Membenarkan Kekejian Perang
PEPERANGAN oleh JAMA (Jurnal Perkumpulan Ahli-Ahli Medis Amerika) pada tahun 1998 digambarkan sebagai ”bencana yang paling buruk dari abad ke-20”. Diperkirakan bahwa sampai saat itu 90 juta jiwa mati terbunuh dalam perang-perang pada abad ke-20. Menurut catatan sejarah, kira-kira 50 persen dari kematian akibat perang terdapat di kalangan penduduk sipil, tetapi persentase tersebut telah meningkat secara dramatis. Pada tahun 1970-an, angka kematian dari penduduk sipil mencapai 73 persen, dan pada tahun 80-an, 85 persen.
Bagaimana manusia dapat mempertanggungjawabkan pembunuhan besar-besaran atas penduduk sipil? Dengan cara yang sama sebagaimana orang-orang Amerika dahulu membenarkan perbudakan. Mereka menganggap korban-korbannya bukan sebagai manusia. Buku The Sociology of Social Problems menyatakan, ”Ucapan ’semua orang diciptakan sama’ tidak berlaku atas orang-orang Negro, karena mereka adalah ’barang milik’, bukan manusia.” Demikian juga, artikel dalam JAMA menyatakan bahwa bangsa-bangsa tidak mengakui ”kemanusiaan seutuhnya dari korban-korban tersebut, secara khas membatasi identitas mereka pada sebutan-sebutan tunggal yang dinyatakan sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa tersebut: ia bukan lagi seorang manusia, ayah, pengrajin kayu, petani kecil, melainkan seorang borjuis; ia bukan lagi seorang wanita, pelajar, anak perempuan, pencinta puisi, melainkan seorang penganut ajaran Marx”.
Nasionalisme yang didukung kaum pendeta memikul tanggung jawab berat atas pembantaian yang mengerikan, sebagaimana diakui sejarawan Katolik E. I. Watkin, ”Apapun yang dikatakan dalam teori resminya, dalam praktiknya ’negaraku selalu benar’ sudah menjadi pepatah yang diikuti pada masa perang oleh Uskup-Uskup Katolik. . . . Dalam hal nasionalisme yang saling berperang mereka menjadi penyambung lidah Kaisar.”
[Keterangan Gambar di hlm. 21]
U.S. Army