-
Remaja Masa Kini—Tantangan-Tantangan yang Mereka HadapiSedarlah!—1990 (No. 37) | Sedarlah!—1990 (No. 37)
-
-
Remaja Masa Kini—Tantangan-Tantangan yang Mereka Hadapi
”RISET memperlihatkan bahwa masa remaja jelas termasuk masa yang paling membingungkan dan paling mendatangkan stres dalam kehidupan.” Demikian Dr. Bettie B. Youngs menulis dalam bukunya Helping Your Teenager Deal With Stress (Membantu Anak Remaja Anda Mengatasi Stres). Di masa lampau, kaum remaja sudah cukup sibuk oleh karena kemudaan mereka. Namun, dewasa ini, mereka harus menghadapi kerja keras pradewasa dan tekanan-tekanan hidup orang dewasa yang berat di tahun 1990-an.
Dr. Herbert Friedman menulis dalam majalah World Health, ”Peralihan dari keadaan anak menuju dewasa, tidak pernah terjadi dalam masa perubahan yang begitu dramatis, seperti peningkatan yang luar biasa dalam hal penduduk dunia, cepatnya urbanisasi yang menyertai hal itu, dan revolusi-revolusi teknologi dalam komunikasi dan perjalanan yang dalam waktu hampir sekejap menciptakan keadaan-keadaan yang sebelumnya tidak pernah ditemui.”
Maka seorang gadis remaja bernama Kathy mengatakan, ”Sulit sekali bertumbuh dewasa dalam waktu seperti masa kami hidup ini.” Kecanduan obat bius, bunuh diri, penyalahgunaan alkohol—hal-hal ini merupakan reaksi beberapa remaja terhadap tekanan-tekanan dan ketegangan akibat ”masa yang sukar”.—2 Timotius 3:1.
Revolusi dalam Keluarga
Dr. Youngs mengingat kembali, ”Orang-tua kami mempunyai waktu untuk kami. Banyak dari antara kami mempunyai ibu yang membuat pekerjaan membesarkan anak sebagai karir sepenuh waktu.” Namun dewasa ini, ”banyak wanita tidak dapat atau lebih suka tidak tinggal di rumah dan mendidik anak-anak mereka sepenuh waktu. Mereka bekerja dan harus mempertahankan karir dan keluarga. Tidak ada cukup waktu dalam satu hari; sesuatu harus diabaikan. Terlalu sering, yang diabaikan adalah waktu dan dukungan yang orang-tua dapat berikan kepada anak mereka. Selama masa yang paling peka dalam kehidupan, anak-anak remaja dibiarkan sendirian untuk mengatasi perubahan-perubahan fisik, mental dan emosi”.—Helping Your Teenager Deal With Stress.
Pada tahun-tahun 1990-an pasti akan terlihat struktur keluarga yang berubah secara dramatis akibat perceraian (50 persen dari perkawinan di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian), kelahiran yang tidak sah, dan kecenderungan yang terus bertumbuh bagi pasangan-pasangan untuk hidup bersama tanpa menikah. Dewasa ini kira-kira 1 dari setiap 4 keluarga di Amerika Serikat dipimpin oleh orang-tua tunggal. Semakin banyak jumlah keluarga tiri yang terbentuk karena perkawinan kembali.
Apakah anak-anak dalam struktur keluarga demikian menanggung risiko kerusakan secara emosi atau secara psikologis? Beberapa orang menyatakan, misalnya, bahwa anak-anak dalam keluarga orang-tua tunggal lebih cenderung mengalami kesepian, kesedihan, dan ketidakamanan daripada anak-anak muda yang dibesarkan dalam keluarga tradisional. Memang, banyak keluarga yang berorang-tua tunggal dan keluarga tiri berfungsi tanpa kerugian yang mencolok bagi anak-anak. Namun, Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Allah bermaksud agar anak-anak dibesarkan oleh dua orang-tua. (Efesus 6:1, 2) Sesuatu yang berbeda dengan situasi ideal ini pasti akan menimbulkan stres dan ketegangan tambahan.
Suatu revolusi dalam kehidupan keluarga juga berlangsung di banyak negeri berkembang. Di sana, struktur tradisional adalah keluarga besar, di mana semua anggota keluarga yang sudah dewasa ikut berperan membesarkan anak-anak. Urbanisasi dan industrialisasi dengan cepat memutuskan ikatan keluarga besar—dan aliran dukungan yang dibutuhkan oleh anak-anak muda.
Seorang wanita muda Afrika menulis, ”Tidak ada bibi atau sanak keluarga lainnya yang menasihati saya mengenai apa artinya bertumbuh dewasa. Para orang-tua mengharapkan agar pokok ini dibahas di sekolah—dan sekolah mengandalkan orang-tua untuk membahasnya. Pengertian bahwa anak-anak adalah kepunyaan masyarakat sudah tidak ada lagi.”a
Kekhawatiran Ekonomi
Kaum muda juga banyak mengkhawatirkan keadaan ekonomi dunia yang memburuk. Sebenarnya, 4 dari 5 remaja tinggal di negara berkembang dan menghadapi prospek kemiskinan seumur hidup dan pengangguran. Luv, penduduk India, yang berumur 17 tahun mengatakan, ”Di kalangan remaja di negeri kami, pada saat ini ada banyak pengangguran, jadi apakah mengherankan jika anak-anak muda menjadi sakit dan tidak bahagia, menjadi korban kejahatan, lari dari rumah atau bahkan bunuh diri?”
Remaja di negeri-negeri Barat yang kaya mempunyai rasa khawatir tersendiri mengenai uang. Misalnya, sebuah survai remaja A.S. melaporkan dalam majalah Children Today, ”Pada waktu ditanyai mengenai pokok khusus yang menyangkut mereka, para remaja cenderung untuk menyebutkan pokok-pokok mengenai keuangan dan masa depan.” Di antara sepuluh hal yang paling diprihatinkan para remaja adalah ”membiayai pendidikan tinggi”, ”negara yang sedang menuju depresi [ekonomi]”, dan ”penghasilan tidak cukup”.
Namun, sangat ironis, beberapa pakar percaya bahwa bahkan para remaja yang tidak kekurangan akan menderita pada akhirnya. Majalah Newsweek mengamati, ”Pada tahun 80-an, tiga dari empat murid kelas terakhir di S.M.A. [A.S.] bekerja 18 jam seminggu dan sering membawa pulang $200 sebulan”—uang saku yang barangkali lebih banyak daripada yang pernah dimiliki orang-tua mereka dahulu! Diperkirakan, ”penghasilan ini segera dibelanjakan untuk mobil, pakaian, stereo dan barang-barang lain bagi kenyamanan hidup remaja”.
Penulis Bruce Baldwin mencatat bahwa para remaja demikian ”bertumbuh dewasa dengan banyak pengharapan . . . bahwa kehidupan yang nyaman akan selalu tersedia bagi mereka tidak soal mereka mengembangkan rasa tanggung jawab pribadi dan motivasi untuk meraih hal-hal itu ataupun tidak”. Namun mereka akan ”menyadari kenyataan yang mengagetkan ketika mereka meninggalkan rumah. Keadaan rumah yang teratur sebenarnya begitu jauh dari hal-hal yang sebenarnya diharapkan dalam pasar dan dari tuntutan fungsi sebagai orang dewasa sehingga mereka mungkin mengalami sesuatu yang hampir sama dengan kejutan budaya (cultural shock)”.
Perubahan Kaidah dan Nilai Moral
Perubahan-perubahan yang dramatis dalam norma-norma moral dan nilai-nilai lain juga merupakan sumber kebingungan di kalangan kaum muda. ”Seks . . . pada masa muda nenek saya merupakan kata yang tidak pernah terdengar,” kata Ramani, seorang wanita muda dari Sri Langka. ”Seks dalam perkawinan tidak dibicarakan, bahkan tidak dalam keluarga atau dengan dokter, dan seks di luar perkawinan sama sekali tidak ada.” Namun, tabu-tabu kuno sudah tidak ada lagi. ”Seks remaja sudah praktis merupakan gaya kehidupan,” tuturnya.
Maka tidak heran, pada waktu sebuah survai dilakukan atas 510 murid sekolah menengah di Amerika Serikat, urutan kedua yang mengkhawatirkan mereka adalah ”bahwa mereka mungkin terkena AIDS”! Namun sekarang setelah pintu ”moralitas baru” terbuka lebar, rupanya tidak banyak remaja bersedia berbicara serius untuk menutupnya dengan mempraktikkan monogami—apalagi menunggu sampai perkawinan. Sebagaimana seorang remaja Perancis bertanya, ”Pada usia kami, dapatkah kami berjanji setia seumur hidup?” Maka AIDS dan penyakit kelamin menular lainnya akan terus mengancam kehidupan dan kesehatan banyak remaja.
Masa Depan Macam Apa?
Kaum muda merasakan kekhawatiran lain yang terus mengganggu. Kemungkinan untuk mewarisi bumi yang rusak—atmosfernya yang kehabisan ozon, temperaturnya yang membubung tinggi karena pengaruh rumah kaca, hutannya yang lebat menjadi gundul, udara serta airnya yang kurang baik untuk dihirup dan diminum—mengkhawatirkan banyak remaja. Sekalipun agak berkurang sekarang, ancaman perang nuklir membuat beberapa orang bertanya-tanya apakah umat manusia bahkan akan mempunyai suatu masa depan!
Maka jelaslah bahwa kaum muda dewasa ini menghadapi tantangan yang luar biasa besar.
-
-
Remaja Masa Kini—Menghadapi Tantangan Tahun 1990-anSedarlah!—1990 (No. 37) | Sedarlah!—1990 (No. 37)
-
-
Remaja Masa Kini—Menghadapi Tantangan Tahun 1990-an
NOVEMBER 1985. Orang-orang terkemuka dari 103 negara berkumpul di kantor pusat Perserikatan Bangsa Bangsa untuk merencanakan ”strategi global dalam menghadapi problem-problem kaum muda di dunia”.—UN Chronicle.
Lima tahun telah berlalu, dan problem-problem kaum remaja tampak lebih besar daripada yang sudah-sudah. Pertentangan filsafat politik, kurangnya dana, dan prioritas yang terus berganti telah mengacaukan upaya-upaya yang dibuat dengan maksud baik oleh pemerintah-pemerintah untuk bekerja sama demi kaum muda.
Demikian juga agama telah gagal untuk menjadi kekuatan yang efektif demi kebaikan. Survai-survai Gallup baru-baru ini di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa seraya mayoritas anak-anak muda (kira-kira 90 persen) percaya akan Allah (atau suatu roh universal), hanya minoritas yang memikirkan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Lagi pula, agama sedikit sekali atau sama sekali tidak berbuat apa-apa untuk mengurangi kelakuan seks yang tidak senonoh.
Kemudian ada lagi yang disebut para pakar—ahli psikologi, sosiologi, penasihat, dan semacamnya—yang memberikan nasihat kepada kaum muda. Ada nasihat-nasihat yang baik dan membantu. Namun, nasihat mereka cenderung menaruh perhatian kepada hal-hal fisik: kesulitan ekonomi bagi remaja hamil, menghindari AIDS, bahaya fisik akibat penggunaan obat bius. Kalaupun pernah, jarang sekali mereka menanggapi persoalan moral mendasar yang tersangkut. Para ”pakar” biasanya merasa puas dengan hanya mengikuti kecenderungan sentimen yang sedang populer atau mengulangi slogan-slogan umum, seperti ”Seks yang aman” atau ”Katakan saja tidak!”
Bagaimana dengan orang-tua? Kebanyakan terlalu sibuk dengan urusan kehidupan. Karena merasa tidak pasti mengenai bimbingan yang patut diberikan atau merasa canggung dalam membahas hal-hal yang sensitif, banyak orang-tua cenderung menghindar jika timbul masalah yang peka. Maka, tidak mengherankan jika banyak anak muda mencari bantuan dari teman-teman yang tidak berpengalaman.
-