PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • yb09 hlm. 66-141
  • Samoa

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Samoa
  • Buku Tahunan Saksi-Saksi Yehuwa 2009
  • Subjudul
  • CAHAYA KEBENARAN TIBA
  • PERHIMPUNAN MASA AWAL
  • BANTUAN DARI SEBERANG LAUTAN
  • KEMAJUAN DI APIA
  • KEMAJUAN DI SAMOA AMERIKA
  • PARA UTUSAN INJIL GILEAD TIBA
  • ”ADA PEMUTARAN FILM MALAM INI​—GRATIS”
  • PENGABARAN GIGIH MENYENTUH HATI
  • MEMBERI KESAKSIAN​—GAYA SAMOA
  • PENGARUH LEKTUR BAHASA SAMOA
  • DDIKUATKAN OLEH KEBAKTIAN
  • KEMURTADAN DI APIA
  • PERGAULAN YANG MEMBESARKAN HATI
  • SAMOA AMERIKA BERGERAK MAJU
  • SAMOA MEMBUKA PINTUNYA
  • BERADAPTASI DENGAN KEHIDUPAN PULAU
  • SAVAII MENDENGAR KABAR BAIK
  • MENGATASI MASALAH KESEHATAN UNTUK MELAYANI YEHUWA
  • COBAAN DI TOKELAU
  • PERTUMBUHAN ROHANI MENGHASILKAN BERKAT YEHUWA
  • UPAYA PENERJEMAHAN MENINGKAT
  • PERLUASAN KANTOR CABANG
  • BENCANA DATANG!
  • ”JAUH MELEBIHI APA YANG KAMI BAYANGKAN”
  • KEBENARAN MENGUBAH KEHIDUPAN
  • KAUM MUDA YANG MEMUJI PENCIPTA
  • PENDIDIKAN LEWAT UDARA
  • BALAI-BALAI KERAJAAN DIBUTUHKAN
  • MENGHADAPI PERUBAHAN ZAMAN
  • BERGERAK MAJU BERSAMA ORGANISASI YEHUWA
Buku Tahunan Saksi-Saksi Yehuwa 2009
yb09 hlm. 66-141

Samoa

TERLETAK kira-kira di pertengahan antara Hawaii dan Selandia Baru, Kepulauan Samoa yang menawan berkilauan di perairan biru Samudra Pasifik yang hangat. Terlahir oleh letusan gunung berapi dan berhiaskan puncak-puncak berselimut awan, hutan-hutan tropis yang rimbun, dan pantai-pantai dengan barisan pohon palem, kepulauan itu bagaikan permata yang indah. Laguna-laguna yang berkilauan melestarikan sebuah firdaus laut, yang berisi sekitar 200 varietas terumbu dan 900 spesies ikan. Tak heran, kepulauan yang semerbak dengan aroma kemboja ini dilukiskan oleh para misionaris pertama dari Eropa sebagai kepulauan terindah yang pernah mereka lihat di Pasifik Selatan!

Tampaknya, sekitar sepuluh abad sebelum Masehi, orang-orang Lapita menjadi pemukim pertama di Kepulauan Samoa.a Sebagai penjelajah yang berani dan pelayar yang ulung, orang-orang Polinesia yang terawal ini rupanya bermigrasi ke Pasifik dari Asia Tenggara. Dengan mengikuti angin dan arus laut, mereka berlayar menggunakan kano berbadan ganda yang besar mengarungi wilayah-wilayah laut yang lebih luas daripada yang pernah dilalui orang-orang sebelum mereka. Jauh di pusat perairan Pasifik Selatan, mereka menemukan sekelompok kecil pulau yang mereka namai Samoa.

Seraya abad demi abad berlalu, keturunan mereka menyebar ke arah timur melintasi Pasifik ke Tahiti, kemudian ke Hawaii ke arah utara, Selandia Baru ke arah barat daya, dan Pulau Paskah ke arah tenggara. Dewasa ini, kawasan segitiga yang luas itu disebut Polinesia, artinya ”Banyak Pulau”. Maka, Samoa dijuluki ”Tempat Kelahiran Polinesia”.

Pada zaman sekarang, orang-orang Samoa yang gagah berani sedang mengarungi samudra lain yang lebih penting. Seperti nenek moyang mereka yang menjelajah samudra, mereka sedang berupaya mencari kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, orang-orang Samoa ini bukan sedang mengadakan ekspedisi geografis melainkan ”pelayaran” dari kegelapan rohani menuju terang rohani. Ini adalah petualangan untuk mencari bentuk ibadat yang diperkenan oleh Allah yang sejati, Yehuwa.​—Yoh. 4:23.

Kisah berikut mengetengahkan riwayat Saksi-Saksi Yehuwa di Samoa,b Samoa Amerika, dan Tokelau. Pada tahun 1962, Samoa Barat menjadi bangsa yang merdeka, dan Samoa Amerika berada di bawah kendali teritorial AS. Maka, Kepulauan Samoa dibagi dua​—Samoa dan Samoa Amerika.

CAHAYA KEBENARAN TIBA

Kabar baik Kerajaan Allah pertama kali sampai di Samoa pada tahun 1931 ketika seorang pengunjung menempatkan lebih dari 470 buku kepada orang-orang yang berminat di seluruh kepulauan. Pengunjung itu kemungkinan besar adalah Sydney Shepherd, seorang Saksi yang bersemangat. Kira-kira pada waktu itu, ia berlayar ke berbagai bagian Polinesia untuk menyebarkan kabar baik.

Tujuh tahun kemudian, berita Kerajaan sampai di Samoa Amerika ketika J. F. Rutherford, dari kantor pusat Saksi-Saksi Yehuwa di Brooklyn, New York, mampir di Pulau Tutuila dalam perjalanan dengan kapal dari Australia ke Amerika Serikat. Selama waktu yang singkat itu, Rutherford dan rombongannya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membagikan lektur ke seluruh kota pelabuhan Pago Pago.

Dua tahun kemudian, pada tahun 1940, Harold Gill, yang telah merintis di seluruh wilayah Asia-Pasifik, tiba di Samoa Amerika. Ia membawa 3.500 buku Where Are the Dead? (Di Manakah Orang Mati?), publikasi pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Samoa oleh Saksi-Saksi Yehuwa.c

Harold kemudian berlayar dengan perahu ke Pulau Upolu, Samoa, perjalanan yang makan waktu antara delapan dan sepuluh jam. ”Tapi, berita tentang kedatangan saya pasti telah tersebar,” tulisnya belakangan, ”karena setibanya di sana, saya tidak diizinkan mendarat oleh seorang polisi. Saya menunjukkan paspor saya dan membacakan kata pengantar yang lumayan mengesankan yang meminta agar semua pihak yang terkait memperbolehkan rakyat Yang Mulia Raja Inggris ’untuk lewat dengan leluasa tanpa hambatan atau halangan serta memberikan kepadanya segala bantuan dan perlindungan’. Hasilnya, saya diwawancarai oleh sang Gubernur, yang memperbolehkan saya tinggal sampai perahu berikutnya berangkat lima hari kemudian. Saya menyewa sepeda dan mengelilingi pulau itu, menyebarkan buku-buku kecil ke seluruh penjuru pulau.”

Setelah perjalanan pengabaran yang sukses di Kepulauan Samoa, Harold harus pulang ke Australia. Akan tetapi, salah satu publikasi yang ia tempatkan akhirnya sampai ke tangan seorang karyawan kantor, Pele Fuaiupolu.d Berita dalam buku itu tetap tersimpan di hati Pele, menunggu kembalinya para Saksi untuk menyirami kebenaran berharga yang telah tertanam.​—1 Kor. 3:6.

Pada tahun 1952, 12 tahun kemudian, seorang Saksi dari Inggris, John Croxford, tiba di kota Apia, ibu kota Samoa, di Pulau Upolu. Di sana, ia mulai bekerja di kantor yang sama dengan Pele. John sangat ramah dan ia antusias dalam memberi kesaksian. Karena melihat minat Pele pada Alkitab, John berinisiatif untuk berkunjung ke rumahnya. Pele menulis, ”Kami berbicara sampai hari Minggu subuh. Saya mengajukan banyak pertanyaan kepadanya, dan setiap jawaban ia bacakan dari Alkitab. Saya diyakinkan tanpa ragu sedikit pun bahwa inilah kebenaran yang sudah lama saya cari-cari.” Belakangan pada tahun itu, Pele dan istrinya, Ailua, menjadi orang Samoa pertama yang membaktikan kehidupan kepada Yehuwa dan dibaptis.

Pele tahu bahwa ia akan dipanggil untuk menjelaskan mengapa ia meninggalkan agama leluhurnya. Maka, ia belajar giat dan berdoa dengan khusyuk memohon bantuan Yehuwa. Ketika dipanggil oleh kepala sesepuh keluarga untuk hadir di pertemuan di kampung halaman Pele, Faleasiu, sebuah desa besar di pesisir yang berjarak 19 kilometer sebelah barat Apia, Pele dan seorang kerabatnya yang berminat pada kebenaran menghadapi sekelompok penentang yang terdiri atas enam sesepuh, tiga orator, sepuluh pastor, dua guru teologi, sang kepala sesepuh yang mengetuai pertemuan, dan para pria serta wanita tua dari pihak keluarga.

”Mereka mengutuki dan mencaci-maki kami karena dianggap membawa aib atas keluarga dan gereja leluhur,” kenang Pele. Sang kepala sesepuh kemudian mengusulkan debat, yang ternyata berlangsung sampai pukul empat subuh.

”Meskipun beberapa orang berteriak, ’Singkirkan Alkitab itu! Jangan pakai Alkitab itu!’, saya menjawab semua pertanyaan mereka dari Alkitab dan membuktikan bahwa pandangan mereka salah,” kata Pele. ”Akhirnya, mereka pun terdiam. Kepala mereka tertunduk. Kemudian, sang kepala sesepuh berkata dengan suara yang lemah, ’Kamu menang, Pele.’”

Pele mengatakan kepada sang kepala sesepuh, ”Maafkan saya, Pak, saya tidak menang. Malam ini Bapak mendengar berita Kerajaan. Sudilah kiranya Bapak mau mengindahkannya.”

Berkat sikap Pele yang dengan rendah hati mengandalkan Yehuwa dan Firman-Nya, Alkitab, benih kebenaran Kerajaan pun mulai berakar di Upolu.

PERHIMPUNAN MASA AWAL

Perbincangan tentang agama baru Pele cepat tersebar ke seluruh komunitas yang akrab di pulau itu. Seperti orang-orang Athena pada abad pertama yang dikabari oleh Paulus, beberapa orang penasaran dengan ”ajaran baru” ini dan ingin tahu lebih banyak. (Kis. 17:19, 20) Seorang pemuda, Maatusi Leauanae, mendengar bahwa orang-orang yang berminat pada agama baru itu mengadakan perhimpunan di rumah seorang dokter di kompleks rumah sakit dan memutuskan untuk mencari tahu. Akan tetapi, di depan gerbang rumah sakit, ia tiba-tiba merasa sangat gugup dan berbalik untuk pergi. Untungnya, John Croxford persis tiba saat itu dan mengundangnya bergabung dengan kelompok kecil tersebut malam itu. Maatusi senang dengan pelajaran buku ”Karena Allah Itu Benar Adanya” dan ingin datang lagi. Meskipun pada awalnya dia hadir sekali-sekali saja, kebenaran akhirnya berakar di hatinya, dan ia dibaptis pada tahun 1956.

Orang-orang baru dalam kelompok itu merasa bahwa mereka harus membagikan apa yang telah mereka pelajari kepada orang-orang lain. Hanya dalam waktu lima bulan setelah kedatangan Saudara Croxford di Apia, ada sepuluh orang yang ikut dengannya dalam pekerjaan pengabaran. Empat bulan kemudian, jumlahnya bertambah menjadi 19 orang. Orang-orang baru ini memperoleh hasil-hasil yang bagus sewaktu mereka memberi kesaksian kepada teman dan kerabat.

Salah seorang dari mereka memberi kesaksian kepada sepupunya, Sauvao Toetu, yang tinggal di Faleasiu. Beberapa waktu kemudian, Sauvao dan adik iparnya, Finau Feomaia, mulai menghadiri perhimpunan bersama keluarga mereka dan berpihak pada kebenaran.

Pada bulan Januari 1953, sebuah tonggak sejarah yang menggetarkan bagi ibadat sejati dicapai di Samoa. Berhubung hadirin pertemuan sudah mencapai 40 orang, kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Australia menyetujui dibentuknya sidang perdana di Samoa, di Apia. Belakangan, saat Saudara Croxford kembali ke Inggris, Pele yang baru dibaptis menjalankan kepemimpinan di sidang itu. Para penyiar di situ bersemangat dan tak kenal takut, tetapi mereka masih baru dalam kebenaran dan kurang pengalaman secara rohani. Banyak penyiar harus belajar menyampaikan berita Kerajaan dengan lebih bijaksana dan lebih menarik. (Kol. 4:6) Yang lain lagi masih harus dibantu untuk mengenakan kepribadian baru secara lebih sepenuhnya. (Ef. 4:22-24) Untunglah, bantuan tersebut segera datang.​—Ef. 4:8, 11-16.

BANTUAN DARI SEBERANG LAUTAN

Pada bulan Mei 1953, perintis dari Australia, Ronald dan Olive (Dolly) Sellars, tiba untuk membantu Sidang Apia. ”Cabang Australia selama beberapa waktu kehilangan kontak dengan saudara-saudara di sana dan merasa prihatin dengan keadaan mereka,” tulis Ron. ”Karena kami telah memberi tahu bahwa kami bersedia melayani di Pasifik, mereka meminta kami untuk pergi ke Samoa dan bekerja sama dengan sidang yang baru dibentuk itu sebagai perintis istimewa.”

Saat berada di pesawat terbang menuju Samoa, Ron dan Dolly memikirkan berbagai tantangan yang sering kali dihadapi para utusan injil yang dikirim ke tempat terpencil. ”Betapa terkesima kami ketika tiba di sana,” kenang Ron. ”Tanaman tropis yang sangat subur menyelimuti pulau. Di mana-mana, kami melihat orang-orang yang ceria dan tersenyum dengan tubuh yang kuat dan sehat. Anak-anak kecil bermain di sekitar rumah-rumah tanpa dinding yang beratapkan rumbia dan berlantaikan karang putih yang bersih mengilap. Tak seorang pun terburu-buru atau khawatir tentang waktu. Kami seakan-akan sudah di firdaus.”

Setelah memperoleh tempat menginap di rumah keluarga Pele, suami istri Sellars segera mulai bekerja. ”Saya bertemu dengan saudara-saudara hampir setiap malam untuk menjawab pertanyaan mereka yang banyak,” kata Ron. ”Meskipun mereka mengetahui doktrin-doktrin dasar Alkitab, saya segera melihat bahwa mereka perlu membuat banyak perubahan agar bisa memenuhi standar Allah. Untuk membantu mereka selama masa-masa sulit itu, Dolly dan saya berupaya bersikap ekstra sabar dan menunjukkan kasih yang lebih besar daripada biasanya.” Akan tetapi, sayang sekali, beberapa orang tidak mau menerima penyesuaian kembali yang pengasih dan berdasarkan Alkitab ini dan lambat laun menjauh dari sidang. Namun, yang lainnya memperlihatkan semangat kerendahan hati dan menyambut baik pelatihan serta anjuran tersebut. Akhirnya, mereka membuat kemajuan rohani, dan sebagai hasilnya, sidang dimurnikan dan dikuatkan.

Ron dan Dolly juga memelopori pekerjaan kesaksian dari rumah ke rumah. Selama ini, kebanyakan saudara hanya memberi kesaksian secara tidak resmi kepada teman dan tetangga. Sekarang, setelah bekerja sama dengan suami istri Sellars dalam pengabaran dari rumah ke rumah, mereka mendapatkan banyak peminat. ”Pada suatu ketika,” tulis Ron, ”kami diundang oleh seorang sesepuh yang berminat ke desanya untuk memberi tahu dia lebih banyak hal tentang Kerajaan. Setelah acara makan, diskusi Alkitab yang seru pun berlangsung. Satu jam kemudian, diskusi itu berubah menjadi khotbah umum karena hadirinnya telah bertambah menjadi hampir 50 orang—padahal kami sama sekali tidak membuat iklan!” Para penyiar mengatakan bahwa PAR dengan 2 atau 3 orang sering mengundang perhatian 10 hingga 40 orang lain yang ingin tahu tentang pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa.

Akan tetapi, kegiatan itu tidak luput dari perhatian para pemimpin agama Susunan Kristen. Ketika para pejabat berwenang menolak untuk memperpanjang izin tinggal Ron dan Dolly, Ron melobi sang komisaris tinggi untuk menanyakan alasannya. ”Dia bilang,” tutur Ron, ”beberapa tokoh agama mengeluh kepada pemerintah tentang pekerjaan kesaksian kami. Jadi, dia mengatakan bahwa visa kami akan diperpanjang hanya jika kami berjanji untuk tidak lagi membantu sidang dalam pekerjaan pengabaran. Saya menolaknya. Saya juga memberi tahu dia bahwa tak seorang pun bisa menghentikan pekerjaan Allah, fakta yang sebaiknya ia camkan baik-baik. Sambil tertawa, dia mengatakan, ’Kita lihat saja apa yang terjadi setelah Anda pergi!’”

Sejak saat itu, pihak berwenang selalu berupaya keras mencegah Saksi-Saksi dari negeri asing memasuki negeri itu. Meskipun demikian, pada tahun 1953, Theodore Jaracz, yang kala itu melayani di kantor cabang Australia dan yang sekarang menjadi anggota Badan Pimpinan, tanpa ketahuan memasuki Samoa untuk menguatkan sidang. ”Kunjungannya benar-benar membesarkan hati dan meyakinkan kami bahwa kami secara rohani sudah berada di jalur yang benar,” kata Ron.

Tak lama kemudian, visa Ron dan Dolly habis masa berlakunya, dan mereka pindah ke Samoa Amerika. Meskipun demikian, selama delapan bulan di Samoa, mereka sudah melakukan banyak hal untuk memantapkan dan memperkuat saudara-saudara setempat. Dan, pemerintah tidak tahu bahwa Saksi-Saksi lain akan segera datang untuk menggantikan suami istri Sellars.

