PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Sulitnya Menjadi Perempuan
    Menara Pengawal—2012 | 1 September
    • Sulitnya Menjadi Perempuan

      ”Kalau melihat perlakuan terhadap wanita, aku enggak mau jadi dewasa.”​—ZAHRA, 15 TAHUN, dikutip dari majalah GEO, edisi Prancis.

      KATA-KATA gadis itu menunjukkan kenyataan yang mengerikan—sepanjang hidupnya, kaum wanita di seluruh dunia, baik tua maupun muda, mengalami kekerasan dan diskriminasi. Pertimbangkan beberapa fakta ini.

      • Diskriminasi gender. Di Asia, kebanyakan orang lebih menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Laporan PBB 2011 memperkirakan bahwa di bagian dunia itu, hampir 134 juta perempuan kehilangan nyawanya akibat digugurkan, dibunuh sewaktu kecil, dan ditelantarkan.

      • Pendidikan. Dua pertiga dari orang-orang di seluruh dunia yang mendapat pendidikan kurang dari empat tahun adalah perempuan.

      • Pelecehan seksual. Lebih dari 2,6 miliar wanita tinggal di negeri-negeri di mana pemerkosaan oleh suami sendiri tidak dianggap kejahatan.

      • Kesehatan. Di negeri-negeri berkembang, kira-kira tiap dua menit, seorang wanita mati akibat kurangnya perawatan medis selama kehamilan atau karena komplikasi persalinan.

      • Hak kepemilikan tanah. Walaupun perempuan menggarap lebih dari setengah perladangan dunia, di kebanyakan negeri, mereka tidak mendapat hak untuk memiliki atau mewarisi tanah.

      Mengapa perempuan tidak mendapatkan hak-hak yang mendasar tadi? Beberapa kebudayaan melestarikan kepercayaan dan kebiasaan agama yang mendukung atau bahkan membenarkan penganiayaan dan kekerasan terhadap perempuan. Sebuah koran Prancis mengutip perkataan pengacara India bernama Chandra Rami Chopra, ”Semua hukum agama memiliki satu kesamaan: Semuanya mendukung diskriminasi terhadap perempuan.”

      Apakah Anda setuju dengan pandangan tadi? Apakah menurut Anda, Alkitab menganggap remeh wanita seperti banyak buku keagamaan lainnya? Bagi beberapa orang, ayat-ayat Alkitab mungkin memberikan kesan seperti itu. Tetapi, bagaimana sebenarnya pandangan Allah terhadap perempuan? Walaupun pembahasan ini bisa melibatkan emosi yang terdalam, jawabannya bisa ditemukan apabila kita dengan teliti dan tulus memeriksa apa yang Alkitab katakan.

  • Apakah Allah Memang Peduli Terhadap Perempuan?
    Menara Pengawal—2012 | 1 September
    • Apakah Allah Memang Peduli Terhadap Perempuan?

      ”Permulaan dosa dari perempuan dan karena dialah kita sekalian mesti mati.”​—KITAB SIRAKH, ABAD KEDUA SM

      ”Engkau gerbang bagi Iblis, engkau yang lebih dahulu makan dari pohon terlarang, engkau yang pertama-tama melanggar hukum ilahi . . . Dengan mudahnya engkau menghancurkan gambar Allah, yaitu pria.”​—TERTULIAN, ON THE APPAREL OF WOMEN, ABAD KEDUA M

      AYAT-AYAT kuno itu tidak berasal dari Alkitab. Selama berabad-abad, ayat-ayat tersebut digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan dewasa ini, beberapa ekstremis masih mengutip tulisan keagamaan untuk mengesahkan dominasi terhadap perempuan, dan menyatakan bahwa perempuan patut dipersalahkan atas permasalahan umat manusia. Apakah Allah memang menghendaki perempuan menjadi sasaran cemoohan dan penganiayaan laki-laki? Bagaimana menurut Alkitab? Mari kita lihat jawabannya.

      Apakah perempuan dikutuk oleh Allah?

      Tidak. Sebaliknya, ”naga besar itu, ular yang semula, yang disebut Iblis”, dialah yang ’dikutuk’ Allah. (Penyingkapan [Wahyu] 12:9; Kejadian 3:14) Ketika Allah mengatakan bahwa Adam akan ”menguasai” istrinya, itu tidak berarti Allah setuju laki-laki menaklukkan perempuan. (Kejadian 3:16) Ia hanya menubuatkan konsekuensi menyedihkan dari dosa atas pasangan manusia pertama.

      Jadi, penganiayaan terhadap perempuan adalah akibat langsung dari keadaan manusia yang berdosa, bukan kehendak Allah. Alkitab tidak mendukung pandangan bahwa perempuan harus takluk pada laki-laki guna menebus dosa asal.​—Roma 5:12.

      Apakah Allah menciptakan perempuan lebih rendah daripada laki-laki?

      Tidak. Kejadian 1:27 menyatakan, ”Allah menciptakan manusia menurut gambarnya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka.” Jadi sejak permulaan, manusia​—laki-laki dan perempuan—​diciptakan dengan kesanggupan untuk mencerminkan sifat-sifat Allah. Adam dan Hawa memang berbeda secara fisik dan emosi, tetapi keduanya mendapat tugas dan hak yang sama di hadapan Pencipta mereka.​—Kejadian 1:28-31.

      Sebelum menciptakan Hawa, Allah menyatakan, ”Aku akan menjadikan seorang penolong baginya [Adam], sebagai pelengkap dirinya.” (Kejadian 2:18) Apakah kata ”pelengkap” memberi kesan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki? Tidak, karena kata Ibraninya juga dapat memaksudkan ”mitra” atau ”bantuan yang sepadan bagi” laki-laki. Bayangkan peranan yang saling melengkapi dari seorang dokter bedah dan ahli bius selama operasi berlangsung. Bisakah mereka berhasil tanpa bantuan satu sama lain? Tentu tidak! Walaupun dokter bedah yang melakukan operasi, apakah ia lebih penting? Tidak. Demikian pula, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling bekerja sama, bukan bersaing.​—Kejadian 2:24.

      Apa buktinya Allah peduli terhadap perempuan?

      Karena mengetahui apa yang bisa dilakukan laki-laki yang berdosa, Allah sejak awal telah mengungkapkan niat-Nya untuk melindungi kaum perempuan. Mengenai Hukum Musa, yang ditetapkan pada abad ke-16 SM, Laure Aynard, pengarang buku La Bible au féminin (Alkitab dalam Gender Feminin), mengatakan, ”Pada saat perjanjian Hukum berbicara tentang perempuan, kebanyakan bertujuan untuk melindunginya.”

      Sebagai contoh, Hukum memerintahkan untuk menghormati dan merespek baik ayah maupun ibu. (Keluaran 20:12; 21:15, 17) Hukum yang sama juga menunjukkan bahwa wanita hamil harus diperlakukan dengan lebih bertimbang rasa. (Keluaran 21:22) Bahkan sekarang, hukum Allah tersebut jauh lebih melindungi daripada hukum-hukum lainnya di banyak bagian dunia yang kurang memberikan hak-hak wanita. Tetapi, bukan itu saja.

      Hukum yang Mencerminkan Pandangan Allah Tentang Perempuan

      Hukum yang Allah Yehuwa berikan kepada bangsa Israel memberikan manfaat yang tak terbatas secara fisik, moral, dan rohani bagi laki-laki maupun perempuan. Selama mereka mendengarkan dan mematuhinya, bangsa itu akan berada ”di atas semua bangsa lain di bumi”. (Ulangan 28:1, 2) Apa bagian yang diperoleh perempuan dalam Hukum tersebut? Perhatikan beberapa hal berikut.

      1. Kebebasan pribadi. Tidak seperti perempuan di negeri-negeri lainnya pada zaman dahulu, kaum perempuan di Israel menikmati banyak kebebasan. Walaupun suami diberi peranan sebagai kepala keluarga, sang istri dengan kepercayaan penuh suaminya dapat ”mempertimbangkan untuk membeli sebuah ladang dan kemudian memperolehnya” lalu ”membuat kebun anggur”. Apabila sang istri terampil memintal dan menenun, ia bahkan dapat menjalankan bisnis sendiri. (Amsal 31:11, 16-19) Di bawah Hukum Musa, perempuan dipandang sebagai pribadi yang memiliki hak-haknya sendiri, tidak hanya sebagai tambahan bagi pria.

      Di Israel kuno, kaum perempuan juga dapat memiliki hubungan pribadi dengan Allah. Contohnya Hana, yang Alkitab katakan berdoa kepada Allah mengenai masalah pribadinya dan berikrar tanpa diketahui orang lain. (1 Samuel 1:11, 24-28) Seorang wanita dari kota Syunem biasa berkonsultasi dengan nabi Elisa pada hari Sabat. (2 Raja 4:22-25) Wanita lainnya, seperti Debora dan Hulda, digunakan oleh Allah sebagai wakil-Nya. Yang menarik, pria-pria terkemuka dan para imam mau meminta nasihat dari mereka.​—Hakim 4:4-8; 2 Raja 22:14-16, 20.

      2. Kesempatan mendapat pendidikan. Sebagai bagian dalam perjanjian Hukum, perempuan diundang untuk mendengarkan Hukum dibacakan, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk belajar. (Ulangan 31:12; Nehemia 8:2, 8) Mereka juga dapat dilatih untuk ambil bagian dalam beberapa aspek dari ibadat umum. Misalnya, beberapa perempuan kemungkinan melakukan ”dinas yang terorganisasi” di tabernakel, dan yang lainnya bernyanyi dalam paduan suara.​—Keluaran 38:8; 1 Tawarikh 25:5, 6.

      Banyak wanita memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menjalankan bisnis yang menguntungkan. (Amsal 31:24) Menurut kebudayaan bangsa-bangsa lain kala itu, hanya para ayah yang boleh mengajar putra-putranya. Sebaliknya, para ibu di Israel juga memiliki peranan dalam mendidik putra mereka sampai dewasa. (Amsal 31:1) Jelaslah, para wanita di Israel zaman dahulu sangat berpendidikan.

      3. Dihormati dan direspek. Sepuluh Perintah dengan jelas menetapkan, ”Hormatilah bapakmu dan ibumu.” (Keluaran 20:12) Dalam peribahasa dari Raja Salomo yang bijaksana, kita membaca, ”Putraku, dengarkanlah disiplin bapakmu, dan jangan meninggalkan hukum ibumu.”​—Amsal 1:8.

      Hukum mencakup peraturan terperinci mengenai tingkah laku di antara orang-orang yang belum menikah, yang menunjukkan respek kepada perempuan. (Imamat 18:6, 9; Ulangan 22:25, 26) Suami yang baik harus mempertimbangkan keterbatasan fisik dan biologis istrinya.​—Imamat 18:19.

      4. Hak untuk dilindungi. Dalam Firman-Nya, Yehuwa menggambarkan diri-Nya sebagai, ”Bapak bagi anak-anak lelaki yatim dan hakim bagi para janda”. Dengan kata lain, Ia adalah Pelindung bagi mereka yang hak-haknya tidak dilindungi karena tidak memiliki ayah atau suami. (Mazmur 68:5; Ulangan 10:17, 18) Maka, pada suatu saat ketika janda seorang nabi diperlakukan dengan tidak adil oleh penagih utang, Yehuwa turun tangan dengan mengadakan mukjizat sehingga wanita itu dapat bertahan dan menjaga martabatnya.—2 Raja 4:1-7.

      Sebelum bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian, kepala keluarga Zelofehad meninggal tanpa memiliki seorang putra. Kelima putrinya meminta Musa untuk memberi mereka ”milik pusaka” di Tanah Perjanjian. Yehuwa kemudian memberi lebih daripada itu. Ia memerintahkan Musa agar ”memberi mereka milik pusaka sama seperti saudara-saudara lelaki bapak mereka, dan engkau harus memerintahkan agar milik pusaka bapak mereka dialihkan kepada mereka”. Mulai saat itu, perempuan di Israel dapat memiliki warisan dari bapak mereka agar hal itu dapat mereka teruskan pada keturunan mereka.​—Bilangan 27:1-8.

      Pandangan Allah Terhadap Perempuan Disalahgambarkan

      Di bawah Hukum Musa, perempuan menikmati status yang terhormat, dan hak-hak mereka juga dilindungi. Tetapi, sejak abad keempat SM, Yudaisme mulai dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, yang menganggap wanita lebih rendah.—Lihat kotak ”Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam Tulisan Kuno”.

      Misalnya, seorang penyair Yunani Hesiodus (abad kedelapan SM) menuduh wanita sebagai penyebab semua kesusahan manusia. Dalam bukunya Theogony, ia berbicara tentang ”kaum dan suku yang mematikan, yaitu perempuan yang tinggal di antara pria-pria dan menyebabkan banyak masalah”. Gagasan ini mulai diterima dalam Yudaisme sejak permulaan abad kedua SM. Sebuah Talmud, yang disusun sejak abad kedua M, memperingatkan para pria, ”Jangan sering bercakap-cakap dengan perempuan, karena pada akhirnya ini akan membuatmu tidak murni.”

      Selama berabad-abad, rasa tidak percaya ini telah berdampak besar atas peranan perempuan dalam masyarakat Yahudi. Pada zaman Yesus, akses mereka ke bait dibatasi hanya sampai Halaman Kaum Wanita. Pendidikan agama hanya diberikan kepada pria, dan kemungkinan wanita dipisahkan dari pria di sinagoga. Sebuah Talmud mengutip perkataan seorang Rabi, ”Siapa pun yang mengajarkan Taurat kepada putrinya sama saja dengan mengajarkan ketidaksenonohan.” Dengan menyalahgambarkan pandangan Allah, para pemimpin agama Yahudi mengajar banyak pria untuk memandang hina perempuan.

      Pada saat berada di bumi, Yesus memerhatikan adanya prasangka tersebut, yang berakar kuat dalam tradisi. (Matius 15:6, 9; 26:7-11) Apakah semua itu memengaruhi cara ia berurusan dengan perempuan? Apa yang bisa kita pelajari dari sikap dan tingkah lakunya? Apakah Kekristenan sejati membawa kelegaan bagi kaum perempuan? Artikel berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

      Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam Tulisan Kuno

      Sejak abad pertama M, penulis-penulis seperti Filo dari Aleksandria mulai menggunakan filsafat Yunani untuk menafsir ulang catatan Kejadian. Bagi Filo, Hawa bersalah karena dosa seksual sehingga dikutuk untuk hidup ”tanpa kebebasan dan ditaklukkan di bawah dominasi pria yang menjadi pasangannya”. Perasaan yang merendahkan perempuan menyusup ke dalam Yudaisme, dan juga tulisan-tulisan dari Bapak-Bapak Gereja.

      Dalam Midras Raba, teks Yahudi abad kedua, seorang rabi menjelaskan alasannya mengapa perempuan harus mengenakan cadar, ”Ia seperti orang yang berbuat salah dan malu kepada orang-orang.” Teolog Tertulian, yang tulisannya sangat berpengaruh bahkan sejak abad kedua M, mengajarkan bahwa perempuan harus berjalan seperti ”Hawa yang berkabung dan menyesal”. Ajaran seperti itu, yang sering kali secara keliru dianggap berasal dari Alkitab, telah menyebabkan banyak diskriminasi terhadap perempuan.

  • Allah Merespek dan Memedulikan Perempuan
    Menara Pengawal—2012 | 1 September
    • Allah Merespek dan Memedulikan Perempuan

      PADA saat di bumi, Yesus dengan sempurna mencerminkan sifat-sifat Bapaknya dan cara Ia berurusan. Yesus mengatakan, ”Aku tidak melakukan sesuatu pun atas prakarsaku sendiri; tetapi aku berbicara tentang hal-hal ini sebagaimana telah diajarkan Bapak kepadaku . . . aku selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan dia.” (Yohanes 8:28, 29; Kolose 1:15) Maka, dengan memerhatikan cara Yesus berinteraksi dengan perempuan dan sikapnya kepada mereka, kita juga bisa mengerti pandangan Allah terhadap perempuan dan apa yang Ia harapkan dari mereka.

      Berdasarkan catatan Injil, beberapa pakar mengakui bahwa pandangan Yesus terhadap perempuan sangat revolusioner. Apa maksudnya? Dan yang lebih penting, apakah ajarannya masih berpengaruh terhadap kebebasan perempuan sekarang?

      Cara Yesus Memperlakukan Perempuan

      Yesus tidak menganggap mereka sebagai objek seksual belaka. Menurut pandangan beberapa pemimpin agama Yahudi, interaksi dengan lawan jenis hanya akan membangkitkan nafsu. Karena para wanita ditakuti sebagai sumber godaan, mereka tidak diizinkan berbicara dengan pria di tempat umum atau keluar rumah tanpa cadar. Di pihak lain, Yesus menasihati para pria untuk mengendalikan nafsu dan memperlakukan wanita dengan bermartabat, bukannya melarang mereka untuk bersosialisasi.​—Matius 5:28.

      Yesus juga mengatakan, ”Barang siapa menceraikan istrinya dan menikah dengan orang lain, berbuat zina terhadap istrinya.” (Markus 10:11, 12) Maka, Yesus menolak ajaran yang populer dari para rabi yang memperbolehkan suami menceraikan istri ”atas dasar apa pun”. (Matius 19:3, 9) Konsep berzina terhadap istri hampir tidak pernah dikenal oleh kebanyakan orang Yahudi. Para rabi mengajarkan bahwa suami tidak bisa berzina terhadap istrinya—hanya wanita yang bisa berzina! Sebuah ulasan Alkitab menyatakan, ”Dengan menempatkan suami dan istri di bawah kewajiban moral yang sama, Yesus mengangkat status dan martabat wanita.”

      Pengaruh ajarannya sekarang: Dalam jemaat Kristen Saksi-Saksi Yehuwa, para wanita bergaul dengan leluasa bersama para pria dalam pertemuan ibadat. Dan, mereka tidak perlu takut akan tatapan yang tidak pantas atau pendekatan yang tidak patut, karena pria Kristen dengan hati-hati memperlakukan ”wanita-wanita yang lebih tua seperti ibu, wanita-wanita yang lebih muda seperti saudara perempuan dengan segala kemurnian”.​—1 Timotius 5:2.

      Yesus menyediakan waktu untuk mengajar perempuan. Para rabi umumnya membiarkan wanita tidak berpendidikan. Sebaliknya, Yesus mengajar mereka dan menganjurkan mereka untuk menyatakan diri. Dengan mengajar Maria, Yesus menunjukkan bahwa tempat perempuan bukan hanya di dapur. (Lukas 10:38-42) Marta, saudara perempuan Maria, juga memperoleh manfaat dari ajarannya, dan itu terlihat dari jawaban cerdas yang ia berikan kepada Yesus setelah kematian Lazarus.​—Yohanes 11:21-27.

      Yesus berminat akan apa yang dipikirkan wanita. Pada waktu itu, kebanyakan wanita Yahudi percaya bahwa kunci kebahagiaan adalah memiliki anak yang berhasil, kalau bisa menjadi seorang nabi. Ketika seorang wanita berseru, ”Berbahagialah rahim yang telah mengandung engkau!” Yesus menggunakan kesempatan itu untuk memberitahukan sesuatu yang lebih baik. (Lukas 11:27, 28) Dengan menunjukkan bahwa kerohanian lebih penting, Yesus memberi tahu dia sesuatu yang lebih daripada peranan tradisional kaum wanita.​—Yohanes 8:32.

      Pengaruh ajarannya sekarang: Para guru dalam jemaat Kristen senang mendengar komentar dari kaum perempuan dalam pertemuan ibadat. Mereka menghormati wanita yang lebih tua sebagai ”guru dari apa yang baik”, melalui pengajaran maupun teladan. (Titus 2:3) Mereka juga mengandalkan kaum perempuan untuk memberitakan kabar baik Kerajaan Allah.​—Mazmur 68:11; lihat kotak ”Apakah Rasul Paulus Melarang Wanita Berkomentar?” di halaman 9.

      Yesus memedulikan perempuan. Pada zaman Alkitab, anak perempuan dianggap kurang berharga dibanding anak laki-laki. Talmud mencerminkan pandangan ini, dengan mengatakan, ”Berbahagialah orang yang memiliki anak laki-laki, dan celakalah orang yang memiliki anak perempuan.” Beberapa orang tua menganggap anak perempuan sebagai beban yang lebih berat—mereka harus mencarikan pasangan dan memberikan mas kawin, dan mereka tidak bisa mengandalkannya pada hari tua mereka.

      Yesus menunjukkan bahwa kehidupan anak perempuan sama pentingnya dengan anak laki-laki. Ia membangkitkan putri Yairus dan juga putra janda dari Nain. (Markus 5:35, 41, 42; Lukas 7:11-15) Setelah menyembuhkan wanita yang diganggu oleh ”roh kelemahan selama delapan belas tahun”, Yesus menyebutnya sebagai ”anak Abraham”, sebuah ungkapan yang hampir tidak dikenal dalam tulisan Yahudi. (Lukas 13:10-16) Dengan menggunakan ungkapan yang penuh respek dan baik hati itu, Yesus tidak hanya menganggap dia sebagai anggota masyarakat sepenuhnya, tetapi juga mengakui imannya yang besar.​—Lukas 19:9; Galatia 3:7.

      Pengaruh ajarannya sekarang: Peribahasa Asia mengatakan, ”Membesarkan anak perempuan adalah seperti menyirami kebun tetangga.” Para ayah Kristen tidak boleh terpengaruh oleh sikap mental itu, tetapi hendaknya mengurus semua anak mereka, laki-laki maupun perempuan. Orang tua Kristen memastikan bahwa semua anaknya mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan yang baik.

      Yesus memercayai wanita. Di pengadilan Yahudi, kesaksian seorang wanita disamakan dengan kesaksian seorang budak. Sejarawan abad pertama Yosefus menasihati, ”Janganlah menerima bukti dari seorang wanita, karena mereka tidak serius dan ceroboh.”

      Sebaliknya, Yesus memilih wanita untuk melaporkan kebangkitannya. (Matius 28:1, 8-10) Walaupun para wanita setia ini telah menyaksikan sendiri Yesus dibunuh dan dikubur, para rasul sulit memercayai perkataan mereka. (Matius 27:55, 56, 61; Lukas 24:10, 11) Tetapi, dengan terlebih dahulu menampakkan diri kepada para wanita, Yesus menunjukkan bahwa mereka patut dipercaya sama seperti para muridnya yang lain.​—Kisah 1:8, 14.

      Pengaruh ajarannya sekarang: Di sidang jemaat Saksi Yehuwa, pria-pria yang memiliki tanggung jawab bertimbang rasa terhadap kaum perempuan dengan menghargai pandangan yang mereka berikan. Para suami Kristen ”memberikan kehormatan” bagi istri mereka dengan mendengarkan perkataan mereka.​—1 Petrus 3:7; Kejadian 21:12.

      Prinsip Alkitab Turut Menghasilkan Kebahagiaan Perempuan

      Jika laki-laki meniru Kristus, perempuan akan mendapatkan respek dan kebebasan yang pada mulanya dikehendaki Allah. (Kejadian 1:27, 28) Sebaliknya dari mendukung kekuasaan absolut pria, suami Kristen memilih untuk diarahkan oleh prinsip Alkitab, yang turut membahagiakan pasangan mereka.​—Efesus 5:28, 29.

      Ketika Yelena mulai belajar Alkitab, ia mengalami perlakuan kasar dari suaminya dan tidak banyak orang yang mengetahuinya. Suaminya dibesarkan dalam lingkungan yang keras di mana penculikan perempuan dan penganiayaan fisik merupakan hal yang umum. ”Apa yang saya pelajari dari Alkitab memberi saya kekuatan,” ujar Yelena. ”Saya mengerti bahwa ada yang sangat mengasihi, menghargai, dan memedulikan saya. Saya juga mengerti, bahwa apabila suami saya belajar Alkitab, perlakuannya kepada saya bisa berubah.” Mimpinya menjadi kenyataan ketika sang suami pada akhirnya setuju untuk mempelajari Alkitab lalu dibaptis sebagai seorang Saksi Yehuwa. ”Ia sekarang menjadi teladan dalam pengendalian diri,” kata Yelena. ”Kami belajar untuk saling memaafkan dengan lapang hati.” Kesimpulannya? ”Prinsip Alkitab benar-benar membantu saya merasa dibutuhkan dan dilindungi dalam perkawinan.”​—Kolose 3:13, 18, 19.

      Hal itu tidak hanya dialami Yelena. Jutaan wanita Kristen lainnya bahagia karena mereka bersama suami mereka berupaya menerapkan prinsip Alkitab dalam perkawinan. Mereka merasakan respek, penghiburan, dan kebebasan dalam pergaulan bersama rekan-rekan Kristen.​—Yohanes 13:34, 35.

      Pria dan wanita Kristen menyadari bahwa sebagai manusia yang berdosa dan tidak sempurna, mereka termasuk dalam ciptaan Allah yang ”ditundukkan kepada kesia-siaan”. Namun, dengan mendekat kepada Allah dan Bapak mereka yang pengasih, Yehuwa, mereka memiliki harapan untuk ”dimerdekakan dari keadaan sebagai budak kefanaan” dan menikmati ”kemerdekaan yang mulia sebagai anak-anak Allah”. Benar-benar prospek yang gemilang bagi laki-laki maupun perempuan!​—Roma 8:20, 21.

      Apakah Rasul Paulus Melarang Wanita Berkomentar?

      ”Biarlah wanita-wanita berdiam diri dalam sidang-sidang jemaat,” tulis rasul Paulus. (1 Korintus 14:34) Apa yang ia maksudkan? Apakah ia meremehkan kecerdasan mereka? Tidak. Malah, ia sering menyebutkan tentang wanita-wanita yang bisa mengajar dengan baik. (2 Timotius 1:5; Titus 2:3-5) Dalam suratnya kepada orang-orang di Korintus, Paulus tidak hanya menasihati para wanita tetapi juga orang-orang yang memiliki karunia bernubuat dan berbicara dalam bahasa lain agar mereka ”berdiam diri” ketika rekan seiman lainnya sedang berbicara.a (1 Korintus 14:26-30, 33) Beberapa wanita Kristen mungkin sangat antusias mengenai iman baru mereka sehingga menyela pembicara untuk bertanya, yang juga merupakan kebiasaan umum di sana kala itu. Untuk menghindari kekacauan tersebut, Paulus menasihati mereka agar ”bertanya kepada suami mereka di rumah”.​—1 Korintus 14:35.

      a Untuk pembahasan lebih jauh mengenai peranan wanita dalam sidang jemaat, lihat artikel ”Adakah Rohaniwan Wanita di Antara Saksi-Saksi Yehuwa?” di halaman 23.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan