-
Peran Agama dalam Peperangan ManusiaSedarlah!—1993 | 8 April
-
-
Peran Agama dalam Peperangan Manusia
”TIDAK pernah ada masyarakat yang tidak memiliki suatu bentuk agama,” kata The World Book Encyclopedia (edisi 1970). Namun, sejarawan Will dan Ariel Durant menulis, ”Perang merupakan salah satu hal yang konstan dalam sejarah.” Apakah kedua hal yang konstan ini, perang dan agama, memang berkaitan?
Benar, sepanjang sejarah, perang dan agama tak dapat dipisahkan. Berkenaan Mesir, salah satu kuasa dunia yang pertama dalam sejarah, Lionel Casson menjelaskan dalam buku Ancient Egypt, ”Kepada dewa-dewa diberikan penghormatan untuk setiap kemenangan militer; dan nafsu akan kekayaan yang bahkan lebih besar, mendorong para imam menjadi sama berhasratnya dengan para firaun untuk penaklukan lebih lanjut atas negeri-negeri asing.”
Demikian pula, pendeta W. B. Wright berkata tentang Asyur, kuasa dunia masa awal lainnya, ”Bertempur adalah urusan bangsa, dan para imam terus-menerus menjadi penghasut perang. Sebagian besar sokongan mereka adalah dari jarahan hasil penaklukan.”
Sehubungan apa yang ia istilahkan sebagai ”Eropa yang barbar”, Gerald Simons menulis, ”Masyarakat mereka sederhana, secara eksplisit diorganisasi untuk satu kegiatan, berperang.” Dan agama terlibat. ”Banyak legenda bercerita tentang pedang-pedang yang dihuni oleh hantu-hantu, atau bertindak sebagai alat para dewa,” Simons menjelaskan.
Namun, situasi di Kekaisaran Roma, yang dianggap mempunyai peradaban yang tinggi, ternyata sama saja. ”Orang-orang Roma dididik untuk perang,” demikian penjelasan Moses Hadas dalam buku Imperial Rome. Tentara Roma membawa panji-panji yang berlukiskan emblem dari dewa-dewa mereka ke medan perang. Sebuah ensiklopedia menyatakan, ”Tidaklah aneh bagi seorang jenderal untuk memerintahkan agar sebuah panji dilemparkan ke barisan musuh, untuk menambah gairah serangan dari tentara-tentaranya dengan mendorong mereka untuk mengambil kembali apa yang menurut mereka mungkin merupakan benda yang paling suci yang dimiliki bumi.”
Perang dan Orang-Orang yang Mengaku Kristen
Munculnya Susunan Kristen di panggung dunia tidak mengubah keadaan. Malahan, Anne Fremantle menulis dalam buku Age of Faith, ”Dari semua peperangan yang pernah dikobarkan manusia, tak ada yang dilakukan dengan lebih bergairah daripada peperangan yang dilakukan atas nama iman. Dan dari antara ’perang-perang suci’ ini, tak ada yang lebih banyak menumpahkan darah dan lebih berlarut-larut daripada Perang Salib Kristen pada Abad Pertengahan.”
Sungguh mengherankan, bahkan dewasa ini keadaannya tidak banyak berubah. ”Bertarung dan mati di bawah bendera agama terus bertahan dengan hebat,” demikian laporan majalah Time. ”Orang-orang Protestan dan Katolik Roma di Ulster saling membunuh dalam suatu gerakan sia-sia yang tak henti-hentinya. Orang-orang Arab dan Israel bersitegang mengenai batas wilayah, pertentangan kebudayaan dan agama.” Lebih jauh, perbedaan etnik dan agama bertanggung jawab atas pembantaian yang mengerikan di bekas Republik Yugoslavia, sebagaimana halnya di negeri-negeri Asia.
Sungguh tidak masuk akal, orang-orang yang mengaku Kristen sering berperang melawan rekan-rekan seiman mereka sendiri. Dengan demikian, orang Katolik membunuh orang Katolik di medan perang. Sejarawan Katolik bernama E. I. Watkin mengakui, ”Betapapun menyakitkan untuk diakui, demi kepentingan peneguhan iman yang salah atau loyalitas palsu, kita tidak dapat menyangkal atau mengabaikan fakta sejarah bahwa para Uskup telah mendukung secara konsisten semua peperangan yang dikobarkan oleh pemerintah negara mereka. Sesungguhnya, saya tidak mendapati satu contoh pun dari hierarki nasional yang mengutuk perang sebagai sesuatu yang tidak adil . . . Teori resmi apa pun, dalam praktiknya ’negaraku selalu benar’ telah menjadi peribahasa yang diikuti para Uskup Katolik semasa perang.”
Namun, peribahasa itu bukan hanya milik orang Katolik. Sebuah tajuk rencana di surat kabar Sun, Vancouver, Kanada, menyatakan, ”Protestantisme sama sekali tidak dapat menyatakan diri terhindar dari kuasa perpecahan nasionalistis ini. Itu merupakan kelemahan dari barangkali semua agama yang terorganisasi bahwa gereja mematuhi bendera . . . Apakah pernah ada perang yang diperjuangkan tanpa Allah diakui berada di kedua belah pihak?”
Rupanya tak satu pun! Pendeta Protestan bernama Harry Emerson Fosdick mengakui, ”Bahkan dalam gereja-gereja kami, kami telah mengibarkan bendera-bendera peperangan . . . Dengan satu sudut mulut kita memuji Pangeran Perdamaian dan dengan sudut lainnya kita memuliakan peperangan.” Dan kolumnis Mike Royko mengatakan bahwa orang-orang Kristen tidak pernah ”merasa mual untuk berperang dengan orang Kristen lainnya”. Ia menjelaskan, ”Seandainya mereka bersikap demikian, kebanyakan dari peperangan yang terparah di Eropa tidak akan pernah terjadi.” Khususnya di antara perang-perang ini adalah Perang Tiga Puluh Tahun di Jerman antara Protestan dengan Katolik.
Pastilah, fakta-faktanya sudah sangat jelas. Agama telah menjadi pendukung dan, kadang-kadang, bahkan penganjur peperangan. Maka, banyak orang merenungkan pertanyaan: Apakah Allah sebenarnya memberi perkenan kepada satu bangsa di atas yang lainnya semasa perang? Apakah Ia berpihak bila bangsa-bangsa berperang? Apakah akan pernah tiba suatu masa manakala perang tidak ada lagi?
[Blurb di hlm. 17]
Ke barisan musuh, tentara-tentara Roma melemparkan panji-panji yang berlukiskan emblem dari dewa-dewa mereka
-
-
Apa yang Diharapkan untuk Mengakhiri Perang?Sedarlah!—1993 | 8 April
-
-
Harapan Palsu
Banyak orang telah berpaling kepada gereja-gereja untuk membantu menciptakan suatu dunia yang bebas perang. Namun ternyata, gereja-gereja telah terbukti menjadi salah satu kekuatan yang paling memecah belah dan militan dalam sejarah. Misalnya, Frank P. Crozier, brigadir jenderal Inggris selama Perang Dunia I, mengatakan, ”Gereja-gereja Kristen adalah pencipta utama sifat haus darah yang kami miliki dan kami bebas memanfaatkan mereka.”
Maka, sangat penting bagi kita untuk membedakan antara kekristenan yang sejati dan yang palsu. Untuk membantu kita melakukan hal ini, Yesus menyediakan suatu aturan yang sederhana, ”Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Matius 7:16) Kata-kata, atau pengakuan, tidaklah cukup. Untuk mengilustrasikan hal ini, Steve Whysall, seorang staf penulis surat kabar Sun, Vancouver, menyatakan, ”Tidak semua orang yang mengenakan pakaian montir warna biru yang berlumuran oli adalah ahli mesin, bahkan sekalipun mereka kelihatannya seperti ahli mesin, . . . bahkan sekalipun mereka mengatakan, ’Kami adalah ahli mesin.’”
Sewaktu menerapkan ilustrasinya kepada kekristenan, Whysall mengatakan, ”Sering Anda akan mendengar orang-orang berbicara tentang bagaimana ini atau itu dilakukan atas nama kekristenan dan alangkah buruknya perbuatan itu. Ya, memang buruk. . . . Tetapi siapa yang pernah mengatakan bahwa orang yang melakukan hal-hal buruk tersebut adalah orang Kristen?
”Oh, Anda mengatakan, gereja-gereja resmi yang menyatakan itu. Nah, siapa bilang gereja-gereja resmi bersifat Kristen?
”Demikianlah paus memberkati Mussolini, dan ada bukti tentang paus-paus lainnya yang telah melakukan tindakan pengecut di masa lalu. Jadi siapa bilang mereka orang Kristen?
”Menurut Anda apakah karena seseorang adalah paus, maka ia pasti seorang Kristen? Hanya karena seseorang mengatakan ’Saya seorang Kristen’ tidak berarti ia memang seorang Kristen—sama seperti seorang pria yang mengaku sebagai ahli mesin bisa jadi bukan ahli mesin.
”Alkitab bahkan memperingatkan orang-orang Kristen terhadap orang-orang yang mengaku diri Kristen . . . Orang Kristen tidak dapat berperang melawan orang Kristen lainnya—itu sama artinya dengan seseorang berperang melawan dirinya sendiri.
”Kristiani sejati bersaudara dan bersaudari dalam Yesus Kristus. . . . Mereka sama sekali tidak akan pernah dengan sengaja menyakiti satu sama lain.”
Jadi, kita perlu menggunakan peraturan Yesus dan melihat buah-buah yang dihasilkan oleh gereja-gereja. Namun buah-buah apa? Alkitab menunjuk secara khusus kepada salah satunya, dengan mengatakan, ”Inilah tandanya anak-anak Allah dan anak-anak Iblis: setiap orang yang tidak berbuat kebenaran, tidak berasal dari Allah, demikian juga barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya. Sebab inilah berita yang telah kamu dengar dari mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasihi; bukan seperti Kain yang berasal dari si jahat dan yang membunuh adiknya.”—1 Yohanes 3:10-12.
Sebaliknya daripada menganjurkan kasih akan saudara, gereja-gereja telah mendukung dan bahkan menganjurkan pembunuhan atas saudara mereka dalam peperangan. Dengan demikian, mereka telah menjadi pion-pion dari Setan si Iblis, sama halnya dengan agama-agama purba dari orang Mesir, Asyur, Babilonia, dan Roma. Yesus Kristus menyebut Setan ”penguasa dunia ini” dan berkata tentang para pengikut-Nya yang sejati, ”Mereka bukan dari dunia ini, sama seperti Aku bukan dari dunia ini.” (Yohanes 12:31; 17:16; 2 Korintus 4:4) Namun, gereja-gereja telah menjadikan diri mereka bagian yang integral dari dunia ini.
Maka, jelaslah, Allah tidak menggunakan gereja-gereja untuk menggenapi maksud-tujuan-Nya untuk menciptakan suatu dunia yang bebas perang. Tidak soal apa yang dikatakan oleh para pendeta militer atau wakil-wakil gereja lainnya, Allah tidak berpihak dalam peperangan bangsa-bangsa.
Bagaimana janji Allah untuk menghapus perang akan digenapi? Apakah ada orang-orang yang benar-benar telah menempa pedang mereka menjadi mata bajak? Sesungguhnya memang ada.
Orang-Orang yang Menggenapi Janji Allah
Sejarawan gereja terkemuka C. J. Cadoux menyatakan, ”Umat kristiani yang mula-mula mencamkan kata-kata Yesus . . . Mereka dengan saksama mengidentifikasi agama mereka dengan perdamaian; mereka dengan keras mengutuk perang karena melibatkan utang darah; mereka membuat diri mereka cocok dengan nubuat Perjanjian Lama yang menubuatkan perubahan bentuk senjata-senjata perang menjadi alat-alat pertanian.”—Yesaya 2:4.
Tetapi, bagaimana dengan dewasa ini? Apakah ada orang-orang yang mencamkan kata-kata Yesus dan yang benar-benar mengasihi satu sama lain? Sebenarnya, sudahkah orang-orang ini menempa pedang mereka menjadi mata bajak? Nah, Encyclopedia Canadiana menyatakan, ”Pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa merupakan kebangkitan kembali dan pemulihan kembali kekristenan purba yang dipraktikkan oleh Yesus dan murid-muridnya selama abad pertama dan kedua dari era kita. . . . Semua adalah saudara.”
Maka, sesuai dengan perintah Kristus untuk saling mengasihi, Saksi-Saksi Yehuwa menolak untuk membenci atau membunuh saudara-saudara mereka, meskipun mereka barangkali adalah bagian dari ras atau kebangsaan lain. (Yohanes 13:34, 35) Martin Niemöller, seorang pemimpin agama Protestan di Jerman, menyatakan bahwa ”selama berabad-abad, [gereja-gereja] telah selalu setuju untuk memberkati peperangan, pasukan dan senjata dan bahwa mereka berdoa dengan cara yang sangat tidak bersifat Kristen untuk memusnahkan musuh mereka”. Namun, bertentangan sekali, katanya, Saksi-Saksi ”dalam jumlah ratusan dan ribuan telah dijebloskan ke dalam kamp-kamp konsentrasi dan mati karena mereka menolak berperang dan menolak menembak sesama manusia”.
Ya, tidak seperti orang-orang dari agama lain, Saksi-Saksi Yehuwa benar-benar telah menempa pedang mereka menjadi mata bajak. Dengan tetap ”bukan dari dunia”, sebagaimana diperintahkan Kristus, mereka benar-benar berbeda dengan agama-agama lain. (Yohanes 15:19) Buletin Katolik Roma, St. Anthony’s Messenger menyatakan, ”Saksi-Saksi Yehuwa berada di luar ’ketetapan’ dan tidak bersedia menerima tanggung jawab untuk memberkati apa pun yang pemerintah duniawi putuskan akan dilakukan.”
-