-
Bagaimana Beberapa Orang Menjelaskan Mengapa Allah Mengijinkan KejahatanSedarlah!—1987 (No. 23) | Sedarlah!—1987 (No. 23)
-
-
Majalah Inggris The Evangelical Quarterly mengatakan, ”Salah satu penghalang terbesar untuk percaya kepada Allah yang mahakuasa, mahapengasih adalah penderitaan yang tampaknya tidak semestinya terjadi di dunia.”
Karena itu beberapa mungkin menyalahkan Allah karena membiarkan—jika tidak sebenarnya menyebabkan—penderitaan. Ahli teologia John K. Roth menulis, ”Sejarah sendiri merupakan dakwaan terhadap Allah. . . . Jangan menganggap remeh tanggung jawab Allah yang tersangkut.”
Tetapi, banyak pemikir agama sejak Agustinus, telah berdebat dengan berapi-api demi membela kemurnian Allah. Ahli filsafat abad ketujuh belas Leibniz menemukan suatu istilah untuk usaha ini, theodicy, atau ”pembenaran Allah”.—Lihat halaman 6.
Teologi Modern Memberi Kesaksian
Usaha untuk membersihkan Allah dari tuduhan bersalah terus berlangsung sampai jaman modern. Mary Baker Eddy, pendiri Christian Science Church, berusaha menyelesaikan problem itu dengan pertama-tama membantah bahwa kejahatan pernah ada! Dalam Science and Health With Key to the Scriptures, ia menulis, ”Allah . . . tidak pernah membuat manusia sanggup berbuat dosa . . . Maka, kejahatan hanyalah suatu ilusi, dan itu tidak memiliki dasar yang benar.”—Cetak miring dari kami.
Orang lain telah membenarkan Allah atas dasar bahwa mungkin ada kebaikan dalam penderitaan. Seorang pendeta Yahudi pernah berkata, ”Penderitaan menimpa untuk meninggikan derajat manusia, untuk menjauhkan pikirannya dari kesombongan dan kedangkalan.” Dalam jalur pemikiran yang sama, beberapa teologia telah berteori bahwa penderitaan di bumi ”perlu untuk mempersiapkan kita sebagai pribadi-pribadi yang bermoral bagi kehidupan dalam Kerajaan surga di masa mendatang”.
Tetapi apakah masuk akal untuk percaya bahwa Allah menyebabkan atau membiarkan bencana terjadi dengan maksud memurnikan atau menghukum manusia? Pastilah orang-orang yang terkubur hidup-hidup di San Ramon tidak banyak kesempatan untuk memperbaiki perkembangan moral mereka. Apakah Allah mengorbankan mereka untuk memberi pelajaran kepada orang-orang yang selamat? Jika memang demikian, pelajaran apa gerangan?
Maka dapat dimengerti mengapa buku Kushner When Bad Things Happen to Good People banyak peminatnya. Karena pengarangnya secara pribadi mengetahui pedihnya penderitaan, ia berusaha untuk menghibur pembacanya, meyakinkan mereka bahwa Allah itu baik. Namun, sewaktu menjelaskan alasan sebenarnya mengapa Allah mengijinkan orang-orang yang tidak berdosa menderita, Kushner berubah memberikan alasan yang aneh. ”Allah ingin orang-orang yang benar hidup damai, berbahagia,” Kushner menjelaskan, ”tetapi kadang-kadang bahkan Dia gagal melakukan hal itu.”
Dengan demikian Kushner memperkenalkan suatu Allah yang tidak jahat tetapi lemah, suatu Allah yang agak kurang dari mahakuasa. Namun herannya, Kushner masih menganjurkan pembacanya untuk berdoa memohon bantuan ilahi. Tetapi tentang bagaimana Allah yang katanya terbatas ini dapat benar-benar membantu, bagi Kushner tidak jelas.
Suatu Debat Kuno
Jadi, para pemikir agama dunia telah gagal menyusun suatu pembelaan yang meyakinkan bagi Allah dan untuk memberikan penghiburan yang sejati bagi para korban kejahatan. Mungkin apa yang seharusnya diadili bukan Allah tetapi teologi!
-
-
Menyelidiki Kejahatan dari Agustinus sampai CalvinSedarlah!—1987 (No. 23) | Sedarlah!—1987 (No. 23)
-
-
Menyelidiki Kejahatan dari Agustinus sampai Calvin
DALAM bukunya The City of God, ahli teologi abad kelima Agustinus menyatakan bahwa manusia, bukan Allah, yang bertanggung jawab atas adanya kejahatan. Agustinus menulis, ”Allah, pencipta dari sifat-sifat dasar, bukan sifat-sifat jahat, menciptakan manusia benar; tetapi manusia, atas kehendaknya sendiri menjadi jahat dan sepantasnya dikutuk, menurunkan kejahatan dan anak-anak yang terkutuk . . . Maka, akibat salah menggunakan kehendak yang bebas, mulailah seluruh rentetan kejahatan.”
Salah menggunakan kehendak yang bebas dapat memberikan penjelasan atas banyak, atau kebanyakan, kejahatan yang telah menimpa orang. Namun, dapatkah suatu bencana, seperti yang terjadi di San Ramon, disalahkan pada kehendak manusia yang bebas? Bukankah banyak kejadian yang membawa malapetaka diakibatkan oleh keadaan di luar kendali manusia? Dan bahkan jika manusia sengaja memilih kejahatan, mengapa suatu Allah yang pengasih membiarkan kejahatan berlangsung terus?
Pada abad ke-16, ahli teologi Protestan John Calvin dari Prancis, seperti Agustinus, percaya bahwa ada orang yang ”ditakdirkan [oleh Allah] untuk menjadi anak-anak dan waris-waris dari kerajaan surga”. Tetapi, Calvin melangkah lebih jauh, menyatakan bahwa Allah juga menakdirkan orang-orang untuk menjadi ”penerima kutukanNya”—menghukum dengan kutukan kekal!
Doktrin Calvin memiliki gagasan yang mengerikan. Jika seorang menderita kemalangan apapun, bukankah itu menunjukkan bahwa ia termasuk orang-orang yang dikutuk? Lebih jauh, tidakkah Allah menjadi bertanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang ditakdirkan? Maka Calvin tanpa disadari membuat Allah menjadi pribadi Pencipta dosa! Calvin mengatakan bahwa ”manusia berdosa atas dukungan dari suatu kehendak yang sangat cepat dan yang cenderung jahat”.—Instruction in Faith, oleh John Calvin.
-