KEMAJUAN DI APIA

Richard Jenkins, seorang pemuda Australia berusia 23 tahun yang baru dibaptis, tiba di Apia pada bulan Mei 1954. Ia menceritakan, ”Sebelum meninggalkan Australia, saya disarankan untuk tidak bergaul dengan saudara-saudara setempat sampai saya menemukan pekerjaan sekuler yang tetap. Akan tetapi, setelah beberapa bulan, saya mulai sangat kesepian dan merasa lemah secara rohani. Maka, saya memutuskan untuk diam-diam mengadakan kontak dengan Pele Fuaiupolu.” Keduanya bertemu pada tengah malam di kegelapan.

”Pele mengatakan bahwa dia tidak akan menggunakan nama asli saya karena khawatir bahwa pihak berwenang akan mengaitkan saya dengan sidang dan mendeportasi saya,” tutur Richard. ”Maka, ia memberi saya nama putranya yang baru lahir, yaitu Uitinese, dari kata bahasa Inggris witness (saksi) yang diucapkan dengan logat Samoa. Sampai sekarang, saya masih dipanggil dengan nama itu oleh saudara-saudari di Samoa.”

Dengan nama samaran tersebut, Richard diam-diam terus mengadakan kontak dengan saudara-saudara. Ia juga memberi kesaksian secara tidak resmi dan memulai beberapa PAR. Salah satunya, Mufaulu Galuvao, seorang pemuda yang bekerja sebagai pengawas kesehatan, belakangan menjadi anggota Panitia Cabang Samoa. Akhirnya, pelajar yang lain, Falema’a Tuipoloa, juga menjadi Saksi, begitu pula beberapa anggota keluarganya.

Salah satu pelajar Alkitab Richard, seorang pemuda bernama Siemu Taase, adalah mantan pemimpin geng maling yang mencuri barang milik departemen pekerjaan umum. Akan tetapi, sebelum sempat membuat kemajuan rohani, ia ditangkap dan dipenjarakan akibat kejahatan masa lalunya. Meskipun demikian, Richard mendapatkan izin dari sang sipir untuk meneruskan PAR dengan Siemu di bawah pohon mangga yang teduh sekitar 100 meter di luar dinding penjara. Belakangan, beberapa napi lain ikut belajar.

”Meskipun kami tidak dijaga,” tutur Richard, ”tak seorang napi pun pernah mencoba melarikan diri, dan beberapa menerima kebenaran.” Setelah dibebaskan, Siemu akhirnya melayani sebagai penatua.

Pada tahun 1955, Richard menikahi seorang perintis Australia, Gloria Green. Mereka berdua melayani selama 15 tahun di Samoa, dan sebelum kembali ke Australia, mereka membantu 35 orang belajar kebenaran. Mereka sekarang tinggal di Brisbane, Australia. Di sana, Richard melayani sebagai penatua di sidang setempat berbahasa Samoa.

Suami istri asal Australia lainnya, William dan Marjorie (Girlie) Moss, datang membantu selama tahun-tahun awal itu. Bill, seorang penatua yang berpikiran praktis, dan Girlie, seorang perintis yang berpengalaman selama 24 tahun, tiba di Apia pada tahun 1956. Ketika itu, Sidang Apia terdiri dari 28 penyiar, dan ada kelompok PBS di Apia maupun di Faleasiu. Selama sembilan tahun berikutnya, Bill dan Girlie bekerja tak kenal letih bersama sidang itu. Saat mereka harus pulang ke Australia pada tahun 1967 akibat kesehatan Girlie yang terus merosot, kelompok Faleasiu sudah menjadi sidang.

Pada tahun-tahun itu, permohonan izin masuk bagi utusan injil ke negeri ini berkali-kali ditolak oleh pemerintah Samoa. Jelaslah, pemerintah dan para tokoh agama berharap agar Saksi-Saksi Yehuwa perlahan-lahan hilang lenyap. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Saksi-Saksi bertambah jumlahnya, aktif serta bersemangat—mereka tidak akan pernah lenyap!

KEMAJUAN DI SAMOA AMERIKA

Sebelum visa suami istri Sellars untuk tinggal di Samoa habis pada tahun 1954, Ron memutuskan untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Samoa Amerika daripada pulang ke Australia. ”Ketika saya melobi sang jaksa agung Samoa Amerika,” tulis Ron, ”dan dia melihat bahwa pemerintah Samoa telah menolak permohonan visa kami atas alasan agama, ia mengatakan, ’Pak Sellars, kami punya kebebasan beragama di Samoa Amerika, dan akan saya pastikan bahwa Bapak mendapatkan visa.’”

Ron dan Dolly tiba di Pago Pago, Samoa Amerika, pada tanggal 5 Januari 1954. Sebagai persyaratan untuk bisa masuk, sang jaksa agung meminta Ron melapor secara rutin ke kantornya sehingga ia bisa lebih mengenal Saksi-Saksi Yehuwa. Hasilnya, mereka menikmati beberapa diskusi rohani yang bagus.

Belakangan pada bulan itu, Ron dan Dolly menerima undangan makan di rumah sang jaksa agung. Karena imam Katolik setempat dan pastor Lembaga Utusan Injil London juga diundang, terjadilah diskusi Alkitab yang seru. ”Di akhir acara,” kenang Ron, ”sang jaksa agung mengucapkan terima kasih kepada kami semua karena telah datang dan mengatakan, ’Wah, menurut saya Bapak dan Ibu Sellars menang dalam diskusi kita malam ini.’ Tak lama kemudian, kami memperoleh izin tinggal permanen. Ketika sang jaksa agung belakangan memberi tahu kami bahwa pemerintah akan bersedia menyetujui permohonan kedatangan utusan injil Saksi lainnya, saya segera meneruskan informasi itu ke kantor cabang Australia.”

Orang pertama yang membaktikan kehidupannya kepada Yehuwa di Samoa Amerika adalah seorang pemuda berusia 19 tahun bernama Ualesi (Wallace) Pedro, orang Tokelau asli. Lydia Pedro, kerabatnya yang melayani sebagai perintis istimewa di Fiji, telah memberikan buku ”Karena Allah Itu Benar Adanya” kepada abangnya Wallace ketika ia berkunjung pada tahun 1952. Wallace muda menemukan buku itu di rumah abangnya dan mempelajarinya dengan cermat.

Setelah menemukan keluarga Pedro pada tahun 1954, Ron dan Dolly memberikan pelajaran Alkitab kepada kakak lelaki dan perempuan Wallace. Wallace mengakui kebenaran tentang Allah Yehuwa, tetapi karena tidak percaya dengan agama, ia pada awalnya ragu untuk ikut belajar. Namun, belakangan, ia merasa yakin bahwa Saksi-Saksi Yehuwa memiliki kebenaran, dan ia mulai menghadiri perhimpunan secara rutin di Fagatogo. Ia dengan cepat membuat kemajuan rohani, dan pada tanggal 30 April 1955, Wallace dibaptis di Pelabuhan Pago Pago.

Pada bulan Januari 1955, hanya satu tahun setelah Ron dan Dolly tiba, tujuh orang menghadiri perhimpunan di rumah mereka yang sederhana di Fagatogo. Di rumah itu tidak banyak perabot, jadi semua orang duduk di lantai. Tak lama kemudian, tiga dari orang-orang baru itu mulai menemani Ron dan Dolly dalam dinas lapangan. Itu memang awal yang kecil, tetapi berbagai perkembangan yang menakjubkan masih akan terjadi.

PARA UTUSAN INJIL GILEAD TIBA

Pada tanggal 4 Februari 1955, dua pasang utusan Injil dari Amerika Serikat, Paul dan Frances Evans serta Gordon dan Patricia Scott, tiba di Samoa. Mereka tinggal di rumah utusan injil Fagatogo, yang menghadap ke lingkungan yang penuh warna. Pengawas wilayah kala itu, Leonard (Len) Helberg, yang mengunjungi Pago Pago pada tahun tersebut, melukiskan suasananya:

”Rumah utusan injil itu berupa tempat tinggal di atas sebuah toko kelontong tradisional. Di salah satu sisinya, di seberang sebuah parit kecil, terdapat kedai minum tempat para pelaut mencari hiburan malam. Setiap kali perkelahian berlangsung hingga ke luar kedai dan ke jalanan di bawah, sang kepala polisi setempat, yang bertubuh pendek tapi kekar sekali, mendatangi keributan itu sambil menggigit cerutu lalu melayangkan tinju ke kiri dan ke kanan untuk menertibkan situasi. Sebuah gereja di samping halaman belakang mengeluarkan suara ingar bingar khotbah yang mengumandangkan hukuman api neraka. Dari beranda depan, kami bisa melihat banyak orang berkerumun di bank sebulan sekali pada hari pembayaran gaji oleh pemerintah. Saat itu, para rohaniwan gereja, yang datang dari berbagai tempat di pulau itu, dengan panik berseliweran di tengah kerumunan orang tersebut dalam upaya mengumpulkan sumbangan perpuluhan dari anggota gereja sebelum uangnya terlanjur habis dibelanjakan.”

Di lingkungan yang penuh warna itu, ternyata ada banyak orang yang memperlihatkan minat rohani. ”Seorang utusan injil,” tutur Len, ”mengawali harinya dengan mengadakan PAR pada pukul enam pagi di tempat cukur rambut di seberang rumah utusan injil sebelum pemiliknya mulai bekerja. Ia kemudian mengadakan PAR dengan tukang roti sebelum membawa pulang roti untuk sarapan pagi. Siang harinya, di alun-alun kota, saudara itu mengadakan PAR dengan sekelompok napi dari lembaga pemasyarakatan setempat.” Pada akhir tahun, para utusan injil mengadakan kurang lebih 60 PAR dengan lebih dari 200 orang.

”ADA PEMUTARAN FILM MALAM INI​—GRATIS”

Salah satu alasan mengapa banyak orang berminat adalah film berjudul The New World Society in Action (Masyarakat Dunia Baru Beraksi).e Film ini​—yang pertama kali diproduksi oleh organisasi setelah film ”Foto-Drama Penciptaan” hampir 40 tahun sebelumnya—​menampilkan pekerjaan pengabaran dan pencetakan sedunia serta mempertunjukkan bagaimana Saksi-Saksi Yehuwa diorganisasi. Selama kunjungan empat minggu ke Samoa Amerika pada tahun 1955, Len mempertontonkan film itu 15 kali kepada sejumlah total 3.227 orang, rata-rata 215 orang setiap kali pemutaran.

”Sebelum pemutaran,” kenang Len, ”kami mengiklankan film itu dengan membawa mobil melewati desa-desa sambil melemparkan selebaran kepada orang-orang yang lewat. Pada saat bersamaan, kami berseru, ’Ada pemutaran film malam ini​—gratis’, serta nama desa tempat film itu akan ditayangkan.”

Film itu meninggalkan kesan yang dalam bagi penduduk. Setelah setiap pemutaran, para penonton ingin belajar lebih banyak tentang Saksi-Saksi Yehuwa dan ajarannya. Alih-alih menunggu Saksi-Saksi datang lagi, banyak peminat datang langsung ke rumah utusan injil. Di rumah itu, para utusan injil mengadakan beberapa PAR di berbagai bagian rumah pada saat bersamaan. Setelah satu kelompok selesai, kelompok lainnya masuk. ”Bertahun-tahun kemudian,” kenang Ron Sellars, ”sewaktu berbicara tentang Saksi-Saksi Yehuwa, orang-orang masih membicarakan hal-hal menakjubkan yang mereka tonton di film itu.”

PENGABARAN GIGIH MENYENTUH HATI

Dua bulan setelah kunjungan Len Helberg, sidang pertama Saksi-Saksi Yehuwa di Samoa Amerika dibentuk di Fagatogo. Dalam satu tahun, jumlah penyiar di sidang itu meningkat dari 14 menjadi 22. Sekitar saat itu, dua perintis istimewa lagi, Fred dan Shirley Wegener, tiba dari Australia untuk membantu sidang yang terus bertumbuh itu. Fred sekarang melayani sebagai anggota Panitia Negeri Samoa.

Para penyiar, perintis, dan utusan injil ini ”berkobar dengan roh”. (Rm. 12:11) ”Karena kegigihan para penyiar,” tulis Len, ”dan besarnya minat masyarakat terhadap Alkitab, pada pertengahan 1960-an, PAR pernah diselenggarakan di setiap rumah di desa Fagatogo. Setiap rumah di pulau tersebut juga dikabari sebulan sekali pada tahun-tahun itu.”

Kampanye pengabaran yang menyeluruh ini benar-benar mempengaruhi pemikiran penduduk tentang hal-hal yang berkaitan dengan Alkitab. ”Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kehidupan abadi akan terjadi di bumi,” kata Len, ”bahwa api neraka tidak ada, dan bahwa orang mati tidak sadar. Masyarakat telah mempelajari berbagai kebenaran dasar ini bukan dari gereja mereka melainkan dari Saksi-Saksi Yehuwa. Ini karena kami berbicara dengan mereka secara pribadi dan bertukar pikiran dengan mereka menggunakan Alkitab mereka sendiri.”

Meskipun demikian, kebanyakan orang dihalangi oleh agama dan keluarga mereka untuk mempraktekkan apa yang telah mereka pelajari. Yang lainnya lebih menyukai moral bejat yang ditoleransi gereja daripada menerima standar moral luhur yang harus dimiliki orang Kristen. Akan tetapi, ada orang-orang berhati jujur yang, seperti saudagar keliling dalam cerita Yesus, memandang kebenaran sebagai mutiara yang bernilai tinggi dan berupaya mendapatkannya. Banyak penduduk pulau yang tulus seperti itu mengambil pendirian yang teguh demi kebenaran.​—Mat. 13:45, 46.

MEMBERI KESAKSIAN​—GAYA SAMOA

”Memberi kesaksian pada tahun-tahun awal itu sangatlah menyenangkan,” kenang Caroline Pedro, perintis dari Kanada yang menikah dengan Wallace Pedro pada tahun 1960. ”Di hampir setiap rumah, ada saja yang bersedia berbicara soal Alkitab. Sangat mudah untuk memulai PAR, dan sering kali seluruh keluarga ikut belajar.

”Yang paling berkesan adalah mengabar di desa-desa yang jauh. Anak-anak kecil biasanya mengiringi kami dari rumah ke rumah sambil mendengarkan kata pengantar kami dengan penuh perhatian. Kemudian, mereka berlari mendahului kami untuk memberi tahu penghuni rumah berikutnya bahwa kami akan datang. Mereka bahkan memberi tahu sang penghuni rumah apa yang kami bicarakan dan ayat-ayat mana yang kami gunakan! Maka, supaya tidak didahului anak-anak itu, kami mempersiapkan lebih dari satu kata pengantar.”

Saat ikut serta dalam pekerjaan kesaksian, saudara-saudara juga berupaya untuk mengikuti tata krama yang baik dan adat istiadat setempat. (1 Kor. 9:20-23) Mantan utusan injil Charles Pritchard, sekarang anggota Panitia Cabang Selandia Baru, menulis, ”Karena iklim tropis yang panas, fale (rumah) di desa tidak berdinding, sehingga kami bisa dengan mudah melihat apakah ada orang di rumah. Sangatlah tidak sopan untuk berbicara sambil berdiri ataupun sebelum penghuni rumah secara resmi menyambut kami. Maka, kami mendekati setiap rumah dan dengan senyap menunggu penghuni rumah mengetahui kedatangan kami. Ia kemudian akan menaruh sebuah tikar bersih di lantai berbatu kerikil di tempat masuk. Ini adalah undangan bagi kami untuk melepaskan sepatu, memasuki rumah, dan duduk bersila di atas tikar.” Duduk seperti itu di lantai untuk waktu yang lama merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi banyak utusan injil. Untunglah, menurut kebiasaan setempat, tidaklah salah untuk meluruskan kaki dan dengan sopan menutupinya menggunakan tikar. Dengan demikian, kaki mereka yang telanjang tidak mengarah ke penghuni rumah​—suatu penghinaan besar bagi orang Samoa.

”Penghuni rumah biasanya akan menyambut kami secara resmi dan menjelaskan bahwa mereka merasa dihormati karena kami membawa berita Alkitab ke rumah mereka yang sederhana,” kata John Rhodes, yang melayani sebagai utusan injil di Samoa dan Samoa Amerika selama 20 tahun. ”Kemudian, percakapan beralih ke urusan pribadi: Anda berasal dari mana? Apakah Anda memiliki anak? Di mana keluarga Anda tinggal?”

Istri John, Helen, menambahkan, ”Kami selalu menyapa penghuni rumah dengan kata-kata penuh respek yang biasa digunakan pada acara resmi. Bahasa seperti ini menghormati baik sang penghuni rumah maupun berita Alkitab yang kami bawakan.”

”Melalui perkenalan ini,” kata Caroline Pedro, ”kami bisa mengenal orang-orang dan keluarganya, begitu pula sebaliknya. Itu membantu kami untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka dengan lebih efektif.”

Seusai perkenalan, para penyiar bebas menyajikan berita Kerajaan. ”Biasanya, penghuni rumah mendengarkan kami seberapa lama pun kami ingin bicara,” kenang mantan utusan injil Robert Boies. ”Mereka kemudian mengulangi banyak hal yang telah kami katakan untuk memperlihatkan bahwa mereka merasa berita kami itu penting.”

Karena orang-orang tahu banyak tentang Alkitab, sering terjadi diskusi panjang tentang ajaran Alkitab. ”Diskusi itu turut mempertajam pemahaman saya tentang beragam pokok Alkitab,” kata Caroline Pedro. Kebanyakan penghuni rumah langsung menerima lektur. Belakangan, para penyiar bisa membedakan antara orang yang sekadar ingin tahu dan orang yang memang berminat pada hal-hal rohani.

Banyak peminat baru yang mulai menghadiri perhimpunan begitu bersemangat untuk ikut mengabar. ”Orang Samoa memiliki bakat alam sebagai orator,” kata John Rhodes, ”dan banyak orang-baru bisa dengan yakin mengungkapkan iman mereka kepada orang lain dengan sedikit atau tanpa pelatihan. Meskipun demikian, kami menganjurkan mereka untuk menggunakan saran-saran tentang memberi kesaksian yang ada dalam publikasi dan bertukar pikiran dengan orang lain menggunakan Alkitab ketimbang sekadar mengandalkan bakat alam.” Pelatihan yang bermutu seperti itu pada akhirnya menghasilkan banyak penginjil yang terampil.

PENGARUH LEKTUR BAHASA SAMOA

Meskipun banyak orang Samoa lancar berbicara dalam bahasa Inggris, ada juga yang tidak. Untuk menggugah hati penduduk pulau yang mengasihi kebenaran ini, Pele Fuaiupolu menerjemahkan empat risalah ke dalam bahasa Samoa pada tahun 1954. Pele terus menjadi penerjemah utama bahasa Samoa untuk organisasi selama bertahun-tahun. Ia sering kali bekerja hingga larut malam, mengetik hasil terjemahan di bawah cahaya lampu minyak.

Sementara mengurus pekerjaan penerjemahan, Pele juga harus mengurus istri dan delapan anaknya, mengambil pimpinan dalam kegiatan sidang, dan bekerja lima setengah hari seminggu sebagai pengawas perkebunan cokelat di seluruh pulau. ”Selama tahun-tahun yang sarat kegiatan itu,” tulis Len Helberg, ”Pele tidak pernah mencari penghargaan atau pujian. Sebaliknya, ia sangat bersyukur karena mendapat hak istimewa untuk digunakan oleh Yehuwa. Keloyalan, kerendahan hati, dan semangatnya membuat dia menjadi Saksi yang luar biasa​—yang selalu dikagumi dan dicintai oleh kami semua.”

Pada tahun 1955, para penyiar menyebarkan 16.000 buku kecil 32 halaman berbahasa Samoa berjudul ”This Good News of the Kingdom” (Kabar Baik Kerajaan Ini). Buku itu menggunakan bahasa yang sederhana dan menyajikan ajaran dasar Alkitab dengan cara yang mudah dimengerti—sehingga menjadi alat yang ideal untuk memulai dan memandu PAR. Richard Jenkins menulis, ”Setelah membahas buku kecil itu beberapa kali, para peminat siap untuk dibaptis. Kami menyukai buku itu!” Buku-buku kecil lainnya yang berbahasa Samoa menyusul tak lama kemudian.

Edisi Menara Pengawal berbahasa Samoa pertama kali terbit pada tahun 1958. Fred Wegener, yang memiliki keahlian mencetak, memproduksi majalah itu dengan menyatukan lembar-lembar kertas stensil. Edisi-edisi berikutnya dicetak di Amerika Serikat dan kemudian di Australia. Beberapa publikasi kita diterjemahkan dan sebagian demi sebagian dimunculkan setiap bulan dalam Menara Pengawal bahasa Samoa. Sejak awal 1970-an, penerbitan buku lengkap berbahasa Samoa sangat berperan dalam mempercepat pekerjaan pengabaran.

Buku-buku berjilid dari organisasi telah disebarkan ke seluruh Kepulauan Samoa. Pada tahun 1955, ketika para penyiar menyebarkan buku You May Survive Armageddon Into God’s New World (Anda Bisa Melewati Armagedon dan Memasuki Dunia Baru Allah), sebagian besar penghuni rumah di Samoa Amerika mendapatkan satu eksemplar. ”Orang-orang membaca Alkitab tetapi kebanyakan belum pernah mendengar tentang Armagedon,” tulis Wallace Pedro. ”Namun, setelah keluarga-keluarga membaca buku ini, anak-anak kecil sering memberitahukan kedatangan kami di desa dengan berseru, ’Armagedon datang!’ Malah ada orang tua yang menamai anaknya Armagedon.”

Buku Kebenaran yang Membimbing Kepada Hidup yang Kekal edisi bahasa Samoa, yang diterbitkan pada tahun 1972, memiliki pengaruh serupa. Kebanyakan utusan injil pada awalnya menyiarkan buku ini sebanyak dua kardus atau lebih setiap bulan kepada orang-orang yang berminat membacanya. ”Orang-orang mendatangi kami di pasar,” kenang Fred Wegener, ”dan bahkan melongok serta mengulurkan tangannya dari jendela bus untuk meminta buku Kebenaran.”

DDIKUATKAN OLEH KEBAKTIAN

Pada bulan Juni 1957, saudara-saudara sangat senang ketika kebaktian wilayah yang pertama diadakan di Pago Pago, Samoa Amerika. Yang juga hadir di sana adalah para penyiar yang mengadakan perjalanan dari Samoa dengan perahu. Karena sangat ingin mengundang masyarakat umum, saudara-saudara mengiklankan acara kebaktian itu secara besar-besaran dalam bahasa Inggris dan Samoa. Hasilnya, ke-60 penyiar di Samoa dan Samoa Amerika tergetar karena jumlah hadirin mencapai 106 orang pada sesi pembuka hari Jumat.

Di kebaktian ini, pada saat makan siang, ada beberapa situasi tak terduga yang disebabkan oleh kebudayaan Samoa dan rasa penasaran masyarakat sekitar. ”Makan merupakan bagian penting kebudayaan Samoa,” tulis Ron Sellars, ”dan ada kebiasaan mengundang orang yang lewat untuk ikut makan. Namun, sewaktu saudara-saudara mengundang sejumlah besar orang yang lewat untuk makan siang bersama di kebaktian, beban departemen dapur menjadi luar biasa berat, karena makanan yang mereka masak hanya cukup bagi saudara dan saudari yang hadir.”

Meskipun demikian, acara makan siang itu memberikan kesaksian yang bagus bagi masyarakat yang memperhatikan. Di Samoa, pada acara-acara istimewa, pria biasanya makan sebelum wanita dan anak-anak. Orang-orang asing dan para rohaniwan agama biasanya duduk terpisah dari orang lain dan menerima porsi makanan yang terbaik. Namun, di kebaktian, masyarakat melihat para utusan injil asing dan keluarga-keluarga setempat dengan ceria makan bersama-sama dalam kesetaraan. Kasih dan persatuan umat Yehuwa terlihat jelas oleh seluruh masyarakat.

Kebaktian-kebaktian seperti ini tidak hanya menguatkan dan melatih para penyiar tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi cobaan-cobaan berat yang akan segera terjadi.

KEMURTADAN DI APIA

Belakangan, seiring dengan pertumbuhan yang cukup besar di kepulauan itu, berbagai masalah berkembang di Samoa. Beberapa orang, yang dipimpin oleh seorang matai (sesepuh keluarga) yang berkemauan keras, telah menolak pengarahan teokratis dan memicu kericuhan di Sidang Apia. Karena perhimpunan diadakan di rumah pria ini, ketegangan di sidang semakin menjadi-jadi.

Akhirnya, pada tahun 1958, para pemberontak itu memisahkan diri untuk membentuk kelompok pelajaran sendiri. Douglas Held, yang saat itu melayani di cabang Australia dan sedang mengunjungi Fiji, menyeberang ke Samoa untuk mencoba membantu orang-orang yang merasa tidak puas itu. Meskipun nasihatnya yang matang dan berdasarkan Alkitab sangat menguatkan orang-orang yang setia di sidang itu, seperempat hadirin perhimpunan akhirnya memihak para pemberontak. Sebagai korban sikap sombong dan keras kepala mereka sendiri, beberapa dari orang-orang itu harus dipecat.

Namun, segera menjadi jelas di mana roh Yehuwa berada. Kelompok pemberontak akhirnya terpecah-pecah dan lenyap. Sebaliknya, Sidang Apia menikmati pertambahan penyiar sebesar 35 persen pada tahun itu. Setelah mengadakan perhimpunan sementara di rumah Richard dan Gloria Jenkins, yang berlokasi di dekat rumah sakit Apia, sidang itu akhirnya pindah ke rumah Maatusi Leauanae di Faatoia, Apia. Di sini, para penyiar menikmati semangat kasih dan kerja sama yang betul-betul hangat. Balai Kerajaan pertama di Apia belakangan dibangun di tanah milik Maatusi, dengan bantuan keuangan dari sebuah sidang di Sydney, Australia.

PERGAULAN YANG MEMBESARKAN HATI

Sidang Apia semakin dikuatkan pada tahun 1959 sewaktu pemerintah Samoa memperbolehkan lima utusan injil dari Samoa Amerika menghadiri kebaktian wilayah pertama yang diadakan di Apia. Alangkah senangnya seluruh hadirin ketika mendengar ada 288 orang yang hadir dan 10 yang dibaptis! Dua tahun kemudian, sidang itu menjadi tuan rumah bagi kebaktian distrik pertama yang diselenggarakan di gedung tua rumah sakit Jerman di dekat sebuah penginapan, White Horse Inn. Kebaktian yang bersejarah ini dihadiri para delegasi termasuk dari tempat sejauh Selandia Baru.

Acara-acara itu memberikan pelatihan yang bernilai bagi saudara-saudara dalam hal penyelenggaraan kebaktian. Maka, ketika pemerintah Samoa belakangan tidak mengizinkan para pengawas keliling dan utusan injil memasuki negeri itu, saudara-saudara sudah bisa menyelenggarakan kebaktian sendiri. Pada tahun 1967, mereka bahkan menyelenggarakan dan menyajikan drama satu jam berlatar zaman kuno yang didasarkan atas Alkitab—yang pertama di Samoa. Drama tentang kota-kota perlindungan yang disediakan Allah di Israel zaman dahulu itu masih terus diingat hingga waktu yang lama oleh para hadirin.

Selama tahun-tahun itu, para penyiar di Samoa juga senang karena bisa menghadiri kebaktian antarpulau di Samoa Amerika dan Fiji, meskipun hal ini menuntut upaya dan pengorbanan yang tidak sedikit. Misalnya, menghadiri kebaktian distrik di Fiji tidak hanya berarti membayar sendiri biaya perjalanan dan makanan tetapi juga berarti mereka baru bisa kembali ke Samoa satu bulan kemudian.

SAMOA AMERIKA BERGERAK MAJU

Pada tahun 1966, saudara-saudari di Samoa Amerika sangat senang menjadi tuan rumah Kebaktian Distrik ”Putra-Putra Kemerdekaan Allah” di Pago Pago. Kebaktian yang bersejarah ini diikuti oleh 372 delegasi dan delapan kelompok bahasa dari Australia, Fiji, Kaledonia Baru, Niue, Samoa (tadinya Samoa Barat), Selandia Baru, Tahiti, Tonga, dan Vanuatu (tadinya New Hebrides). Hadirin yang multibangsa dan multibahasa ini membuat rasio jumlah Saksi dan penduduk setempat di kota kebaktian naik menjadi 1 banding 35, padahal saat itu hanya ada 28 penyiar di sidang setempat!

Bagaimana penyiar sesedikit ini akan mengakomodasi tamu sebanyak itu? ”Kami tidak mengalami kesulitan untuk menyediakan pemondokan bagi rombongan besar delegasi tersebut,” kenang Fred Wegener. ”Masyarakat setempat begitu ramah dan siap menyambut saudara-saudari, sehingga membuat jengkel para pemimpin agama.”

Kebaktian ini memberikan pengaruh yang luar biasa pada Sidang Pago Pago. Dalam waktu enam bulan, hadirin perhimpunan meningkat sebesar 59 persen dan banyak orang-baru memenuhi syarat sebagai penyiar kabar baik. ”Hal ini juga mendorong sidang untuk membangun tempat berhimpun yang lebih layak,” tulis Ron Sellars. Tidak ada banyak tanah kosong di Pulau Tutuila, di mana kota Pago Pago berada, tetapi seorang penyiar setempat dengan baik hati membolehkan sidang menggunakan tanahnya di sebelah barat kota itu, di Tafuna, selama 30 tahun.

”Tanahnya lebih rendah daripada permukaan laut,” kata Fred Wegener, ”maka sidang bekerja keras selama tiga bulan guna mengumpulkan batu-batu lahar untuk menaikkan fondasi.”

Sang imam Katolik setempat, yang membaca setiap terbitan Menara Pengawal dan Sedarlah!, memperbolehkan saudara-saudara meminjam pengaduk semen milik gereja ketika lantai semen harus dicor. ”Imam itu,” tulis Ron Sellars, ”belakangan membaca artikel Sedarlah! tentang perkawinan dan segera berhenti menjadi imam untuk menikah.”

Saudara-saudari dari luar negeri dengan murah hati membantu proyek Balai Kerajaan ini. Gordon dan Patricia Scott, dua dari para utusan injil pertama yang melayani di Samoa Amerika namun yang belakangan kembali ke Amerika Serikat, menyumbangkan kursi-kursi dari sidang mereka untuk digunakan di balai yang baru. ”Lalu, dengan menjual kursi yang berlebih ke sebuah bioskop,” kata Ron Sellars, ”kami membayar biaya pengangkutan semua kursi ke pulau!” Balai Kerajaan baru yang berkapasitas 130 kursi di Tafuna dirampungkan dan ditahbiskan pada tahun 1971. Belakangan, kamar-kamar utusan injil dibangun di atas balai itu.

SAMOA MEMBUKA PINTUNYA

Hingga tahun 1974, pekerjaan di Samoa terhambat oleh pembatasan pemerintah sehingga para utusan injil Saksi tidak bisa masuk. Pada tahun itu, saudara-saudara setempat yang menjadi pengemban tanggung jawab mendekati sang perdana menteri secara langsung guna membahas masalah itu. Salah seorang saudara, Mufaulu Galuvao, menulis, ”Dalam pembahasan itu, terungkaplah bahwa seorang pejabat pemerintah telah membentuk sebuah panitia tidak resmi untuk meninjau semua permohonan utusan injil. Panitia ini, yang terdiri atas para musuh keagamaan kita, menolak mentah-mentah permohonan visa kami bahkan tanpa memberi tahu sang perdana menteri.

”Sang perdana menteri selama ini tidak tahu tentang persekongkolan itu; maka, ia segera memerintahkan sang kepala imigrasi untuk membawakan arsip tentang Saksi-Saksi Yehuwa. Di depan kami, ia membubarkan panitia palsu tersebut dan memberikan visa utusan injil tiga tahun kepada Paul dan Frances Evans dengan kesempatan untuk memperoleh perpanjangan setelah visa mereka habis.” Benar-benar berita yang menyenangkan! Setelah upaya yang gigih selama 19 tahun, mereka akhirnya memasuki Samoa sebagai utusan injil yang diakui penuh!

Paul dan Frances mula-mula tinggal dengan Mufaulu Galuvao serta keluarganya, namun, ketika John dan Helen Rhodes tiba pada tahun 1977, kedua pasangan itu pindah ke sebuah rumah utusan injil sewaan di Vaiala, Apia. Utusan injil lainnya adalah Robert dan Betty Boies yang tiba pada tahun 1978, David dan Susan Yoshikawa pada tahun 1979, serta Russell dan Leilani Earnshaw pada tahun 1980.

BERADAPTASI DENGAN KEHIDUPAN PULAU

Saksi-Saksi dari luar negeri yang pindah ke Samoa pada tahun-tahun itu segera mendapati bahwa bahkan di firdaus ini, kehidupan ada tantangannya. Salah satunya adalah transportasi. ”Selama dua tahun pertama pelayanan utusan injil kami di Apia,” tulis John Rhodes, ”kami sering berjalan jauh untuk menghadiri perhimpunan dan pergi mengabar. Kami juga pergi ke mana-mana naik bus berwarna-warni yang banyak terdapat di pulau.”

Kendaraan dengan banyak hiasan ini biasanya berupa truk berukuran kecil dan sedang yang di bagian belakangnya dipasangi kabin kayu. Para penumpang yang duduk berdesak-desakan mengangkut beragam barang mulai dari alat-alat pertanian sampai sayur-mayur. Musik yang keras dan nyanyian yang riang melengkapi suasana ceria dalam bus. Halte bus, jadwal keberangkatan, dan rute bus cenderung fleksibel. ”Bus ke Vava’u,” kata sebuah buku panduan wisata, ”selalu tepat waktu: datangnya pas ketika tiba.”

”Jika kami ingin membeli sesuatu di jalan,” kata John, ”kami cukup meminta pengemudi untuk berhenti. Seusai berbelanja, kami naik kembali ke bus dan meneruskan perjalanan. Meskipun demikian, tak ada yang berkeberatan dengan penundaan itu.”

Jika busnya penuh, penumpang yang baru naik langsung duduk di pangkuan penumpang yang sudah duduk lebih dulu. Maka, para suami utusan injil cepat menyadari bahwa istri mereka sebaiknya sudah duduk di pangkuan mereka. Di akhir perjalanan, anak-anak dan orang dewasa sering membayar ongkos dengan mengambil koin kecil dari telinga mereka​—tempat uang yang praktis!

Untuk perjalanan antarpulau, para utusan injil dan penyiar menggunakan perahu kecil dan pesawat terbang. Perjalanannya bisa sangat berbahaya dan selalu tertunda. ”Kami harus belajar untuk sabar dan mengembangkan rasa humor,” kata Elizabeth Illingworth, yang selama bertahun-tahun melayani bersama suaminya, Peter, dalam pekerjaan wilayah di seluruh Pasifik Selatan.

Di darat, hujan deras bisa membuat perjalanan sangat sulit—terutama selama musim angin puting beliung. Sewaktu berupaya menyeberangi sebuah sungai dalam perjalanannya ke Pelajaran Buku Sidang, utusan injil Geoffrey Jackson terpeleset dan jatuh ke aliran deras itu. Dalam keadaan basah kuyup dan kotor, ia meneruskan perjalanan ke PBS. Sesampainya di sana, keluarga tuan rumah memberinya handuk untuk mengeringkan diri dan lavalava hitam panjang (rok lilit khas orang Polinesia). Teman-temannya sulit menahan tawa ketika seorang peminat baru di PBS menyangka bahwa dia seorang imam Katolik! Saudara Jackson sekarang melayani sebagai anggota Badan Pimpinan.

Beberapa di antara beragam tantangan yang dihadapi para pendatang baru adalah mempelajari bahasa baru, menyesuaikan diri dengan panas tropis yang terus-menerus, menghadapi problem kesehatan yang tidak dikenal, memiliki fasilitas modern yang terbatas, dan menghindari segudang serangga penggigit. ”Para utusan injil benar-benar memberi diri mereka demi kami,” tulis Mufaulu Galuvao, ”dan hasilnya, banyak orang tua yang penuh penghargaan telah menamai anak mereka seperti nama para utusan injil tersayang itu, yang dengan pengasih telah membantu kami.”

SAVAII MENDENGAR KABAR BAIK

Sekarang, mari kita alihkan perhatian ke pulau yang terbesar dan yang paling belum terjamah di Kepulauan Samoa, yakni Pulau Savaii. Sebagian besar pulau ini tak berpenghuni dan terdiri atas gunung-gunung yang tinggi menjulang, rangkaian gunung berapi yang puncaknya bergerigi dengan sekitar 450 kawah, hutan-hutan rimba yang nyaris tak tertembus, dan hamparan-hamparan lahar yang tidak rata. Mayoritas penduduknya tinggal di desa-desa kecil yang bertebaran di sepanjang pesisir. Pada tahun 1955, kabar baik mencapai Savaii untuk pertama kalinya. Len Helberg dan sekelompok penyiar dari Pulau Upolu mengadakan kunjungan singkat untuk mempertontonkan film The New World Society in Action.

Enam tahun kemudian, dua saudari utusan injil—Tia Aluni, orang Samoa pertama yang mengikuti Sekolah Gilead, dan Ivy Kawhe, rekannya—diundang untuk pindah dari Samoa Amerika ke Savaii. Sewaktu tiba pada tahun 1961, kedua saudari ini mendapatkan tempat tinggal di rumah pasangan lanjut usia di Fogapoa, sebuah desa yang berlokasi di sisi selatan pulau tersebut. Belakangan, seorang saudari perintis istimewa, yang pernah tinggal di Savaii, bergabung dengannya selama beberapa waktu. Untuk menganjurkan dan mendukung kelompok baru yang anggotanya berjumlah antara enam dan delapan orang itu, saudara-saudara dari Apia berkunjung sebulan sekali dan menyampaikan khotbah umum. Perhimpunan ini diadakan di sebuah fale kecil di Fogapoa.

Tia dan Ivy tetap berada di Savaii hingga tahun 1964. Tahun itu, mereka ditugasi ke pulau lain. Selama sepuluh tahun berikutnya, tidak banyak kegiatan rohani yang dilakukan di Savaii. Kemudian, mulai tahun 1974, beberapa keluarga pindah ke Savaii untuk turut menghidupkan kembali pekerjaan pengabaran. Mereka antara lain Risati dan Mareta Segi, Happy dan Maota Goeldner-Barnett, Faigaai Tu, Palota Alagi, Kumi Falema’a (belakangan Thompson), serta Ron dan Dolly Sellars, yang pindah dari Samoa Amerika. Kelompok kecil yang dibentuk di Fogapoa berhimpun di fale milik Segi, yang letaknya di dekat pantai. Belakangan, sebuah rumah utusan injil dan Balai Kerajaan dibangun di dekatnya. Akhirnya, kelompok lain didirikan di Taga, sebuah desa yang terletak di pesisir barat Savaii.

Mulai tahun 1979, lebih banyak pasangan utusan injil ditugasi ke Savaii untuk membantu para penyiar setempat. Di antaranya Robert dan Betty Boies, John dan Helen Rhodes, Leva dan Tenisia Faai’u, Fred dan Tami Holmes, Brian dan Sue Mulcahy, Matthew dan Debbie Kurtz, serta Jack dan Mary Jane Weiser. Para utusan injil memberikan teladan dalam pelayanan sehingga pekerjaan di Savaii terus bergerak maju.

Akan tetapi, di Savaii, tradisi dan ikatan keluarga memiliki cengkeraman yang kuat atas diri orang-orang. Sepertiga penduduk desa melarang Saksi-Saksi Yehuwa mengabar di komunitas mereka, malah ada yang mengumumkan larangan itu melalui radio. Maka, dibutuhkan banyak waktu dan kesabaran untuk membantu orang-orang baru membuat kemajuan. Meskipun demikian, banyak yang masuk kebenaran, di antaranya orang-orang yang memiliki masalah kesehatan yang serius.

MENGATASI MASALAH KESEHATAN UNTUK MELAYANI YEHUWA

Salah satunya adalah Metusela Neru, yang punggungnya patah karena terjatuh dari kuda ketika berusia 12 tahun. ”Setelah kecelakaan itu,” kata seorang utusan injil, ”ia tampak seolah terlipat dua sewaktu berjalan, dan ia terus-menerus merasa nyeri.” Ketika Metusela mulai belajar Alkitab pada usia 19 tahun, ia dengan teguh menghadapi tentangan keluarganya. Karena keterbatasannya, perjalanan yang seharusnya hanya lima menit ke perhimpunan menjadi penderitaan sepanjang 45 menit. Meskipun demikian, Metusela membuat kemajuan yang bagus dan dibaptis pada tahun 1990. Ia kemudian memasuki dinas sepenuh waktu sebagai perintis biasa dan memenuhi syarat menjadi penatua. Sejak saat itu, lebih dari 30 kerabatnya menghadiri perhimpunan di Faga, dan beberapa dari mereka telah dibaptis. Sekarang, meskipun terus mengalami masalah kesehatan, Metusela dikenal murah senyum dan berwatak ceria.

Orang lainnya yang harus mengatasi masalah kesehatan serius dalam membuat kemajuan rohani adalah Saumalu Taua’anae. Saumalu mengalami kelainan bentuk anggota tubuh akibat kusta dan tinggal Desa Aopo yang terpencil. Karena desanya begitu terasing, ia awalnya belajar Alkitab melalui korespondensi dengan Ivan Thompson. Kemudian, Asa Coe, seorang perintis istimewa, pindah ke Savaii dan meneruskan pelajarannya. Ketika Saumalu pertama kali menghadiri perhimpunan pada tahun 1991, dibutuhkan waktu dua jam perjalanan dengan kendaraan ke Taga, sebuah desa di sisi seberang pulau itu.

Saumalu begitu malu dengan penampilannya sehingga ketika pertama kali menghadiri kebaktian istimewa, ia mendengarkan acara dari dalam mobilnya. Namun, ia sangat tersentuh karena, ketika istirahat makan siang, saudara-saudari mendekatinya dengan penuh kasih dan menyapanya dengan tulus. Ia dengan penuh penghargaan menerima ajakan mereka yang hangat dan duduk bersama hadirin lainnya untuk menikmati sisa acara.

Tak lama kemudian, Saumalu dan istrinya, Torise, mulai menghadiri perhimpunan di Faga, dengan menempuh perjalanan lebih dari satu jam sekali jalan untuk tiba di sana. Saumalu dibaptis pada tahun 1993 dan, akhirnya, memenuhi syarat menjadi hamba pelayanan. Ketika para dokter belakangan mengamputasi salah satu kakinya, ia masih mengemudikan mobilnya ke perhimpunan. Desa mereka telah melarang pekerjaan pengabaran Saksi-Saksi Yehuwa; maka, Saumalu dan Torise dengan bersemangat memberi kesaksian kepada orang lain secara tidak resmi dan melalui telepon.

Sekarang, mereka tinggal di Apia. Di sana, Saumalu menerima perawatan rutin untuk masalah kesehatannya yang banyak. Alih-alih merasa getir, ia dikenal berwatak positif dan ceria. Ia maupun istrinya sangat direspek karena iman mereka yang kuat.

COBAAN DI TOKELAU

Tokelau, yang terdiri atas tiga pulau karang terpencil yang terletak di sebelah utara Samoa, pertama kali mendengar berita Kerajaan pada tahun 1974. Pada tahun itu, Ropati Uili, seorang dokter, kembali ke Tokelau setelah lulus dari sekolah kedokteran di Fiji. Istrinya, Emmau, adalah seorang Saksi terbaptis, dan Ropati pernah belajar sebentar dengan Saksi-Saksi Yehuwa di Fiji.f

Di Tokelau, Ropati mendapati bahwa seorang dokter lain dan istrinya, Iona dan Luisa Tinielu, adalah Saksi terbaptis. Ia juga bertemu dengan seorang peminat lainnya, Nanumea Foua, yang kerabatnya adalah Saksi-Saksi Yehuwa. Ketiga pria itu menyelenggarakan pertemuan rutin untuk pembahasan Alkitab serta khotbah umum, dan tak lama kemudian rata-rata hadirinnya mencapai 25 orang. Ketiga pria itu beserta keluarga juga mulai memberi kesaksian secara tidak resmi.

Akan tetapi, tidak semua orang senang dengan kegiatan teokratis ini. Karena diprovokasi oleh seorang pastor LMS, dewan tetua pulau memanggil ketiga kepala keluarga tersebut. ”Mereka memerintahkan kami untuk tidak lagi mengadakan perhimpunan,” kenang Ropati, ”dan mengatakan bahwa jika kami membangkang, mereka akan membakar kami hidup-hidup dalam rumah kami atau menghanyutkan kami dengan rakit. Kami berupaya bertukar pikiran dengan mereka menggunakan Alkitab, tetapi mereka mengotot. Mereka mau wewenang mereka direspek tanpa kecuali.” Setelah mendengar ultimatum ini, keluarga-keluarga tersebut memutuskan untuk mengadakan perhimpunan secara diam-diam agar tidak menarik perhatian.

Namun, tentangan ini barulah awal kesukaran mereka. Dua belas tahun kemudian, ketika kakak perempuan dan ipar lelaki Ropati menerima kebenaran dan mengundurkan diri dari gereja, para tetua desa mengusir semua Saksi dari desa tersebut. ”Malam itu,” tulis Ropati, ”tiap keluarga mengumpulkan barang mereka, memuatkannya ke perahu-perahu kecil, dan melarikan diri ke desa terjauh di pulau tersebut. Rumah dan kebun mereka dijarah oleh para tetangga.”

Meskipun menghadapi penganiayaan, para penyiar dengan berani terus mengadakan pertemuan ibadat. ”Seolah sedang pergi berlibur di akhir pekan,” cerita Ropati, ”keluarga-keluarga naik perahu ke sebuah pulau kecil terpencil pada hari Sabtu pagi dan pulang pada hari Minggu malam setelah mengadakan perhimpunan.” Pada waktu itu, beberapa keluarga juga menempuh perjalanan panjang dan berbahaya dengan perahu dari Tokelau ke Samoa guna menghadiri kebaktian distrik tahunan.

Akan tetapi, tentangan yang sengit akhirnya mendorong keluarga-keluarga itu untuk beremigrasi ke Selandia Baru. Maka, pada tahun 1990, tidak ada Saksi lagi di pulau-pulau karang tersebut. Meskipun demikian, Ivan Thompson, yang saat itu sedang merintis di Apia, mengadakan PAR lewat pos antarpulau dengan Lone Tema, seorang pria yang tinggal di Tokelau. Lone membuat kemajuan rohani yang bagus dan sekarang melayani sebagai penatua di Australia.

Belakangan, beberapa penyiar kembali ke Tokelau. Geoffrey Jackson, yang saat itu melayani di kantor cabang Samoa, berupaya tanpa hasil untuk menghubungi komisioner Selandia Baru untuk urusan Tokelau guna membahas masalah yang dihadapi Saksi-Saksi Yehuwa di pulau-pulau karang itu. ”Tapi saya diberi izin untuk datang ke Tokelau sebagai ahli bahasa,” tulis Geoff, ”dan dalam perjalanan tersebut, sang kapten kapal mengundang saya makan bersama dia dan seorang pria lain di ruangan sang kapten. Pria itu tak lain adalah sang komisioner urusan Tokelau yang selama ini ingin kami temui! Kami berbicara selama lebih dari satu jam. Di akhir diskusi kami, ia berterima kasih kepada saya dan berjanji akan melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk melonggarkan tekanan atas saudara-saudari kita di Tokelau.”

Sekarang, masih ada tentangan resmi atas pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa di Tokelau. Ketika anak bungsu Fuimanu dan Hatesa Kirifi meninggal dunia pada tahun 2006 dan Fuimanu menyampaikan khotbah berdasarkan Alkitab di pemakaman, dewan tetua mengancam untuk mengusir keluarga Fuimanu dari pulau itu. Belakangan, Fuimanu diancam ketika ia menolak untuk bekerja di gereja setempat, dan ia serta istrinya ditekan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Namun, ia dan keluarganya berdiri teguh dalam iman. Hasilnya, iman mereka menjadi lebih kuat. Kata Fuimanu, ”Kami telah belajar untuk bersandar pada Yehuwa sewaktu kami menghadapi cobaan.” (Yak. 1:2-4) Mereka tahu bahwa Yehuwa tidak meninggalkan hamba-hamba-Nya yang setia.—Kel. 31:6.

PERTUMBUHAN ROHANI MENGHASILKAN BERKAT YEHUWA

Sejak kabar baik pertama kali tiba di Samoa, berbagai cabang memberikan pengawasan atas pekerjaan Kerajaan di sana. Sekarang, sebuah Panitia Negeri yang terdiri atas empat saudara yang bekerja keras melayani di bawah pengarahan cabang Australia dalam mengurus pekerjaan di Kepulauan Samoa. Selama bertahun-tahun, saudara-saudara di Samoa mengerahkan upaya yang besar untuk mencapai bahkan kawasan-kawasan terjauh guna mengabarkan berita Kerajaan. Kampanye kesaksian rutin di Samoa Amerika telah menjangkau Pulau Swains dan Kepulauan Manu’a, yang masing-masing berlokasi sekitar 320 kilometer di sebelah utara dan 60 kilometer di sebelah timur Pulau Tutuila. Selama kunjungan itu, para penyiar menyebarkan ratusan lektur dan memulai puluhan PAR dengan para peminat. Para penyiar lainnya telah berupaya memperluas wilayah mereka dengan mengabar kepada orang-orang yang berbicara dalam bahasa asing.

UPAYA PENERJEMAHAN MENINGKAT

Seiring dengan bertambahnya jumlah penyiar, bertambah pula kebutuhan akan lektur dalam bahasa Samoa. Guna memenuhi kebutuhan itu, Geoffrey Jackson dan istrinya, Jenny, dipindahkan dari tugas utusan injil mereka di Tuvalu ke kantor cabang Samoa pada tahun 1985. Geoff ditugasi untuk mengawasi tim penerjemah bahasa Samoa yang beranggotakan dua orang. Ia bercerita, ”Awalnya, para penerjemah bekerja di meja-meja yang terdapat di ruang makan Betel. Setiap pagi, mereka membersihkan meja makan sebelum memulai penerjemahan. Kemudian, tepat sebelum makan siang, mereka menyingkirkan segala perlengkapan penerjemahan supaya meja-meja bisa ditata untuk makan. Setelah itu, mereka membersihkan meja-meja lagi guna meneruskan pekerjaan penerjemahan.”

Karena pekerjaan terus-menerus terganggu, produktivitas pun terhambat. Proses penerjemahan juga menuntut terlalu banyak tenaga dan waktu. ”Sebagian besar penerjemahan ditulis dengan tangan dan kemudian diketik,” kenang Geoff. ”Tiap naskah diketik ulang beberapa kali untuk diperiksa dan dikoreksi sebelum siap cetak.” Pada tahun 1986, dengan dibelinya komputer pertama bagi kantor cabang, banyak dari pekerjaan yang berulang ini dikurangi atau ditiadakan. Berbagai sarana komputer lainnya semakin mempercepat proses penerjemahan dan pencetakan.

Penerjemahan dan penerbitan telah difokuskan terutama pada majalah Menara Pengawal dan Sedarlah! Sejak bulan Januari 1993, Menara Pengawal dalam bahasa Samoa telah dicetak secara serentak dengan edisi bahasa Inggrisnya—dan dalam empat warna juga! Kemudian, pada tahun 1996, edisi triwulan Sedarlah! dalam bahasa Samoa diperkenalkan. ”Rilis Sedarlah!” kenang Geoff, ”sangat dielu-elukan, bukan hanya oleh surat kabar dan majalah melainkan juga di berita televisi nasional.”

Saat ini, sekelompok penerjemah di Samoa terus memenuhi kebutuhan penerjemahan bahasa Samoa. Bersama berbagai tim penerjemah lainnya di seluruh dunia, para penerjemah yang bekerja keras ini telah menerima pelatihan tingkat lanjut dalam pemahaman bahasa dan keterampilan menerjemah, yang memperlengkapi mereka untuk menerjemah dengan lebih akurat dan efisien.

PERLUASAN KANTOR CABANG

Ketika Milton G. Henschel mengunjungi Samoa sebagai pengawas zona pada tahun 1986, disadari bahwa rumah utusan injil di Sinamoga terlalu kecil untuk melayani kebutuhan cabang yang terus meningkat. Maka, Badan Pimpinan menugasi saudara-saudara dari Departemen Rancang/Bangun di Brooklyn dan Kantor Rancang Bangun Regional di Australia untuk mengunjungi Samoa dan mengevaluasi kebutuhan akan fasilitas yang lebih besar. Rekomendasinya? Beli sebuah lokasi seluas tiga hektar di Siusega, lima kilometer ke arah tengah pulau dari Sinamoga, untuk membangun sebuah kompleks Betel baru. Kemudian, setelah kantor cabang baru tersebut rampung, Rumah Betel lama di Sinamoga bisa dirobohkan untuk membuat Balai Kebaktian yang baru.

Pembangunan kantor cabang dimulai pada tahun 1990, dan pekerjaan itu sungguh bersuasana internasional! Sejumlah 44 hamba internasional, 69 relawan internasional, 38 relawan setempat sepenuh waktu, dan banyak pekerja paruh waktu bekerja keras bahu-membahu untuk menyelesaikan proyek itu. Namun, tiba-tiba, sewaktu pembangunan sedang berlangsung, bencana datang.

BENCANA DATANG!

Siklon Val, salah satu badai terkuat yang pernah melanda Pasifik Selatan, menghantam Samoa pada tanggal 6 Desember 1991. Angin berkecepatan hingga 260 kilometer per jam menghajar pulau-pulau kecil itu selama lima hari, menggundulkan 90 persen pepohonan dan mengakibatkan kerusakan senilai 380 juta dolar AS. Sungguh menyedihkan, 16 orang tewas.

”Kantor cabang segera mengorganisasi bantuan kemanusiaan,” kenang John Rhodes. Dalam waktu beberapa hari, sebuah kargo yang berisi bahan bantuan kemanusiaan tiba dari kantor cabang Fiji. Dana dari berbagai cabang di Pasifik segera menyusul.

”Yang didahulukan adalah kebutuhan pokok,” tulis Dave Stapleton, seorang hamba internasional yang ikut dalam proyek cabang baru di Siusega. ”Ini mencakup membagikan air bersih, terpal, minyak tanah, dan obat-obatan kepada saudara-saudari yang membutuhkan. Kemudian, kami membangun ulang Betel Sinamoga sehingga bisa digunakan dan memperbaiki bangunan-bangunan yang rusak di lokasi pembangunan cabang. Belakangan, kami memperbaiki dan membangun ulang Balai-Balai Kerajaan, rumah-rumah utusan injil, dan rumah-rumah Saksi yang rusak. Pekerjaan itu makan waktu berbulan-bulan.”

Ketika pemerintah belakangan menyediakan dana bagi semua agama—termasuk Saksi-Saksi Yehuwa—guna memperbaiki bangunan mereka, saudara-saudari mengembalikan dana itu disertai sepucuk surat yang mengatakan bahwa karena semua kerusakan pada bangunan sudah dibenahi, dana yang berlebih itu bisa digunakan untuk memperbaiki bangunan pemerintah. Para pejabat tinggi pemerintah yang berterima kasih belakangan mengurangi bea impor atas bahan pembangunan kantor cabang yang datang dari luar negeri, sehingga biaya bisa sangat dihemat.

”JAUH MELEBIHI APA YANG KAMI BAYANGKAN”

Setelah memperbaiki kerusakan akibat siklon, proyek cabang baru bergerak maju dengan cepat. Satu setengah tahun kemudian, pada bulan Mei 1993, keluarga Betel akhirnya melakukan apa yang sudah lama ditunggu-tunggu, yakni pindah dari Sinamoga ke rumah baru mereka di Siusega.

Kemudian, pada bulan September 1993, sekelompok pekerja Saksi yang terampil berjumlah 85 orang dari Amerika Serikat, Australia, Hawaii, dan Selandia Baru berkumpul di Samoa untuk membangun Balai Kebaktian Sinamoga. Semuanya membiayai sendiri perjalanan mereka. ”Persyaratan pembangunan dan sistem pengukuran yang berbeda-beda digunakan di lokasi pembangunan,” tulis Ken Abbott, yang memimpin para pekerja Australia, ”tapi roh Yehuwa membantu kami untuk mengatasi masalah apa pun dengan ceria.”

”Melihat langsung persaudaraan internasional sedang beraksi,” kata Abraham Lincoln, yang ikut dengan tim Hawaii, ”berpengaruh positif atas semua orang.”

Melalui upaya terpadu tim pembangunan internasional, Balai Kebaktian diselesaikan hanya dalam waktu sepuluh hari. Dengan bekerja bersama tim internasional, para penyiar setempat memperoleh keterampilan yang berguna, dan mereka juga mendapatkan manfaat rohani. Maka, setelah proyek selesai, beberapa penyiar mendaftar sebagai perintis atau memasuki dinas Betel.

Akhirnya, pada tanggal 20-21 November 1993, penahbisan kantor cabang dan Balai Kebaktian dilangsungkan. John Barr dari Badan Pimpinan menyampaikan khotbah-khotbah penahbisan. Menyimpulkan perasaan banyak hadirin dalam peristiwa yang menggembirakan itu, utusan injil kawakan Paul Evans mengatakan, ”Yehuwa telah memberkati kami jauh melebihi apa yang kami bayangkan.”

KEBENARAN MENGUBAH KEHIDUPAN

Ketika kebenaran Firman Allah menyentuh hati orang-orang, mereka tergerak untuk menyelaraskan diri dengan standar-standar Yehuwa yang luhur. Banyak orang Samoa merasakan kuasa yang mengubah kehidupan dari Firman Allah ini.​—Ef. 4:22-24; Ibr. 4:12.

Misalnya, Ngongo dan Maria Kupu, seperti kata orang Samoa, ”hidup dalam kegelapan”​—maksudnya, hidup bersama tanpa menikah. ”Kami telah memberikan PAR kepada Ngongo dan Maria selama beberapa waktu,” jelas Fred Wegener, ”tapi tidak tahu bahwa mereka belum menikah. Kemudian, pada suatu hari mereka dengan bangga memperlihatkan akta nikah yang baru mereka peroleh. Tak lama kemudian, mereka dibaptis. Belakangan, Ngongo meninggal, namun Maria sampai sekarang masih melayani sebagai perintis biasa di Samoa Amerika.”

Tantangan lain yang dihadapi orang-orang yang masih baru di Samoa adalah soal kesucian darah. Di Samoa, babi dan ayam biasanya tidak disembelih tetapi dicekik sebelum dimasak dan dimakan, suatu perbuatan yang dilarang Firman Allah. (Kej. 9:4; Im. 17:13, 14; Kis. 15:28, 29) Seorang wanita muda di Samoa Amerika terkejut ketika ia melihat dalam Alkitabnya sendiri perintah Allah yang jelas tentang hal itu. ”Meskipun keluarganya pergi ke gereja dan membaca Alkitab secara rutin,” jelas Julie-Anne Padget, ”ia sejak kecil telah memakan daging yang belum dikeluarkan darahnya. Namun, ia segera menerima pengarahan Alkitab dan bertekad untuk tidak memakan daging yang belum dikeluarkan darahnya.” Dewasa ini, pendirian Saksi-Saksi Yehuwa tentang kesucian darah sudah dikenal baik di seluruh Samoa. Selain itu, para praktisi medis di Samoa pada umumnya bersedia merespek pendirian kita tentang transfusi darah.

KAUM MUDA YANG MEMUJI PENCIPTA

Di Samoa, orang tua melatih anaknya untuk memasak, membersihkan rumah, mengurus kebun keluarga, dan mengurus adik-adik. Pelatihan dini seperti inilah yang mungkin menjadi salah satu sebab mengapa banyak anak Samoa juga menerima tanggung jawab rohani pada usia muda, dan bahkan beberapa memutuskan untuk melayani Yehuwa tanpa bantuan anggota keluarga.

Ane Ropati berusia 13 tahun ketika orang tuanya tidak lagi berhimpun. Maka, ia secara rutin mengumpulkan abangnya, adik lelakinya, dan adik perempuannya serta berjalan sejauh delapan kilometer ke Balai Kerajaan untuk menghadiri perhimpunan. Ia belakangan merintis dan ikut bekerja dalam proyek pembangunan kantor cabang Siusega. ”Para utusan injil,” tulis Ane, ”memberikan pengaruh yang besar atas kehidupan saya dan membantu saya maju secara rohani.” Di lokasi pembangunan, ia bertemu dengan Steve Gauld, seorang pekerja sukarela dari Australia. Mereka menikah dan melayani sebagai hamba internasional di lokasi pembangunan di Asia Tenggara, Afrika, dan Rusia sebelum kembali ke Betel Samoa. Keduanya sekarang melayani di kantor cabang Australia.

PENDIDIKAN LEWAT UDARA

Selama bertahun-tahun, Saksi-Saksi Yehuwa telah menggunakan beragam sarana untuk menyebarkan kabar baik Kerajaan. Salah satu yang khususnya efektif adalah radio. Mulai bulan Januari 1996, sebuah stasiun radio FM swasta di Apia mengundang Saksi-Saksi Yehuwa untuk menyiarkan sebuah acara radio mingguan berjudul ”Jawaban untuk Pertanyaan Alkitab Anda”.

Naskah siaran ini ditulis dan dibacakan oleh Leva Faai’u dan Palota Alagi dari cabang Samoa. ”Pada acara kami yang pertama,” jelas Leva, ”Saudara Alagi mengajukan beberapa pertanyaan, seperti: Apakah memang ada banjir pada zaman Nuh? Dari mana airnya berasal? Ke mana airnya mengalir? Bagaimana semua hewan bisa muat dalam bahtera? Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu menggunakan kutipan dari publikasi. Pada akhir acara, kami memperkenalkan topik minggu depan dan mengundang para pendengar yang punya pertanyaan untuk menghubungi Saksi-Saksi Yehuwa setempat. Acara lainnya membahas pertanyaan seperti ini: Mengapa Salomo memiliki banyak istri sedangkan orang Kristen hanya boleh satu? Apakah Allah yang pengasih menyiksa orang selama-lamanya dalam api neraka? Apakah Alkitab berasal dari manusia atau dari Allah?”

Acara radio itu disiarkan dalam waktu setahun lebih dan diminati banyak orang. ”Banyak orang memberi tahu kami bahwa mereka menikmati acara tersebut dan secara rutin mendengarkannya,” kata Ivan Thompson. ”Ada yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah tahu kalau Alkitab menjawab pertanyaan-pertanyaan menarik itu.”

BALAI-BALAI KERAJAAN DIBUTUHKAN

Pada tahun 1990-an, sebagian besar sidang di Samoa dan Samoa Amerika mengadakan perhimpunan di rumah pribadi atau di bangunan yang terbuat dari bahan semak. ”Tempat-tempat perhimpunan ini sering dipandang remeh oleh masyarakat setempat,” kata Stuart Dougall, yang melayani sebagai anggota Panitia Negeri antara tahun 2002 dan 2007. Malah, Balai Kerajaan yang berusia 25 tahun di Tafuna, Samoa Amerika, sudah mulai rusak. Sudah tiba saatnya untuk mengganti bangunan yang tua itu dengan balai baru.

Namun, sebuah Balai Kerajaan membutuhkan sebidang tanah yang luas, padahal tidak banyak tersedia tanah di Pulau Tutuila yang kecil. Saudara-saudara mendekati seorang wanita Katolik terkemuka yang memiliki tanah kosong di Petesa, yang letaknya tidak jauh dari Balai Kerajaan waktu itu. Ketika wanita tersebut mengetahui bahwa saudara-saudara membutuhkan tanah untuk membangun rumah ibadat, ia berjanji untuk membicarakan hal ini dengan putrinya, yang telah berencana untuk mendirikan bangunan komersial di lokasi tersebut. Doa saudara-saudara terjawab tiga hari kemudian ketika wanita tersebut mengatakan bahwa ia akan menjual tanah itu kepada mereka karena, katanya, ”Allah harus didahulukan.”

Tulis Wallace Pedro, ”Ia bahkan memberi kami akta tanah itu sebelum kami membayar, sambil mengatakan, ’Saya tahu kalian jujur dan akan membayar penuh.’ Dan, tentu saja, kami membayarnya penuh.” Sebuah Balai Kerajaan indah yang ber-AC dan berkapasitas 250 kursi yang dibangun di atas tanah itu ditahbiskan pada tahun 2002.

Pada tahun 1999, sebuah program baru untuk membantu pembangunan Balai Kerajaan di negeri-negeri yang sumber dayanya terbatas dimulai oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Balai pertama semacam itu di Kepulauan Samoa dibangun di Lefaga, sebuah desa terpencil di pesisir selatan Pulau Upolu. Sidang yang terdiri atas sepuluh Saksi di Lefaga sebelumnya mengadakan perhimpunan di sebuah ruangan beratap rumbia tanpa dinding yang menempel di bagian depan rumah seorang penyiar.

Yang bertugas mengawasi proyek pembangunan adalah Jack Sheedy, seorang Australia yang melayani bersama istrinya, Coral, di Tonga selama tujuh tahun. ”Dari kejauhan,” tulisnya, ”kru pembangunan yang terdiri atas para petani, nelayan, dan ibu rumah tangga terlihat seperti semut-semut yang berseliweran ke sana kemari di lokasi pembangunan.”

Ketika Balai Kerajaan yang berkapasitas 60 kursi itu akhirnya selesai pada tahun 2001, para penduduk desa memuji bangunan tersebut. ”Balai kalian bermartabat dan sederhana, sehingga terlihat menarik,” kata mereka. ”Betapa berbedanya dengan gereja kami, yang dihias di sana-sini dan penuh dengan perabotan yang tampak tidak rapi dan tidak bersih.” Hadirin di perhimpunan juga meningkat drastis. Pada tahun 2004, ada 205 orang yang hadir pada Peringatan kematian Kristus di balai baru ini.

Pada akhir tahun 2005, program pembangunan bagi negeri-negeri yang sumber dayanya terbatas telah membangun empat Balai Kerajaan baru dan merenovasi tiga balai di seluruh Kepulauan Samoa. Selain itu, Balai Kerajaan Sinamoga di Apia direnovasi. Sebagaimana di tempat-tempat lain yang sumber dayanya terbatas, para penyiar di Samoa sangat menghargai dukungan yang pengasih ini dari saudara-saudari Kristen mereka di seluruh dunia.—1 Ptr. 2:17.

MENGHADAPI PERUBAHAN ZAMAN

Banyak orang Samoa telah pindah ke negeri-negeri lain. Misalnya, di Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, terutama Hawaii, sekarang terdapat komunitas Samoa yang cukup besar. Di negeri-negeri itu, lebih dari 700 Saksi tergabung dalam 11 sidang berbahasa Samoa dan 2 kelompok berbahasa Samoa. Para penyiar Samoa lainnya melayani di sidang-sidang berbahasa Inggris di negeri-negeri tempat mereka beremigrasi.

Sejumlah Saksi Samoa telah mengadakan perjalanan ke luar negeri untuk menerima pelatihan rohani dan telah kembali ke Samoa atau Samoa Amerika untuk memanfaatkan pelatihan yang telah mereka terima. Misalnya, selama tahun 1990-an, Talalelei Leauanae, Sitivi Paleso’o, Casey Pita, Feata Sua, Andrew Coe, dan Sio Taua mengikuti Sekolah Pelatihan Pelayanan di Australia dan kemudian kembali ke Samoa untuk memajukan pekerjaan Kerajaan. Sekarang, Andrew dan istrinya, Fotuosamoa, melayani di Betel Samoa. Sio dan istrinya, Ese, melayani dalam dinas wilayah selama beberapa tahun bersama putra mereka yang masih muda, El-Nathan. Sio sekarang melayani sebagai anggota Panitia Negeri. Lulusan lainnya melayani dengan setia sebagai penatua, perintis, atau penyiar di sidang mereka.

Apa hasil dari kegiatan yang baik ini? Pada tahun 2008, di ke-12 sidang di Samoa dan Samoa Amerika, terdapat puncak 620 penyiar. Lebih dari 2.300 orang menghadiri Peringatan pada tahun 2008. Maka, terdapat potensi yang bagus untuk pertumbuhan lebih lanjut di Kepulauan Samoa.

BERGERAK MAJU BERSAMA ORGANISASI YEHUWA

Dari tahun ke tahun, banyak orang yang berhati jujur di Samoa telah menyambut kabar baik Kerajaan Allah. (Mat. 24:14) Seperti leluhur mereka yang mengarungi lautan, mereka telah mengatasi banyak kesulitan yang muncul dalam perjalanan mereka dari dunia tua Setan ke rumah rohani baru dalam organisasi yang diarahkan oleh roh kudus Yehuwa. Berbagai kendala seperti tentangan keluarga, pengasingan dari masyarakat, propaganda para pemimpin agama, pembatasan dari pemerintah, godaan daging, dan beragam cobaan lain tidak menghentikan mereka untuk melayani Allah yang benar, Yehuwa. (1 Ptr. 5:8; 1 Yoh. 2:14) Apa hasilnya? Ya, sekarang mereka menikmati keamanan firdaus rohani!—Yes. 35:1-10; 65:13, 14, 25.

Meskipun demikian, perjalanan mereka belum usai. Sebentar lagi mereka akan tiba di tujuan terakhir mereka​—firdaus di bumi di bawah kekuasaan yang adil benar dari pemerintahan Kerajaan Allah. (Ibr. 11:16) Dipersatukan dalam persaudaraan seluas bumi, dan dibimbing oleh Firman Allah serta roh kudus-Nya yang penuh kuasa, Saksi-Saksi Yehuwa di Kepulauan Samoa terus maju, bertekad kuat untuk mencapai tujuan mereka.

[Catatan Kaki]

a Nama Lapita memaksudkan suatu lokasi di Kaledonia Baru. Di sanalah tembikar khas yang dibuat oleh orang-orang ini pertama kali ditemukan.

b Samoa Barat berubah nama menjadi Samoa pada tahun 1997. Kita akan menggunakan nama Samoa di sepanjang kisah ini.

c Beberapa keturunan Bapak Taliutafa Young, pemilik rumah yang ditempati Harold, belakangan menjadi Saksi-Saksi Yehuwa. Cucunya, Arthur Young, saat ini melayani di Sidang Tafuna di Samoa Amerika sebagai penatua dan perintis. Salah satu harta kesayangan Arthur adalah Alkitab yang dihadiahkan oleh Harold Gill kepada keluarganya.

d Orang Samoa memiliki nama depan​—Pele, misalnya​—dan nama keluarga. Pele memiliki nama keluarga Fuaiupolu dari ayahnya. Selain itu, ada orang-orang Samoa yang berhak memiliki nama gelar. Beberapa dari Saksi-Saksi Yehuwa tidak mau menggunakan nama gelar atau tidak mau menerimanya, karena merasa bahwa nama itu berbau politik atau duniawi. Dalam kisah ini, kita pada umumnya akan menggunakan nama depan yang diikuti nama belakang yang paling dikenal, misalnya Pele Fuaiupolu.

e Film ini diterbitkan ulang dalam bentuk kaset video pada tahun 1995 dan tersedia dalam bahasa Arab, Belanda, Ceko, Cina (Kanton dan Mandarin), Denmark, Finlandia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Norwegia, Portugis (Brasil dan Eropa), Prancis, Spanyol, Swedia, dan Yunani.

f Ropati dibaptis ketika ia belakangan pergi ke Selandia Baru.

[Blurb di hlm. 77]

”Malam ini Bapak mendengar berita Kerajaan. Sudilah kiranya Bapak mau mengindahkannya”

[Blurb di hlm. 98]

”Anak-anak kecil sering memberitahukan kedatangan kami di desa dengan berseru, ’Armagedon datang!’”

[Blurb di hlm. 108]

”Bus ke Vava’u selalu tepat waktu: datangnya pas ketika tiba”

[Kotak/​Gambar di hlm. 69, 70]

Agama Lama dan Baru di Samoa

Agama-agama kuno di Samoa merupakan percampuran politeisme, animisme, spiritisme, dan penyembahan leluhur tetapi tidak memiliki kuil, patung, atau kelompok imam yang terorganisasi. Agama merasuk ke dalam setiap segi kehidupan. Lantas, mengapa orang Samoa siap berganti agama saat para utusan injil dari Lembaga Utusan Injil London (London Missionary Society, atau LMS) tiba pada tahun 1830?

Sebuah legenda Samoa kuno meramalkan bahwa suatu agama baru yang kuat akan mengakhiri kekuasaan para dewa yang lama. Para sesepuh Samoa (matai) mengira bahwa para utusan injil LMS mewakili agama baru tersebut. Raja Malietoa memilih untuk menyembah Allah orang Kristen, Yehuwa, dan memerintahkan rakyatnya untuk melakukannya juga.

Para utusan injil​—dari Katolik, Metodis, Mormon, dan LMS​—memperoleh banyak pengikut, dan sekarang hampir semua orang di Kepulauan Samoa menjadi anggota suatu gereja. Kedua pemerintah Samoa memiliki moto keagamaan. Moto Samoa berbunyi, ”Samoa dibangun di atas Allah”, sedangkan moto Samoa Amerika adalah, ”Samoa, dahulukan Allah”. Siaran keagamaan juga marak di saluran televisi di sana.

Pengaruh agama paling kuat terasa di tingkat desa. Di desa, para sesepuh menentukan keanggotaan agama penduduk desa. Beberapa penduduk desa bahkan dipaksa untuk menyumbangkan lebih dari 30 persen pendapatan mereka guna mendukung para pastor dan proyek gereja setempat​—suatu beban yang semakin dibenci banyak orang. Malah, ada kompetisi untuk melihat siapa yang paling banyak menyumbang. Beberapa gereja mengumumkan nama para pemenang yang telah menyumbangkan paling banyak uang.

Di banyak desa, kegiatan dihentikan secara tiba-tiba untuk sa harian, yakni acara berdoa selama 10 hingga 15 menit oleh seluruh penduduk desa. Para pemuda yang membawa tongkat panjang berpatroli di jalan pada waktu-waktu tertentu guna menegakkan kebiasaan itu. Para pelanggar bisa ditegur, didenda sebanyak 100 dolar AS, atau diminta memberi makan para tetua dewan atau penduduk desa. Dalam kasus ekstrem, mereka bahkan dipukuli atau diusir.

Sekali peristiwa, pengawas wilayah John Rhodes dan istrinya, Helen, tiba di desa Salimu, Savaii, setelah perjalanan yang meletihkan. Karena sa baru saja dimulai, para penjaga meminta mereka untuk menunggu di pinggir desa. Dengan patuh, suami istri Rhodes menunggu sampai sa selesai dan setelah itu baru pergi ke tempat mereka menginap.

Ketika sang kepala sesepuh desa itu mendengar bahwa John dan Helen sempat tertunda perjalanannya, ia meminta maaf kepada nyonya rumah mereka. Sang kepala sesepuh mengatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah tamu terhormat, dan ia memerintahkan para penjaga untuk membiarkan suami istri Rhodes memasuki desa kapan pun, bahkan ketika sa sedang berlangsung. Mengapa dia memberikan perlakuan istimewa tersebut? Anak lelaki sang sesepuh, Sio, sedang belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi dan membuat kemajuan rohani yang bagus. Sekarang, Sio Taua adalah anggota Panitia Negeri Samoa.

[Gambar]

John dan Helen Rhodes

[Kotak di hlm. 72]

Sekilas tentang Samoa, Samoa Amerika, dan Tokelau

Negeri

Samoa terdiri atas dua pulau utama​—Upolu dan Savaii, yang dipisahkan oleh sebuah selat selebar 18 kilometer—​dan beberapa pulau kecil yang berpenduduk. Samoa Amerika, yang berlokasi sekitar 100 kilometer sebelah tenggara Samoa, memiliki satu pulau utama, Tutuila, dan mencakup Kepulauan Manu’a, Pulau Swains, Pulau ’Aunu’u, dan Pulau Karang Rose yang tak berpenghuni. Tokelau terdiri atas tiga pulau karang berpermukaan rendah yang berlokasi 480 kilometer sebelah utara Samoa.

Penduduk

Lebih dari 214.000 orang tinggal di Samoa, dan sekitar 57.000 di Samoa Amerika. Tokelau memiliki kira-kira 1.400 penduduk. Lebih dari 90 persennya adalah orang Polinesia, dan sisanya orang Asia, Eropa, dan Polinesia campuran.

Bahasa

Samoa adalah bahasa utamanya, meskipun sebagian besar penduduk berbicara dalam bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Bahasa Tokelau, yang mirip dengan bahasa Samoa, digunakan di Tokelau.

Mata pencaharian

Pertanian, pariwisata, penangkapan ikan tuna, dan pengolahan ikan adalah pekerjaan utama.

Makanan

Talas yang kaya karbohidrat, pisang muda, dan sukun yang dicampur dengan air kelapa merupakan makanan pokok. Hidangan juga bisa mencakup daging babi, ayam, atau ikan. Buah-buahan tropis seperti pepaya, nanas, dan mangga sangat limpah.

Iklim

Karena terletak di garis khatulistiwa, kepulauan ini panas dan lembap hampir sepanjang tahun. Curah hujan di Pago Pago, Pulau Tutuila, Samoa Amerika, mencapai lebih dari 5 meter setiap tahun.

[Kotak di hlm. 75]

”Bukunya Sangat Bagus”

Saudara Harold Gill membawa 3.500 buku kecil Where Are the Dead? (Di Manakah Orang Mati?) bahasa Samoa untuk disiarkan di Samoa Amerika. Ketika ia memberikan kepada sang gubernur satu eksemplar, sang gubernur menyarankan agar Harold memperlihatkannya kepada setiap pemimpin agama sehingga mereka bisa memberi tahu sang jaksa agung apakah buku itu cocok untuk disiarkan kepada masyarakat umum. Namun, apa tanggapan para pemimpin agama tersebut?

Sang pendeta Lembaga Utusan Injil London ramah dan tidak menentang. Para penganut Adven Hari Ketujuh tidak peduli dengan apa yang dilakukan Harold​—asalkan ia tidak mengambil anggota kawanan mereka. Sang padri angkatan laut, meskipun agak sarkastis, tidak bermusuhan. Namun, ada kejadian unik yang membuat Harold tidak jadi menemui sang imam Katolik. Harold telah memberikan satu buku kecil kepada seorang polisi Samoa yang mengawal dia ke gubernur. Beberapa hari kemudian, Harold bertanya kepada sang polisi apakah ia senang membaca buku kecil itu.

Sang polisi menjawab, ”Bos saya [jaksa agung] mengatakan, ’Kamu temui imam [Katolik] dan tanya apakah buku ini bagus.’ Saya pergi ke bawah pohon dan membacanya. Saya mengatakan dalam hati, ’Buku ini sangat bagus, tapi jika saya memperlihatkannya kepada sang imam, ia akan mengatakan, ”Buku ini tidak bagus.”’ Jadi, saya mengatakan kepada bos saya, ’Bos, kata imam, ”Bukunya sangat bagus.”’”

Belakangan, sang jaksa agung mengundang Harold ke kantornya. Sementara sang jaksa agung membuka-buka halaman buku kecil itu, Harold menjelaskan isinya. Kemudian, sang jaksa agung mengangkat telepon dan memberitahukan bahwa buku kecil itu boleh disiarkan. Hasilnya, hampir semua buku kecil yang dibawa Harold disiarkan di seluruh pulau.

[Kotak di hlm. 76]

Kebudayaan Tradisional Samoa

Pada tahun 1847, utusan injil dari Lembaga Utusan Injil London, George Pratt, menggambarkan orang Samoa sebagai ”orang yang paling taat etiket di Polinesia, bahkan di dunia”. Kebudayaan Samoa tradisional ini​—yang disebut faa Samoa (cara Samoa)​—merupakan kaidah yang sangat terstruktur yang merasuk ke setiap aspek kehidupan orang Samoa.

Yang terpenting dalam kaidah ini adalah ”respek, bahkan pemujaan, terhadap orang-orang yang ’lebih tinggi’ daripada diri sendiri”, kata buku Samoan Islands. Respek ini diwujudkan lewat tata krama, tutur kata yang patut, dan keloyalan kepada keluarga serta desa. Tak pernah terlintas dalam benak kebanyakan orang di sana untuk meninggalkan kebiasaan dan agama leluhur mereka.

Para sesepuh keluarga (matai), yang menjaga tradisi ini, mengatur urusan sehari-hari dari satu kelompok keluarga atau lebih dan mewakili mereka dalam dewan desa. Mereka menuntut ketaatan mutlak dan menegakkan wewenang mereka melalui denda, deraan, atau bahkan pengusiran dari desa. Misalnya, matai di sebuah desa pernah mendenda seorang pemimpin agama yang menyuruh anak-anak kecil melempari Saksi-Saksi Yehuwa dengan batu.

Setiap desa bisa memiliki 10 hingga 50 matai. Kebanyakan dipilih oleh keluarga besar (aiga), tetapi ada juga yang mewarisi kedudukan itu secara turun-temurun. Gelar-gelar diatur berdasarkan urutan yang terperinci. Setiap desa memiliki ketua kepala (alii), yang mengetuai dewan desa. Juru bicara (tulafale) mengurusi upacara-upacara. Akan tetapi, tidak semua matai memiliki tugas politis atau keagamaan. Ada yang hanya menangani urusan keluarga, seperti bertindak sebagai wali tanah keluarga dengan wewenang untuk menentukan bagaimana tanah itu akan digunakan.

[Kotak/​Gambar di hlm. 79]

”Abdi Yehuwa”

SAUVAO TOETU

LAHIR 1902

BAPTIS 1954

PROFIL Orang pertama yang tinggal di Faleasiu yang menerima kebenaran. Belakangan, Balai Kerajaan dibangun di atas tanah miliknya. Sebagaimana diceritakan oleh putranya, Tafiga Sauvao

PADA tahun 1952, salah seorang kemenakan ayah saya dari Apia mengunjungi keluarga kami di Faleasiu. Pria ini, yang bergabung dengan Saksi-Saksi Yehuwa, ingin berdiskusi soal Alkitab dengan Ayah. Beberapa dari kerabat kami di desa ikut mendengarkan. Bersama-sama, mereka berdiskusi tanpa henti dari hari Sabtu pagi sampai Senin sore, dan hanya berhenti satu jam untuk tidur. Setelah diskusi serupa selama empat minggu berikutnya, Ayah akhirnya menyatakan, ”Terjawablah sudah semua pertanyaan saya. Saya telah menemukan kebenaran.” Abang ipar ayah saya, Finau Feomaia, juga menerima kebenaran, begitu pula keluarga mereka masing-masing.

Ayah segera mulai memberi kesaksian. Hal ini mengejutkan keluarga kami, yang selama ini memandang dia sebagai penganut Adven Hari Ketujuh yang saleh. Mereka mencemooh Ayah dengan menjulukinya abdi Yehuwa. Namun, itu sebenarnya suatu pujian! Meskipun berperawakan kecil, Ayah memiliki ketegaran hati dan bisa berpikir dengan jernih serta berbicara secara meyakinkan. Hal ini memungkinkan dia membela imannya yang baru dengan terampil. Belakangan, kelompok kecil kami menjadi sidang kedua yang terbentuk di Samoa.

[Kotak/​Gambar di hlm. 83]

Setia meski Sakit

FAGALIMA TUATAGALOA

LAHIR 1903

BAPTIS 1953

PROFIL Menolak kesempatan untuk menjadi matai yang terkemuka, ia menjadi perintis biasa.

BELAKANGAN, tidak soal penglihatannya yang buruk dan menderita kaki piuh (cacat bawaan dengan ujung kaki yang terputar), Fagalima melayani selama bertahun-tahun sebagai perintis istimewa di seluruh Samoa. Salah seorang pengawas wilayah, sewaktu mengabar dari rumah ke rumah bersama Fagalima, memperhatikan bahwa ia dengan akurat membacakan ayat-ayat Alkitab tanpa kacamata dan menanyakan apakah penglihatannya sudah membaik. Fagalima menjawab bahwa kacamatanya sudah hilang dan ia mengutip ayat Alkitab di luar kepala.

Karena begitu ingin menghadiri kebaktian di Fiji, Fagalima bekerja sendirian jauh di ujung Upolu selama empat minggu untuk mengumpulkan kelapa. Meskipun kakinya cacat, ia membawa 15 kelapa sekali jalan ke sebuah lokasi yang jauhnya sekitar tiga kilometer. Di lokasi itu, ia melepaskan kulit luar kelapa dan mengambil serta mengeringkan dagingnya untuk dijadikan kopra. Ia kemudian menjual kopra itu dan mengadakan perjalanan ke Apia untuk membayar ongkos ke Fiji. Namun setibanya ia di sana, ternyata uangnya tidak cukup karena ongkos perjalanan sudah naik. Alih-alih mengeluh, menyerah, atau meminta bantuan, ia kembali mengumpulkan lebih banyak kelapa dan memperoleh uang yang dibutuhkan. Ia melakukan semua itu untuk menghadiri sebuah kebaktian yang ia pikir akan diadakan dalam dua bahasa yang tidak ia mengerti. Betapa senangnya Fagalima ketika ia tiba di Fiji dan mendapati bahwa sebagian besar acara kebaktian akan disajikan dalam bahasanya sendiri!

[Kotak/​Gambar di hlm. 87]

”Saya Menikmatinya Setiap Hari”

RONALD SELLARS

LAHIR 1922

BAPTIS 1940

PROFIL Ia dan istrinya, Olive (Dolly), pindah ke Samoa sebagai perintis istimewa pada tahun 1953. Ia lulus dari sekolah utusan injil Gilead pada tahun 1961. Ron sampai sekarang masih melayani sebagai perintis istimewa di Samoa Amerika.

KETIKA pemerintah Samoa menolak perpanjangan visa kami, Dolly dan saya pindah ke Samoa Amerika. Kapal antarpulau menurunkan kami di pelabuhan Pago Pago yang masih sepi pada pukul tiga subuh. Hanya kamilah penyiar di negeri itu dan uang kami hanya 12 dolar AS. Kemudian, pada pagi itu juga, ayah seorang mantan PAR dengan baik hati memberi kami tumpangan. Kami tidur di pojokan tak bertirai di rumahnya yang berkamar satu. Meskipun ingin mencari tempat tinggal, kami mulai memberi kesaksian di rumah sebelah.

Beberapa minggu kemudian, kami menyewa sebuah apartemen besar di lantai dua sebuah toko kelontong di desa Fagatogo. Pemandangannya sangat indah karena dari situ kami bisa melihat Pelabuhan Pago Pago, namun apartemen itu kosong melompong. Saudara Knorr pernah memberi tahu kami, ”Kalau kalian pergi ke Kepulauan Pasifik, kalian tidak akan mendapatkan banyak kenyamanan. Kalian mungkin malah harus menggelar kardus lektur di lantai untuk dijadikan tempat tidur.” Maka, itulah yang kami lakukan! Beberapa bulan kemudian, barulah kami punya cukup uang untuk membuat tempat tidur, meja, dan kursi yang layak. Namun, yang pasti kami senang karena sudah punya tempat tinggal.

Meskipun istri saya tercinta telah meninggal dunia pada tahun 1985, saya masih pergi berdinas hampir setiap hari. Jika mengenang kembali dinas perintis dan utusan injil saya selama 50 tahun lebih, saya bisa mengatakan dengan sejujurnya bahwa saya menikmatinya setiap hari!

[Kotak/​Gambar di hlm. 88]

”Mereka Menumbuhkan dalam Diri Saya Kasih kepada Yehuwa”

WALLACE PEDRO

LAHIR 1935

BAPTIS 1955

PROFIL Orang pertama yang dibaptis di Samoa Amerika. Ia dan istrinya, Caroline, merintis dan kemudian berkeluarga. Mereka sekarang melayani di Seattle, Washington, AS.

SETELAH belajar Alkitab dan mulai ikut mengabar, saya diusir keluarga dan meninggalkan rumah hanya dengan pakaian yang melekat di badan! Malam itu, saya terpaksa tidur di pantai. Saya berdoa kepada Yehuwa meminta ketegaran untuk melayani Dia apa pun hasil akhirnya.

Keesokan harinya, saat saya sedang berada di perpustakaan sekolah, Saudara Paul Evans dengan tak diduga-duga datang. Karena merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia mengatakan, ”Mari kita ke rumah utusan injil dan membicarakannya.” Para utusan injil dengan baik hati menampung saya, dan belakangan pada tahun tersebut saya pun dibaptis.

Setelah lulus sekolah menengah, saya ikut merintis bersama para utusan injil. Belakangan, saya menikahi perintis yang bersemangat dari Kanada, Caroline Hinsche, yang tadinya melayani di Fiji, dan kami memulai dinas perintis istimewa di Samoa Amerika.

Sikap orang tua saya lambat laun melembut. Ayah sempat belajar Alkitab sebelum meninggal, dan Ibu dibaptis pada usia 72 tahun. Saya bersyukur atas teladan para utusan injil yang mula-mula itu. Mereka menumbuhkan dalam diri saya kasih kepada Yehuwa yang terus menopang saya hingga hari ini!

[Kotak/​Gambar di hlm. 91]

Kegigihan Membuahkan Hasil

PAUL EVANS

LAHIR 1917

BAPTIS 1948

PROFIL Ia dan istrinya, Frances, melayani sebagai utusan injil di Samoa dan Samoa Amerika selama 40 tahun lebih.

KETIKA saya dan istri memulai pekerjaan keliling pada tahun 1957, tidaklah mudah untuk memasuki Samoa karena pemerintah berupaya menghalangi Saksi-Saksi setempat agar tidak memperoleh bantuan dari luar. Para pengunjung dan wisatawan bahkan diminta menandatangani pernyataan bahwa mereka berjanji untuk tidak mengubah kepercayaan orang lain selama mereka tinggal di sana. Maka, pada kunjungan pertama saya sebagai pengawas wilayah, saya bertanya kepada sang pejabat imigrasi apa artinya mengubah kepercayaan orang lain. Saat dia terlihat bingung, saya bertanya,

”Katakanlah Anda orang Katolik yang sedang mengunjungi negeri lain dan pergi ke gereja. Jika Anda diminta berdiri dan memberi khotbah, bolehkah Anda melakukannya?”

”Siapa pun tentu bebas melakukannya,” jawabnya.

”Nah,” lanjut saya, ”seperti Anda ketahui, Saksi-Saksi Yehuwa sering mengunjungi orang-orang di rumah untuk menyampaikan berita dari Alkitab. Jika teman-teman saya ingin agar saya ikut dalam pekerjaan itu, apakah itu diperbolehkan?”

”Saya rasa, itu boleh-boleh saja,” jawabnya.

”Tapi bagaimana jika sang penghuni rumah mengajukan pertanyaan kepada saya?” tanya saya. ”Bolehkah saya menjawabnya?”

”Itu sah-sah saja,” katanya.

”Bagus. Setidaknya saya tahu apa yang harus saya lakukan,” kata saya.

Ketika meninggalkan negeri itu seusai kunjungan wilayah yang sukses, saya bertanya kepada pejabat tadi apakah ia pernah mendengar laporan buruk tentang kunjungan kami.

”Tidak ada,” jawabnya. ”Semuanya baik-baik saja.”

”Jadi, bagaimana dengan izin masuk untuk kunjungan kami berikutnya?” tanya saya.

”Jangan membuat permohonan lewat departemen imigrasi,” sarannya. ”Tulis surat saja ke saya, dan akan saya pastikan bahwa Anda memperoleh izin.”

Maka, itulah yang kami lakukan pada beberapa kunjungan selanjutnya.

Sayangnya, para pejabat yang menggantikan pria yang tidak berat sebelah ini tidak mau bekerja sama dan tidak memberikan izin masuk ke Samoa kepada para pengawas wilayah berikutnya. Situasi ini terus berlangsung hingga tahun 1974. Pada tahun itu, pemerintah memberi Frances dan saya status utusan injil. Kesabaran dan kegigihan kami akhirnya tidak sia-sia.

[Gambar]

Frances dan Paul Evans

[Kotak di hlm. 97]

Bahasa para Orator

Bahasa Samoa diucapkan dengan suara yang lembut dan irama yang enak didengar. Akan tetapi, ”karena banyak kata tampak seperti sekumpulan huruf vokal”, kata Fred Wegener, ”para utusan injil perlu banyak latihan (faata’ita’iga) dan dorongan (faalaeiauina) untuk menguasai bahasa ini”.

Seni bertutur yang ekspresif dan hidup serta penggunaan peribahasa merupakan bagian penting dalam kebudayaan Samoa. Para sesepuh keluarga (matai) dan orator (tulafale, juru bicara) senang mengutip Alkitab dan menggunakan bahasa yang berbunga-bunga pada acara-acara resmi. Adat istiadat orang Samoa terutama terkenal dengan perhatiannya yang cermat terhadap bahasa resmi dan seremonial yang digunakan pada saat tertentu. Orang Samoa menggunakan bahasa ”tinggi” yang sopan (tautala lelei) yang sangat beradab ketika berbicara kepada atau tentang Allah, ketua, orang yang berwenang, dan tamu asing. Sementara itu, untuk percakapan sehari-hari, atau sewaktu berbicara tentang diri sendiri, orang Samoa menggunakan bahasa sehari-hari (tautala leaga), yakni cara berbicara yang tidak resmi dan lebih santai.

Agar tidak menyinggung perasaan sewaktu membahas persoalan resmi dan seremonial atau sewaktu berbicara tentang Alkitab, orang Samoa menggunakan bentuk bahasa Samoa ”tinggi” yang penuh respek dengan istilah-istilah bermartabat yang khusus. ”Karena sopan santun dan respek merasuk ke seluruh bagian bahasa,” kata Geoffrey Jackson, anggota Badan Pimpinan yang pernah melayani sebagai utusan injil di Samoa, ”sewaktu memberi kesaksian, penting untuk menyapa orang Samoa dengan kesopanan yang biasanya diberikan bagi kaum bangsawan, dan pada saat yang sama menggunakan bahasa sehari-hari yang rendah hati sewaktu berbicara tentang diri sendiri.”

[Kotak/​Gambar di hlm. 99]

’Kami Pergi dengan Berurai Air Mata’

ROBERT BOIES

LAHIR 1942

BAPTIS 1969

PROFIL Ia dan istrinya, Elizabeth (Betty), melayani sebagai utusan injil di Kepulauan Samoa dari tahun 1978 sampai 1986.

KAMI mendapati bahwa bahkan sejak kami pertama kali tiba, orang-orang Samoa Amerika menghargai upaya kami untuk belajar bahasa Samoa dan mengabaikan banyak kesalahan yang kami buat. Sekali peristiwa, saya menggunakan Penyingkapan 12:9 untuk menjelaskan pengaruh Setan atas dunia. Namun, kata Samoa untuk iblis (tiapolo) dan jeruk (tipolo) terdengar sangat mirip. Karena salah pilih kata, saya menjelaskan bahwa ”jeruk” telah dilempar dari surga dan menyesatkan seluruh bumi yang berpenduduk. Lalu, saya mengatakan bahwa Yehuwa akan segera menghancurkan dan melenyapkan ”jeruk” itu. Kontan, sang penghuni rumah dan rekan utusan injil saya tertawa terbahak-bahak.

Pada kesempatan lain, saya mengucapkan sebuah persembahan hafalan di depan seorang wanita Samoa dalam pengabaran dari rumah ke rumah. Saya belakangan baru tahu bahwa satu-satunya bagian yang dimengerti olehnya dari persembahan itu adalah kutipan singkat dari Penyingkapan 21:4. Karena merasa bahwa pesan saya pasti penting, ia segera masuk ke dalam dan membaca ayat tersebut di Alkitabnya. Satu ayat itu saja begitu menyentuh hatinya sampai-sampai sang wanita belakangan menerima PAR, dan ia serta anak-anaknya masuk kebenaran!

Syukurlah, kami akhirnya berhasil menguasai bahasa Samoa dan menikmati banyak pengalaman bagus. Ketika masalah kesehatan memaksa kami untuk pulang ke Amerika Serikat, kami pergi dari Samoa dengan berurai air mata.

[Kotak/​Gambar di hlm. 101]

”Seisi Kota Hadir”

Salah satu upacara pemakaman terbesar yang pernah diselenggarakan di Apia adalah pemakaman Fred Williams pada tahun 1950-an. Sang Kapten, demikian julukannya, adalah seorang pelaut tua yang tangguh. Istrinya seorang Saksi Yehuwa. Sang Kapten telah mengarungi ketujuh samudra dan namanya kondang di seluruh Pasifik Selatan. Salah satu prestasinya adalah membawa pulang awaknya dengan sekoci penyelamat yang terbuka mengarungi samudra sejauh ribuan kilometer nyaris tanpa makanan setelah kapalnya kandas di sebuah pulau karang yang terpencil.

Menurut sang Kapten, kebanyakan orang beragama tidak tulus. Meskipun demikian, mantan pelaut yang suka minum wiski dan berjudi ini belajar Alkitab dengan Bill Moss dan menjadi seorang Saksi yang bersemangat. Pada saat dibaptis, sang Kapten sudah nyaris buta dan kebanyakan hanya terbaring di ranjang. Namun, ia tak pernah lalai untuk membagikan iman barunya kepada penjenguknya yang banyak, termasuk sejumlah besar pemimpin agama.

Ketika sang Kapten wafat, sesuai dengan surat wasiatnya, Saksi-Saksi Yehuwa menyelenggarakan upacara pemakaman dan menguburkannya di laut. ”Tampaknya, seolah-olah seisi kota hadir pada upacara pemakaman itu,” tulis Girlie Moss. ”Stasiun radio mengumumkan kematiannya, dan berbagai perusahaan di Apia memasang bendera setengah tiang untuk menghormatinya.” Selain para Saksi, hadir juga para pengacara, guru sekolah, pemimpin agama terkemuka, dan banyak pengusaha.

Semuanya memberikan perhatian penuh ketika sang pembicara, Bill Moss, yang menggunakan banyak ayat Alkitab, menjelaskan harapan sang Kapten bahwa ia akan hidup lagi di firdaus di bumi ini. ”Saya merasakan dari hati saya muncul gelombang besar kasih bagi sang Kapten,” kata Girlie, ”karena ia telah mempersiapkan agar pada pemakamannya kesaksian diberikan kepada banyak sekali orang yang biasanya sulit dihubungi dalam pengabaran dari rumah ke rumah. Saya teringat akan Habel yang, ’meskipun sudah mati, masih berbicara’.” (Ibr. 11:4) ”Sang Kapten, lewat upacara pemakamannya, telah memberikan kesaksian yang besar pada saat ia meninggal.”

Setelah khotbah pemakaman di rumah sang Kapten, sebuah konvoi yang terdiri atas lebih dari 50 mobil bergerak ke pelabuhan. ”Pelabuhan itu begitu penuh dengan orang,” tulis Girlie, ”sampai-sampai polisi harus membuka jalan bagi kami untuk lewat menuju perahu. Lalu, bersama keluarga dan para tokoh serta pejabat terkemuka, kami naik ke perahu motor Aolele (Awan Terbang) dan berlayar ke laut.” Nama perahu itu sangat cocok, karena Bill harus berpegangan erat pada tiang saat perahu diombang-ambingkan gelombang dan saat angin menerpa dia, pakaiannya, dan halaman-halaman Alkitabnya. Akhirnya, Bill membacakan janji Alkitab bahwa ’laut akan menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya’ lalu ia memanjatkan doa. (Pny. 20:13) Setelah itu, jasad sang Kapten yang terbalut kain dan diberi pemberat meluncur ke air yang bergejolak dari Samudra Pasifik yang dicintainya. Masyarakat masih membicarakan upacara pemakaman ini lama setelah itu, yang menyediakan banyak peluang bagi kesaksian lebih lanjut.

[Gambar]

”Kapten” Fred Williams sebelum dibaptis

[Kotak/​Gambar di hlm. 109]

”Kami Terus Datang Lagi”

FRED WEGENER

LAHIR 1933

BAPTIS 1952

PROFIL Ia dan istrinya, Shirley, melayani di Betel Samoa. Fred adalah anggota Panitia Negeri.

KAMI pindah dari Australia ke Samoa Amerika semasih pengantin baru pada tahun 1956 guna melayani sebagai perintis istimewa. Tempat tugas kami yang pertama adalah Lauli’i, sebuah desa kecil di pintu masuk timur Pelabuhan Pago Pago. Di sana, kami pindah ke sebuah gubuk tua tanpa daun pintu, daun jendela, langit-langit, atau air. Setelah membuatnya layak huni, kami tak lama kemudian kedatangan anggota keluarga baru. Wallace Pedro, seorang pemuda setempat yang telah diusir dari rumah oleh orang tuanya yang menentang, tinggal dan merintis bersama kami.

Dua tahun kemudian, kami mengikuti Sekolah Gilead dan ditugasi ke Tahiti sebagai utusan injil. Namun, kami tidak lama berada di sana. Pemerintah menolak permohonan utusan injil kami dan dengan sopan memberi tahu lewat surat bahwa kami harus pergi dengan pesawat berikut. Setelah kembali ke Samoa Amerika, kami melayani bersama Paul dan Frances Evans serta Ron dan Dolly Sellars di rumah utusan injil Fagatogo di Pago Pago. Di sini, kami mencetak Menara Pengawal dan Pelayanan Kerajaan Kita dengan sebuah mesin stensil tua yang dipasang di meja makan. Pada tahun 1962, Shirley dan saya diundang melayani dalam dinas wilayah. Wilayah pertama kami mencakup sebagian besar Pasifik Selatan, termasuk Fiji, Kepulauan Cook, Kiribati, Niue, Samoa, Samoa Amerika, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu.

Delapan tahun kemudian, putra kami, Darryl, lahir, sehingga kami menetap di Samoa Amerika. Saya melayani sebagai perintis istimewa, dan Shirley menggunakan sebagian besar waktunya untuk menerjemahkan lektur Alkitab ke bahasa Samoa.

Sekitar waktu itu, saya bekerja dengan seorang Saksi yang berprofesi sebagai pencari tiram guna menafkahi keluarga. Mesin perahunya mogok, dan kami terombang-ambing di lautan selama empat hari. Kami hanyut sejauh ratusan kilometer, luput dari serangan badai yang ganas, dilewati 32 kapal, dan nyaris ditabrak kapal kontainer besar sebelum akhirnya diselamatkan. Tak lama kemudian, Shirley dan saya mengetahui bahwa kami akan memiliki anak lagi, maka pada tahun 1974 kami dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke Australia. Di sana, putri kami, Tamari, lahir.

Pada tahun-tahun berikutnya, kami sering memikirkan untuk kembali ke tempat tugas utusan injil yang kami cintai. Bayangkan betapa senangnya kami ketika Shirley dan saya diundang untuk kembali ke Samoa pada tahun 1995 bersama Tamari, guna melayani di Betel. Setahun kemudian, Shirley dan saya diundang untuk memulai lagi pekerjaan wilayah—setelah tertunda selama 26 tahun! Alangkah bahagianya kami ketika berjumpa kembali dengan banyak saudara-saudari kawakan yang setia yang pernah bekerja sama dengan kami di Samoa, Samoa Amerika, dan Tonga!—3 Yoh. 4.

Sekarang, Shirley dan saya melayani bersama Tamari dan suaminya, Hideyuki Motoi, di Betel Samoa. Betapa gembiranya kami karena kami terus datang lagi!

[Kotak/​Gambar di hlm. 113, 114]

’Yehuwa Telah Menjawab Doa-Doa Saya’

FAIGAAI TU

LAHIR 1932

BAPTIS 1964

PROFIL Ia merintis di Pulau Upolu dan Pulau Savaii dari tahun 1965 hingga 1980. Ia sekarang tinggal di Savaii.

SAYA lahir dengan kaki piuh yang sangat parah. Akibatnya, kedua telapak kaki saya bengkok ke bawah tumit, sehingga saya sangat sulit berjalan.

Ketika saya pertama kali mendengar kebenaran, hati sanubari saya tersentuh. Saya ingin menghadiri perhimpunan, tapi untuk pergi ke sana dengan berjalan di jalanan yang keras dan berbatu tampaknya mustahil. Belakangan, saya menjadi sangat terampil membuat sepatu sendiri dari sandal karet. Ini memungkinkan saya berjalan dengan lebih nyaman.

Saya mulai merintis tak lama setelah dibaptis. Kemudian, setelah merintis selama sembilan tahun di Pulau Upolu, saya pindah bersama kakak perempuan saya dan suaminya ke Savaii, karena pemberita Kerajaan dibutuhkan di sana. Di pulau itu, saya menjadi perintis istimewa bersama kemenakan perempuan saya, Kumi Falema’a.

Kumi dan saya mengadakan perjalanan dengan bus setiap minggu dari Faga ke Lata, sebuah desa kecil di pesisir barat Savaii. Setelah memberikan pelajaran Alkitab kepada seorang wanita di Lata, kami berjalan sejauh delapan kilometer ke Desa Taga untuk memberikan PAR kepada seorang wanita lain. Kami menginap di rumah wanita itu dan keluarganya dan kemudian kembali ke Faga pada pagi harinya dengan bus. Kegiatan rutin ini terus dilakukan selama sekitar dua tahun. Syukurlah, kedua wanita ini beserta keluarga mereka belakangan menjadi Saksi-Saksi yang aktif.

Ketika keluarga saya pergi dari Savaii, saya tinggal sendirian untuk mengurus sekelompok kecil saudari-saudari dan para wanita peminat di Faga. Saya memandu Pelajaran Menara Pengawal mingguan dan Pelajaran Buku Sidang serta membimbing saudari-saudari itu dalam pengabaran dari rumah ke rumah. Sebulan sekali, seorang penatua datang dari Apia untuk memandu salah satu corak perhimpunan Minggu. Karena kepala desa melarang kami menyanyikan lagu Kerajaan di perhimpunan, kami membaca kata-katanya saja dengan keras. Lima tahun kemudian, sepasang utusan injil, Leva dan Tenisia Faai’u, tiba dari Selandia Baru untuk membantu kelompok kecil kami. Yang lain-lainnya menyusul. Sekarang, di Savaii sudah ada dua sidang yang berkembang pesat, satu di Faga dan satunya lagi di Taga.

Meskipun tidak pernah menikah, saya menyukai anak-anak dan selalu merasa dekat dengan mereka. Beberapa anak bahkan pernah tinggal bersama saya. Saya sangat bersukacita melihat ”anak-anak” rohani saya tumbuh dan memutuskan untuk melayani Yehuwa.

Sekarang, saya sudah tua dan tidak bisa lagi berjalan dari rumah ke rumah. Saya mengadakan pelajaran Alkitab di rumah saya dan memberi kesaksian kepada orang-orang yang saya temui di rumah sakit setempat. Meskipun demikian, keterbatasan ini sungguh membuat saya frustrasi, maka saya berdoa kepada Yehuwa agar Ia menolong saya untuk berbuat lebih banyak. Kemudian, para utusan injil di sidang memperkenalkan kepada saya kesaksian lewat telepon. Sewaktu mengenang kembali, saya melihat bahwa Yehuwa benar-benar telah menjawab doa-doa saya.

[Kotak/​Diagram di hlm. 118]

Kemarin, Hari Ini, dan Besok

Para penduduk Samoa dan Tonga menyetel arloji mereka pada jam yang sama, tetapi kalender di Tonga satu hari lebih maju! Mengapa? Samoa dan Tonga terletak di sisi garis tanggal internasional yang berseberangan—Tonga di barat dan Samoa di timur. Maka, meskipun keduanya tidak terlalu berjauhan, Tonga adalah salah satu negeri di dunia yang paling awal merayakan Peringatan kematian Kristus, sedangkan Samoa salah satu yang paling akhir.

[Diagram]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

\​

\​

\​

\​

\ SAMOA

| 19.00

| Rabu

|

|

|

|

|

TONGA |

19.00 | SAMUDRA PASIFIK SELATAN

Kamis |

|

|

Garis Tanggal | Internasional

|

| NIUE

|

|

|

|

|

|

|

|

[Kotak/​Gambar di hlm. 123, 124]

Terjemahan Alkitab yang Menghormati Nama Allah

Pada tahun 1884, para utusan injil Susunan Kristen menghasilkan sebuah terjemahan Alkitab dalam bahasa Samoa yang menggunakan nama Yehuwa di seluruh Kitab-Kitab Ibrani. Bentuk singkatan dari nama Allah juga muncul empat kali dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen, yakni Aleluia, artinya ”Pujilah Yah”. (Pny. 19:1-6) Tetapi, edisi revisi tahun 1969 menghapuskan nama Yehuwa dari semua ayat kecuali satu​—tampaknya karena sang penerjemah tidak melihatnya! (Kel. 33:14) Pihak gereja juga menghapus nama ilahi dari buku-buku himne mereka dan menyuruh para anggota gereja untuk tidak menggunakan nama Yehuwa.

Tetapi, pada bulan November 2007, para pencinta Alkitab di Samoa sangat senang menerima Kitab-Kitab Yunani Kristen Terjemahan Dunia Baru dalam bahasa Samoa. Terjemahan yang akurat dan mudah dipahami ini dengan setia mengembalikan nama ilahi ke dalam naskah terilham itu. Geoffrey Jackson, mantan utusan injil di Samoa yang sekarang melayani sebagai anggota Badan Pimpinan, merilis edisi baru itu pada kebaktian istimewa antarpulau yang diadakan di Apia, Samoa.

Laporan-laporan yang ditayangkan di televisi mengundang banyak perhatian publik. Ada orang-orang yang menelepon Betel Samoa untuk meminta terjemahan ini. Seorang pejabat senior pemerintah meminta sepuluh Alkitab untuk diberikan kepada para anggota stafnya. Seorang kepala sekolah meminta lima Alkitab untuk dihadiahkan kepada murid-muridnya yang paling berprestasi di akhir tahun ajaran.

Banyak orang memberi komentar yang positif tentang terjemahan Alkitab yang cermat itu, yang memberikan pemahaman yang berharga tentang makna dari naskah aslinya. Terjemahan Dunia Baru juga mengajarkan kembali kepada orang Samoa pentingnya menggunakan nama Allah. Finau Finau, seorang perintis istimewa di Vailele, Upolu, menggunakan contoh doa Yesus untuk membantu seorang wanita memahami pentingnya menggunakan nama Allah.

Setelah membaca Matius 6:9, saudara tersebut bertanya, ”Nama siapa menurut Ibu yang harus dikuduskan?”

”Nama Tuhan,” jawabnya.

”Tapi di 1 Korintus 8:5 dikatakan bahwa ada banyak ’allah’ dan banyak ’tuhan’,” kata Finau. ”Bagaimana bisa nama Allah adalah Tuhan kalau ada banyak allah palsu dengan nama itu?”

Ia kemudian memperlihatkan kepadanya nama Yehuwa dan menjelaskan bahwa Susunan Kristen telah menyingkirkan nama itu dari berbagai terjemahan Alkitab. Untuk menyimpulkan maksudnya, ia menambahkan, ”Andaikan ada orang yang mau menghapus atau mengubah nama kepala sesepuh keluarga (matai) Ibu, bagaimana perasaan Ibu?”

”Kami akan marah,” jawab wanita itu.

”Tepat sekali,” kata Finau, ”dan seperti itulah perasaan Yehuwa terhadap semua orang yang berupaya menyingkirkan nama-Nya dari Firman-Nya.”

[Gambar]

”Kitab-Kitab Yunani Kristen Terjemahan Dunia Baru” bahasa Samoa

[Kotak/​Gambar di hlm. 126, 127]

”Yehuwa Telah Memberkati Saya Seratus Kali Lipat”

LUMEPA YOUNG

LAHIR 1950

BAPTIS 1989

PROFIL Putri mantan perdana menteri ini melayani sebagai perintis biasa di Apia.

SAYA dibesarkan di Pulau Savaii dan ayah saya seorang pebisnis dan politisi yang sukses. Karena Ayah memiliki kebun cokelat yang luas sekali dan mempekerjakan sekitar 200 orang, surat-surat kabar Samoa menjulukinya Tuan Besar Cokelat, dan selama beberapa tahun ia menjadi perdana menteri Samoa.

Saya adalah salah seorang dari 11 anak. Ayah tidak terlalu religius, tapi Ibu memberi kami pendidikan dasar tentang Alkitab. Ketika Ibu meninggal, saya merasa sangat kehilangan. Maka, ketika Judy Pritchard, seorang saudari utusan injil, memberi kesaksian kepada saya tentang harapan kebangkitan, bayangan bahwa saya bisa bertemu lagi dengan Ibu sangat menyentuh hati saya!

Saya membombardir Judy dengan pertanyaan, dan ia menjawab semuanya dari Alkitab. Tak lama kemudian, kami belajar Alkitab bersama. Belakangan, saya mulai menghadiri perhimpunan Saksi.

Awalnya, suami saya Steve, diaken terkemuka di gereja desa kami, melarang saya belajar. Ia mengajak saya mengunjungi beberapa pemimpin agama yang berupaya meyakinkan saya agar tidak menghadiri perhimpunan Saksi. Tetapi, saya tidak menuruti nasihat mereka. Berikutnya, ia mengajak saya menemui Ayah, yang sekadar menyarankan agar saya belajar di tempat lain dan bukan di rumah. Namun, saya diejek oleh saudara-saudara kandung saya karena telah berganti agama. Tetapi, saya tidak akan menyerah dan berhenti belajar Alkitab.

Ketika saya akhirnya memenuhi syarat sebagai pemberita Kerajaan, rumah pertama yang saya kunjungi dalam pengabaran adalah rumah salah seorang menteri kabinet ayah saya. Ia telah sering menghadiri pertemuan politik di rumah Ayah dan mengenal baik saya. Saya begitu panik sampai-sampai saya bersembunyi di balik rekan dinas saya! Orang-orang kaget melihat saya mengabar dan bertanya, ”Apa kata ayahmu?” Namun, Ayah adalah orang yang bersikap masuk akal yang membela iman saya yang baru ini. Selain itu, ia senang membaca majalah Menara Pengawal dan Sedarlah!

Akhirnya, saya berhasil mengatasi rasa takut akan manusia dan menjadi perintis biasa. Saya senang memberikan PAR, dan saya membuat daftar sekitar 50 calon pelajar Alkitab untuk dikunjungi di sela-sela jadwal saya yang padat. Namun, sukacita saya yang terbesar adalah bisa mengajarkan kebenaran kepada keempat anak saya. Putri saya Fotuosamoa dan putra saya Stephen serta pasangan hidup mereka, Andrew dan Ana, sekarang melayani di Betel Samoa. Saya juga membantu adik perempuan saya Manu untuk menerima kebenaran. Bahkan suami saya, Steve, yang tadinya menentang, mulai belajar Alkitab dan menghadiri perhimpunan. Sungguh, Yehuwa telah memberkati saya seratus kali lipat.

[Gambar]

Kiri: Fotuosamoa dan Andrew Coe; kanan: Ana dan Stephen Young

[Kotak/​Gambar di hlm. 129, 130]

Pilihanku​—Yehuwa atau Golf Profesional?

LUSI LAFAITELE

LAHIR 1938

BAPTIS 1960

PROFIL Ia memutuskan untuk memasuki dinas perintis ketimbang mengejar karier golf profesional.

SAYA berusia 18 tahun ketika mengetahui bahwa keluarga yang tinggal di seberang jalan telah menganut agama yang disebut Saksi-Saksi Yehuwa. Karena penasaran, saya mengunjungi sang ayah, Siemu Taase, untuk menanyakan mengapa mereka menggunakan nama Allah, Yehuwa. Sikapnya yang ramah dan argumentasinya yang berdasarkan Alkitab mengesankan saya. Maka, ia mulai belajar Alkitab dengan saya, dan saya mulai menghadiri perhimpunan. Ketika ayah saya tahu apa yang saya lakukan, ia mengancam saya. Saya memohon kepadanya agar saya boleh menghadiri perhimpunan, tetapi ia berkeras bahwa saya tidak boleh berhubungan dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Namun, sungguh mengejutkan, keesokan harinya ia berubah pikiran. Tante saya belakangan memberi tahu, ”Sewaktu tidur, kamu berteriak-teriak ’Yehuwa, tolong saya!’” Saya pastilah bermimpi dan mengigau. Untungnya, teriakan saya melembutkan hati Ayah.

Selain itu, di seberang jalan rumah saya ada satu-satunya lapangan golf di Samoa, tempat saya memperoleh uang saku dengan mencari dan menjual bola golf yang hilang. Belakangan, saya menjadi pembawa peralatan golf bagi Raja Malietoa, yang saat itu menjadi kepala negara Samoa. Sang raja merasa bahwa saya berpotensi menjadi pemain golf dan ia menghadiahi saya tongkat-tongkat golf tua miliknya. Ia juga mengatur agar dua pebisnis setempat mensponsori saya sebagai pemain golf profesional. Ia yakin bahwa keterampilan saya bermain golf akan ”mengharumkan nama Samoa”. Saya senang sekali! Namun, tak lama kemudian, golf mulai menyimpangkan saya dari melayani Yehuwa, dan hal itu mengganggu hati nurani saya.

Saat yang paling menentukan tiba ketika saya memenangi Kejuaraan Golf Terbuka Samoa melawan sekelompok pemain golf profesional dari mancanegara. Sang raja senang dan ingin agar saya menemui seorang pemain golf Amerika kenamaan di acara penganugerahan piala pada malam itu. Saya merasa gelisah dan berkata dalam hati, ’Inilah saatnya saya membuat keputusan. Apakah saya akan memilih golf atau Yehuwa?’ Malam itu, saya pergi ke acara gladi resik kebaktian wilayah alih-alih menghadiri acara penganugerahan itu.

Tentu saja, sang raja marah besar. Ketika Ayah menuntut penjelasan, saya berbicara lama sekali dengannya dan menjelaskan dari Alkitab mengapa melayani Yehuwa begitu penting bagi saya. Betapa terkejutnya saya ketika ia mulai menangis. Ia kemudian memberi tahu saya, ”Sewaktu masih berumur lima tahun, kamu sakit parah dan dinyatakan meninggal. Ketika kamu diturunkan ke lubang kubur, wajahmu disengat seekor lebah. Tiba-tiba, kamu berteriak dan mulai menangis​—waktunya pas sekali! Sekarang saya yakin bahwa kamu diselamatkan untuk menjadi seorang saksi bagi Allah Yehuwa.” Ia tidak pernah menentang lagi.

Setelah pindah ke Selandia Baru, saya melayani selama sepuluh tahun sebagai perintis biasa dan belakangan perintis istimewa, dan saya menikah dengan Robyn, yang juga perintis istimewa. Akhirnya, kami memiliki tiga anak dan pindah ke Australia. Selama 30 tahun berikutnya, saya bekerja purnawaktu untuk menafkahi keluarga. Sementara itu, kami membantu banyak dari kerabat kami untuk masuk kebenaran. Saya sering berdoa agar Yehuwa membantu saya terjun kembali dalam dinas perintis. Betapa bersukacitanya saya ketika, setelah pensiun dari pekerjaan sekuler pada tahun 2004, saya akhirnya berhasil mewujudkan keinginan saya. Alangkah senangnya saya memilih untuk melayani Yehuwa ketimbang mengejar karier golf profesional!

[Kotak/​Gambar di hlm. 135]

Pelatihan Orang Tua Mendatangkan Hasil

PANAPA LUI

LAHIR 1967

BAPTIS 1985

PROFIL Ia dan istrinya, Mareta, melayani sebagai perintis istimewa di Samoa.

KETIKA kami mendaftarkan putra kami, Sopa, ke sekolah dasar, saya memberikan kepada kepala sekolah brosur Saksi-Saksi Yehuwa dan Pendidikan serta menjelaskan sikap kami terhadap kegiatan religius dan nasionalistis.

Tetapi, keesokan harinya, Sopa memberi tahu kami bahwa sang kepala sekolah merobek brosur itu di depan kumpulan murid dan guru serta memerintahkan agar anak-anak Saksi menyanyikan kidung keagamaan. Ketika mereka menolak, ia menghadapkan mereka kepada seluruh hadirin dan meminta mereka menyanyikan lagu keagamaan mereka sendiri. Ia berharap mereka akan menjadi takut dan mau mematuhi perintahnya untuk menyanyikan kidung keagamaan. Tetapi, Sopa mengajak anak-anak Saksi lainnya, ”Mari kita nyanyi ’Syukur Kami, Yehuwa’”, dan ia memimpin anak-anak itu untuk menyanyikannya.

Sang kepala sekolah terkesan dan memuji Sopa atas keberaniannya. Ia dan beberapa guru lainnya belakangan memperlihatkan minat akan kebenaran. Setiap kali sang kepala sekolah bertemu dengan kami, ia selalu menanyakan Sopa dan mengirimkan salam kepadanya. Sopa terus membuat kemajuan rohani yang baik dan dibaptis pada tahun 2005.

[Kotak/​Gambar di hlm. 138, 139]

”Tidak Terlalu Jauh Kok Berjalan ke Perhimpunan”

VALU LOTONUU

LAHIR 1949

BAPTIS 1995

PROFIL Saudari ini dan keenam anaknya pernah berjalan sejauh 22 kilometer melewati sebuah barisan pegunungan untuk menghadiri perhimpunan.

PADA tahun 1993, Saksi-Saksi Yehuwa datang ke rumah saya di Lefaga, dan saya menerima PAR. Tak lama kemudian, saya beserta anak-anak mulai menghadiri perhimpunan Kristen di Faleasiu, 22 kilometer jauhnya di sisi lain pulau itu.

Pada hari-hari perhimpunan tengah pekan, saya menjemput anak-anak dari sekolah lebih awal. Beberapa guru mengancam untuk mengeluarkan anak-anak dari sekolah, sampai saya menjelaskan bahwa kami menghadiri perhimpunan karena alasan-alasan rohani yang sangat penting. Tiap anak membawa pakaian berhimpun, Alkitab, buku nyanyian, dan publikasinya sendiri dalam kantong plastik. Kadang, sebuah bus yang lewat memberi kami tumpangan, tapi kami lebih sering berjalan kaki sejauh 22 kilometer.

Ketika kami akhirnya tiba di Balai Kerajaan Faleasiu, Saksi-Saksi setempat menyambut kami dan memberi kami makan. Mereka juga memperbolehkan kami mandi dan berganti pakaian dengan yang bersih untuk berhimpun. Setelah perhimpunan, kami memulai perjalanan pulang yang panjang. Di puncak bukit di tengah pulau, kami berhenti agar anak-anak bisa tidur sejenak. Saya terus berjaga kalau-kalau ada kendaraan yang lewat yang bisa kami tumpangi sampai ke rumah. Biasanya, kami tiba di rumah lewat tengah malam. Keesokan paginya, pukul lima, saya sudah bangun dan menunggu bus pertama untuk kembali lagi ke Faleasiu guna mengabar.

Pada suatu peristiwa, saya dipanggil ke hadapan dewan matai desa yang diketuai oleh sang kepala sesepuh desa. Mereka menuntut penjelasan mengapa saya menempuh perjalanan jauh ke Faleasiu dan bukannya pergi ke gereja di desa kami, khususnya yang didirikan oleh kakek saya. Akhirnya, mereka memerintahkan saya untuk tidak lagi menghadiri perhimpunan di Faleasiu. Tetapi, saya tidak akan membiarkan apa pun menghalangi saya untuk pergi ke perhimpunan. Saya bertekad untuk lebih menaati Allah sebaliknya daripada manusia.—Kis. 5:29.

Situasinya semakin memanas. Ketika saya tidak menghadiri toonai desa (pesta hari Minggu yang dihadiri sang rohaniwan gereja, para diaken, dan matai desa), dewan itu menghukum saya dengan denda berupa lima ekor babi besar. Itu adalah beban finansial yang sangat berat, karena saya membesarkan keenam anak saya sendirian. Meskipun demikian, saya akhirnya membayar denda itu dengan babi-babi dari ternak saya. Namun, belakangan orang-orang desa mulai merespek pendirian kami yang teguh dan tidak lagi menentang.

Pergi ke perhimpunan membutuhkan upaya yang besar selama tahun-tahun itu. Namun, upaya itu tidak sia-sia. Semua anak saya adalah Saksi yang aktif, dan salah satunya adalah hamba pelayanan.

Saya dan anak-anak masih berjalan kaki ke perhimpunan. Bukan, bukan 22 kilometer ke Faleasiu, tetapi dekat-dekat saja. Pada tahun 2001, sebuah Balai Kerajaan baru yang indah dibangun di desa kami. Sekarang, sebuah sidang yang maju pesat berhimpun di Balai itu. Jadi, terlebih lagi sekarang, tidak terlalu jauh kok berjalan ke perhimpunan!

[Tabel/​Grafik di hlm. 132, 133]

LINTAS SEJARAH​—Samoa

1930

1931 Kabar baik mencapai Samoa.

1940

1940 Harold Gill membagikan buku kecil Where Are the Dead?, publikasi pertama dalam bahasa Samoa.

1950

1953 Sidang perdana dibentuk di Apia.

1955 Utusan injil Gilead tiba di Samoa Amerika.

1955 Film The New World Society in Action diputar di seluruh Samoa Amerika.

1957 Kebaktian wilayah pertama di Samoa Amerika.

1958 Penerjemahan Menara Pengawal ke dalam bahasa Samoa dimulai.

1959 Kebaktian wilayah pertama di Samoa Barat.

1960

1970

1974 Para utusan injil tiba di Samoa. Pekerjaan dibuka di Tokelau.

1980

1984 Kantor cabang didirikan di rumah utusan injil Sinamoga, Apia.

1990

1991 Siklon Val memorak- porandakan kepulauan.

1993 Menara Pengawal dalam bahasa Samoa terbit secara simultan dengan edisi bahasa Inggris. Rumah Betel baru dan Balai Kebaktian ditahbiskan.

1996 Acara radio mingguan ”Jawaban atas Pertanyaan Alkitab Anda” disiarkan di radio FM.

1999 Pembangunan Balai Kerajaan dipercepat.

2000

2007 Kitab-Kitab Yunani Kristen Terjemahan Dunia Baru dirilis dalam bahasa Samoa.

2010

[Grafik]

(Lihat publikasinya)

Jumlah Penyiar

Jumlah Perintis

700

400

100

1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010

[Gambar]

Frances dan Paul Evans

[Peta di hlm. 73]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

HAWAII

AUSTRALIA

SELANDIA BARU

TOKELAU

Pulau Swains

SAMOA

SAMOA AMERIKA

Kepulauan Manu‘a

Atol Rose

SAMUDRA PASIFIK SELATAN

NIUE

Garis Tanggal Internasional Rabu

‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐

Kamis

TONGA

SAMOA AMERIKA

Tutuila

PAGO PAGO

Petesa

Tafuna

Fagatogo

Lauli’i

’Aunu’u

SAMOA

Savaii

Aopo

Lata

Taga

Faga

Salimu

Fogapoa

Upolu

APIA

Faleasiu

Siusega

Vailele

Lefaga

Vava’u

APIA

Vaiala

Faatoia

Sinamoga

[Gambar penuh di hlm. 66]

[Gambar di hlm. 74]

Pele dan Ailua Fuaiupolu adalah orang Samoa pertama yang membaktikan kehidupan kepada Yehuwa

[Gambar di hlm. 81]

Ron dan Dolly Sellars pindah ke Samoa pada tahun 1953 untuk melayani di tempat yang lebih membutuhkan

[Gambar di hlm. 84]

Richard dan Gloria Jenkins pada hari pernikahan, Januari 1955

[Gambar di hlm. 85]

Girlie dan Bill Moss dalam perjalanan ke Samoa

[Gambar di hlm. 95]

Rumah khas Samoa

[Gambar di hlm. 100]

Balai Kerajaan yang dibangun di Apia ini adalah yang pertama di Samoa

[Gambar di hlm. 107]

Balai Kerajaan Tafuna yang pertama, Samoa Amerika

[Gambar di hlm. 115]

Metusela Neru

[Gambar di hlm. 116]

Saumalu Taua’anae

[Gambar di hlm. 131]

Ane Ropati (sekarang Gauld) mulai membela Yehuwa sejak remaja

[Gambar di hlm. 141]

Kantor dan Betel Samoa

Panitia Negeri Samoa: Hideyuki Motoi, Fred Wegener, Sio Taua, dan Leva Faai’u

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan