PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g87_No23 hlm. 10-14
  • Saya Selamat dari Tenggelamnya Kapal ”Bismarck”

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Saya Selamat dari Tenggelamnya Kapal ”Bismarck”
  • Sedarlah!—1987 (No. 23)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • ”Bismarck” Diserang
  • ”Bismarck”—Sasaran Empuk
  • Tiga Hari Seorang Diri di Samudra
  • Kembali di Daratan
  • Pulang Kampung
  • Dalam Pasukan Asing Prancis
  • Perubahan Hidup
  • Bertekad Melayani Yehuwa
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2006
  • Berjuang untuk Menjadi ”Pekerja yang Tidak Usah Malu”
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1999
  • ”Tidak Satu Pun dari Kalian Akan Binasa”
    ”Memberikan Kesaksian yang Saksama tentang Kerajaan Allah”
  • Mengarungi Lautan Bergelora Menuju Perairan Tenang
    Sedarlah!—2000
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1987 (No. 23)
g87_No23 hlm. 10-14

Saya Selamat dari Tenggelamnya Kapal ”Bismarck”

SUATU kobaran api yang besar sekali melanda buritan kapal perang Inggris Hood. Kemudian gumpalan api menyapu setinggi lebih dari tiga ratus meter, mengeluarkan banyak asap yang pekat. Seraya asap bertambah dan bertebaran ke atas, pijaran puing-puing kapal jatuh ke dalam laut.

Sewaktu langit menjadi cerah, tidak ada yang tersisa dari kapal perang Inggris Hood yang berbobot mati 42.000 ton, kebanggaan Angkatan Laut Kerajaan. Sebuah peluru dari kapal perang Jerman Bismarck telah menghantam tempat penyimpanan amunisi. Maka, pada jam enam pagi tanggal 24 Mei 1941, di lepas pantai Eslandia, lebih dari 1.400 pelaut Inggris tenggelam, dan hanya 3 selamat.

Tidak peduli kawan atau lawan, siapapun yang menyaksikan kejadian yang mengerikan ini tidak mungkin tetap tak acuh. Memang, awak kapal Bismarck, tempat saya mengepalai meriam penangkis serangan kapal udara, gembira atas kemenangan itu. Tetapi, saya melihat bahwa beberapa pelaut di dekat saya menitikkan air mata ketika kapal Inggris itu tenggelam. Mereka dapat turut merasakan nasib rekan-rekan pelaut yang tewas.

”Bismarck” Diserang

Malam hari tanggal 18 Mei kami telah meninggalkan Gotenhafen, sekarang pelabuhan Baltik dari Gdynia, di Polandia. Iringan kapal kami dalam misi untuk menyerang kapal dagang Sekutu di Atlantik Utara. Ini adalah bagian dari ”Operation Rheinübung”, atau Latihan Rhineland, yang telah disusun oleh Departemen Angkatan Laut Jerman.

Laksamana dari Armada Lütjens yang memimpin misi kami. Kapal benderanya adalah kebanggaan Angkatan Laut Jerman, salah satu kapal perang yang paling kuat, Bismarck. Bobot mati kapal itu lebih dari 50.000 ton dan ada lebih dari 2.000 orang awak kapal. Karena tahu bahwa kami telah memasuki Atlantik Utara, beberapa hari kemudian kapal-kapal Inggris berangkat untuk mencegat Bismarck.

Ketika kami menenggelamkan kapal Hood pada tanggal 24 Mei, setiap kapal Inggris yang ada dikerahkan untuk menenggelamkan kapal Bismarck. Malam itu kapal induk Inggris Victorious melancarkan serangan pesawat udara yang menjatuhkan torpedo. Saya bertugas mengepalai meriam penangkis serangan udara berdiameter 20 milimeter yang letaknya menghadap haluan sebelah kanan. Sampai hari ini saya masih dapat membayangkan pesawat-pesawat udara Inggris itu meluncur tepat di atas laut, berhadapan langsung dengan senjata api kami yang kuat. Sebuah torpedo menimpa kami tetapi hanya mengakibatkan sedikit kerusakan. Kami berhasil meloloskan diri selama lebih dari 30 jam.

Tetapi, pada pagi hari tanggal 26 Mei, sebuah pesawat pengintai Inggris Catalina kembali menemukan kami. Kapal induk Inggris Ark Royal mengirim dua gelombang serangan udara yang meluncurkan 13 torpedo kepada kami. Kali ini Bismarck dihantam oleh dua dari antaranya, salah Satunya mengakibatkan kerusakan berat pada kemudi. Akibatnya, kami kehilangan kendali dan mulai berputar-putar dalam lingkaran yang luas. Walaupun demikian, saya yakin tidak akan terjadi hal yang serius atas kami. Tetapi jam-jam berikutnya membuktikan saya salah.

”Bismarck”—Sasaran Empuk

Pada pagi hari tanggal 27 Mei, kami dikepung oleh kapal-kapal perang Inggris. Mereka menembak, benar-benar menghujani maut dan kemusnahan. Paling sedikit ada delapan torpedo dan beberapa ratus peluru yang menghantam kami. Walaupun sudah tidak berdaya, Bismarck masih berkeras tetap terapung.

Keadaan dalam kapal sangat menyedihkan. Sekoci penyelamat tidak dapat digunakan, karena telah sangat rusak oleh peluru dan serangan udara yang datang bertubi-tubi. Seluruh bagian geladak hancur sama sekali. Logam berserakan di mana-mana. Asap yang gelap semakin banyak datang dari lubang yang ternganga di geladak. Api berkecamuk tanpa kendali. Di mana-mana tergeletak orang mati dan orang yang terluka.

Perintah diberikan untuk meninggalkan kapal. Orang yang selamat berdesak-desak menuju bagian belakang kapal, baju pelampung dan tali pengaman terikat kuat. Saya berada di antara orang-orang yang melompat ke dalam laut, dengan angin di belakang sehingga kami tidak terlempar ombak ke lambung kapal. Begitu berada dalam laut, satu-satunya pikiran kami hanyalah untuk berenang secepat mungkin menjauhi kapal agar tidak ikut terhisap sewaktu kapal secara perlahan tenggelam dan akhirnya lenyap.

Tiga Hari Seorang Diri di Samudra

Kelompok kami segera dipencarkan oleh ombak samudra. Hari mulai malam. Kapal Inggris lenyap dari pandangan mata. Dari segala arah, sejauh mata memandang, hanya potongan puing-puing yang terapung. Sewaktu malam tiba, hanya Hermann yang bekerja dalam ruang mesin, dan saya berada bersama dalam air.

Laut mulai mengganas dan ombak menjadi lebih tinggi. Tiba-tiba saya menyadari bahwa Hermann hilang. Tidak ada petunjuk di mana dia berada. Saya menjadi panik. Saya kedinginan dan ketakutan. Kami telah dilatih siap mati untuk tanah air, tetapi saat itu gagasan untuk mati sebagai pahlawan sama sekali tidak menarik. Saya ingin hidup, walaupun sendirian di tengah-tengah samudra yang bergelombang, ganas dan gelap.

Serangkaian kenangan memenuhi pikiran saya. Saya teringat masa kecil saya di Recklinghausen, sebuah kota pertambangan batu bara di Rhine-Westphalia Utara. Saya teringat kepada ayah tercinta, yang adalah buruh tambang, dan kepada ibu saya, saudara perempuan saya, dan tiga saudara laki-laki saya. Seluruh keluarga kami beragama Protestan, tetapi Ayah selalu mengatakan bahwa gereja-gereja tidak menerapkan ajaran Alkitab. Pada usia remaja, saya tinggal bersama paman saya di desa, dan ia menyekolahkan saya di akademi pertanian, di mana saya lulus.

Ketika perang pecah, saya mendaftarkan diri dalam angkatan laut di Gotenhafen, di mana latihan militer saya dimulai. Sewaktu saya berangkat dengan kapal ”Bismarck”, saya satu-satunya anak laki-laki yang masih hidup dalam keluarga. Satu saudara laki-laki saya mati karena sakit, yang lain mati dalam pertambangan, dan yang lain lagi mati selama penyerbuan ke Polandia.

Hawa dingin membawa saya kembali kepada kenyataan. Saya berada di tengah-tengah samudra. Tiba-tiba saya ingin sekali berdoa, karena saya tidak mau mati. Dikuasai rasa takut dan sakit di seluruh badan, saya teringat bahwa nenek pernah mengajarkan saya Doa Bapa Kami. Itu satu-satunya doa yang saya tahu, dan saya berulang kali berdoa sepanjang malam. Seraya waktu berjalan, perasaan takut saya berkurang dan saya menjadi tenang.

Ketika senja akhirnya tiba, saya sangat lelah. Laut semakin memburuk dan saya mulai muntah-muntah. Kemudian, karena lelah sekali, saya mulai terlena dan akhirnya jatuh tertidur. Hari berikutnya berjalan lambat, bergantian antara waktu bangun dan tidur. Kemudian malam kedua tiba. Pada saat itu saya menjadi sangat haus, kaki tangan saya kaku karena hawa dingin, dan saya mulai kejang. Saya pikir malam tidak akan berakhir.

Saya mulai berdoa lagi, memohon agar Allah membantu saya tetap hidup. Akhirnya senja tiba, membawa kepada hari yang ketiga. Saya terjatuh dalam keadaan semikoma, sama sekali tidak tahu waktu, dan dalam keadaan demikian samar-samar terdengar suara mesin sebelum saya hilang kesadaran.

Kembali di Daratan

Saya terbangun dalam ruangan yang asing bagi saya. Perlahan-lahan segala sesuatu mulai jelas, dan saya melihat seorang perawat membungkuk di atas saya dan samar-samar mendengar dia berkata, ”Anda telah tertidur selama tiga hari. Saya yakin anda ingin makan sesuatu sekarang.” Perlahan-lahan saya sadar bahwa saya masih hidup. Enam hari telah berlalu: tiga hari di tengah laut, di mana saya telah hanyut 120 kilometer lebih sebelum diangkut oleh kapal Jerman, dan tiga hari lagi dalam sebuah rumah sakit di La Baule-Escoublac, suatu tempat peristirahatan orang Prancis di tepi pantai Atlantik.

Perlu waktu satu bulan bagi tubuh saya untuk kembali ke bentuk normal. Tubuh saya membengkak sekali setelah tiga hari di laut. Saya diijinkan pulang, dan dalam perjalanan pulang ke Jerman, saya diberitahu bahwa hanya 110 dari lebih 2.000 awak kapal Bismarck yang hidup. Kebanyakan telah diselamatkan oleh kapal penjelajah Inggris Dorsetshire.

Pulang Kampung

Sewaktu mendekati rumah, jantung saya mulai berdetak cepat. Saya tidak tahu bahwa pihak berwenang telah memberitahu orang-tua saya bahwa saya hilang di laut. Ayah yang pertama melihat saya. Ia merangkul saya sangat erat, memegang muka saya dengan tangannya yang kasar dan berkata, ”Putraku, engkau telah mati, dan sekarang engkau telah kembali kepada kami!” Ia menangis, dan terisak-isak, kami berpelukan. Ia membawa saya menemui ibu, yang terbaring di sofa, lumpuh. Tidak dapat bergerak atau mengucapkan sepatah kata, bibirnya berkata, ”Putraku, anakku . . . ” Saya berlutut di sisinya dan menangis seperti anak kecil.

Selama tiga tahun berikutnya, saya menjalani kehidupan yang rutin antara pulang cuti dan kembali berperang. Kemudian, pada tanggal 24 Nopember 1944, resimen saya, Marine Light Infantry, ditawan oleh orang Amerika. Saya terus ditawan sampai tahun 1947 dan setelah dibebaskan saya pulang ke rumah. Empat hari kemudian Ibu meninggal. Ia seolah-olah berusaha hidup sampai dapat melihat saya lagi sebelum meninggal.

Di Jerman saya melihat ada banyak perubahan. Kelaparan dan pengangguran terdapat di mana-mana. Pasar gelap telah menjerat banyak orang dalam cengkeramannya. Inflasi membubung tinggi. Kemiskinan adalah makanan kami sehari-hari selama beberapa tahun.

Dalam Pasukan Asing Prancis

Akhirnya, pada tahun 1951, saya membuat suatu keputusan yang mempengaruhi perjalanan hidup saya selama 18 tahun berikut. Saya naik kereta api menuju Strasbourg, sebuah kota Prancis tepat di seberang Sungai Rhine dari Jerman. Di sana saya ikut Pasukan (Legiun) Asing Prancis. Saya dilatih menjadi prajurit terjun payung dan dikirim ke Indocina, yang Vietnam jaman sekarang menjadi bagian darinya.

Bulan Juli 1954 resimen kami berangkat ke Aljazair, tempat perang kemerdekaan sedang dipersiapkan. Kami diterjunkan di seluruh daerah itu, pagi dan malam, untuk membantu barisan serdadu-serdadu Prancis. Pada tahun 1957 saya terluka dan harus dirawat selama tiga bulan di sebuah rumah sakit di Constantine, sebelah timur Aljazair. Pada bulan Mei 1961 resimen saya ditarik dari Aljazair, dan kami berangkat ke tempat tujuan yang baru, Madagaskar.

Perubahan Hidup

Kehidupan saya di Madagaskar sama sekali berbeda dibandingkan pengalaman saya selama 20 tahun sebelumnya. Saya hampir lupa apa arti damai dan ketenangan. Di Madagaskar saya mulai menghargai lagi kehidupan. Saya menaruh minat kepada lingkungan saya: laut yang biru dengan kawanan ikan-ikan yang beraneka warna, perkebunan setempat, dan pegunungan yang megah. Di sini saya bertemu Marisoa, gadis yang kemudian menjadi istri saya.

Sewaktu saya mendapat pensiun militer pada tahun 1969, kami membangun rumah di pulau kecil di Nosy-Be, kira-kira 8 kilometer dari barat laut pantai Madagaskar. Kami tinggal di sana selama lima tahun tetapi kemudian harus kembali ke Prancis karena alasan keluarga. Kami tinggal di Saint-Chamond, sebuah kota industri 48 kilometer dari Lyons.

Tidak lama setelah itu, Marisoa menerima pelajaran Alkitab dengan dua Saksi Yehuwa muda yang berkunjung. Saya duduk di ruang sebelah dan mendengarkan semua yang dibicarakan. Namun, sewaktu istri saya mengajak untuk ikut belajar, saya mengatakan, ”Saya telah melakukan begitu banyak perkara buruk. Saya tahu betul Allah tidak akan pernah mau mengampuni saya karena apa yang telah saya lakukan sebagai prajurit.” Tak lama kemudian istri saya memberikan Alkitab dalam bahasa Jerman, bahasa asli saya, dan berlangganan majalah Watchtower bagi saya.

Meskipun demikian saya tetap menolak untuk menghadiri perhimpunan, berpikir bahwa hanya orang yang melakukan kesalahan kecil dapat hadir di sana atau mendekati Allah dalam doa. Tetapi, Marisoa mendesak saya agar menemani dia pada perayaan Peringatan kematian Kristus, yang diadakan satu kali setahun. Saya akhirnya menyerah, menyuruh dia berjanji tidak akan membicarakan hal itu lagi setelah kami pulang ke rumah. Namun, harus saya akui bahwa saya sangat tersentuh oleh sambutan hangat yang saya terima malam itu.

Sejak itu, berlawanan dengan semua maksud hati sebelumnya, saya pergi bersama istri saya ke perhimpunan di Balai Kerajaan setempat. Mengapa? Karena saya merasa tentram berada bersama orang-orang ini. Saya terkesan oleh kasih mereka yang hangat terhadap satu sama lain dan oleh ajaran mereka, yang didasarkan atas Alkitab. Saya menerima pelajaran Alkitab, dan pada tahun 1976 istri saya dan saya melambangkan pembaktian kami kepada Yehuwa melalui baptisan air. Setelah itu, saya semakin jarang mengenang kembali pengalaman masa lalu, dan saya menggunakan waktu untuk membantu orang lain belajar kebenaran Alkitab. Jadi, dengan memikirkan perluasan kegiatan pengabaran, kami kembali ke Madagaskar pada tahun 1978.

Tidak banyak jalan raya dan di beberapa bagian tertentu dari pulau itu jaraknya jauh, tetapi kami dengan senang hati berjalan di sepanjang jalan yang berdebu, mengetahui bahwa setibanya di tempat tujuan kami, akan ada banyak orang yang menyambut. Kami berjalan antara sepuluh sampai lima belas kilometer setiap hari dalam suhu udara 40°C lebih. Kadang-kadang setibanya kami di rumah, perut dan tas buku Alkitab kami kosong! Dalam tiga bulan saya menempatkan seribu buku, dan kami membantu beberapa orang mempelajari iman kami. Sayangnya, kami harus meninggalkan Madagaskar pada tahun 1982 karena problem kesehatan, dan kami kembali ke Prancis.

Kengerian yang saya alami kadang-kadang masih muncul dalam pikiran saya. Tetapi saya tahu bahwa akan datang masanya manakala kenangan sedemikian, termasuk hari-hari dan malam-malam buruk yang saya alami selama dan setelah tenggelamnya kapal Bismarck, tidak akan diingat lagi. Janji Yehuwa akan digenapi, ”Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati.”—Yesaya 65:17.—Seperti diceritakan oleh Wilhelm Wieck.

[Gambar di hlm. 13]

Saya bersama istri, membaca Alkitab

[Keterangan Gambar di hlm. 10]

Photos: Bundesarchiv, Koblenz, Germany

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan