pajak itu berlebihan, tidak adil, dan sangat membebani. Maka, bagaimana seharusnya Anda memandang pembayaran pajak? Apakah pajak itu benar-benar berguna? Mengapa sistem perpajakan sering kali begitu rumit dan tampaknya tidak adil? Artikel berikut akan mengulas pertanyaan-pertanyaan ini.

      [Gambar di hlm. 4]

      Di negara berkembang, orang miskin mungkin menanggung beban pajak yang tidak adil

      [Keterangan]

      Godo-Foto

  • Pajak​—Harga untuk ”Masyarakat yang Beradab”?
    Sedarlah!—2003 | 8 Desember
    • Pajak​—Harga untuk ”Masyarakat yang Beradab”?

      ”Pajak adalah apa yang kita bayar guna memperoleh masyarakat yang beradab.”​—Inskripsi pada gedung Kantor Pelayanan Pajak, Washington, DC.

      PEMERINTAH menyatakan bahwa pajak tidak menyenangkan tetapi perlu​—harga untuk ”masyarakat yang beradab”. Apakah Anda sependapat dengan opini itu atau tidak, tak dapat disangkal bahwa harga tersebut biasanya tinggi.

      Pajak dapat dibagi dalam dua kategori: langsung dan tidak langsung. Pajak penghasilan, pajak perusahaan, dan pajak properti adalah contoh pajak langsung. Dari semua ini, pajak penghasilan mungkin yang paling mengesalkan. Ini khususnya demikian di negeri-negeri yang menetapkan pajak penghasilan progresif​—semakin tinggi penghasilan Anda, semakin tinggi pajak yang Anda bayar. Kritikus menyatakan bahwa pajak progresif menghukum kerja keras dan kesuksesan.

      OECD Observer, sebuah publikasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, mengingatkan kita bahwa selain pajak yang dibayarkan kepada pemerintah pusat, ”orang yang memperoleh penghasilan mungkin harus membayar pajak penghasilan kepada pemerintah setempat, regional, provinsi atau negara bagian selain kepada pemerintah pusat. Demikianlah yang terjadi di Amerika Serikat, Belgia, Islandia, Jepang, Kanada, Korea, negeri-negeri Skandinavia, Spanyol, dan Swiss”.

      Pajak tidak langsung mencakup pajak penjualan, pajak atas minuman keras dan rokok, dan bea masuk. Pajak ini tidak semencolok pajak langsung tetapi masih dapat memberikan pukulan ekonomi yang hebat, terutama di kalangan orang miskin. Dalam majalah India Frontline, penulis Jayali Ghosh menyatakan bahwa ada konsep yang keliru bahwa para wajib pajak dari golongan menengah dan kaya adalah pembayar pajak terbesar di India. Ghosh mengatakan, ”Untuk pemerintah-pemerintah Negara Bagian, jumlah pajak tidak langsung mencapai lebih dari 95 persen total pungutan pajak mereka. . . . Kemungkinan besar orang miskinlah yang sebenarnya membayar bagian yang lebih besar dari penghasilan mereka dalam bentuk pajak, daripada orang kaya.” Pajak yang tinggi atas barang-barang konsumsi massal, seperti sabun dan makanan, tampaknya menciptakan kesenjangan ini.

      Apa persisnya yang diperbuat pemerintah dengan semua uang yang mereka kumpulkan?

      Cara Uang Itu Digunakan

      Memang, pemerintah membutuhkan uang yang sangat banyak untuk mengelola dan menyediakan pelayanan yang diperlukan. Di Prancis, misalnya, 1 dari 4 orang bekerja di sektor pemerintah. Ini mencakup guru, pegawai kantor pos, personel museum dan rumah sakit, polisi, dan pegawai pemerintah lainnya. Pajak dibutuhkan untuk membayar gaji mereka. Pajak juga digunakan untuk jalan, sekolah, serta rumah sakit dan turut membayar pelayanan seperti pengumpulan sampah dan pengiriman pos.

      Biaya militer merupakan alasan penting lain untuk memungut pajak. Pajak penghasilan pertama kali dikenakan pada orang-orang Inggris yang kaya untuk membiayai perang melawan Prancis pada tahun 1799. Akan tetapi, selama Perang Dunia II, pemerintah Inggris mulai mengharuskan kaum buruh ikut membayar pajak penghasilan. Dewasa ini, pembiayaan angkatan bersenjata suatu bangsa terus menjadi urusan yang menyedot uang, bahkan pada masa-masa damai. Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm memperkirakan bahwa pembelanjaan militer dunia pada tahun 2000 mencapai sekitar 798 miliar dolar AS.

      Rekayasa Sosial

      Pajak juga berfungsi sebagai ”rekayasa sosial”​—sarana untuk mendukung atau mencegah bentuk perilaku tertentu. Pajak alkohol, contohnya, diharapkan mengurangi minum minuman beralkohol secara berlebihan. Maka, di banyak negeri, pajak meraup sekitar 35 persen harga eceran bir.

      Pajak yang berat juga dikenakan pada tembakau. Di Afrika Selatan, pajak meraup 45 hingga 50 persen harga setiap bungkus rokok. Akan tetapi, pemerintah dalam menggiatkan pajak seperti itu mungkin tidak selalu dimotivasi oleh kepedulian yang sejati terhadap warganya. Sebagaimana yang dinyatakan penulis Kenneth Warner dalam majalah Foreign Policy, tembakau adalah ”kekuatan ekonomi yang sangat kuat yang setiap tahun menghasilkan ratusan miliar dolar dari penjualan dan miliaran dolar lagi dari pendapatan pajak”.

      Satu contoh rekayasa sosial yang terkenal terjadi pada awal abad ke-20. Badan legislatif AS berikhtiar untuk membatasi pembentukan dinasti-dinasti keluarga kaya. Caranya? Dengan menciptakan pajak warisan. Sewaktu seorang kaya meninggal, pajak meraup sejumlah besar kekayaan yang dikumpulkannya. Para pendukungnya berpendapat bahwa pajak itu ”mengalihkan kekayaan dari jalur keluarga aristokrat ke jalur masyarakat demokratis”. Boleh jadi demikian halnya, tetapi para wajib pajak yang kaya telah mengembangkan sejumlah strategi untuk meredam dampak pajak itu.

      Pajak terus digunakan untuk menggalang berbagai isu sosial, seperti lingkungan. The Environmental Magazine melaporkan, ”Sembilan negara Eropa Barat belum lama ini telah mengimplementasikan pengalihan pajak lingkungan, sebagian besar sebagai sarana untuk mengurangi polutan udara.” Pajak penghasilan progresif, yang disebutkan di awal, merupakan upaya rekayasa sosial lainnya; gagasannya adalah untuk mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Beberapa pemerintah juga memberikan pengurangan pajak kepada orang-orang yang memberikan sumbangan amal atau kepada pasangan suami istri yang punya anak-anak.

      Mengapa Begitu Rumit?

      Setiap kali suatu pajak baru diusulkan, para legislator mencoba menutup setiap kemungkinan adanya celah hukum pajak. Ingatlah: Uang yang jumlahnya sangat besar sedang dipertaruhkan. Hasilnya? Hukum perpajakan cenderung rumit dan sangat teknis. Suatu artikel di majalah Time menjelaskan bahwa sebagian besar kerumitan dalam hukum perpajakan AS ”timbul sewaktu mendefinisikan penghasilan”, yakni sewaktu menentukan hal apa saja yang bisa dikenai pajak. Kerumitan lebih lanjut timbul karena luar biasa banyaknya peraturan yang ”memungkinkan berbagai pengurangan dan pengecualian”. Akan tetapi, bukan hanya Amerika Serikat yang mempunyai hukum perpajakan yang rumit. Sebuah edisi baru undang-undang perpajakan Kerajaan Inggris disusun ke dalam 9.521 halaman, dibagi menjadi sepuluh jilid buku.

      Kantor Penelitian Kebijakan Perpajakan di University of Michigan melaporkan, ”Setiap tahun para wajib pajak AS menghabiskan lebih dari tiga miliar jam untuk mengisi formulir pajak penghasilan mereka. . . . Secara keseluruhan, jumlah waktu dan uang yang digunakan oleh para wajib pajak AS [dalam mengisi formulir pajak] mencapai 100 miliar dolar setiap tahun, atau sekitar 10% pajak yang terkumpul. Sebagian besar biaya kepatuhan ini dikarenakan kerumitan yang luar biasa dari hukum pajak penghasilan.” Reuben, yang disebut di awal artikel pertama serial ini, mengatakan, ”Saya sebelumnya mencoba mempersiapkan formulir pajak saya sendiri, tetapi hal itu sangat memakan waktu, dan saya sering merasa bahwa saya membayar lebih banyak daripada seharusnya. Maka, kini saya membayar seorang akuntan untuk mempersiapkan formulir pajak saya.”​—Lihat kotak ”Mematuhi Hukum Perpajakan”, di halaman 8.

      Pembayar, Penghindar, dan Penggelap

      Kebanyakan orang setidaknya akan dengan berat hati mengakui manfaat yang dihasilkan pajak untuk komunitas mereka. Kepala Pendapatan Dalam Negeri Inggris pernah menjelaskan, ”Tidak seorang pun senang membayar pajak penghasilan, tetapi hampir tidak ada yang berpendapat bahwa keadaan kita akan lebih baik tanpa pajak itu.” Ada yang memperkirakan bahwa tingkat kepatuhan terhadap pajak di Amerika Serikat mencapai 90 persen. Seorang pakar perpajakan mengakui, ”Sebagian besar ketidakpatuhan timbul dari kesulitan dengan hukum dan prosedur, bukan penggelapan yang disengaja.”

      Meskipun demikian, banyak orang menemukan cara untuk menghindari pembayaran pajak tertentu. Misalnya, perhatikan apa yang dikatakan sebuah artikel di U.S.News & World Report mengenai pajak perusahaan, ”Banyak firma secara legal mengelak dari membayar sebagian besar kewajiban pajak mereka​—dan kadang-kadang semuanya​—melalui pengurangan pajak dan manuver akuntansi.” Sewaktu memberikan contoh tentang satu siasat cerdik, artikel itu melanjutkan, ”Sebuah perusahaan AS mendirikan sebuah firma di negeri asing yang tarif pajaknya menguntungkan. Kemudian, perusahaan AS itu dialihkan menjadi cabang perusahaan luar negerinya.” Dengan demikian, perusahaan itu tidak perlu membayar pajak AS​—yang bisa setinggi 35 persen​—meskipun ”kantor pusatnya mungkin tidak lebih dari sebuah lemari arsip dan kotak surat”.

      Kemudian, ada yang terang-terangan menggelapkan pajak. Menurut laporan, penggelapan pajak dipandang sebagai ”permainan nasional” di sebuah negara Eropa. Suatu survei di Amerika Serikat mendapati bahwa hanya 58 persen pria berusia antara 25 dan 29 tahun yang percaya bahwa tidak melaporkan semua penghasilan adalah perbuatan yang salah. Para penggagas survei itu mengakui, ”Laporan itu tidak menyingkapkan bahwa etika dan moralitas masyarakat kita cukup tinggi.” Di Meksiko, penggelapan pajak diperkirakan mencapai sekitar 35 persen.

      Namun, secara umum orang mengakui perlunya pajak dan tidak berkeberatan untuk membayar bagian mereka secara jujur. Akan tetapi, kata-kata terkenal dari Tiberius Caesar ada benarnya, ”Seorang gembala yang baik seharusnya memangkas bulu ternaknya, bukan mengulitinya.” Jika Anda merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh suatu sistem yang tampak membebani, tidak adil, dan terlalu rumit, bagaimana seharusnya Anda memandang pembayaran pajak?

      [Kotak di hlm. 7]

      Pikirkan Sebelum Anda Pindah!

      Sistem perpajakan sangat beragam dari satu negeri ke negeri lain. Malah, pajak penghasilan setempat bisa sangat beragam di negeri yang sama. Cocokkah untuk mempertimbangkan pindah ke suatu daerah yang tarif pajaknya lebih rendah? Mungkin, tetapi Anda hendaknya berpikir sebelum pindah.

      Contohnya, sebuah artikel di OECD Observer mengingatkan para pembaca bahwa tarif dasar pajak penghasilan bukan satu-satunya yang harus dipertimbangkan. Artikel itu mengatakan, ”Tagihan pajak aktual dari wajib pajak perorangan juga berpengaruh terhadap berbagai pengurangan.” Misalnya, beberapa negeri memiliki tarif pajak penghasilan yang rendah. Tetapi, mereka memberikan ”sangat sedikit kelonggaran atas pengurangan dan pengecualian pajak dasar”. Alhasil, orang itu akhirnya bisa jadi harus membayar lebih banyak di sana daripada di negeri yang tarif pajaknya lebih tinggi tetapi menawarkan lebih banyak pengecualian dan pengurangan pajak.

      Di Amerika Serikat, ada yang mempertimbangkan untuk pindah ke negara-negara bagian yang tidak mengenakan pajak penghasilan. Tetapi, apakah ini sudah pasti menyelamatkan uang seseorang? Tidak demikian halnya menurut Kiplinger’s Personal Finance, yang mengatakan, ”Dalam beberapa kasus, penelitian kami memperlihatkan bahwa negara-negara bagian yang tidak memungut pajak penghasilan mengkompensasikannya dengan tarif pajak properti, pajak penjualan, dan pajak kategori lainnya yang lebih tinggi.”

      [Kotak di hlm. 8]

      Mematuhi Hukum Perpajakan

      Bagi kebanyakan dari kita, membayar pajak adalah suatu urusan yang menekan dan membebani. Oleh karena itu, Sedarlah! meminta beberapa saran praktis dari seorang pakar perpajakan.

      ”Carilah saran yang masuk akal. Ini sangat penting, karena hukum perpajakan bisa rumit, dan kurangnya pengetahuan tentang hukum itu jarang sekali diterima sebagai alasan yang sah untuk ketidakpatuhan. Kendati seorang wajib pajak mungkin menganggap para petugas pajak sebagai musuh, mereka ini sering kali dapat memberikan petunjuk yang akurat dan sederhana mengenai caranya menangani masalah pajak. Para pegawai perpajakan lebih suka apabila Anda mengisi formulir pajak dengan benar sejak awal. Mereka tidak mau mendakwa Anda karena tidak patuh.

      ”Jika keuangan Anda rumit, mintalah saran dari seorang akuntan pajak profesional. Tetapi, waspadalah! Meskipun ada banyak akuntan pajak profesional yang peduli terhadap Anda, ada banyak yang tidak seperti itu. Mintalah rekomendasi dari seorang sahabat atau rekan bisnis yang tepercaya, dan selidikilah reputasi akuntan itu.

      ”Segeralah bertindak. Sanksi atas keterlambatan menyerahkan informasi bisa sangat berat.

      ”Simpanlah dokumen dengan rapi. Apa pun sistem pembukuan Anda, jagalah agar tetap terkini. Dengan begitu, tidak banyak waktu yang terbuang sewaktu Anda harus mengisi formulir pajak. Posisi Anda juga akan lebih baik ketika dokumen Anda harus diaudit.

      ”Jujurlah. Anda mungkin tergoda untuk curang atau mungkin sedikit membengkokkan peraturan. Tetapi, para petugas pajak punya banyak cara yang lihai untuk menemukan laporan yang tidak benar. Yang selalu terbaik adalah bersikap jujur.

      ”Jangan lepas tangan. Jika orang yang Anda bayar untuk mempersiapkan pembayaran pajak Anda melaporkan informasi yang tidak akurat, Andalah yang harus bertanggung jawab. Maka, pastikanlah agar wakil Anda itu bertindak selaras dengan keinginan Anda.”

      [Gambar di hlm. 7]

      Di banyak negeri, pajak tinggi dikenakan pada produk tembakau dan minuman beralkohol

      [Gambar di hlm. 8, 9]

      Pajak membiayai banyak pelayanan yang sering kali kita anggap sepele

  • Haruskah Anda Membayar Pajak?
    Sedarlah!—2003 | 8 Desember
    • Haruskah Anda Membayar Pajak?

      ”Berilah setiap orang apa utangmu kepadanya: Jika kamu berutang pajak, bayarlah pajak; jika cukai, cukai; jika respek, respek; jika hormat, hormat.”​—Roma 13:7, New International Version.

      DALAM menghadapi pemajakan yang membubung, nasihat di atas mungkin tampak sukar diterima. Akan tetapi, itu adalah kata-kata rasul Paulus, dan kata-kata itu dicatat dalam Alkitab. Tetapi, Anda mungkin heran, ’Apakah orang Kristen harus membayar semua pajak​—termasuk pajak yang dianggap beberapa orang mengada-ada atau tidak adil?’

      Pikirkan pengingat yang Yesus berikan kepada murid-muridnya. Ia tahu bahwa sesama rekan Yahudinya sangat kesal terhadap pajak yang diberlakukan oleh Roma. Meskipun demikian, Yesus mendesak, ”Bayarlah kembali perkara-perkara Kaisar kepada Kaisar, tetapi perkara-perkara Allah kepada Allah.” (Markus 12:17) Sungguh menarik, Yesus menganjurkan pembayaran pajak kepada rezim yang akan segera mengeksekusinya.

      Beberapa tahun kemudian, Paulus memberikan saran yang dikutip di awal. Ia mendesak orang untuk membayar pajak, kendati kenyataannya sejumlah besar uang pajak digunakan untuk mendanai militer Romawi dan mendukung gaya hidup para kaisar Romawi yang amoral dan boros. Mengapa Paulus mengambil pendirian yang tidak disukai semacam itu?

      Kalangan Berwenang yang Lebih Tinggi

      Perhatikan ikatan kalimat kata-kata Paulus. Di Roma 13:1, ia menulis, ”Hendaklah setiap jiwa tunduk kepada kalangan berwenang yang lebih tinggi, sebab tidak ada wewenang kecuali dari Allah; kalangan berwenang yang ada ditempatkan oleh Allah dalam kedudukan mereka yang bersifat relatif.” Sewaktu bangsa Israel memiliki penguasa yang takut akan Allah, mendukung bangsa itu secara keuangan dengan mudah dianggap sebagai kewajiban kemasyarakatan dan keagamaan. Tetapi, apakah orang Kristen memiliki tanggung jawab yang serupa apabila para penguasa itu adalah penyembah berhala dan tidak seiman? Jawabannya adalah ya! Kata-kata Paulus memperlihatkan bahwa Allah telah memberi para penguasa itu ”wewenang” untuk berkuasa.

      Pemerintah melakukan banyak hal untuk mempertahankan ketertiban. Ini memungkinkan orang Kristen menjalankan berbagai kegiatan rohani mereka. (Matius 24:14; Ibrani 10:24, 25) Oleh karena itu, Paulus berkata sehubungan dengan kalangan berwenang pemerintah, ”Ia adalah pelayan Allah bagimu demi kebaikanmu.” (Roma 13:4) Paulus sendiri memanfaatkan perlindungan yang diberikan pemerintah Romawi. Contohnya, sewaktu ia menjadi korban suatu gerombolan massa, ia diselamatkan oleh prajurit Romawi. Belakangan, ia meminta banding ke sistem pengadilan Romawi agar ia dapat terus melayani sebagai utusan injil.​—Kisah 22:22-29; 25:11, 12.

      Maka, Paulus memberikan tiga alasan untuk membayar pajak. Pertama, ia berbicara tentang ”kemurkaan” pemerintah untuk menghukum pelanggar hukum. Kedua, ia menjelaskan bahwa hati nurani orang yang saleh akan sangat terpengaruh jika ia curang dalam soal pajak. Akhirnya, ia memperlihatkan bahwa pajak hanyalah kompensasi untuk pelayanan yang dilakukan pemerintah sebagai ’hamba untuk umum’.​—Roma 13:1-6.

      Apakah rekan-rekan Kristen Paulus mengindahkan kata-katanya? Tampaknya demikian, karena pada abad kedua (sekitar tahun 110 sampai 165 M), penulis Yustin Martyr yang mengaku Kristen mengatakan bahwa dalam membayar pajak, orang Kristen ”lebih bersedia daripada semua orang”. Dewasa ini, sewaktu pemerintah menuntut pembayaran, entah berupa waktu entah uang, orang Kristen tetap patuh dengan rela.​—Matius 5:41.a

      Tentu saja, orang Kristen boleh memanfaatkan setiap pengurangan pajak yang sah. Dalam beberapa kasus, mereka mungkin bisa memperoleh pengecualian pajak yang diberikan kepada orang-orang yang menyumbang untuk organisasi keagamaan. Meskipun demikian, karena menaati Firman Allah, orang Kristen tidak terlibat dalam penggelapan pajak. Mereka membayar pajak, membiarkan kalangan berwenang memikul tanggung jawab penuh atas caranya uang itu digunakan.

      Pemajakan yang berlebihan hanyalah satu cara ”manusia menguasai manusia sehingga ia celaka”. (Pengkhotbah 8:9) Saksi-Saksi Yehuwa terhibur akan janji Alkitab bahwa tak lama lagi keadilan akan berkemenangan bagi semua orang di bawah pemerintahan Allah​—suatu pemerintahan yang tidak akan pernah membebani orang dengan pajak yang tidak adil.​—Mazmur 72:​12, 13; Yesaya 9:7.

      [Catatan Kaki]

      a Nasihat Yesus untuk membayar ”perkara-perkara Kaisar kepada Kaisar” tentu tidak terbatas pada membayar pajak. (Matius 22:21) Critical and Exegetical Hand-Book to the Gospel of Matthew karya Heinrich Meyer menjelaskan, ”[Perkara-perkara Kaisar] . . . tidak sekadar kita pahami sebagai pajak sipil, tetapi segala sesuatu yang padanya Kaisar berhak mendasarkan kekuasaannya yang absah.”

      [Kutipan di hlm. 11]

      Dalam membayar pajak, orang Kristen masa awal ”lebih bersedia daripada semua orang”.​—YUSTIN MARTYR

      [Gambar di hlm. 10]

      Orang Kristen sejati mematuhi hukum perpajakan

      [Gambar di hlm. 11]

      Yesus mengatakan, ”Bayarlah kembali perkara-perkara Kaisar kepada Kaisar”

      [Keterangan Gambar di hlm. 10]

      © European Monetary Institute

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan