PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Kebahagiaan​—Begitu Sulit Dicapai
    Menara Pengawal—1997 | 15 Oktober
    • Kebahagiaan​—Begitu Sulit Dicapai

      KEMARAHAN, kekhawatiran, dan depresi sudah sejak lama menjadi bahan penyelidikan sains. Akan tetapi, pada tahun-tahun belakangan ini, para ilmuwan terkemuka memusatkan riset mereka pada pengalaman manusia yang positif dan didambakan​—kebahagiaan.

      Apa yang mungkin membuat orang-orang lebih bahagia? Jika mereka lebih muda, lebih kaya, lebih sehat, lebih tinggi, atau lebih langsing? Apa gerangan kunci menuju kebahagiaan sejati? Kebanyakan orang merasa sulit, bahkan mustahil, untuk menjawabnya. Karena memikirkan kegagalan orang di mana-mana untuk menemukan kebahagiaan, beberapa orang mungkin mendapati lebih mudah untuk menjawab apa yang bukan merupakan kunci kebahagiaan.

      Sejak dahulu, para psikolog terkemuka menyarankan filsafat yang bertumpu pada diri sendiri sebagai kunci menuju kebahagiaan. Mereka menganjurkan orang-orang yang tidak bahagia untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan pribadi semata. Semboyan yang memperdayakan seperti ”jadilah diri Anda sendiri”, ”kenali perasaan Anda sendiri”, dan ”temukan jati diri Anda” telah digunakan dalam psikoterapi. Namun, beberapa pakar psikologi yang mempromosikan cara berpikir demikian kini sependapat bahwa sikap individualistis semacam itu tidak mendatangkan kebahagiaan yang langgeng. Egoisme tak pelak lagi mendatangkan kepedihan hati dan ketidakbahagiaan. Sikap mementingkan diri sendiri bukanlah kunci kebahagiaan.

      Kunci Ketidakbahagiaan

      Orang-orang yang berupaya mencari kebahagiaan dalam pengejaran kesenangan mencari di tempat yang salah. Perhatikan teladan Raja Salomo yang bijaksana dari Israel purba. Di dalam buku Pengkhotbah di Alkitab, ia menjelaskan, ”Aku tidak merintangi mataku dari apapun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apapun, sebab hatiku bersukacita karena segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku.” (Pengkhotbah 2:​10) Salomo membangun rumah bagi dirinya, menanami kebun anggur, dan membuat kebun, taman, dan kolam-kolam air untuk dirinya sendiri. (Pengkhotbah 2:4-6) Ia pernah mengatakan, ”Siapa yang makan dan siapa yang minum lebih baik daripada aku?” (Pengkhotbah 2:25, NW) Ia dihibur oleh para biduan dan pemusik terbaik, dan ia menikmati persahabatan dengan wanita-wanita tercantik dari negeri itu.​—Pengkhotbah 2:8.

      Intinya adalah, Salomo tidak menahan diri dari kegiatan yang menyenangkan. Kesimpulan apa yang ia capai setelah memiliki berlimpah kesenangan dalam kehidupan? Ia mengatakan, ”Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.”​—Pengkhotbah 2:11.

      Pencarian yang dilakukan oleh raja yang berhikmat itu masih akurat hingga zaman ini. Contohnya adalah negara yang makmur seperti Amerika Serikat. Selama 30 tahun terakhir, orang-orang Amerika telah menambah hampir dua kali lipat jumlah harta benda mereka, seperti mobil dan televisi. Namun, menurut para pakar kesehatan mental, orang-orang Amerika tidak lebih bahagia. Menurut sebuah sumber, ”selama periode yang sama, tingkat depresi membubung. Bunuh diri di kalangan remaja meningkat tiga kali lipat. Angka perceraian berlipat ganda.” Para peneliti belum lama ini mencapai kesimpulan yang serupa setelah mempelajari hubungan antara uang dan kebahagiaan di kalangan penduduk di 50 negara yang berbeda. Singkatnya, kebahagiaan tidak dapat saudara beli.

      Sebaliknya, pengejaran akan kekayaan dapat dengan tepat disebut kunci ketidakbahagiaan. Rasul Paulus memperingatkan, ”Mereka yang bertekad untuk menjadi kaya jatuh ke dalam godaan dan jerat dan banyak hasrat yang tidak berakal dan menyakitkan, yang menjerumuskan orang-orang ke dalam kebinasaan dan keruntuhan. Karena cinta akan uang adalah akar segala macam perkara yang merugikan, dan dengan berupaya meraih cinta ini beberapa telah disesatkan dari iman dan telah menikam seluruh diri mereka sendiri dengan banyak kesakitan.”​—1 Timotius 6:9, 10.

      Bukan kekayaan, kesehatan, kemudaan, kecantikan, kekuasaan, juga bukan gabungan dari hal-hal ini yang dapat menjamin kebahagiaan yang langgeng. Mengapa tidak? Karena kita tidak berkuasa mencegah terjadinya hal-hal yang buruk. Raja Salomo dengan tepat menyatakan, ”Manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.”​—Pengkhotbah 9:12.

      Tujuan yang Sulit Dicapai

      Tak satu pun penelitian ilmiah yang dapat menemukan rumus atau strategi buatan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Salomo juga mengatakan, ”Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.”​—Pengkhotbah 9:11.

      Banyak orang yang setuju dengan kata-kata di atas telah menyimpulkan bahwa mengharapkan kehidupan yang benar-benar bahagia adalah tidak realistis. Seorang pendidik terkemuka menyatakan bahwa ”kebahagiaan adalah kondisi khayalan”. Orang-orang lain percaya bahwa kunci kebahagiaan bersifat rahasia yang misterius, bahwa kesanggupan untuk menguak rahasia itu hanya dimiliki oleh beberapa praktisi mistik yang berbakat.

      Namun, dalam pencarian mereka akan kebahagiaan, orang-orang terus mencoba-coba berbagai gaya hidup. Meskipun para pendahulu mereka gagal, banyak orang dewasa ini masih mengejar kekayaan, kekuasaan, kesehatan atau kesenangan untuk mengobati ketidakbahagiaan mereka. Pencarian itu terus berlanjut karena di dalam lubuk hati, kebanyakan orang percaya bahwa kebahagiaan yang langgeng bukan sekadar kondisi khayalan. Mereka berharap bahwa kebahagiaan bukan suatu impian yang sulit dicapai. Kalau begitu saudara bisa jadi bertanya, ’Bagaimana saya dapat menemukannya?’

  • Kebahagiaan Sejati​—Apa Kuncinya?
    Menara Pengawal—1997 | 15 Oktober
    • Kebahagiaan Sejati​—Apa Kuncinya?

      MANUSIA diciptakan untuk berbahagia. Mengapa kita dapat begitu yakin akan hal itu? Nah, pikirkan permulaan manusia.

      Allah Yehuwa menciptakan pasangan manusia pertama dengan kesanggupan untuk menikmati kebahagiaan. Adam dan Hawa ditempatkan di sebuah firdaus, taman kesenangan yang disebut Eden. Sang Pencipta melengkapi mereka dengan semua hal jasmani yang penting untuk kehidupan. Taman itu memiliki ”berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya”. (Kejadian 2:9) Adam dan Hawa sehat, kuat, serta elok​—mereka sempurna dan amat bahagia.

      Jadi, kalau begitu apa kunci kebahagiaan mereka? Apakah rumah firdaus atau kesempurnaan fisik mereka? Karunia dari Allah ini memang menyumbang kepada kenikmatan hidup mereka. Tetapi kebahagiaan mereka tidak bergantung pada hal-hal fisik semacam itu. Taman Eden lebih daripada sekadar taman yang indah. Itu adalah tempat suci, sebuah tempat untuk beribadat kepada Allah. Kunci kebahagiaan kekal mereka adalah kesanggupan mereka untuk membina dan mempertahankan hubungan yang pengasih dengan sang Pencipta. Agar bisa berbahagia, pertama-tama mereka harus bersifat rohani.​—Bandingkan Matius 5:3.

      Kerohanian Membimbing kepada Kebahagiaan

      Tadinya, Adam memiliki hubungan rohani dengan Allah. Itu adalah hubungan yang pengasih dan lembut seperti hubungan seorang putra dengan ayahnya. (Lukas 3:38) Di taman Eden, Adam dan Hawa memiliki keadaan ideal yang memungkinkan mereka untuk memuaskan hasrat mereka dalam beribadat. Melalui ketaatan yang penuh kerelaan serta pengasih kepada Yehuwa, mereka akan mendatangkan hormat dan kemuliaan bagi Allah jauh melebihi yang dapat didatangkan oleh hewan. Dengan akal-budi, mereka dapat memuji Allah karena sifat-sifat-Nya yang menakjubkan dan dapat mendukung kedaulatan-Nya. Mereka juga dapat terus menerima perhatian Yehuwa yang pengasih dan lembut.

      Persekutuan dengan Pencipta ini dan ketaatan kepada hukum-hukum-Nya mendatangkan kebahagiaan sejati bagi orang-tua pertama kita. (Lukas 11:28) Adam dan Hawa tidak diharapkan melakukan coba-dan-ralat selama bertahun-tahun sebelum menemukan kunci kebahagiaan. Mereka berbahagia sejak saat mereka diciptakan. Berdamai dengan Allah dan tunduk kepada wewenang-Nya membuat mereka bahagia.

      Akan tetapi, kebahagiaan itu lenyap sewaktu mereka tidak taat kepada Allah. Dengan memberontak, Adam dan Hawa merusak hubungan rohani mereka dengan Yehuwa. Mereka bukan lagi sahabat Allah. (Kejadian 3:17-19) Tampaknya, pada hari mereka diusir dari taman itu, Yehuwa sama sekali putus komunikasi dengan mereka. Mereka kehilangan kesempurnaan, prospek untuk hidup selama-lamanya, dan taman tempat mereka tinggal. (Kejadian 3:23) Tetapi yang lebih penting, karena hubungan mereka dengan Allah terputus, mereka kehilangan kunci kebahagiaan.

      Kesanggupan Kita untuk Memilih

      Sebelum mati, Adam dan Hawa mewariskan kepada keturunan mereka karakteristik manusiawi, hati nurani batiniah, dan kapasitas untuk hal-hal rohani. Martabat keluarga manusia tidak direndahkan hingga setaraf dengan binatang. Kita masih dapat dirukunkan kembali dengan Pencipta. (2 Korintus 5:​18) Sebagai makhluk yang cerdas, manusia masih memiliki kesanggupan untuk memilih antara menaati Allah atau tidak menaati Allah. Ini digambarkan berabad-abad setelah itu ketika Yehuwa memberikan kepada Israel, bangsa yang baru dibentuk, pilihan antara hidup atau mati. Melalui Musa, juru bicara-Nya, Allah mengatakan, ”Aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan.”​—Ulangan 30:15-18.

      Bahkan sekarang, ribuan tahun setelah Firdaus yang semula hilang, kita manusia masih sanggup membuat pilihan yang benar. Kita memiliki hati nurani yang berfungsi dan kapasitas dasar untuk menaati hukum-hukum Allah. Alkitab berbicara tentang ”manusia batin kami” dan manusia ’batin’. (2 Korintus 4:​16; Roma 7:22) Pernyataan-pernyataan ini ada hubungannya dengan potensi yang kita miliki sejak lahir untuk mencerminkan kepribadian Allah, untuk berpikir dengan cara Allah, untuk menjadi rohani.

      Sehubungan dengan sifat moral dan hati nurani kita, rasul Paulus menulis, ”Apabila orang-orang dari bangsa-bangsa yang tidak memiliki hukum melakukan secara alami perkara-perkara dari hukum, orang-orang ini, walaupun tidak memiliki hukum, adalah suatu hukum bagi diri mereka sendiri. Merekalah orang-orang yang mempertunjukkan bahwa hal ikhwal hukum ada tertulis dalam hati mereka, sementara hati nurani mereka memberi kesaksian bersama mereka dan, di antara pikiran mereka sendiri, mereka dituduh atau bahkan dibenarkan.”​—Roma 2:14, 15.

      Hikmat yang Saleh dan Ketaatan​—Kuncinya

      Namun, seseorang mungkin bertanya, ’Jika kita semua memiliki kecenderungan alamiah untuk beribadat kepada Allah dan, sebagai hasilnya, menikmati kebahagiaan sejati, mengapa ketidakbahagiaan begitu meluas?’ Karena untuk bisa bahagia, kita masing-masing harus bertumbuh secara rohani. Meskipun pada mulanya diciptakan menurut gambar Allah, manusia telah terasing dari Penciptanya. (Efesus 4:17, 18) Oleh karena itu, kita masing-masing perlu mengambil tindakan tegas untuk membina dan mempertahankan hubungan rohani dengan Allah. Hubungan semacam itu tidak akan berkembang secara otomatis.

      Yesus menggariskan dua prinsip penting dalam pertumbuhan rohani. Salah satunya adalah memperoleh pengetahuan yang saksama tentang Allah, dan yang satunya lagi adalah dengan taat tunduk kepada kehendak-Nya. (Yohanes 17:3) Sewaktu mengutip Firman Allah, Yesus mengatakan, ”Ada tertulis, ’Manusia harus hidup, bukan dari roti saja, tetapi dari setiap ucapan yang keluar melalui mulut Yehuwa.’” (Matius 4:4) Pada kesempatan lain, Yesus menyatakan, ”Makananku adalah agar aku melakukan kehendak dia yang mengutus aku dan untuk menyelesaikan pekerjaannya.” (Yohanes 4:​34) Kita tidak perlu menggunakan puluhan tahun penuh coba-dan-ralat dalam mencari kebahagiaan. Pengalaman bukanlah kunci kebahagiaan. Sebaliknya, hanya hikmat yang saleh dan ketaatan kepada Pencipta yang dapat mendatangkan sukacita sejati dalam kehidupan.​—Mazmur 19:8, 9; Pengkhotbah 12:13.

      Jelaslah, kebahagiaan yang diperoleh karena mempraktekkan hikmat yang saleh dan memiliki kedudukan yang baik di hadapan Allah bukan di luar jangkauan kita. (Kisah 17:​26, 27) Pengetahuan tentang Yehuwa dan maksud-tujuan-Nya tersedia bagi siapa saja. Alkitab, yang tersedia miliaran eksemplar dalam banyak bahasa, terus menjadi buku yang paling luas penyiarannya. Alkitab dapat membantu saudara menjadi sahabat Allah dan menikmati kebahagiaan sejati, karena Alkitab memberi tahu kita bahwa ”Berbahagialah bangsa yang Allahnya ialah [YEHUWA]!”​—Mazmur 144:15.

      [Kotak di hlm. 6]

      Langkah-Langkah Menuju Kebahagiaan

      1. Menghargai dan memupuk kerohanian. Yesus mengatakan, ”Berbahagialah mereka yang mendengar Firman Allah dan memeliharanya!”​—Lukas 11:28.

      2. Menyadari bahwa perkenan Allah lebih penting daripada kekayaan dan kemewahan. Paulus menulis, ”Memang, itu adalah sarana untuk mendapat keuntungan yang besar, pengabdian yang saleh ini yang disertai rasa cukup...Dengan mempunyai makanan dan pelindung, kita akan puas dengan perkara-perkara ini.”​—1 Timotius 6:6-8.

      3. Berupaya keras untuk memupuk dan menanggapi hati nurani yang di latih oleh Alkitab.​—Roma 2:14, 15.

      4. Bertekad menaati Allah Yehuwa, dengan demikian memenuhi syarat untuk menjadi salah seorang dari antara umat-Nya. Daud dari zaman purba menulis, ”Berbahagialah bangsa yang Allahnya ialah [YEHUWA]”!​—Mazmur 144:15.

      [Gambar di hlm. 7]

      ”Berbahagialah mereka yang sadar akan kebutuhan rohani mereka.”​—Matius 5:3

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan