PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Bekerja Keras—Apa Akibatnya?
    Sedarlah!—1993 | 8 Juni
    • Bekerja Keras—Apa Akibatnya?

      Oleh koresponden Sedarlah! di Jepang

      ”’MINUMAN penambah tenaga’ telah menjadi sangat populer, dengan lebih dari 200 merek tersedia dan total penjualannya 900 juta yen per tahun,” demikian laporan Mainichi Daily News, surat kabar Jepang yang terkemuka. Popularitas produk-produk ini, yang katanya dapat memberikan energi seketika untuk memacu para pekerja yang kelelahan, ”menyokong orang-orang Jepang untuk terus bekerja meskipun mengalami stres, kurang tidur dan lemas karena udara musim panas”, kata laporan tersebut melanjutkan.

      Di sisi lain dari Pasifik, ”hampir satu dari delapan orang Amerika dilaporkan bekerja 60 jam atau lebih dalam satu minggu”, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Orang-orang yang menjabat manajemen madya merasa perlu untuk mengabdikan begitu banyak waktu dan energi mereka untuk bekerja sehingga pekerjaan kadang-kadang menjadi faktor pengendali dalam kehidupan mereka.

      Dalam hampir setiap kebudayaan, orang-orang yang rajin, teliti, dan bekerja keras dipuji sebagai pelaku kebajikan. Bahkan seorang penulis Alkitab zaman dahulu mengatakan, ”Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah.” (Pengkhotbah 2:24) Pada umumnya, masyarakat di mana-mana masih percaya kepada nilai-nilai demikian. Tidak soal mereka menganggap hal itu kebajikan atau bukan, kebanyakan orang bekerja dari pagi hingga malam, lima, enam, atau bahkan tujuh hari seminggu.

      Namun, apa yang telah dicapai melalui semua kerja keras ini? Di negara-negara seperti Jepang dan Jerman, ”mukjizat” ekonomi yang muncul sejak akhir Perang Dunia II membuat iri negara-negara berkembang. Kedua bangsa ini bangkit dari kekalahan untuk menjadi kekuatan ekonomi yang harus diperhitungkan oleh dunia. Akan tetapi, apa dampak pengabdian kepada pekerjaan atas diri banyak orang?

      Meskipun standar kehidupan di Jepang telah naik begitu tinggi, Mainichi Daily News melaporkan bahwa kebanyakan orang Jepang ”masih sulit untuk merasa diri mapan dalam kehidupan mereka sehari-hari”. Lebih buruk lagi, dalam melakukan pengejaran yang tak kenal lelah akan apa yang disebut kehidupan yang layak, banyak orang jatuh sakit atau bahkan meninggal akibat kerja berlebihan dan stres. Demikian pula, dalam suatu penelitian di Amerika Serikat, sepertiga dari tiga ribu manajer yang disurvei merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras, kehabisan tenaga, dan tidak menemukan gairah dalam pekerjaan mereka.

      Pekerja wanita juga memperlihatkan tanda-tanda ketegangan. Sebuah survei di Italia menyingkapkan bahwa pekerja wanita di negeri itu bekerja keras selama rata-rata 30 jam lebih banyak daripada teman hidup mereka setiap minggu. Selain bekerja selama berjam-jam di kantor atau pabrik, mereka harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga setibanya di rumah. Seorang pekerja wanita mengaku kepada majalah Europeo, ”Kehidupan sosial saya praktis tidak ada. Saya tidak punya waktu untuk diri sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi.”

      Bagaimana dengan kehidupan keluarga? ”Dalam mengejar impian Amerika, kita mengorbankan diri sendiri dan keluarga demi uang dan kekuasaan,” kata Herbert Freudenberger, seorang spesialis di New York, yang menangani masalah kehabisan tenaga karena bekerja. Akibat para suami tenggelam dalam pekerjaan, beberapa istri pengusaha Inggris yang bekerja di luar negeri dilaporkan merasa terasing dan tidak bahagia. Namun dalam hal ini, mereka tidak sendirian.

      Pertimbangkan akibat-akibatnya bagi kehidupan keluarga di Jepang, tempat kurang dari setengah pekerja kerah-putih berusia setengah baya pulang ke rumah sebelum pukul delapan malam. Beberapa istri tidak lagi menganggap suami mereka sebagai pasangan hidup yang sesungguhnya; mereka tidak lagi mengharapkan suami berada di rumah lebih lama daripada yang sudah-sudah. Sebuah iklan televisi meringkaskan kekecewaan para istri dengan mengatakan, ”Suami paling baik berada dalam keadaan sehat walafiat dan jauh dari rumah.”

      Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bekerja keras memiliki sisi positif maupun sisi negatif. Bila dilakukan secara ekstrem, akan menjadi suatu beban. Jadi bagaimana agar bekerja keras tidak menjadi suatu beban melainkan kebajikan yang sejati dan sumber kebahagiaan?

      Di lain pihak, seberapa seriuskah apabila seseorang mendahulukan pekerjaan di atas perkara-perkara lain, atau terus bekerja keras tanpa mempedulikan akibatnya? Marilah kita teliti lebih lanjut aspek-aspek dari bekerja keras ini.

  • Bekerja Keras—Membahayakan Kesehatan Anda?
    Sedarlah!—1993 | 8 Juni
    • Bekerja Keras—Membahayakan Kesehatan Anda?

      SEORANG wiraniaga (salesman) asuransi setengah baya, jatuh sambil tersandar pada mobilnya, muntah-muntah lalu pingsan. Ia masih menggenggam tas kantornya, lambang dari pekerjaannya. Karena bekerja keras di bawah slogan perusahaannya, ”Sekaranglah titik kritis. Kerahkan diri Anda hingga mencapai 150 persen dari kapasitasnya,” ia telah menempuh perjalanan kira-kira 3.000 kilometer dengan mobilnya pada bulan ketika ia pingsan. Empat hari kemudian, ia meninggal.

      Ini bukan satu-satunya peristiwa. ”Prajurit-prajurit perusahaan,” demikianlah istilah bagi orang-orang semacam itu di Jepang, dihantui mimpi buruk karoshi, atau meninggal karena terlalu banyak bekerja. Seorang pengacara yang mengkhususkan diri dalam kasus-kasus demikian memperkirakan bahwa terdapat ”sedikitnya 30.000 korban karoshi di Jepang setiap tahun”. Tidak heran bahwa lebih dari 40 persen pekerja kantor di Jepang yang baru-baru ini disurvei, khawatir akan kemungkinan meninggal karena terlalu banyak bekerja.

      Meskipun mungkin sukar untuk membuktikan hubungan antara terlalu banyak bekerja dengan problem-problem kesehatan, keluarga para korban tidak meragukan hal itu. Sebenarnya, ungkapan ”mati karena terlalu banyak bekerja” pertama kali dibuat dalam tuntutan ganti rugi yang diajukan para keluarga yang berkabung. ”Dari sudut pandang medis,” kata Tetsunojo Uehata dari Dinas Kesehatan Masyarakat di Jepang, ”itu mengacu kepada kematian atau cacat karena apopleksi otak (kelumpuhan otak), infarktus otot jantung (matinya sebagian jaringan otot jantung), atau penyakit jantung yang akut sebagai akibat kerja keras yang membebankan, yang memperburuk tekanan darah tinggi atau arteriosklerosis (penebalan dan hilangnya kelenturan dinding nadi)”. Sebuah laporan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang baru-baru ini memperingatkan bahwa kerja lembur secara terus-menerus merampas waktu tidur seseorang dan akhirnya mengarah kepada kesehatan yang buruk dan penyakit.

      Namun, sebagaimana para perokok benci untuk mengakui bahaya merokok, dan para pecandu alkohol benci untuk mengakui bahaya penyalahgunaan alkohol, para pecandu kerja juga enggan mengakui bahaya jam kerja yang panjangnya melebihi normal. Dan kematian bukanlah satu-satunya bahaya.

      Kehabisan Tenaga dan Depresi

      Sementara beberapa pecandu kerja menjadi korban cacat dan kematian, orang-orang lain mati karena kehabisan tenaga. ”Tidak ada definisi medis yang tepat untuk kata kehabisan tenaga,” kata majalah Fortune menjelaskan, ”namun gejala-gejala yang diterima secara umum mencakup kelelahan, kurang bersemangat, sering absen, bertambahnya problem-problem kesehatan, dan penyalahgunaan obat bius atau alkohol.” Beberapa korban menjadi garang, sedangkan korban lainnya mulai melakukan kesalahan yang sembrono. Namun, bagaimana orang-orang menjadi korban kehabisan tenaga karena bekerja?

      Pada umumnya, bukanlah orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan diri atau terganggu secara emosi yang menjadi korban. Sering, mereka adalah orang-orang yang sangat peduli akan pekerjaan mereka. Mereka mungkin berjuang untuk memenangkan persaingan sengit atau berupaya keras meniti jenjang kedudukan di perusahaan. Mereka bekerja keras selama berjam-jam, seraya berupaya bekerja dengan sebaik-baiknya. Namun bila pengabdian yang teguh dan kerja nonstop tidak menghasilkan kepuasan dan imbalan yang diharapkan, mereka kecewa, merasa lelah, dan menjadi korban kehabisan tenaga karena bekerja.

      Apa akibatnya? Di Tokyo, sebuah layanan telepon bernama Jalur Kehidupan, yang didirikan untuk membantu orang-orang yang ingin bunuh diri, mendapat semakin banyak telepon dari para pekerja kantor setengah baya dan yang lebih tua yang putus asa. Dari antara lebih dari 25.000 korban bunuh diri di Jepang pada tahun 1986, sungguh mengejutkan bahwa 40 persen berusia 40-an dan 50-an, dan 70 persen dari antara mereka adalah pria. ”Itu karena depresi di kalangan karyawan setengah baya semakin meningkat,” keluh Hiroshi Inamura, seorang profesor psikiatri.

      Kemudian, ada lagi yang disebut penyakit syaraf hari libur. Gejalanya? Merasa gelisah pada hari libur karena tidak melakukan apa-apa. Didorong oleh kewajiban untuk bekerja, hati nurani si pekerja yang mengabdi itu terganggu selama libur. Tanpa dapat menemukan kedamaian pikiran, ia berjalan hilir mudik dalam kamarnya yang kecil bagaikan seekor binatang di dalam kandang. Ketika hari Senin tiba, berangkatlah ia ke kantor dengan perasaan lega.

      Sebuah jenis yang unik dari depresi yang sekarang menyebabkan para pekerja setengah baya ke dokter adalah apa yang disebut sindrom fobia-rumah. Pekerja-pekerja yang kelelahan tidak mau beranjak dari kedai kopi dan bar setelah bekerja. Akhirnya, mereka tidak akan pulang ke rumah sama sekali. Mengapa mereka takut pulang ke rumah? Meskipun teman hidup yang tidak simpatik mungkin salah satu faktornya, ”banyak yang telah bekerja terlalu keras sehingga kehilangan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar, bahkan dalam banyak kasus, dengan keluarga mereka sendiri”, kata Dr. Toru Sekiya, yang membuka ”Sistem Rumah Sakit Malam” (Perawatan hanya malam hari) untuk pasien-pasien demikian.

      Kehidupan Keluarga Terhambat

      Pecandu kerja mungkin bukan satu-satunya yang paling menderita. Kecanduan kerja ”sering kali lebih merupakan problem bagi orang-orang yang hidup bersama si pecandu kerja”, kata majalah Entrepreneur. Kehidupan teman hidup dapat berubah menjadi suatu mimpi buruk. Pecandu kerja ”telah menemukan cintanya”, kata majalah The Bulletin, Sydney, Australia, ”dan menerima tempat kedua tidak selalu mudah”. Apa yang terjadi dalam perkawinan demikian?

      Perhatikan kasus Larry, seorang Amerika yang bekerja pada perusahaan Jepang di Amerika Serikat. Ia bekerja lembur berjam-jam tanpa dibayar, meningkatkan produktivitas pabrik sebesar 234 persen. Sukses dan kebahagiaan? ”Gila!” seru sang istri di pengadilan sewaktu menceraikannya.

      Bahkan lebih buruk lagi adalah seorang eksekutif bisnis yang berangkat kerja pada pukul lima setiap pagi dan tidak pulang sebelum pukul sembilan malam. Istrinya mulai menjadi peminum berat. Suatu hari, sewaktu bertengkar tentang kebiasaan minum sang istri, ia mencekik istrinya. Hakim menyatakan pria ini bersalah karena pembunuhan dan mengatakan, ”Dengan berbakti sepenuhnya kepada pekerjaan, Anda tidak menyadari betapa kesepiannya istri Anda dan tidak membuat cukup upaya untuk memberinya alasan menikmati kehidupan.”

      Mencekik teman hidup seseorang merupakan akibat yang ekstrem, tetapi terlalu banyak bekerja dapat menghabisi kehidupan keluarga dengan cara lain. Sewaktu sang suami berada di rumah pada hari Minggu, ia mungkin hanya bermalas-malasan di depan pesawat televisi, menyaksikan acara olahraga kesayangannya dan membuang-buang waktu sepanjang siang. Suami-suami demikian tidak menyadari betapa terasingnya mereka dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Dengan tenggelam dalam pekerjaan, mereka mengabaikan apa yang paling berharga dalam kehidupan, keluarga mereka. Dengan mengabaikan komunikasi keluarga, mereka dengan langkah pasti berjalan menuju masa pensiun yang sepi.

      Lanjut Usia namun Tidak Puas

      Buku At Work menyuarakan peringatan dalam kata pengantarnya, ”Dalam masyarakat kita, . . . begitu kuatnya hubungan antara pekerjaan, harga diri dan status sosial sehingga, sewaktu pensiun, beberapa mendapati sangat sulit untuk menyesuaikan diri kepada kehidupan yang bebas dari tugas-tugas pekerjaan mereka dahulu.” Orang-orang yang memusatkan kehidupan mereka kepada pekerjaan harus mengajukan pertanyaan berikut ini kepada diri mereka sendiri, ’Apa yang tersisa bagi saya jika pekerjaan saya ditiadakan?’ Ingat, bila seseorang pensiun, kehidupannya kemungkinan akan berkisar pada keluarganya dan masyarakat.

      Orang-orang yang telah mengabaikan perlunya komunikasi dengan keluarga dan sesama, merasa bingung akan apa yang harus dibicarakan dengan mereka setelah pensiun. ”Mereka menuai akibatnya karena tidak mempedulikan hal-hal lain selain pekerjaan, bukankah demikian?” kata penasihat veteran bagi pasangan setengah baya di Jepang. ”Kehidupan mereka kekurangan aspek manusiawi, dan mereka menganggap segala sesuatu sudah semestinya hanya karena mereka yang mencari nafkah. Akan tetapi, sewaktu mereka pensiun, situasi rupanya berbalik.”

      Tahun-tahun kerja keras selama 30 atau 40 tahun tersebut, yang dimaksudkan bagi keluarga, dapat menjadi bumerang. Alangkah menyedihkan apabila setelah bekerja keras bertahun-tahun, mantan pencari nafkah ini dianggap sebagai ”sampah industri” dan nureochiba (daun-daun basah yang rontok) oleh keluarga mereka. Istilah yang disebut belakangan digunakan di Jepang untuk menggambarkan para suami yang telah pensiun, yang tidak ada kerjanya selain menghabiskan waktu dengan percuma di dekat istri mereka sepanjang hari. Mereka bagaikan rontokan daun-daun basah yang menempel di sapu dan tidak lepas meski diguncang-guncangkan, menjengkelkan tak kurang tak lebih.

      Mengingat bahaya-bahaya yang terlibat, wajar untuk bertanya, Bagaimana bekerja keras dapat benar-benar dikatakan kebajikan? Adakah pekerjaan yang mendatangkan kepuasan sejati? Artikel kami berikut dari seri ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

      [Kotak di hlm. 15]

      Peringatan yang Tepat Waktu

      ”Apabila suami Anda kehilangan selera makan, susah tidur, tidak mau bicara, maka ia sedang menunjukkan gejala-gejala peringatan. Sarankan dia mencari kesenangan lain di samping bekerja dan upayakan bertemu dengan orang-orang yang tidak ada hubungan dengan perusahaan.”​—Dr. Toru Sekiya, Klinik Saraf Sekiya, Tokyo, Jepang.

      ”Saya senang bekerja berjam-jam, namun apabila Anda harus kehilangan suami atau keluarga Anda gara-gara pekerjaan itu, Anda bertindak dengan cara yang salah. Sungguh menyedihkan menikmati kekayaan seorang diri.”​—Mary Kay Ash, ketua Mary Kay Cosmetics.

      [Gambar di hlm. 14]

      Kehabisan tenaga karena bekerja kadang-kadang mengarah kepada masalah-masalah yang berat

      [Gambar di hlm. 16]

      Kepala keluarga yang pecandu kerja sering kali menghancurkan kehidupan orang-orang yang seharusnya paling dekat dengannya

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan