-
Mengapa Mesti Bersyukur?Menara Pengawal—1998 | 15 Februari
-
-
Mengapa Mesti Bersyukur?
SETELAH menjalani operasi tulang belakang, Harley terpaksa meninggalkan kariernya sebagai ahli mesin dan menjadi pegawai kantor. Ketika ditanya bagaimana perasaannya tentang perubahan ini, Harley mengatakan, ”Memang, setelah tidak lagi menangani mesin, saya merasa kehilangan. Tetapi, sejujurnya, saya lebih senang dengan pekerjaan saya sekarang daripada pekerjaan saya sebelumnya.”
Ketika mengemukakan alasan mengapa ia berpuas, Harley mengatakan, ”Alasannya adalah sikap orang-orang yang bekerja bersama saya. Tidak seperti di tempat kerja saya dulu, penyelia dan rekan-rekan sekerja saya yang sekarang menghargai apa yang saya lakukan, dan mereka tidak segan-segan memberikan pujian. Ini membuat segala sesuatu sangat berbeda.” Karena merasa berguna dan dibutuhkan, Harley sekarang adalah pekerja yang berbahagia.
Kata-kata pujian atau syukur, apabila memang patut diterima, benar-benar menghangatkan hati. Sebaliknya, sikap tidak tahu bersyukur mengakibatkan suasana dingin, seperti yang dilukiskan Shakespeare, ”Bertiuplah, bertiuplah, engkau angin musim dingin, engkau sangat tidak ramah, seperti sikap manusia yang tidak tahu bersyukur.” Sungguh menyedihkan, banyak orang telah mendapat sikap tidak ramah seperti itu.
Waspada terhadap Sikap Tidak Tahu Bersyukur
Dalam dunia dewasa ini, ungkapan-ungkapan syukur yang tulus hampir punah. Sebagai contoh, seorang penulis mengajukan pertanyaan, ”Jika sang mempelai wanita punya waktu untuk mengirimkan 200 undangan perkawinan, bagaimana mungkin ia tidak bisa menyediakan waktu untuk menulis ucapan-ucapan terima kasih untuk 163 kado yang diterimanya?” Sering kali, kata-kata sederhana ”terima kasih” bahkan tidak terdengar lagi. Perasaan syukur semakin terdesak oleh sikap aku-dulu. Situasi ini merupakan salah satu tanda pengenal hari-hari terakhir. Rasul Paulus memperingatkan, ”Kamu harus sadar bahwa pada hari-hari terakhir akan ada banyak bahaya. Manusia akan menjadi sangat mementingkan diri . . . Mereka akan sangat tidak bersyukur.”—2 Timotius 3:1, 2, Phillips.
Di pihak lain, rasa syukur digantikan oleh sanjungan. Ungkapan syukur keluar dari hati tanpa niat untuk memperoleh keuntungan pribadi. Akan tetapi, sanjungan, yang biasanya tidak tulus dan dilebih-lebihkan, mungkin timbul dari motif-motif terselubung yakni ingin menonjolkan diri atau ingin memperoleh keuntungan pribadi tertentu. (Yudas 16) Selain memperdaya si penerimanya, kata-kata yang sedap didengar itu cenderung lahir dari kesombongan dan keangkuhan. Jadi, siapa yang mau menjadi korban sanjungan yang tidak tulus? Tetapi, rasa syukur yang tulus benar-benar menyegarkan.
Pernyataan syukur dapat memberikan manfaat kepada orang yang mengungkapkannya. Kehangatan yang ia rasakan dari hati yang bersyukur turut membuatnya merasa bahagia dan damai. (Bandingkan Amsal 15:13, 15.) Dan karena rasa syukur merupakan sifat yang positif, itu dapat melindunginya dari perasaan-perasaan negatif seperti kemarahan, iri hati, dan kekesalan.
”Perlihatkan Dirimu Penuh Syukur”
Alkitab mendesak kita untuk memupuk rasa syukur, atau penuh terima kasih. Paulus menulis, ”Sehubungan dengan segala hal ucapkanlah syukur. Karena ini adalah kehendak Allah dalam persatuan dengan Kristus Yesus berkenaan kamu.” (1 Tesalonika 5:18) Dan Paulus menasihati orang-orang di Kolose, ”Biarlah kedamaian Kristus berkuasa dalam hatimu . . . Dan perlihatkan dirimu penuh syukur.” (Kolose 3:15) Banyak mazmur berisi pernyataan-pernyataan terima kasih, yang menunjukkan bahwa rasa syukur yang sepenuh hati merupakan suatu kebajikan yang saleh. (Mazmur 27:4; 75:2) Jelaslah, Allah Yehuwa senang apabila kita menyatakan rasa terima kasih kita dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi, dalam dunia yang tidak tahu berterima kasih ini, faktor-faktor apa yang menyulitkan kita memupuk rasa syukur? Bagaimana kita dapat memperlihatkan sikap berterima kasih dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas dalam artikel berikut ini.
-
-
Pupuklah Rasa SyukurMenara Pengawal—1998 | 15 Februari
-
-
Pupuklah Rasa Syukur
SEORANG dokter di Negara Bagian New York menyelamatkan nyawa Marie yang sedang kritis. Namun, Marie, yang berusia 50 tahun, tidak mengucapkan terima kasih kepada sang dokter, juga tidak membayar biaya pengobatannya. Sungguh tidak asing sikap tidak tahu bersyukur seperti itu!
Alkitab menceritakan bahwa sekali peristiwa, sewaktu memasuki sebuah desa, Yesus berjumpa dengan sepuluh pria yang menderita penyakit kusta yang menjijikkan. Mereka berseru dengan suara keras kepadanya, ”Yesus, Instruktur, berbelaskasihanlah terhadap kami!” Yesus memberikan perintah, ”Pergilah dan perlihatkan dirimu kepada imam-imam.” Para penderita kusta itu menuruti perintahnya, dan sewaktu dalam perjalanan, mereka mulai melihat dan merasa bahwa kesehatan mereka berangsur-angsur pulih.
Sembilan dari antara para penderita kusta yang telah sembuh itu meneruskan perjalanan mereka. Tetapi, seorang penderita lainnya, seorang Samaria, kembali untuk mencari Yesus. Bekas penderita kusta ini memuji Allah, dan sewaktu bertemu Yesus, ia sujud di kaki Yesus dan berterima kasih kepadanya. Sebagai tanggapan, Yesus mengatakan, ”Kesepuluh orang itu dibersihkan, bukan? Lalu, di manakah yang sembilan lainnya? Apakah tidak ada seorang pun yang didapati balik kembali untuk memberikan kemuliaan kepada Allah kecuali pria dari bangsa lain ini?”—Lukas 17:11-19.
Pelajaran penting apa yang tersirat dalam pertanyaan, ”Lalu, di manakah yang sembilan lainnya?” Seperti Marie, sembilan penderita kusta itu mempunyai kelemahan serius—mereka tidak memperlihatkan rasa syukur. Sikap tidak tahu bersyukur seperti itu umum didapati dewasa ini. Mengapa ini dapat terjadi?
Penyebab Dasar Sikap Tidak Tahu Bersyukur
Pada dasarnya, sikap tidak tahu bersyukur berasal dari sifat mementingkan diri. Perhatikan orang-tua kita yang pertama, Adam dan Hawa. Sewaktu menciptakan mereka, Yehuwa memberikan sifat-sifat ilahi dan menyediakan segala sesuatu demi kebahagiaan mereka, termasuk tempat kediaman berupa taman yang indah, lingkungan yang sempurna, serta pekerjaan yang berguna dan memuaskan. (Kejadian 1:26-29; 2:16, 17) Namun, di bawah tekanan daya tarik untuk mementingkan diri yang dibangkitkan Setan, mereka berdua menjadi tidak taat dan membalas kebaikan hati Yehuwa dengan perbuatan yang nista.—Kejadian 3:1-5; Penyingkapan (Wahyu) 12:9.
Perhatikan pula orang-orang Israel zaman dahulu, yang telah Allah pilih sebagai milik-Nya yang istimewa. Betapa besar rasa syukur yang tentunya dimiliki para orang-tua Israel pada malam tanggal 14 Nisan 1513 SM! Pada malam yang penting itu, malaikat Allah membunuh ’semua anak sulung di tanah Mesir’, tetapi meluputkan rumah-rumah orang Israel yang diberi tanda dengan sepatutnya. (Keluaran 12:12, 21-24, 30) Dan setelah bebas dari bala tentara Firaun di Laut Merah, dengan hati penuh syukur, ’Musa bersama-sama dengan orang Israel bernyanyi bagi Yehuwa’.—Keluaran 14:19-28; 15:1-21.
Meskipun demikian, baru beberapa minggu setelah meninggalkan Mesir, ”bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel”. Alangkah cepatnya mereka jatuh ke dalam sikap tidak tahu bersyukur! Mereka sangat rindu untuk ”duduk menghadapi kuali berisi daging . . . makan roti sampai kenyang”, yang mereka pernah nikmati di Mesir, negeri tempat mereka diperbudak. (Keluaran 16:1-3) Jelaslah, sifat mementingkan diri dapat mematikan upaya untuk memupuk dan memperlihatkan rasa syukur.
Sebagai keturunan Adam yang berdosa, seluruh umat manusia terlahir dengan sifat mementingkan diri dan kecenderungan untuk tidak tahu bersyukur. (Roma 5:12) Sikap tidak tahu berterima kasih juga merupakan bagian dari semangat mementingkan diri yang mendominasi orang-orang di dunia ini. Seperti udara yang kita hirup, semangat ini ada di mana-mana, dan semangat itu mempengaruhi kita. (Efesus 2:1, 2) Kalau begitu, kita perlu memupuk kecenderungan untuk selalu bersyukur. Bagaimana caranya?
Renungan Merupakan Keharusan!
Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan rasa syukur sebagai ”keadaan bersyukur: perasaan hangat dan bersahabat terhadap orang yang bermurah hati, yang menggerakkan seseorang untuk membalas budi”. Perasaan tidak dapat dihidupkan dan dimatikan secara mekanis; itu harus muncul secara spontan dari dalam diri seseorang. Rasa syukur lebih dari sekadar memperlihatkan tata krama yang baik atau etiket tertentu; itu muncul dari dalam hati.
Bagaimana kita dapat belajar untuk bersyukur dari dalam hati? Menurut Alkitab, apa yang kita rasakan banyak berhubungan dengan apa yang kita pilih untuk dipikirkan. (Efesus 4:22-24) Belajar merasa bersyukur bermula dari merenungkan dengan penuh penghargaan kebaikan hati yang kita terima. Selaras dengan hal ini, Dr. Wayne W. Dyer, yang bekerja di bidang kesehatan mental, mengatakan, ”Kita tidak dapat memiliki perasaan (emosi) tanpa terlebih dahulu menjalani proses berpikir tentangnya.”
Misalnya, perasaan terima kasih akan ciptaan di sekeliling kita. Ketika saudara memandang langit yang bertaburkan bintang di malam yang cerah, apa yang saudara rasakan setelah mengalami hal ini? Raja Daud menyatakan rasa takjubnya, ”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Dan di keheningan malam, bintang-bintang seolah-olah berbicara kepada Daud, menggerakkan dia untuk menulis, ”Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Mengapa langit yang berbintang dapat menggugah perasaan Daud sebegitu dalamnya? Daud sendiri menjawab, ”Aku merenungkan segala pekerjaan-Mu, aku memikirkan perbuatan tangan-Mu.”—Mazmur 8:4, 5; 19:2; 143:5.
Salomo, putra Daud, juga menghargai betapa bernilainya memikirkan hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan. Misalnya, tentang peranan awan hujan dalam menyegarkan bumi kita, ia menulis, ”Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu.” (Pengkhotbah 1:7) Jadi, setelah hujan turun dan sungai menyegarkan bumi, air didaur ulang dari laut kembali menjadi awan. Seperti apa jadinya bumi kita tanpa sistem pemurnian dan daur ulang air ini? Tentunya, alangkah besar rasa syukur Salomo sewaktu merenungkan gagasan-gagasan ini!
Orang yang bersyukur juga menghargai hubungannya dengan anggota keluarga, sahabat, dan kenalan. Tindakan-tindakan kebaikan hati mereka tidak luput dari perhatiannya. Seraya memperhatikan dengan penuh penghargaan bantuan yang mereka berikan, ia merasa bersyukur dalam hati.
Menyatakan Rasa Syukur
Kata ”terima kasih” memang sederhana! Pernyataan itu begitu mudah diucapkan. Dan ada begitu banyak kesempatan untuk menyatakannya. Betapa menyegarkannya kata Terima Kasih yang hangat dan tulus bagi orang yang membukakan pintu untuk kita atau yang mengambilkan barang kita yang terjatuh! Mendengar pernyataan itu dapat membuat pekerjaan penjaga toko atau pramusaji restoran atau tukang pos terasa lebih ringan dan bermanfaat.
Mengirimkan kartu ucapan terima kasih adalah cara yang mudah untuk menyatakan syukur atas tindakan-tindakan kebaikan hati. Di toko, tersedia banyak kartu yang mengungkapkan perasaan itu dengan indah. Namun, bukankah ungkapan itu akan menjadi tanda kasih yang bersifat pribadi jika ditambahi kata-kata penghargaan tulisan tangan saudara sendiri? Beberapa orang bahkan lebih suka untuk mengirimkan, bukan kartu ucapan cetakan, melainkan surat pribadi.—Bandingkan Amsal 25:11.
Agaknya, yang paling layak menerima rasa syukur kita adalah orang-orang yang terdekat dengan kita di rumah. Alkitab berkata tentang seorang istri yang cakap, ”Pemiliknya bangun, dan dia memujinya.” (Amsal 31:28, NW) Tidakkah pernyataan terima kasih yang sepenuh hati dari seorang suami kepada istrinya dapat menunjang suasana damai dan puas di dalam rumah? Dan bukankah sang suami juga senang bila disambut dengan hangat dan penuh penghargaan oleh sang istri sewaktu ia pulang? Di zaman sekarang, ada banyak tekanan atas perkawinan, dan bila tekanan sudah menggunung, emosi mudah meledak. Orang yang cenderung untuk bersyukur selalu memaklumi keadaan, cepat mengabaikan kekesalan, dan mengampuni.
Anak-anak muda pun perlu tanggap untuk menyatakan penghargaan sepenuh hati kepada orang-tua mereka. Memang, orang-tua bukanlah manusia-manusia sempurna, tetapi itu bukan alasan untuk tidak berterima kasih atas apa yang telah mereka lakukan untuk saudara. Kasih dan perhatian yang telah mereka berikan sejak saudara lahir tidak akan pernah terbayar. Jika mereka telah mengajarkan pengetahuan tentang Allah kepada saudara, saudara terlebih lagi harus bersyukur kepada mereka.
”Anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN,” kata Mazmur 127:3. Jadi, orang tua hendaknya mencari kesempatan untuk memuji anak-anak mereka, bukannya mengesalkan hati mereka dengan terus menyoroti hal-hal sepele. (Efesus 6:4) Benar-benar merupakan hak istimewa bagi orang-tua untuk membantu anak-anak yang mereka asuh agar memupuk rasa syukur!—Bandingkan Amsal 29:21.
Bersyukur kepada Allah
Allah Yehuwa adalah Pemberi ”setiap pemberian yang baik dan setiap hadiah yang sempurna”. (Yakobus 1:17) Pemberian yang paling penting adalah karunia kehidupan, karena segala sesuatu yang telah dan akan kita rencanakan menjadi tidak berguna jika kita kehilangan kehidupan. Alkitab mendesak kita untuk mengingat bahwa ”[Allah Yehuwa]-lah sumber kehidupan”. (Mazmur 36:5, 7, 9, NW; Kisah 17:28) Untuk memupuk hati yang penuh syukur kepada Allah, kita perlu merenungkan tentang segala sesuatu yang Ia sediakan dengan murah hati, yang menunjang kehidupan jasmani dan rohani kita. (Mazmur 1:1-3; 77:12, 13) Hati semacam itu akan menggerakkan kita untuk memperlihatkan penghargaan melalui kata-kata dan perbuatan.
Doa adalah salah satu cara yang nyata untuk menyatakan rasa syukur kita kepada Allah. Pemazmur Daud menyatakan, ”Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatan-Mu yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau! Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.” (Mazmur 40:6) Semoga kita pun tergugah untuk menyatakan syukur seperti itu.
Daud juga bertekad untuk memperlihatkan penghargaannya kepada Allah melalui kata-kata yang disampaikannya kepada orang lain. Ia mengatakan, ”Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hatiku, aku mau menceritakan segala perbuatan-Mu yang ajaib.” (Mazmur 9:2) Berbicara kepada orang lain tentang Allah, mengutarakan diri kita dengan membagikan kepada mereka kebenaran Firman-Nya, mungkin adalah cara terbaik untuk memperlihatkan rasa syukur kita kepada-Nya. Dan ini akan membantu kita untuk lebih mensyukuri aspek-aspek lain dalam kehidupan.
”Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku; siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya,” kata Yehuwa. Semoga saudara merasakan sukacita yang timbul karena saudara memperlihatkan rasa syukur yang sepenuh hati kepada-Nya.—Mazmur 50:23; 100:2.
[Gambar di hlm. 7]
Kehidupan adalah pemberian Allah. Pastikan untuk menyertakan sentuhan pribadi
-