PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apa Yang Sebenarnya Berharga?
    Menara Pengawal—1986 (Seri 25) | Menara Pengawal—1986 (Seri 25)
    • Apa Yang Sebenarnya Berharga?

      ”Banyak di antara mereka hidup dalam kekosongan, tidak betah pada satu pekerjaan, tidak mempunyai teman-teman yang bertahan lama dan berpindah-pindah tanpa tujuan dari satu tempat ke tempat lain dalam lingkungan yang terasing dan tidak seorang pun memperdulikannya. Alasannya: Mereka luar biasa kaya.”—The New York Times, 15 Mei 1984.

      SAUDARA tentu tahu betul bahwa uang dibutuhkan untuk memperoleh makanan, pakaian, perumahan, transportasi, biaya pengobatan, dan hal-hal penting lain untuk kehidupan. Sesungguhnya, mungkin saudara menyadari bahwa dalam masyarakat modern sulit untuk hidup tanpa uang, karena seperti dikatakan Alkitab, ”uang memungkinkan semuanya itu”.—Pengkhotbah 10:19

      Akan tetapi, artikel dari surat kabar yang dikutip di atas membahas problem-problem emosi yang justru dialami golongan kaya. Jelaslah, ada bahayanya dengan memusatkan kehidupan saudara untuk mengejar uang dan harta benda. Meskipun demikian, banyak orang melakukan hal itu. Kadang-kadang, ambisi yang tamak itu fatal. Kita mendengar mengenai orang-orang yang bekerja mati-matian pada usia 30-an atau 40-an, meninggal karena serangan jantung. Beberapa di antara mereka mempertaruhkan kesehatan, bahkan kehidupan mereka, untuk dapat mencapai ambisi mereka dalam hal uang. Kita tidak perlu terlalu saleh untuk dapat menyetujui bahwa akan lebih baik andai kata mereka mengindahkan kata-kata Yesus Kristus, ”Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?”—Matius 16:26.

      Apa Yang Benar-Benar Berharga?

      Saudara tentu tahu bahwa barang-barang yang mungkin membuat kita tergoda untuk memilikinya, tidak akan ada habis-habisnya. Sebuah video tape recorder, rumah milik sendiri, alat-alat olah raga yang mahal inilah barang-barang yang dikejar di beberapa negeri. Di tempat-tempat lain tujuannya mungkin lebih terbatas nilainya. Seorang wanita muda di suatu negeri melacurkan diri untuk dapat memperoleh uang supaya dapat membeli baju-baju yang lebih bagus.

      Karena kita menyadari banyaknya bahaya dalam pandangan hidup yang semata-mata materialistis, bagaimana kita dapat melindungi diri? Apakah kita harus keluar dari masyarakat, menjadi pertapa atau mengasingkan diri seperti yang dilakukan beberapa orang? Selain itu, apabila mempertimbangkan apa yang benar-benar berharga, kita hendaknya bertanya, Dalam jangka panjang apa yang akan memberikan kebahagiaan dan kepuasan sejati kepadaku?

      Sebagai bantuan, marilah kita mempertimbangkan teladan seorang pria yang selama berabad-abad dihormati dan dikagumi sebagai tokoh yang penting. Ia seorang rabi dan ahli hukum, menjadi anggota dari sekte Yahudi di abad pertama yang terkenal sebagai ”hamba-hamba [”pecinta-pecinta,” NW] uang.” (Lukas 16:14) Ia bernama Paulus, dan ia mempunyai pendidikan serta gairah yang diperlukan untuk mengumpulkan kekayaan dan memperoleh kedudukan yang bahkan lebih tinggi dalam masyarakat.

      Namun, melalui suatu peristiwa yang mengejutkan, ia menyadari bahwa sebenarnya ada sesuatu yang sangat berbeda dan paling berharga dalam kehidupan. Apakah saudara sekarang mempunyai pikiran yang sama atau tidak, ada manfaatnya untuk memikirkan apa kesimpulan Paulus.

      Ia memutuskan bahwa perkara utama yang berharga dalam kehidupan adalah kedudukan yang diperkenan di hadapan Allah sebagai murid Yesus. Hal ini demikian berharga sehingga Paulus, sebagai rasul dari Yesus, sanggup menahan kesukaran dan penindasan. Ia seperti Musa, seorang yang terkenal di jaman purba, yang ”menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir.”—Ibrani 11:26; 2 Korintus 11:23-27.

      Saudara hendaknya juga menyadari bahwa Paulus tidak pernah menyesal bahwa menjadi rasul Kristen mengakibatkan ia kehilangan kedudukan dalam masyarakat Yahudi. Setelah kira-kira 25 tahun menikmati kehidupan sebagai seorang Kristen yang berbakti, ia menulis, ”Apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia.” (Filipi 3:7-9) Tentu saudara setuju bahwa Paulus yakin telah memperoleh sesuatu yang benar-benar berharga.

      Pilihan Paulus tidak berarti bahwa ia tidak lagi memiliki perkara-perkara materi. Misalnya, renungkan kata-katanya, ”Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.”—Filipi 4:12.

      Tidak soal situasi saudara sehubungan dengan Kekristenan, kemungkinan besar saudara dapat mengamati betapa baiknya hasil yang dialami Paulus. Pilihannya berkenaan apa yang berharga memberikan kepuasan yang tidak dimiliki pria-pria dan wanita-wanita yang terkaya di dunia. Jean Paul Getty, jutawan pengusaha minyak, mengakui, ”Uang tidak selalu ada hubungannya dengan kebahagiaan. Mungkin dengan ketidakbahagiaan.”

      Namun, seseorang bisa saja mengaku diri Kristen dan masih tidak dapat mengenali apa yang paling berharga. Hal ini demikian di abad pertama, karena Paulus mengatakan mengenai seorang rekan, ”Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku.” (2 Timotius 4:10) Pada saat ia dapat membantu rasul yang berada di penjara, Demas menyerah, lebih suka memilih apa yang ditawarkan sistem pada waktu itu kepadanya.

      Ketika menyebut tentang bahaya serius yang dapat menimpa seorang Kristen karena pandangan yang materialistis, Paulus mengatakan, ”Mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah . . . menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.”—1 Timotius 6:9, 10.

      Maka, ada baiknya saudara bertanya: Bagaimana seharusnya peranan uang dan harta benda dalam kehidupan saya? Marilah kita memeriksa persoalannya lebih jauh untuk melihat cara bagaimana saudara dapat memiliki apa yang benar-benar berharga.

  • Harapan Saudara​—Allah atau Kekayaan?
    Menara Pengawal—1986 (Seri 25) | Menara Pengawal—1986 (Seri 25)
    • Yesus dengan bijaksana memberi nasihat, ”Kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Matius 6:20) Apa yang dimaksudkan dengan ”harta” di sini? Ini adalah catatan perbuatan baik kita secara pribadi, hal menjadi kaya di hadapan Allah. Saudara mungkin bertanya, ’Hal ini menuntut apa dari saya?’ Antara lain, Alkitab menjawab bahwa itu berarti ”berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi.”—1 Timotius 6:18.

      Di seputar dunia dewasa ini, jutaan Saksi-Saksi Yehuwa dengan jujur dapat membuktikan bahwa membagikan perkara-perkara rohani dan jasmani kepada orang-orang lain teristimewa membantu orang-orang untuk belajar mengenai harapan Kerajaan dengan ikut dalam kegiatan mengabar, mengajar dan menjadikan murid adalah pekerjaan-pekerjaan baik yang mendapat perkenan Yehuwa dan membawa kepuasan sejati. Bahkan kematian tidak dapat merampas dari seseorang berkat-berkat yang dihasilkan karena menyimpan harta di surga. Mengapa demikian? Yesus berjanji, ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”—Yohanes 11:25.

      Harta Tak Ternilai Yang Dapat Kita Nikmati Sekarang

      Setelah mengatakan bahwa kita harus menaruh harapan kita ”pada Allah,” Paulus melanjutkan bahwa ’Allah memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.’ (1 Timotius 6:17) Di samping keperluan sehari-hari, Yang Maha Tinggi dengan pengasih menyediakan harta yang tak ternilai bagi orang-orang yang diperkenanNya. Apakah harta tersebut?

      Perhatikan apa yang dikatakan Amsal 3:13-18, ”Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas. Ia lebih berharga dari pada permata; apapun yang kauinginkan, tidak dapat menyamainya. Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan. . . . Ia menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya, siapa yang berpegang padanya akan disebut berbahagia.” Jadi ”hikmat” merupakan harta yang jauh lebih berharga dari pada semua harta di dunia.

      Hikmat ialah penerapan pengetahuan dengan cara yang benar. Itu adalah kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan dan pengertian secara sukses dalam mengatasi problem-problem, untuk menghindari atau mencegah bahaya, untuk mencapai cita-cita tertentu atau membantu orang lain melakukannya. Tidakkah saudara setuju bahwa dewasa ini kita membutuhkan hikmat semacam itu agar dapat menghadapi pencobaan-pencobaan hidup dengan sukses dan untuk mempertahankan kedudukan yang baik di hadapan Allah?

      Ketika melukiskan hikmat, Amsal 3:13-18 menonjolkan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan suatu harta yang kita semua dambakan? Hikmat ilahi akan memberikan kebahagiaan ini kepada kita karena kebahagiaan sejati hanya dapat diperoleh dari Sumbernya, yakni Allah Yehuwa. Pengalaman membuktikan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat diperoleh terlepas dari kepatuhan kepada Yang Maha Tinggi serta ketundukan kepada pekerjaan dari roh suciNya. Kebahagiaan yang dijanjikan dalam Alkitab bergantung pada hubungan kita yang benar atau kedudukan yang diperkenan, dengan Bapa surgawi kita. (Matius 5:3-10) Maka, dengan menerapkan apa yang kita pelajari dari penyelidikan Alkitab, kita akan memperlihatkan ”hikmat dari atas” yang akan memberi kita kebahagiaan yang tidak dapat dibeli dengan semua kekayaan di dunia.

      Namun, ingat juga bahwa Amsal 3:16 mengatakan, ”Umur panjang ada di tangan kanannya.” Ini memaksudkan tangan kanan perlindungan, tangan yang siap membantu dan melindungi seseorang pada masa-masa yang genting. Dewasa ini banyak orang menempuh kehidupan bebas, imoralitas seks, penyalahgunaan obat-obat bius, dan sebagainya. Kemungkinan saudara telah membaca bahwa AIDS (Sindroma Kehilangan Kekebalan Tubuh) dikaitkan dengan praktek-praktek demikian. Dari apa yang saudara amati, apakah orang-orang yang mempraktekkan perkara-perkara tersebut benar-benar bahagia? Atau apakah mereka mendatangkan atas diri mereka dan orang-orang lain banyak kesedihan dan penyakit, bahkan kematian?

      Sebaliknya, penerapan nasihat yang bijaksana dari Firman Allah akan selalu di ”tangan kanan” untuk melindungi kita terhadap bahaya-bahaya sedemikian. Karena itu hikmat dapat memperpanjang hidup kita, melindungi kita terhadap haluan yang mengarah kepada kematian sebelum waktunya. Jadi, hikmat ilahi pasti membuat kehidupan kita sekarang lebih menyenangkan.

      Hidup Dengan Bijaksana Sekarang

      Bukti di sekeliling kita memperlihatkan bahwa kita hidup dalam ”hari-hari terakhir” dari sistem sekarang. (2 Timotius 3:1-5) Maka, penting agar kita waspada tidak mengalah kepada roh dunia. Roh sedemikian menonjolkan perkara-perkara materi dengan merangsang keinginan-keinginan yang mementingkan diri. Salah satu tuduhan yang dilancarkan atas diri Ayub, seorang pria yang setia dalam sejarah Alkitab, adalah bahwa pria ini beribadat kepada Allah karena alasan-alasan yang mementingkan diri, demi keuntungan-keuntungan materi. (Ayub 1:9-11) Apakah tuduhan semacam ini benar-benar dapat dilancarkan atas diri kita?

      Jika kita menjawab tidak, kita dengan sukses telah menolak materialisme dewasa ini. Namun bahaya ini, materialisme, adalah bahaya yang paling halus yang kita hadapi. Yesus Kristus mengatakan bahwa ”kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu.” (Matius 13:22) Jelaslah, kita harus terus waspada melawan ”tipu daya kekayaan,” karena hal itu tidak benar-benar berharga.

      Kita perlu mengingatkan diri sendiri mengenai nilai relatif (tidak mutlak) dari perkara-perkara materi. Firman Allah mengatakan, ”Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya.” (Amsal 18:11) Ya, perasaan aman yang dapat diberikan oleh kekayaan hanya khayalan belaka, suatu tipuan. Tidak berarti bahwa perkara-perkara materi itu sendiri buruk. Apa yang salah adalah memusatkan kehidupan kita pada kekayaan dan tidak untuk mencari perkenan Allah. Yesus, yang dikenal sebagai salah seorang guru yang paling bijaksana dalam sejarah, dengan tegas mengatakan, ”Walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”—Lukas 12:15.

      Maka marilah kita menempuh haluan hidup yang akan membuat kita kaya ”di hadapan Allah.” (Lukas 12:21) Tidak ada yang lebih berharga dari pada kedudukan yang diperkenan di hadapan Pencipta. Semua usaha untuk mempertahankan hal itu membantu kita untuk ’mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi diri kita di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.’—1 Timotius 6:19.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan