-
Orang Macam Apa yang Saudara Perkenan?Menara Pengawal—1992 | 1 Desember
-
-
Orang Macam Apa yang Saudara Perkenan?
”DICARI PENGANTIN WANITA. Harus berkulit putih dan langsing, lulusan sarjana atau lebih disukai pascasarjana. Harus berasal dari keluarga golongan atas. Kasta yang sama lebih disukai.”
DEMIKIAN bunyi iklan yang khas pada rubrik jodoh yang dapat saudara lihat dalam sebuah surat kabar di India. Kemungkinan, di banyak bagian lain di dunia ini, saudara dapat melihat hal serupa. Di India pengumuman tersebut biasanya dikeluarkan oleh orang-tua calon pengantin pria. Balasannya dapat menyertakan foto seorang gadis berpakaian sari berwarna merah cemerlang dan mengenakan banyak perhiasan emas. Jika keluarga pria setuju, negosiasi dengan tujuan perkawinan pun mulai.
Standar-Standar Nilai yang Umum
Di India, permintaan akan pengantin wanita yang warna kulitnya lebih putih sangat umum. Ini disebabkan oleh suatu kepercayaan yang berurat-berakar bahwa orang dari kasta-kasta yang dikatakan lebih rendah pada masyarakat Hindu berkulit hitam. Baru-baru ini, sebuah acara di televisi India menceritakan sebuah kisah tentang dua gadis, seorang putih dan seorang lagi hitam. Gadis yang putih kejam dan berkelakuan buruk; gadis yang hitam baik hati dan lemah lembut. Suatu perubahan gaib terjadi, dan gadis yang putih menjadi hitam sebagai hukumannya, sedangkan gadis yang hitam menjadi putih. Jelaslah, pesan dari kisah ini adalah meskipun kebaikan akhirnya menang, kulit yang lebih putih adalah imbalan yang diinginkan.
Perasaan rasial demikian sering kali jauh lebih tertanam daripada yang mungkin disadari orang. Misalnya, seorang Asia mungkin mengunjungi satu negeri Barat dan mengeluh bahwa ia diperlakukan sewenang-wenang karena warna kulitnya atau karena matanya yang sipit. Tindakan-tindakan demikian meresahkannya, dan ia merasa didiskriminasi. Namun ketika ia kembali ke tanah airnya, ia mungkin memperlakukan orang-orang dari kelompok etnik yang berbeda dengan cara yang persis sama. Bahkan dewasa ini, warna kulit dan latar belakang etnik memainkan peranan utama bagi banyak orang dalam menilai harga diri orang lain.
”Uang memungkinkan semuanya,” tulis Raja Salomo di zaman purba. (Pengkhotbah 10:19) Betapa benarnya hal itu! Kekayaan juga mempengaruhi bagaimana orang-orang dipandang. Sumber kekayaan jarang dipertanyakan. Apakah seseorang menjadi kaya karena kerja keras atau manajemen yang cermat atau ketidakjujuran? Itu hampir tidak menjadi masalah. Kekayaan, halal atau tidak halal, menyebabkan banyak orang mencari muka kepada orang kaya.
Pendidikan yang lebih tinggi juga telah sangat dijunjung dalam dunia yang penuh persaingan ini. Segera setelah seorang anak lahir, orang-tua didesak untuk mulai menyisihkan sejumlah besar uang untuk pendidikan. Menjelang sang anak berusia dua atau tiga tahun, mereka berupaya keras memasukkannya ke kelompok bermain atau taman kanak-kanak yang tepat, sebagai langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju jenjang perguruan tinggi. Beberapa orang tampaknya berpikir bahwa selembar ijazah yang bergengsi mendatangkan hak untuk mendapat perkenan dan respek dari orang-orang lain.
Ya, warna kulit, pendidikan, uang, latar belakang etnik—ini telah menjadi standar yang digunakan banyak orang untuk menghakimi atau sebaliknya, menghakimi sebelumnya atau berprasangka kepada orang lain. Inilah faktor-faktor yang menentukan kepada siapa mereka memperlihatkan perkenan dan kepada siapa mereka tidak akan memberikannya. Bagaimana dengan saudara? Siapa yang saudara perkenan? Apakah saudara menganggap seseorang yang memiliki uang, berkulit putih, atau pendidikan lebih tinggi lebih patut mendapat perkenan dan respek? Jika demikian, saudara perlu memperhatikan dengan serius dasar dari perasaan-perasaan saudara.
Apakah Standar-Standar Ini Masuk Akal?
Buku Hindu World menyatakan, ”Siapa saja dari kasta yang lebih rendah yang membunuh seorang brāhmin akan disiksa sampai mati dan hartanya disita, serta jiwanya dikutuk selama-lamanya. Seorang brāhmin yang membunuh siapa saja hanya dikenakan denda dan tidak pernah dihukum mati.” Meskipun buku ini berbicara tentang zaman dahulu, bagaimana dengan dewasa ini? Prasangka rasial dan ketegangan masyarakat telah menyebabkan sungai darah mengalir bahkan di abad ke-20 ini. Dan ini tidak terbatas di India. Kebencian dan kekerasan terus-menerus timbul karena apartheid di Afrika Selatan, prasangka rasial di Amerika Serikat, prasangka nasional di negara-negara Baltik—daftar ini terus bertambah—semuanya disebabkan perasaan unggul yang dibawa sejak lahir. Jelas, memperkenan seseorang lebih daripada yang lain karena ras atau kebangsaan tidak menghasilkan buah-buah yang baik dan penuh perdamaian.
Bagaimana dengan kekayaan? Tidak diragukan, banyak yang menjadi kaya karena kerja keras yang jujur. Akan tetapi, kekayaan yang sangat besar telah ditimbun oleh penjahat-penjahat dunia, pedagang-pedagang gelap, pedagang-pedagang obat bius, agen senjata-senjata gelap dan lain sebagainya. Benar, beberapa dari mereka memberi derma atau mendukung rencana-rencana untuk membantu orang miskin. Namun demikian, tindak kejahatan mereka telah menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang tak terhingga atas korban-korban mereka. Bahkan pelaku-pelaku yang termasuk kurang penting, seperti oknum-oknum yang makan uang suap atau turut dalam praktik-praktik bisnis yang curang, telah menyebabkan frustrasi, luka-luka, dan kematian sewaktu barang atau jasa mereka gagal dan tidak berfungsi sebagaimana semestinya. Sungguh, sekadar memiliki kekayaan bukanlah dasar penilaian yang mendatangkan perkenan.
Lalu, bagaimana dengan pendidikan? Apakah sederetan panjang gelar dan titel di belakang nama seseorang menjamin bahwa ia jujur dan benar? Apakah itu berarti bahwa ia harus diistimewakan? Memang, pendidikan dapat memperluas wawasan seseorang, dan banyak orang yang memanfaatkan pendidikan mereka untuk kefaedahan orang-orang lain patut mendapat penghargaan dan respek. Namun, sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh eksploitasi dan penindasan atas rakyat oleh golongan intelek. Dan pertimbangkan apa yang terjadi dalam lingkungan perguruan tinggi atau universitas dewasa ini. Kampus terkena wabah problem penyalahgunaan obat bius dan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, dan banyak mahasiswa mendaftar semata-mata untuk mengejar uang, kekuasaan, dan popularitas. Pendidikan saja, bukanlah petunjuk yang dapat dipercaya untuk mengetahui sifat sejati seseorang.
Tidak, warna kulit, pendidikan, uang, latar belakang etnik, atau faktor-faktor lain semacam itu tidak menjadi dasar yang masuk akal untuk menentukan harga diri seseorang. Umat kristiani seharusnya tidak disibukkan dengan masalah-masalah ini dalam upaya memperoleh perkenan orang lain. Jika demikian, apa yang harus diperhatikan? Standar-standar apa yang seharusnya diikuti?
-
-
Siapa yang Mendapat Perkenan Allah?Menara Pengawal—1992 | 1 Desember
-
-
Siapa yang Mendapat Perkenan Allah?
KITA semua ingin disukai oleh rekan-rekan kita. Bagi kristiani, keinginan yang jauh lebih kuat adalah untuk mendapat perkenan Allah. Tentang Allah Yehuwa, dinyatakan di Mazmur 84:12, ”Kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela.” Pada saat kelahiran Yesus, seruan sukacita dari para malaikat di surga menjanjikan ”damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya”.—Lukas 2:14.
Namun siapa yang diperkenan Allah? Apakah standar Allah dan standar manusia sama? Dapat dimengerti, standar mereka tidak sama, sebagaimana ditunjukkan dalam artikel yang telah dibahas sebelumnya. Sebenarnya, karena umat kristiani diperingatkan untuk ’menjadi penurut-penurut Allah’, hendaknya kita bertanya, Apakah saya memperlihatkan perkenan kepada orang-orang yang diperkenan Allah atau apakah saya cenderung mengikuti standar-standar dunia dalam menilai orang? (Efesus 5:1) Untuk memperoleh perkenan dan restu Yehuwa, kita harus waspada memandang berbagai hal dari sudut pandangan-Nya.
Standar-Standar Allah yang Lebih Tinggi
”Allah tidak membedakan orang,” kata rasul Petrus. ”Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya.” Lebih lanjut, rasul Paulus memberikan kesaksian bahwa ”dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia.” (Kisah 10:34, 35; 17:26) Oleh karena itu, masuk akal untuk menyimpulkan bahwa semua manusia sama dalam pandangan Allah tidak soal sifat-sifat fisik mereka. Jika demikian halnya, tidak pantas bagi kristiani untuk berkenan kepada seseorang hanya karena orang itu berasal dari daerah tertentu atau dengan warna kulit tertentu atau termasuk ras lain. Sebaliknya, ia akan sedapat-dapatnya mengikuti Teladannya, Kristus Yesus, yang bahkan diakui oleh musuh-musuh bahwa ia tidak memperlihatkan sikap memihak.—Matius 22:16.
Pernyataan ”sebatas kulit” kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dangkal atau tidak penting. Warna kulit pun demikian; hanya sebatas kulit. Warna kulit seseorang sama sekali tidak mencerminkan kepribadiannya atau sifat-sifat batiniahnya. Sewaktu harus memilih dengan siapa kita bergaul, makan, atau berjabat tangan, kita memang seharusnya tidak melihat terutama pada warna kulit. Ingat, gadis yang mengilhami beberapa puisi yang paling romantis dan paling indah yang pernah ditulis berkata tentang dirinya, ”Memang hitam aku, tetapi cantik, . . . aku hitam, karena terik matahari membakar aku.” (Kidung Agung 1:5, 6) Bukan ras atau warna kulit yang membentuk dasar sepatutnya untuk memperlihatkan perkenan. Yang jauh lebih penting adalah apakah seseorang takut akan Allah dan mempraktikkan kebenaran.
Bagaimana pendapat Allah tentang memiliki kekayaan materi? Dari semua pribadi yang dikasihi dan diperkenan Allah, Putra-Nya, Kristus Yesus, adalah yang paling dikasihi. Tetapi, sewaktu di bumi, Yesus ”tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya”. (Matius 8:20) Ia tidak mempunyai tanah milik, rumah, ladang, pohon buah-buahan atau binatang. Namun, Yehuwa menghormati dan meninggikannya pada suatu kedudukan di atas yang lain-lainnya di alam semesta ini kecuali Allah sendiri.—Filipi 2:9.
Kristus Yesus diperkenan Allah karena ia kaya bukan secara materi tetapi kaya dalam kebajikan. (Bandingkan 1 Timotius 6:17, 18.) Ia memperingatkan pengikut-pengikutnya, ”Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Matius 6:19, 20) Maka, daripada memperlihatkan perkenan hanya kepada mereka yang kaya dalam harta benda dunia ini, umat kristiani tidak akan membuat perbedaan berdasarkan harta duniawi. Mereka akan mencari orang-orang yang kaya terhadap Allah terlepas dari apakah mereka kaya atau miskin secara materi. Jangan pernah lupa bahwa ”Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan”. (Yakobus 2:5) Jika saudara mempertahankan sudut pandangan Allah, saudara tidak akan pernah menjadi korban kebiasaan yang umum yakni untuk mencari muka atau perkenan orang yang kaya secara materi.
Perihal pendidikan, Alkitab dengan jelas memperlihatkan bahwa Allah mendesak kita untuk mencari pengetahuan dan hikmat dan bahwa Kristus Yesus adalah guru terbesar yang pernah ada di bumi. (Amsal 4:7; Matius 7:29; Yohanes 7:46) Akan tetapi, bukan hikmat duniawi atau pendidikan yang diperkenan Allah. Sebaliknya, Paulus mengatakan kepada kita bahwa ’tidak banyak orang bijak dipanggil, . . . tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat’.—1 Korintus 1:26, 27.
Allah memperkenan orang-orang yang benar-benar terdidik, bukan dalam mata pelajaran duniawi yang diajarkan di institut yang mengajarkan pengetahuan yang lebih tinggi, tetapi dalam ”bahasa yang murni” dari kebenaran yang terdapat dalam Firman-Nya Alkitab. (Zefanya 3:9, NW) Sebenarnya, Yehuwa sendiri yang mengajar umat-Nya dewasa ini melalui program pendidikan yang telah meluas sampai ke pelosok-pelosok bumi. Sebagaimana dinubuatkan nabi Yesaya, orang-orang dari segala bangsa akan menyambut dengan berkata, ”Mari, kita naik ke gunung [Yehuwa], ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalanNya, dan supaya kita berjalan menempuhnya.” Oleh karena itu, daripada mengagungkan pendidikan duniawi, umat kristiani akan mencari orang-orang yang membuktikan dengan kata-kata dan perbuatan bahwa mereka benar-benar ”murid [Yehuwa]”. Dengan melakukan itu, mereka akan menikmati ’kesejahteraan yang limpah’ yang Allah berikan.—Yesaya 2:3; 54:13.
Kita Dapat Memperoleh Perkenan Yehuwa
Ya, standar Yehuwa untuk memberikan perkenan kepada orang-orang lain sangat berbeda dengan standar manusia. Meskipun demikian, kita harus berupaya keras untuk dibimbing oleh jalan-jalan-Nya jika kita ingin memperoleh perkenan di mata-Nya. Itu berarti bahwa kita harus belajar memandang orang lain dari sudut pandangan Allah dan bukan dengan standar-standar manusia, yang kemungkinan dipengaruhi sifat mementingkan diri dan prasangka. Bagaimana kita dapat melakukan hal itu?
Allah Yehuwa menguji hati manusia dan memperkenan orang-orang yang memperlihatkan sifat-sifat seperti kasih, kebaikan, kebaikan hati, dan panjang sabar. Kita harus melakukannya juga. (1 Samuel 16:7; Galatia 5:22, 23) Kita perlu melihat kepribadian batiniah seseorang, sampai pada batas yang mampu kita lakukan sebagai manusia, dan tidak pada warna kulitnya atau latar belakang etnik. Sebaliknya daripada mencari orang-orang yang kaya dalam perkara-perkara materi, baiklah kita mengingat pandangan Allah tentang kekayaan dan berupaya keras ’agar kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi’. (1 Timotius 6:18) Untuk memperoleh perkenan Allah, kita harus terus mencari pengetahuan yang saksama tentang Allah dan Putra-Nya, Kristus Yesus, menjadi benar-benar terdidik dalam bahasa yang murni dari kebenaran. (Yohanes 17:3, 17) Dengan melakukan itu, kita juga akan berada di antara mereka yang diperkenan Allah.
-