PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Jiwa yang Tidak Berkematian—Lahirnya Doktrin Itu
    Apa yang Terjadi dengan Kita Bila Kita Meninggal?
    • Jiwa yang Tidak Berkematian—Lahirnya Doktrin Itu

      ”Tidak ada topik sehubungan dengan kehidupan psikis yang telah sedemikian menyibukkan pikiran manusia selain daripada keadaannya setelah kematian.”—”ENCYCLOPÆDIA OF RELIGION AND ETHICS.”

      1-3. Bagaimana Sokrates dan Plato memajukan gagasan bahwa jiwa tidak berkematian?

      SEORANG sarjana dan guru yang berusia 70 tahun dituduh berbuat tidak pantas dan merusak pikiran orang muda dengan ajarannya. Meskipun ia menyajikan pembelaan yang cemerlang di persidangannya, juri yang berat sebelah memutuskan dia bersalah dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Persis beberapa jam sebelum eksekusinya, guru yang sudah tua itu menyajikan kepada para pelajar yang berkumpul di sekelilingnya serangkaian argumen untuk menegaskan bahwa jiwa tidak berkematian dan bahwa kematian tidak perlu ditakuti.

      2 Pria yang dihukum itu tidak lain adalah Sokrates, filsuf terkemuka asal Yunani pada abad kelima SM.a Muridnya, Plato, mencatat insiden ini dalam esai Apology dan Phaedo. Sokrates dan Plato diakui termasuk di antara orang-orang pertama yang memajukan gagasan bahwa jiwa itu tidak berkematian. Tetapi mereka bukan pemrakarsa ajaran ini.

      3 Sebagaimana akan kita lihat, akar dari gagasan tentang manusia yang tidak berkematian memiliki asal usul yang jauh lebih awal. Akan tetapi, Sokrates dan Plato memoles konsep tersebut dan mengubahnya menjadi ajaran filsafat, sehingga itu menjadi lebih menarik bagi golongan terpelajar pada zaman mereka dan setelahnya.

      Dari Pythagoras hingga Piramida

      4. Sebelum Sokrates, apa pandangan orang Yunani mengenai kehidupan setelah kematian?

      4 Orang-orang Yunani sebelum Sokrates dan Plato juga percaya bahwa jiwa tetap hidup setelah kematian. Pythagoras, pakar matematika terkenal asal Yunani pada abad keenam SM, percaya bahwa jiwa tidak berkematian dan mengalami perpindahan. Sebelum dia, Thales dari Miletus, yang dianggap sebagai filsuf Yunani paling awal yang dikenal, merasa bahwa jiwa yang tidak berkematian bukan hanya ada di dalam manusia, binatang, dan tumbuhan tetapi juga di dalam benda-benda seperti magnet, karena magnet dapat menggerakkan besi. Orang Yunani purba menyatakan bahwa jiwa-jiwa orang mati diangkut dengan perahu menyeberangi Sungai Styx ke suatu alam luas di bawah tanah yang disebut dunia di bawah (netherworld), atau alam baka. Di sana, hakim-hakim akan memvonis jiwa-jiwa tersebut, apakah akan disiksa dalam sebuah penjara yang berdinding tinggi atau menikmati kebahagiaan sempurna di Elysium.

      5, 6. Bagaimana orang Persia memandang jiwa?

      5 Di Iran, atau Persia, ke sebelah timur, seorang nabi bernama Zoroaster tampil pada abad ketujuh SM. Ia memperkenalkan cara beribadat yang kemudian dikenal sebagai Zoroastrianisme. Ini adalah agama dari Imperium Persia, yang menguasai pentas dunia sebelum Yunani menjadi kuasa utama. Kitab-kitab agama Zoroaster mengatakan, ”Jiwa Orang Benar Tidak Berkematian selama-lamanya dalam Sukacita, tetapi jiwa Pendusta pasti berada dalam siksaan. Dan Hukum-Hukum ini telah ditetapkan oleh Ahura Mazda [artinya, ”allah yang bijaksana”] melalui kedaulatan wewenang-Nya.”

      6 Ajaran tentang jiwa yang tidak berkematian juga merupakan bagian dari agama orang Iran sebelum Zoroaster. Misalnya, suku-suku purba di Iran memperhatikan jiwa dari orang yang baru mati dengan mempersembahkan makanan dan pakaian untuk digunakan di alam baka.

      7, 8. Apa yang dipercayai oleh orang Mesir purba mengenai jiwa yang terus hidup setelah tubuh mati?

      7 Kepercayaan akan kehidupan setelah kematian merupakan inti dari agama orang Mesir. Orang Mesir percaya bahwa jiwa orang mati akan dihakimi oleh Osiris, dewa penguasa alam baka. Misalnya, sebuah dokumen papirus yang dinyatakan berasal dari abad ke-14 SM memperlihatkan Anubis, dewa orang mati, menuntun jiwa Hunefer, seorang penulis, ke hadapan Osiris. Pada sebuah neraca, jantung sang penulis, yang menggambarkan hati nuraninya, ditimbang dengan anak timbangan berupa bulu yang dikenakan pada kepala dewi kebenaran dan keadilan. Dewa lain yaitu Thoth mencatat hasilnya. Karena hati Hunefer tidak diberati kesalahan, beratnya lebih ringan daripada bulu tersebut, dan Hunefer diizinkan memasuki alam Osiris serta menerima peri tidak berkematian. Papirus tersebut juga memperlihatkan monster betina berdiri di samping neraca itu, yang siap melahap orang mati jika jantungnya gagal dalam ujian tersebut. Orang Mesir juga memumikan orang mati dan mengawetkan tubuh para firaun dalam piramida-piramida yang mengesankan, karena mereka berpikir bahwa keselamatan jiwa bergantung pada awetnya tubuh.

      8 Jadi, beragam peradaban zaman purba mempercayai satu ajaran yang sama—jiwa yang tidak berkematian. Apakah mereka mendapat ajaran ini dari sumber yang sama?

      Titik Permulaan

      9. Agama mana yang mempengaruhi dunia Mesir, Persia, dan Yunani purba?

      9 ”Di dunia purba,” kata buku The Religion of Babylonia and Assyria, ”Mesir, Persia, dan Yunani merasakan pengaruh dari agama Babilonia.” Buku ini melanjutkan penjelasannya, ”Ditinjau dari kontak masa awal antara Mesir dan Babilonia, sebagaimana disingkapkan oleh batu-batu tulis El-Amarna, pastilah terdapat banyak kesempatan untuk merembesnya pandangan dan kebiasaan Babilonia ke dalam kultus-kultus Mesir. Di Persia, kultus Mithra menyingkapkan pengaruh yang jelas-jelas berasal dari konsep Babilonia . . . Banyaknya pencampuran unsur-unsur Semit ke dalam mitologi Yunani masa awal maupun ke dalam kultus-kultus Yunani kini begitu umum diakui oleh para sarjana, sehingga tidak dibutuhkan komentar lebih lanjut. Unsur-unsur Semit ini kebanyakan lebih bersifat khas Babilonia.”b

      10, 11. Apa pandangan orang Babilonia mengenai kehidupan setelah kematian?

      10 Tetapi, bukankah pandangan orang Babilonia mengenai apa yang terjadi setelah kematian sangat berbeda dengan pandangan orang Mesir, Persia, dan Yunani? Misalnya, perhatikan Epic of Gilgamesh dari Babilonia. Pahlawannya yang semakin tua, Gilgamesh, dihantui oleh realitas kematian, maka ia berangkat untuk mencari peri tidak berkematian tetapi gagal memperolehnya. Seorang gadis penjual arak yang ia jumpai dalam perjalanannya bahkan menganjurkan dia untuk memanfaatkan sisa hidupnya sebaik mungkin, karena ia tidak akan menemukan kehidupan tanpa akhir yang dicarinya. Pesan dari seluruh wiracarita (epik) tersebut adalah bahwa kematian tidak terelakkan dan harapan akan peri tidak berkematian adalah ilusi. Bukankah ini menunjukkan bahwa orang Babilonia tidak percaya akan kehidupan setelah kematian?

      11 Profesor Morris Jastrow, Jr., dari University of Pennsylvania, AS, menulis, ”Baik rakyat maupun para pemimpin yang berpikiran religius [di Babilonia] tidak pernah mengantisipasi kemungkinan kebinasaan total dari apa yang pernah hidup. Kematian [dalam pandangan mereka] adalah jalan menuju kehidupan jenis lain, dan penyangkalan akan peri tidak berkematian hanyalah menandaskan bahwa seseorang tidak mungkin luput dari perubahan eksistensi yang didatangkan oleh kematian.” Ya, orang Babilonia juga percaya bahwa kehidupan jenis tertentu, dalam bentuk tertentu, terus hidup setelah kematian. Mereka menunjukkannya dengan menguburkan benda-benda bersama orang mati untuk digunakan dalam kehidupan setelah kematian.

      12-14. (a) Setelah Air Bah, di mana tempat lahirnya ajaran jiwa yang tidak berkematian? (b) Bagaimana doktrin tersebut menyebar ke seantero bumi?

      12 Jelaslah, ajaran tentang jiwa yang tidak berkematian dapat ditelusuri hingga Babilon purba. Menurut Alkitab, buku yang dikenal memuat sejarah yang saksama, kota Babel, atau Babilon, didirikan oleh Nimrod, seorang cicit Nuh.c Setelah Air Bah seluas dunia pada zaman Nuh, hanya ada satu bahasa dan satu agama. Dengan mendirikan kota dan membangun sebuah menara di sana, Nimrod memulai agama yang lain. Catatan Alkitab memperlihatkan bahwa setelah dikacaukannya bahasa di Babel, orang-orang yang tidak berhasil membangun menara tersebut berpencar dan memulai awal yang baru, sambil membawa agama mereka. (Kejadian 10:6-10; 11:4-9) Dengan demikian, ajaran agama yang bersifat Babilon menyebar ke seantero muka bumi.

      13 Menurut kisah turun-temurun, Nimrod mati dengan cara yang mengenaskan. Setelah kematiannya, masuk akal bahwa orang Babilonia cenderung menjunjung tinggi Nimrod sebagai pendiri, pembangun, dan raja pertama kota mereka. Karena dewa Marduk (Merodakh) dianggap sebagai pendiri Babilon, beberapa sarjana menyatakan bahwa Marduk bisa jadi adalah Nimrod yang didewakan. Jika demikian halnya, maka gagasan bahwa seseorang memiliki jiwa yang terus hidup setelah kematian pastilah telah diterima luas setidak-tidaknya pada waktu kematian Nimrod. Selain itu, halaman-halaman sejarah menyingkapkan bahwa setelah Air Bah, tempat lahirnya ajaran jiwa yang tidak berkematian adalah Babel, atau Babilon.

      14 Namun, bagaimana doktrin tersebut menjadi inti sebagian besar agama pada zaman kita? Bagian berikut akan memeriksa masuknya doktrin tersebut ke dalam agama-agama Timur.

  • Gagasan Itu Memasuki Agama-Agama Timur
    Apa yang Terjadi dengan Kita Bila Kita Meninggal?
    • Gagasan Itu Memasuki Agama-Agama Timur

      ”Saya selalu berpikir bahwa jiwa yang tidak berkematian adalah kebenaran universal yang diterima oleh semua orang. Jadi, saya benar-benar terkejut sewaktu mengetahui bahwa beberapa cendekiawan dari Timur maupun Barat dengan tegas membantah kepercayaan itu. Sekarang, saya bertanya-tanya bagaimana gagasan tentang peri tidak berkematian dapat masuk ke dalam pemikiran Hindu.”—SEORANG MAHASISWA UNIVERSITAS YANG DIBESARKAN DALAM AGAMA HINDU.

      1. Mengapa pengetahuan mengenai perkembangan dan penyebaran doktrin jiwa manusia yang tidak berkematian ke dalam berbagai agama menarik bagi kita?

      BAGAIMANA gagasan bahwa manusia memiliki jiwa yang tidak berkematian memasuki Hinduisme dan agama-agama Timur lainnya? Pertanyaan tersebut menarik bahkan bagi orang-orang di Barat yang mungkin tidak begitu mengenal agama-agama ini, karena kepercayaan tersebut mempengaruhi pandangan setiap orang mengenai masa depan. Karena ajaran tentang jiwa manusia yang tidak berkematian adalah tema umum dalam sebagian besar agama dewasa ini, kita dapat memiliki pemahaman dan komunikasi yang lebih baik bila kita mengetahui bagaimana konsep itu berkembang.

      2. Mengapa India telah menjadi sumber pengaruh agama di Asia yang patut diperhatikan?

      2 Ninian Smart, seorang profesor bidang studi keagamaan di University of Lancaster, Inggris, mengamati, ”Pusat agama yang paling berpengaruh di Asia adalah India. Bukan saja karena India sendiri telah melahirkan sejumlah kepercayaan—Hinduisme, Buddhisme, Jainisme, Sikhisme, dll.—tetapi karena salah satu dari agama-agama ini, yakni Buddhisme, telah sangat berpengaruh terhadap kebudayaan di hampir seluruh Asia Timur.” Banyak kebudayaan yang dipengaruhi dengan cara ini ”masih menganggap India sebagai kampung halaman rohani mereka”, kata sarjana Hindu, Nikhilananda. Kalau begitu, bagaimana ajaran tentang peri tidak berkematian ini memasuki India dan bagian-bagian lain di Asia?

      Ajaran Reinkarnasi Hinduisme

      3. Menurut seorang sejarawan, oleh siapakah gagasan perpindahan jiwa kemungkinan dibawa ke India?

      3 Pada abad keenam SM, sewaktu Pythagoras dan para pengikutnya di Yunani sedang menjunjung teori perpindahan jiwa, para cendekiawan Hindu yang tinggal di sepanjang tepi Sungai Indus dan Sungai Gangga di India sedang mengembangkan konsep yang sama. Munculnya kepercayaan ini secara bersamaan ”di dunia Yunani dan di India kemungkinan besar bukan suatu kebetulan”, kata sejarawan Arnold Toynbee. ”Satu hal yang mungkin menjadi sumber yang sama dari [pengaruh] ini,” Toynbee menandaskan, ”adalah masyarakat pengembara Eurasia, yang, pada abad ke-8 dan ke-7 SM, telah turun ke India, Asia Barat Daya, kawasan stepa di sepanjang pesisir utara Laut Hitam, dan Semenanjung Balkan serta Semenanjung Anatolia.” Suku-suku Eurasia yang bermigrasi itu tampaknya membawa serta gagasan perpindahan tersebut ke India.

      4. Mengapa konsep perpindahan jiwa menarik perhatian para cendekiawan Hindu?

      4 Hinduisme telah dimulai di India jauh lebih awal, dengan tibanya suku Arya sekitar tahun 1500 SM. Sejak semula, Hinduisme berpegang pada kepercayaan bahwa jiwa berbeda dari tubuh dan bahwa jiwa terus hidup setelah kematian. Oleh karena itu, orang Hindu mempraktekkan penyembahan leluhur dan mempersembahkan makanan untuk disantap oleh jiwa-jiwa orang mati. Berabad-abad kemudian sewaktu gagasan perpindahan jiwa mencapai India, ini pasti menarik perhatian para cendekiawan Hindu yang sedang bergelut dengan problem universal mengenai malapetaka dan penderitaan di antara manusia. Menggabungkan gagasan ini dengan apa yang disebut hukum Karma, yaitu hukum sebab akibat, para cendekiawan Hindu mengembangkan teori reinkarnasi, bahwa kebaikan dan kesalahan dalam kehidupan seseorang mendapat upah atau hukuman dalam kehidupan berikutnya.

      5. Menurut Hinduisme, apa tujuan akhir dari jiwa?

      5 Tetapi, ada satu konsep lain yang mempengaruhi ajaran Hinduisme mengenai jiwa. ”Agaknya benar bahwa pada saat yang sama sewaktu teori perpindahan dan karma terbentuk, atau bahkan lebih awal lagi,” kata Encyclopædia of Religion and Ethics, ”konsep lain . . . lambat laun berkembang dalam sebuah lingkungan intelektual yang kecil di India Utara—konsep filsafat Brahmana-Ātman [Brahmana yang tertinggi dan kekal, realitas akhir].” Gagasan ini digabungkan dengan teori reinkarnasi untuk mendefinisikan tujuan akhir orang Hindu—pembebasan dari siklus perpindahan guna menyatu dengan realitas akhir. Orang Hindu percaya bahwa hal ini dicapai dengan mengupayakan perilaku yang diterima masyarakat dan pengetahuan Hindu yang khusus.

      6, 7. Apa yang sekarang ini dipercayai Hinduisme mengenai kehidupan setelah kematian?

      6 Dengan demikian, kaum arif Hindu memasukkan gagasan perpindahan jiwa ke dalam doktrin reinkarnasi dengan menggabungkannya bersama hukum Karma dan konsep Brahmana. Octavio Paz, seorang penyair pemenang Hadiah Nobel dan mantan duta besar Meksiko di India, menulis, ”Seraya Hinduisme menyebar, demikian pula gagasan . . . yang menjadi poros dari Brahmanaisme, Buddhisme, dan agama-agama Asia lainnya: metempsychosis, yaitu perpindahan jiwa dari satu eksistensi ke eksistensi berikutnya.”

      7 Doktrin reinkarnasi adalah penopang utama Hinduisme dewasa ini. Filsuf Hindu, Nikhilananda, mengatakan, ”Sudah merupakan keyakinan setiap orang Hindu yang saleh bahwa pencapaian peri tidak berkematian bukanlah hak istimewa dari segelintir orang terpilih, melainkan hak yang diwarisi semua orang.”

      Siklus Kelahiran Kembali dalam Buddhisme

      8-10. (a) Bagaimana Buddhisme menjelaskan eksistensi? (b) Bagaimana seorang sarjana Buddhis menjelaskan kelahiran kembali?

      8 Buddhisme didirikan di India sekitar tahun 500 SM. Menurut tradisi Buddha, seorang pangeran India bernama Siddhārtha Gautama, yang kemudian dikenal sebagai Buddha setelah menerima pencerahan, mendirikan Buddhisme. Karena muncul dari Hinduisme, ajaran-ajarannya dalam beberapa hal mirip dengan ajaran-ajaran Hinduisme. Menurut Buddhisme, eksistensi adalah siklus kelahiran kembali dan kematian secara berkesinambungan, dan seperti dalam Hinduisme, status tiap-tiap individu dalam kehidupannya sekarang ditentukan oleh perbuatan dalam kehidupan sebelumnya.

      9 Tetapi, Buddhisme tidak menjelaskan eksistensi sebagai jiwa yang berkepribadian yang terus hidup setelah kematian. ”[Buddha] menganggap diri manusia hanya sebagai serangkaian tahap-tahap psikologis yang tidak berkesinambungan dan beralih dengan cepat, yang diikat hanya oleh hasrat,” demikian menurut pengamatan Arnold Toynbee. Namun, Buddha percaya bahwa sesuatu—suatu tahap psikologis atau kekuatan—diteruskan dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Dr. Walpola Rahula, seorang sarjana Buddhis, menjelaskan:

      10 ”Suatu makhluk hanyalah perpaduan antara kekuatan atau energi fisik dan mental. Apa yang kita sebut kematian adalah berhentinya semua fungsi tubuh secara fisik. Apakah semua kekuatan dan energi ini berhenti sama sekali sewaktu tubuh berhenti berfungsi? Buddhisme mengatakan ’Tidak’. Kehendak, kemauan, hasrat, atau kegairahan untuk tetap ada, untuk terus hidup, untuk terus menjadi ada dan ada kembali, adalah kekuatan hebat yang menggerakkan segenap kehidupan, segenap eksistensi, yang bahkan menggerakkan seluruh dunia. Inilah kekuatan terbesar, energi terbesar di dunia. Menurut Buddhisme, kekuatan ini tidak berhenti sewaktu tubuh berhenti berfungsi, atau mati; tetapi kekuatan ini terus memanifestasikan dirinya dalam bentuk lain, menghasilkan eksistensi kembali yang disebut kelahiran kembali.”

      11. Apa pandangan Buddhis mengenai kehidupan setelah kematian?

      11 Pandangan Buddhis mengenai kehidupan setelah kematian adalah: Eksistensi bersifat abadi kecuali individu tersebut mencapai tujuan akhir berupa Nirwana, pembebasan dari siklus kelahiran kembali. Nirwana bukanlah keadaan penuh kebahagiaan kekal ataupun keadaan menyatu dengan realitas akhir. Itu hanyalah keadaan tanpa eksistensi—”tempat tanpa kematian” yang melampaui eksistensi individu. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikan ”Nirwana” sebagai ”suatu tempat atau keadaan yang tidak mengenal kekhawatiran, rasa sakit, atau kenyataan lahiriah”. Sebaliknya daripada mencari peri tidak berkematian, orang Buddhis dianjurkan untuk melampauinya dengan mencapai Nirwana.

      12-14. Bagaimana berbagai aliran Buddhisme menyampaikan gagasan peri tidak berkematian?

      12 Seraya menyebar ke berbagai tempat di Asia, Buddhisme memodifikasi ajaran-ajarannya untuk menyesuaikan diri dengan kepercayaan-kepercayaan setempat. Misalnya, Buddhisme Mahayana, aliran yang dominan di Cina dan Jepang, percaya akan bodhisatwa-bodhisatwa langit, atau para calon Buddha. Para bodhisatwa menunda memasuki Nirwana agar mereka mengalami tak terhitung banyaknya kelahiran kembali guna melayani dan membantu orang-orang lain mencapai Nirwana. Jadi, seseorang dapat memilih untuk terus berada dalam siklus kelahiran kembali bahkan setelah mencapai Nirwana.

      13 Penyesuaian lain yang khususnya berpengaruh di Cina dan Jepang adalah doktrin Negeri Murni di Barat, yang diciptakan oleh Buddha Amitabha, atau Amida. Orang-orang yang dengan iman menyebut nama Buddha akan dilahirkan kembali di Negeri Murni, atau firdaus, yang kondisinya lebih menunjang untuk mencapai pencerahan akhir. Apa yang telah berkembang dari ajaran ini? Profesor Smart, yang disebutkan sebelumnya, menjelaskan, ”Bukanlah hal yang aneh bila kesemarakan firdaus, yang dilukiskan secara hidup dalam kitab-kitab Mahayana, akhirnya menggantikan nirwana dalam imajinasi kebanyakan orang sebagai tujuan tertinggi.”

      14 Buddhisme Tibet memadukan unsur-unsur setempat lainnya. Sebagai contoh, buku tentang orang mati dari Tibet melukiskan nasib seseorang dalam tahapan perantara sebelum dilahirkan kembali. Orang mati konon akan disinari dengan cahaya realitas akhir yang sangat terang, dan orang-orang yang tidak tahan dengan cahaya itu tidak akan memperoleh pembebasan tetapi dilahirkan kembali. Jelaslah, Buddhisme dengan berbagai alirannya menyampaikan gagasan peri tidak berkematian.

      Penyembahan Leluhur dalam Shinto Jepang

      15-17. (a) Bagaimana penyembahan roh-roh leluhur berkembang dalam Shinto? (b) Bagaimana kepercayaan tentang jiwa yang tidak berkematian bersifat fundamental dalam Shinto?

      15 Agama sudah ada di Jepang sebelum tibanya Buddhisme pada abad keenam Masehi. Agama itu tidak memiliki nama, dan terdiri dari kepercayaan-kepercayaan yang berkaitan dengan moral dan kebiasaan orang-orang. Akan tetapi, sewaktu Buddhisme diperkenalkan, timbul kebutuhan untuk membedakan agama Jepang dari agama asing. Maka, muncullah nama ”Shinto”, yang berarti ”jalan para dewa”.

      16 Apa yang semula dipercayai oleh Shinto mengenai kehidupan setelah kematian? Dengan diperkenalkannya penanaman padi di tanah yang basah, ”pertanian tanah basah mengharuskan adanya masyarakat yang diorganisasi dengan baik dan stabil”, ulas Kodansha Encyclopedia of Japan, ”dan upacara-upacara pertanian—yang belakangan memainkan peranan yang begitu penting dalam Shintō—dikembangkan”. Rasa takut akan jiwa-jiwa yang telah meninggal menyebabkan orang-orang zaman purba ini merancang berbagai upacara guna menenangkan jiwa-jiwa tersebut. Ini berkembang menjadi penyembahan roh-roh leluhur.

      17 Menurut kepercayaan Shinto, jiwa yang ”meninggal” masih memiliki kepribadiannya tetapi tercemar karena kematian. Apabila keluarga yang ditinggalkan mengadakan upacara-upacara demi orang mati itu, jiwanya akan disucikan hingga bebas dari segala niat jahat, dan sifatnya menjadi suka damai dan suka berbuat baik. Pada waktunya, roh leluhur tersebut akan diangkat menjadi dewa leluhur, atau penjaga. Karena hidup berdampingan dengan Buddhisme, Shinto memadukan beberapa ajaran Buddha, termasuk doktrin firdaus. Jadi, kepercayaan akan peri tidak berkematian ternyata bersifat fundamental dalam Shinto.

      Peri Tidak Berkematian dalam Taoisme, Penyembahan Leluhur dalam Konfusianisme

      18. Apa pemikiran Taoisme mengenai peri tidak berkematian?

      18 Taoisme didirikan oleh Lao-tze, yang konon hidup di Cina pada abad keenam SM. Menurut Taoisme, tujuan dalam kehidupan adalah untuk menyelaraskan aktivitas manusia dengan Tao—cara alam. Pemikiran Taoisme mengenai peri tidak berkematian dapat disimpulkan sebagai berikut: Tao adalah prinsip yang mengendalikan alam semesta. Tao tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Dengan hidup selaras dengan Tao, seseorang ambil bagian di dalamnya dan menjadi abadi.

      19-21. Spekulasi-spekulasi Taoisme mengarah pada upaya-upaya apa?

      19 Dalam upaya untuk menyatu dengan alam, para penganut Taoisme belakangan menjadi sangat berminat dengan keabadian dan ketangguhan alam. Mereka berspekulasi bahwa mungkin melalui hidup selaras dengan Tao, atau cara alam, seseorang dapat, dengan suatu cara, menemukan rahasia alam dan menjadi kebal terhadap cedera fisik, penyakit, dan bahkan kematian.

      20 Para penganut Taoisme mulai bereksperimen dengan meditasi, latihan pernapasan, dan diet, yang dianggap dapat menunda kemunduran jasmani dan kematian. Tak lama kemudian, mulailah beredar legenda-legenda mengenai orang-orang tidak berkematian yang dapat terbang di atas awan, dapat muncul dan menghilang sesuka hati, dan yang tinggal di gunung keramat atau pulau terpencil sejak waktu yang tak terhitung lamanya, hidup dari embun atau buah-buah ajaib. Sejarah Cina melaporkan bahwa pada tahun 219 SM, Kaisar Ch’in Shih Huang Ti mengutus sebuah armada kapal berisi 3.000 anak laki-laki dan perempuan untuk menemukan pulau legendaris P’eng-lai, tempat kediaman orang-orang yang tidak berkematian, guna membawa kembali tanaman hidup abadi. Tentu saja, mereka tidak kembali dengan membawa eliksir tersebut.

      21 Petualangan mencari kehidupan kekal menyebabkan para penganut Taoisme bereksperimen untuk membuat pil-pil hidup abadi melalui alkimia. Menurut pandangan penganut Taoisme, kehidupan terjadi sewaktu kekuatan yin dan yang (perempuan dan laki-laki) yang saling bertolak belakang bergabung. Jadi, dengan meleburkan timah hitam (berwarna gelap, atau yin) dan merkuri (berwarna terang, atau yang), para ahli alkimia meniru proses alam dan mereka menyangka bahwa ini akan menghasilkan pil hidup abadi.

      22. Apa yang dihasilkan oleh pengaruh Buddhisme terhadap kehidupan agama di Cina?

      22 Pada abad ketujuh M, Buddhisme mulai mempengaruhi kehidupan agama orang-orang Cina. Hasilnya adalah suatu campuran yang mencakup unsur-unsur Buddhisme, spiritisme, dan penyembahan leluhur. ”Baik Buddhisme maupun Taoisme,” kata Profesor Smart, ”memberi bentuk dan makna pada kepercayaan mengenai kehidupan setelah kematian yang agak kabur dalam penyembahan leluhur di Cina purba.”

      23. Bagaimana sikap Konfusius sehubungan dengan penyembahan leluhur?

      23 Konfusius (atau Kong Hu Cu), cendekiawan lain dari Cina pada abad keenam SM, yang filsafatnya menjadi dasar Konfusianisme, tidak banyak berkomentar mengenai kehidupan setelah kematian. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya kebaikan moral dan perilaku yang diterima masyarakat. Tetapi, ia bersikap baik terhadap penyembahan leluhur dan sangat menekankan pentingnya menjalankan upacara yang berkaitan dengan roh-roh leluhur yang telah meninggal.

      Agama-Agama Timur Lainnya

      24. Apa yang diajarkan Jainisme mengenai jiwa?

      24 Jainisme didirikan di India pada abad keenam SM. Pendirinya, Mahāwīra, mengajarkan bahwa semua benda hidup memiliki jiwa yang kekal dan bahwa keselamatan jiwa dari belenggu Karma hanya dimungkinkan melalui penyangkalan diri serta disiplin diri yang ekstrem dan sama sekali tidak melakukan kekerasan terhadap semua makhluk. Para penganut Jainisme berpegang pada kepercayaan-kepercayaan ini hingga hari ini.

      25, 26. Apa kepercayaan-kepercayaan Hindu yang juga didapati dalam Sikhisme?

      25 India juga adalah tempat lahirnya Sikhisme, agama yang dipraktekkan oleh 19 juta orang. Agama ini bermula pada abad ke-16 sewaktu Guru Nānak memutuskan untuk melebur unsur-unsur terbaik dari Hinduisme dan Islam serta membentuk suatu agama paduan. Sikhisme menerima kepercayaan Hindu berupa jiwa yang tidak berkematian, reinkarnasi, dan Karma.

      26 Jelaslah, kepercayaan bahwa kehidupan berlanjut setelah tubuh mati merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kebanyakan agama-agama Timur. Namun, bagaimana dengan Susunan Kristen, Yudaisme, dan Islam?

      [Peta di hlm. 10]

      (Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

      ASIA TENGAH

      KASMIR

      TIBET

      CINA

      KOREA

      JEPANG

      Banaras

      INDIA

      Buddh Gaya

      MYANMAR

      THAILAND

      KAMBOJA

      SRI LANKA

      JAWA

      ABAD KE-3 SM

      ABAD KE-1 SM

      ABAD KE-1 M

      ABAD KE-4 M

      ABAD KE-6 M

      ABAD KE-7 M

      Buddhisme mempengaruhi seluruh Asia Timur

      [Gambar di hlm. 9]

      Reinkarnasi adalah penopang utama Hinduisme

      [Gambar di hlm. 11]

      Melalui hidup selaras dengan alam, seorang penganut Taoisme berupaya memperoleh kehidupan kekal

      [Gambar di hlm. 12]

      Konfusius bersikap baik terhadap penyembahan leluhur

  • Gagasan Itu Memasuki Yudaisme, Susunan Kristen, dan Islam
    Apa yang Terjadi dengan Kita Bila Kita Meninggal?
    • Gagasan Itu Memasuki Yudaisme, Susunan Kristen, dan Islam

      ”Agama merupakan salah satu cara untuk memudahkan orang menerima fakta bahwa pada suatu hari mereka pasti mati, baik melalui janji akan kehidupan yang lebih baik setelah kematian, melalui kelahiran kembali, atau keduanya.”—GERHARD HERM, PENULIS ASAL JERMAN.

      1. Atas kepercayaan dasar apa sebagian besar agama mendasarkan janji mereka akan kehidupan setelah kematian?

      SEWAKTU menjanjikan suatu kehidupan setelah kematian, hampir setiap agama bergantung pada kepercayaan bahwa manusia memiliki jiwa yang tidak berkematian, yang pada saat kematian pergi ke alam lain atau berpindah ke makhluk lain. Sebagaimana dinyatakan dalam bagian sebelumnya, kepercayaan akan jiwa manusia yang tidak berkematian telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari agama-agama Timur sejak awal berdirinya. Tetapi, bagaimana dengan Yudaisme, Susunan Kristen, dan Islam? Bagaimana ajaran itu menjadi inti dari kepercayaan-kepercayaan ini?

      Yudaisme Menyerap Konsep-Konsep Yunani

      2, 3. Menurut Encyclopaedia Judaica, apakah tulisan-tulisan suci Ibrani mengajarkan jiwa yang tidak berkematian?

      2 Akar Yudaisme telah ada sekitar 4.000 tahun yang lalu pada zaman Abraham. Tulisan-tulisan suci Ibrani mulai ditulis pada abad ke-16 SM dan rampung pada waktu Sokrates dan Plato membentuk teori jiwa yang tidak berkematian. Apakah Tulisan-Tulisan Kudus ini mengajarkan jiwa yang tidak berkematian?

      3 Encyclopaedia Judaica menjawab, ”Baru pada masa pasca-Alkitab, kepercayaan yang jelas dan tegas berkenaan jiwa yang tidak berkematian diteguhkan . . . dan menjadi salah satu batu penjuru dari iman Yahudi dan Kristen.” Ensiklopedia itu juga menyatakan, ”Pribadi dianggap sebagai satu kesatuan dalam zaman alkitab. Jadi, jiwa tidak dibedakan secara jelas dari tubuh.” Orang-orang Yahudi masa awal percaya akan kebangkitan orang mati, dan ini ”hendaknya dibedakan dengan kepercayaan akan . . . jiwa yang tidak berkematian”, demikian ditandaskan oleh ensiklopedia itu.

      4-6. Bagaimana doktrin jiwa yang tidak berkematian menjadi ”salah satu batu penjuru” dari Yudaisme?

      4 Kalau begitu, bagaimana doktrin tersebut menjadi ”salah satu batu penjuru” dari Yudaisme? Sejarah menyediakan jawabannya. Pada tahun 332 SM, Iskandar Agung menaklukkan sebagian besar Timur Tengah dengan secepat kilat. Sewaktu ia tiba di Yerusalem, orang-orang Yahudi menyambutnya dengan tangan terbuka. Menurut sejarawan Yahudi abad pertama, Flavius Josephus, mereka bahkan memperlihatkan kepadanya nubuat dari buku Daniel, ditulis lebih dari 200 tahun sebelumnya, yang dengan jelas melukiskan penaklukan Iskandar sebagai ”raja negeri Yunani”. (Daniel 8:5-8, 21) Para penerus Iskandar melanjutkan rencananya untuk Helenisasi, yaitu menyusupkan bahasa, kebudayaan, dan filsafat Yunani ke semua bagian imperium. Perpaduan dua kebudayaan—Yunani dan Yahudi—tak terelakkan.

      5 Pada awal abad ketiga SM, dimulailah penerjemahan pertama dari Kitab-Kitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuagint. Melalui terjemahan itu, banyak orang Kafir kemudian menghargai dan mengenal agama Yahudi, ada yang bahkan beralih agama. Sebaliknya, orang-orang Yahudi pun akhirnya mengetahui pemikiran Yunani, bahkan ada yang menjadi filsuf, sesuatu yang sama sekali baru bagi mereka. Philo dari Aleksandria, pada abad pertama M, adalah salah seorang filsuf Yahudi semacam itu.

      6 Philo memuja Plato dan berupaya menjelaskan Yudaisme menurut filsafat Yunani. ”Dengan menciptakan sintesis unik antara filsafat Plato dan tradisi Alkitab,” kata buku Heaven—A History, ”Philo mempersiapkan jalan bagi para pemikir Kristen [dan juga Yahudi] di kemudian hari.” Dan, apa kepercayaan Philo mengenai jiwa? Buku tersebut melanjutkan, ”Bagi dia, kematian mengembalikan jiwa ke keadaannya yang semula sebelum kelahiran. Karena jiwa berasal dari alam roh, kehidupan dalam tubuh hanyalah episode singkat yang sering kali ditandai kemalangan.” Para pemikir Yahudi lain yang percaya akan jiwa yang tidak berkematian di antaranya adalah Isaac Israeli, dokter Yahudi yang terkenal pada abad ke-10, dan Moses Mendelssohn, filsuf Jerman-Yahudi pada abad ke-18.

      7, 8. (a) Bagaimana Talmud melukiskan jiwa? (b) Apa yang dikatakan lektur mistik Yahudi yang ditulis belakangan mengenai jiwa?

      7 Buku yang juga sangat mempengaruhi pemikiran dan kehidupan orang Yahudi adalah Talmud—ringkasan tertulis dari apa yang disebut hukum lisan, berikut ulasan dan penjelasan yang diberikan belakangan mengenai hukum ini, yang disusun oleh para rabi dari abad kedua M hingga Abad Pertengahan. ”Para rabi penyusun Talmud,” kata Encyclopaedia Judaica, ”percaya akan eksistensi jiwa yang berlanjut setelah kematian.” Talmud bahkan berbicara mengenai orang mati yang mengadakan kontak dengan orang hidup. ”Mungkin karena pengaruh Platonisme,” kata Encyclopædia of Religion and Ethics, ”[para rabi] percaya akan praeksistensi jiwa.”

      8 Kabala, lektur mistik Yahudi yang ditulis belakangan, bahkan mengajarkan reinkarnasi. Sehubungan dengan kepercayaan ini, The New Standard Jewish Encyclopedia menyatakan, ”Gagasan itu tampaknya berasal dari India. . . . Dalam Kabbalah, gagasan itu pertama-tama muncul dalam buku Bahir, dan kemudian, dari Zohar dan seterusnya, diterima secara umum oleh para penganut mistik, yang memainkan peranan penting dalam kepercayaan dan lektur Hasidik.” Di Israel dewasa ini, reinkarnasi diterima secara luas sebagai ajaran Yahudi.

      9. Apa sudut pandangan dari kebanyakan golongan Yudaisme dewasa ini sehubungan dengan jiwa yang tidak berkematian?

      9 Karena itu, gagasan tentang jiwa yang tidak berkematian memasuki Yudaisme melalui pengaruh filsafat Yunani, dan konsep tersebut dewasa ini diterima oleh kebanyakan golongannya. Bagaimana dengan masuknya ajaran tersebut ke dalam Susunan Kristen?

      Susunan Kristen Menerima Pemikiran Plato

      10. Apa yang disimpulkan seorang sarjana terkemuka asal Spanyol mengenai kepercayaan Yesus akan jiwa yang tidak berkematian?

      10 Kekristenan sejati diawali dengan Kristus Yesus. Mengenai Yesus, Miguel de Unamuno, seorang sarjana terkemuka asal Spanyol pada abad ke-20, menulis, ”Ia percaya pada kebangkitan jasmani, berdasarkan tata cara Yahudi, bukan pada jiwa yang tidak berkematian berdasarkan tata cara Plato [dari Yunani]. . . . Bukti-bukti dari hal ini dapat dilihat dalam setiap buku tafsiran yang jujur.” Ia menyimpulkan, ”Jiwa yang tidak berkematian . . . adalah dogma filsafat yang kafir.”

      11. Kapan filsafat Yunani mulai memasuki kekristenan?

      11 Kapan dan bagaimana ”dogma filsafat yang kafir” ini menyusup ke dalam kekristenan? New Encyclopædia Britannica menunjukkan, ”Dari pertengahan abad ke-2 M, orang-orang Kristen, yang telah mendapat sedikit pelatihan mengenai filsafat Yunani, mulai merasa perlu untuk mengekspresikan iman mereka menurut filsafat tersebut, baik untuk kepuasan intelektual mereka sendiri dan untuk menobatkan orang-orang kafir yang terpelajar. Filsafat yang paling cocok untuk mereka adalah Platonisme.”

      12-14. Peranan apa yang dimainkan Origen dan Agustinus dalam menggabungkan filsafat Platonisme dengan kekristenan?

      12 Dua filsuf masa awal semacam itu mengerahkan pengaruh besar terhadap doktrin-doktrin Susunan Kristen. Yang seorang adalah Origen dari Aleksandria (± 185-254 M), dan yang lain, Agustinus dari Hippo (354-430 M). Sehubungan dengan mereka, New Catholic Encyclopedia menyatakan, ”Hanya karena Origen di Timur dan St. Agustinus di Barat maka jiwa ditetapkan sebagai suatu zat yang bersifat roh dan suatu konsep filsafat pun dibentuk berkenaan kodratnya.” Atas dasar apa Origen dan Agustinus membentuk konsep mereka mengenai jiwa?

      13 Origen adalah murid Clement dari Aleksandria, yang ”pertama dari para Bapak yang secara eksplisit meminjam dari tradisi Yunani mengenai jiwa”, demikian kata New Catholic Encyclopedia. Gagasan Plato mengenai jiwa pasti telah mempengaruhi Origen secara mendalam. ”[Origen] membangun serangkaian ajaran yang lengkap mengenai jiwa, yang diambilnya dari Plato, dan kemudian memasukkannya ke dalam doktrin Kristen,” demikian komentar teolog Werner Jaeger dalam The Harvard Theological Review.

      14 Agustinus dianggap sebagai pemikir terbesar pada zaman kuno oleh beberapa orang dalam Susunan Kristen. Sebelum bertobat menjadi ”Kristen” pada usia 33 tahun, Agustinus sangat berminat pada filsafat dan telah menjadi seorang Neoplatonis.a Namun, setelah bertobat, pemikirannya tidak berubah dari Neoplatonisme. ”Pikirannya telah menjadi tempat peleburan agama Perjanjian Baru dengan tradisi Platonisme dari filsafat Yunani,” kata The New Encyclopædia Britannica. New Catholic Encyclopedia mengakui bahwa ”doktrin Agustinus [mengenai jiwa], yang menjadi standar di Barat hingga akhir abad ke-12, banyak berutang . . . kepada Neoplatonisme”.

      15, 16. Apakah minat akan ajaran Aristoteles pada abad ke-13 mengubah sudut pandangan gereja mengenai ajaran jiwa yang tidak berkematian?

      15 Pada abad ke-13, ajaran-ajaran Aristoteles semakin populer di Eropa, terutama karena tersedianya karya-karya sarjana Arab dalam bahasa Latin yang banyak mengulas tulisan-tulisan Aristoteles. Seorang sarjana Katolik bernama Thomas Aquinas sangat terkesan pada pemikiran ala Aristoteles. Karena tulisan-tulisan Aquinas, ajaran gereja lebih dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles daripada pandangan Plato. Akan tetapi, kecenderungan ini tidak mempengaruhi ajaran mengenai jiwa yang tidak berkematian.

      16 Aristoteles mengajarkan bahwa jiwa memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan tubuh dan tidak meneruskan eksistensi individu setelah kematian dan bahwa jika ada yang kekal dalam manusia, itu adalah intelektualitas yang abstrak dan tidak berkepribadian. Pandangan seperti ini terhadap jiwa tidak selaras dengan kepercayaan gereja mengenai jiwa yang berkepribadian dan yang terus hidup setelah kematian. Oleh karena itu, Aquinas memodifikasi pandangan Aristoteles mengenai jiwa, dengan menegaskan bahwa jiwa yang tidak berkematian dapat dibuktikan dengan penalaran. Dengan demikian, kepercayaan gereja mengenai jiwa yang tidak berkematian tetap utuh.

      17, 18. (a) Apakah Reformasi pada abad ke-16 memperkenalkan reformasi dalam ajaran mengenai jiwa? (b) Apa pendirian sebagian besar denominasi Susunan Kristen mengenai jiwa yang tidak berkematian?

      17 Pada abad ke-14 dan ke-15, bagian awal dari Renaisans, minat akan Plato dihidupkan kembali. Keluarga Medici yang terkenal di Italia bahkan turut mendirikan sebuah akademi di Florence untuk menggalakkan studi filsafat Plato. Pada abad ke-16 dan ke-17, minat akan Aristoteles memudar. Dan Reformasi pada abad ke-16 tidak memperkenalkan reformasi dalam ajaran mengenai jiwa. Meskipun para Reformis Protestan mempermasalahkan ajaran api penyucian, mereka menerima gagasan mengenai hukuman atau pahala kekal.

      18 Dengan demikian, ajaran jiwa yang tidak berkematian tetap populer dalam sebagian besar denominasi Susunan Kristen. Sewaktu mengamati hal ini, seorang sarjana Amerika menulis, ”Sesungguhnya, agama bagi mayoritas besar ras kita, sama dengan peri tidak berkematian, dan bukan hal lain. Allah menjadikan peri tidak berkematian.”

      Peri Tidak Berkematian dan Islam

      19. Kapan Islam didirikan, dan oleh siapa?

      19 Islam dimulai sewaktu Muḥammad dipanggil menjadi nabi kira-kira pada usia 40 tahun. Orang Muslim umumnya percaya bahwa wahyu datang kepada Muḥammad kurang lebih selama jangka waktu 20 hingga 23 tahun, dari sekitar tahun 610 M hingga kematiannya pada tahun 632 M. Wahyu ini dicatat dalam Quran, kitab suci orang Muslim. Pada saat Islam muncul, Yudaisme dan Susunan Kristen telah disusupi konsep Platonisme mengenai jiwa.

      20, 21. Apa yang dipercayai orang Muslim mengenai kehidupan setelah kematian?

      20 Orang Muslim percaya bahwa keyakinan mereka adalah puncak dari wahyu-wahyu yang diberikan kepada orang-orang Ibrani dan Kristen yang setia di zaman dahulu. Quran mengutip dari Kitab-Kitab Ibrani maupun Yunani. Tetapi, sehubungan dengan ajaran jiwa yang tidak berkematian, Quran menyimpang dari tulisan-tulisan ini. Quran mengajarkan bahwa manusia memiliki jiwa yang terus hidup setelah kematian. Quran juga berbicara tentang kebangkitan orang mati, suatu hari penghakiman, dan nasib akhir dari jiwa—kehidupan di sebuah taman firdaus surgawi atau hukuman dalam neraka yang bernyala-nyala.

      21 Orang Muslim beranggapan bahwa jiwa orang mati pergi ke alam Barzakh, atau ”Pembatas”, ”tempat atau keadaan di mana orang-orang berada sesudah kematian dan sebelum Penghakiman”. (Surah 23:99, 100, The Holy Qur-an, catatan kaki) Jiwa tersebut berada dalam keadaan sadar, dan mengalami apa yang disebut ”Siksa Kubur” jika orang itu jahat atau menikmati kebahagiaan jika ia setia. Tetapi orang-orang yang setia juga harus mengalami sedikit siksaan karena sedikit dosa yang mereka lakukan selama hidup. Pada hari penghakiman, masing-masing akan menghadapi nasib kekalnya, yang mengakhiri tahapan perantara itu.

      22. Berbagai teori apa yang dinyatakan beberapa filsuf Arab mengenai nasib jiwa?

      22 Gagasan tentang jiwa yang tidak berkematian dalam Yudaisme dan Susunan Kristen muncul karena pengaruh Platonisme, tetapi konsep tersebut dibangun dan dimasukkan ke dalam Islam sejak awalnya. Ini bukan berarti bahwa para sarjana Arab tidak mencoba menggabungkan ajaran Islam dan filsafat Yunani. Sesungguhnya, dunia Arab sangat dipengaruhi oleh karya Aristoteles. Dan para sarjana Arab yang terkemuka, seperti Avicenna dan Averroës, menjelaskan dan memerinci pemikiran Aristoteles. Akan tetapi, dalam upaya mereka untuk menyelaraskan pemikiran Yunani dengan ajaran Islam mengenai jiwa, mereka mengembangkan teori yang berbeda-beda. Misalnya, Avicenna menyatakan bahwa jiwa yang berkepribadian itu tidak berkematian. Sebaliknya Averroës, membantah pandangan itu. Walaupun terdapat berbagai sudut pandangan ini, jiwa yang tidak berkematian tetap menjadi kepercayaan orang Muslim.

      23. Bagaimana pendirian Yudaisme, Susunan Kristen, dan Islam sehubungan dengan masalah jiwa yang tidak berkematian?

      23 Kalau begitu, jelaslah bahwa Yudaisme, Susunan Kristen, dan Islam semuanya mengajarkan doktrin jiwa yang tidak berkematian.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan