Uganda
SELAMA berabad-abad, para penjelajah mencari sumber dari Sungai Nil yang mengagumkan itu, yang berkelok-kelok melalui setengah bagian Afrika dan bermuara di Laut Tengah. Akhirnya, beberapa penjelajah menyimpulkan bahwa Danau Victoria dan pegunungan di sekitarnya merupakan sumber utama air Sungai Nil yang terus mengalir. Pada beberapa dekade terakhir, banyak penduduk daerah itu sangat gembira karena menemukan sumber dari air yang lebih berharga—”air kehidupan” yang memberikan ”kehidupan abadi”. (Yoh. 4:10-14) Inilah kisah tentang orang-orang Uganda yang ”haus akan keadilbenaran”.—Mat. 5:6.
”MUTIARA AFRIKA”
Uganda, yang membentang di bagian tengah Afrika dan dilalui garis khatulistiwa, adalah negeri indah beriklim sedang. Gletser yang mencair nun jauh di atas Pegunungan Ruwenzori yang megah—dijuluki Pegunungan Bulan—mengalirkan air yang berkilauan ke banyak sekali sungai dan danau. Tanah yang subur dan tingginya curah hujan membuat Uganda ideal untuk bertanam kopi, teh, dan kapas. Ada satu jenis pisang yang banyak tumbuh di sini dan dimasak menjadi matooke, salah satu hidangan utama di Uganda. Penduduk setempat juga makan singkong, tepung jagung, sekoi, dan sorgum.
Negeri tropis ini dihuni singa, gajah, kuda nil, buaya, macan tutul, jerapah, dan antelop, juga simpanse, beragam jenis monyet yang lucu, serta gorila gunung yang terancam punah. Burung-burung yang cantik menyemarakkan suasana dengan kicauan yang menyenangkan. Ya, ada begitu banyak keindahan di Uganda sehingga negeri itu disebut-sebut sebagai ”mutiara Afrika”.
PENDUDUK UGANDA YANG ELOK
Uganda berpenduduk sekitar 30 juta orang dengan kira-kira 30 kelompok etnik. Banyak orang taat beragama dan tergabung di berbagai gereja Susunan Kristen; tetapi, seperti halnya di tempat lain, ibadat formal mereka banyak bercampur dengan tradisi keagamaan. Orang Uganda pada umumnya ramah dan bersahabat, dan cukup lazim bila orang berlutut saat memberi salam atau melayani orang yang lebih tua.
Namun, sungguh menyedihkan, selama tahun 1970-an dan 1980-an, ”mutiara” yang indah dan penduduknya yang berharga itu rusak parah akibat pergolakan politik yang menyebabkan tewasnya ribuan korban jiwa. Selain itu, kehancuran karena epidemi AIDS telah menambah dukacita Uganda. Dalam keadaan seperti itulah, Saksi-Saksi Yehuwa membawa penghiburan dan harapan bagi orang-orang yang tangguh ini.
PERINTIS YANG SEBENARNYA
Pada tahun 1931 pekerjaan pemberitaan-Kerajaan di Uganda dicatat untuk pertama kalinya, yaitu ketika kantor cabang Afrika Selatan mengawasi pekerjaan pengabaran di seluruh bagian Afrika sebelah selatan khatulistiwa. Untuk membuka daerah yang sangat besar ini, kantor cabang menugasi dua perintis, Robert Nisbet dan David Norman, untuk mengabar di daerah yang kini adalah Kenya, Uganda, dan Tanzania.
Saudara Nisbet dan Saudara Norman bertekad menyampaikan kabar baik Kerajaan sampai jauh ke pedalaman Afrika. Kampanye mereka dimulai dari Dar es Salaam pada tanggal 31 Agustus 1931, dengan membawa 200 dus lektur. Dari sana mereka pergi ke Pulau Zanzibar lalu ke pelabuhan di Mombasa dalam perjalanan ke dataran tinggi Kenya. Mereka naik kereta api, dan mengerjakan kota-kota di sepanjang jalur kereta hingga pesisir timur Danau Victoria. Kedua perintis yang berani itu kemudian menyeberang danau dengan kapal uap dan tiba di Kampala, ibu kota Uganda. Setelah menempatkan banyak lektur, dan mendapat pelanggan untuk majalah The Golden Age, kedua saudara itu pergi lebih jauh lagi ke pedalaman naik mobil.
Empat tahun kemudian, pada tahun 1935, empat perintis dari Afrika Selatan melakukan ekspedisi lain ke Afrika Timur. Mereka adalah Gray Smith dan istrinya, Olga, beserta Robert Nisbet dan adiknya George. Dengan dua mobil berperalatan lengkap dan ditata menjadi tempat tinggal, para perintis yang pantang menyerah ini melintasi jalan-jalan yang buruk dan berupaya melewati rumput gajah yang tingginya sampai tiga meter. ”Mereka sering tidur di alam liar,” kata sebuah laporan, ”dan dapat melihat, mendengar, dan merasakan degup kehidupan Afrika yang sesungguhnya dengan keanekaragaman satwa liarnya—singa yang mengaum di malam hari, zebra dan jerapah yang merumput dengan tenang, serta kuda nil dan gajah yang menimbulkan rasa waswas.” Tanpa gentar, mereka mengunjungi kota-kota yang belum pernah mendengar berita Kerajaan.
Sewaktu Gray dan Olga Smith tinggal sementara di Tanganyika (kini Tanzania), Robert dan George Nisbet pergi ke Nairobi, Kenya. Belakangan, ketika kalangan berwenang kolonial memerintahkan suami istri Smith untuk meninggalkan Tanganyika, mereka pergi ke Kampala, Uganda. Tetapi, situasi saat itu tidak begitu menguntungkan, dan polisi Kampala terus mengawasi mereka. Meskipun demikian, dalam waktu dua bulan saja, suami istri Smith menempatkan 2.122 buku dan buku kecil dan menyelenggarakan enam perhimpunan umum. Namun, akhirnya, gubernur mengeluarkan perintah deportasi sehingga pasangan ini terpaksa meninggalkan Uganda. Mereka pergi ke Nairobi, dan bertemu dengan kakak beradik Nisbet sebelum pulang ke Afrika Selatan.
Dengan berkat Yehuwa, kampanye-kampanye pengabaran ini sangat sukses, dan kesaksian yang bagus diberikan. Meski menghadapi tentangan dari kalangan agama dan tekanan yang kian meningkat dari kalangan berwenang kolonial, para perintis itu menyebarkan lebih dari 3.000 buku dan 7.000 buku kecil, selain mendapat banyak pelanggan majalah. Setelah kampanye ini, baru bertahun-tahun kemudian ada kegiatan pengabaran lagi di Uganda.
ADA KEGIATAN LAGI
Pada bulan April 1950, pasangan muda dari Inggris, Saudara dan Saudari Kilminster, tiba di Kampala untuk tinggal di sana. Mereka memberitakan kabar baik dengan antusias dan senang sekali ketika dua keluarga, yang satu keluarga Yunani dan yang lain keluarga Italia, menyambut berita Kerajaan.
Kemudian, pada bulan Desember 1952, Saudara Knorr dan Saudara Henschel dari kantor pusat Saksi-Saksi Yehuwa di New York, berkunjung ke Nairobi, Kenya. Saudara Kilminster tidak mau kehilangan kesempatan untuk bertemu mereka, maka jauh-jauh dari Kampala, ia pergi ke Nairobi. Saudara Knorr dan Saudara Henschel membesarkan hati kelompok kecil di Nairobi dan mengatur agar sebuah sidang diorganisasi di Kampala. Sidang yang baru terbentuk itu segera membuahkan hasil-hasil baik, dan puncak sebanyak sepuluh penyiar ikut serta dalam pelayanan selama tahun dinas 1954.
Pada tahun yang sama, Eric Cooke, dari kantor cabang Rhodesia Selatan (kini Zimbabwe), mengunjungi Afrika Timur dan tinggal sebentar bersama sidang baru di Kampala itu. Meskipun saudara-saudari menikmati pelajaran Menara Pengawal mingguan di sidang, mereka belum begitu aktif dalam pelayanan Kristen. Maka, Saudara Cooke menganjurkan Saudara Kilminster untuk mengadakan semua perhimpunan sidang, termasuk Perhimpunan Dinas mingguan. Untuk lebih meluaskan pekerjaan pengabaran, Saudara Cooke menandaskan pelayanan dari rumah ke rumah dan dengan pengasih melatih beberapa penyiar secara pribadi.
Hingga saat itu, pengabaran banyak dilakukan di kalangan orang Eropa yang tinggal di Uganda. Tetapi, Saudara Cooke mengamati bahwa sebagian besar penduduk asli Uganda di Kampala bisa berbahasa Luganda. Untuk menyentuh hati penduduk setempat, ia menyarankan agar saudara-saudara menerjemahkan sebuah publikasi ke bahasa Luganda. Pada tahun 1958, para penyiar mulai menggunakan buku kecil ”Kabar Kesukaan dari Kerajaan” yang baru diterjemahkan. Hal itu terbukti memacu semangat! Pekerjaan mengalami kemajuan, dan pada tahun 1961, puncak baru sebanyak 19 pemberita Kerajaan ikut dalam pelayanan.
Ketika sedang bekerja sekuler, Saudara Kilminster bertemu dengan George Kadu, seorang pria Uganda yang antusias, berusia awal 40-an dan dapat berbahasa Inggris dengan baik selain bahasa ibunya, Luganda. Minat George akan kebenaran Alkitab timbul ketika mengetahui bahwa nama Allah adalah Yehuwa, dan ia mulai belajar Alkitab. Tidak lama kemudian, ia menemani Saudara Kilminster mengabar dari rumah ke rumah sebagai juru bahasa. Kemudian, pada tahun 1956, sewaktu pembaptisan pertama di Uganda diadakan di Danau Victoria dekat Entebbe, George melambangkan pembaktiannya kepada Yehuwa.
Sungguh menyedihkan, tidak lama setelah itu, pekerjaan Kerajaan mengalami kemunduran. Beberapa saudara asing pulang ke negeri asal mereka sewaktu kontrak kerja berakhir. Ada beberapa saudara yang dipecat, dan ada juga yang tersontoh karena tingkah laku beberapa orang di sidang yang tidak sesuai dengan Alkitab. Tetapi, Saudara Kadu mengasihi Yehuwa dan yakin telah menemukan kebenaran. Ia tetap loyal ’pada masa yang menyenangkan maupun pada masa yang susah’ dan dengan setia melayani sebagai penatua sampai ia meninggal pada tahun 1998.—2 Tim. 4:2.
MELAYANI DI TEMPAT YANG LEBIH MEMBUTUHKAN
Ladang di Afrika Timur amat luas, dan sangat membutuhkan pemberita Kerajaan. Ada juga tantangan lain. Pemerintah kolonial tidak mengizinkan utusan injil masuk ke wilayah itu. Apa yang bisa dilakukan?
Pada tahun 1957, di seluruh dunia diserukan imbauan bagi para penyiar untuk melayani di tempat yang lebih membutuhkan. Saudara-saudara yang matang secara rohani dianjurkan untuk pindah ke tempat yang lebih membutuhkan penyiar Kerajaan. Undangan itu mirip dengan yang rasul Paulus peroleh dalam penglihatan tentang seorang pria yang memohon kepadanya, ”Melangkahlah ke Makedonia dan tolonglah kami.” (Kis. 16:9, 10) Apa pengaruh undangan zaman modern ini atas kemajuan pemberitaan-Kerajaan di Uganda?
Frank dan Mary Smith menyambut seruan itu dengan semangat seperti Yesaya dan segera bersiap-siap untuk pindah ke Afrika Timur.a (Yes. 6:8) Pada bulan Juli 1959, mereka berlayar dari New York ke Mombasa melalui Cape Town. Lalu, mereka naik kereta api ke Kampala, dan di sana Frank mendapatkan kontrak kerja sebagai ahli kimia untuk pemerintah di Departemen Survei Geologis. Suami istri Smith tinggal sekitar 35 kilometer di sebelah selatan Kampala di Entebbe, kota indah di pesisir Danau Victoria yang belum tersentuh pekerjaan pemberitaan Kerajaan. Mereka berhimpun secara teratur bersama sidang yang kecil tetapi berkembang di Kampala.
Tidak lama kemudian, suami istri Smith memperkenalkan kebenaran kepada Peter Gyabi, yang memiliki kedudukan yang bertanggung jawab dalam dinas sipil Uganda, dan kepada istrinya, Esther. Sebelumnya, Peter pernah menerima buku What Has Religion Done for Mankind? (Apa yang Telah Dilakukan Agama bagi Umat Manusia?)b tetapi tidak menaruh perhatian pada buku itu karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan sering dipindah-pindah. Kemudian, Peter dikirim untuk menjadi penengah dalam suatu sengketa tanah yang rumit dan menegangkan antara dua suku. Ia berdoa, ”Ya, Allah, jika Engkau membantu aku, aku akan mencari Engkau.” Sewaktu situasi itu bisa diselesaikan dengan damai, ia ingat akan doanya dan mulai membaca buku itu. Ia sadar bahwa apa yang ia baca itu kebenaran dan mulai mencari para Saksi. Alangkah senangnya ia ketika bertemu dengan Frank Smith, yang setuju untuk memberikan pelajaran Alkitab secara rutin kepada dia dan istrinya! Hasilnya, suami istri yang menyenangkan ini dibaptis, dan mereka terus aktif sebagai pemberita Kerajaan setelah melayani dengan setia selama lebih dari empat puluh tahun.
Beberapa saudara asing juga menyambut seruan untuk melayani di tempat yang lebih membutuhkan. Ada yang mendapatkan kontrak kerja di tempat yang jauh dari kelompok kecil penyiar di Sidang Kampala. Sepasang suami istri tinggal di Mbarara, kota kecil di daerah perbukitan di bagian barat daya Uganda, sekitar 300 kilometer dari Kampala. Mereka menyelenggarakan Pelajaran Menara Pengawal dan PBS di rumah mereka. Tetapi, kadang-kadang mereka mengadakan perjalanan jauh ke Kampala atau Entebbe untuk menikmati pergaulan Kristen yang hangat. Mereka juga terus berhubungan dengan kantor cabang di Luanshya, Rhodesia Utara (kini Zambia), yang mengawasi pekerjaan pemberitaan-Kerajaan di Afrika Timur kala itu. Harry Arnott, yang mengawasi cabang pada saat itu, melayani sebagai pengawas zona dan mengunjungi Kampala untuk membesarkan hati segelintir penyiar di Uganda. Mereka sangat menghargai perhatiannya yang pengasih.
Sepasang suami istri lain yang ingin sekali melayani di tempat yang lebih membutuhkan pemberita Kerajaan adalah Tom dan Ann Cooke asal Inggris. Tom melamar pekerjaan di sejumlah negara dan mendapatkan posisi sebagai petugas pendidikan di Departemen Pendidikan di Uganda. Mula-mula, karena pekerjaannya, Tom, Ann, dan Sarah, putri mereka yang berusia empat tahun, tinggal di kota kecil Iganga, sekitar 130 kilometer di sebelah timur Kampala. Setelah kelahiran Rachel, putri mereka yang kedua, Tom beserta keluarganya pindah ke kota Jinja, di daerah yang disebut-sebut sebagai sumber air Sungai Nil. Belakangan, mereka pindah ke Kampala.
PENGORBANAN DAN BERKAT
Semua keluarga ini memberikan sumbangsih yang sangat bagus bagi pekerjaan pemberitaan-Kerajaan di Uganda! Memang, mereka meninggalkan gaya hidup dan kenyamanan yang biasa mereka nikmati. Namun, sebagai gantinya, mereka mendapatkan sukacita melihat orang-orang yang rendah hati mengubah cara hidupnya dan menyambut kabar baik Kerajaan. Mereka juga menikmati eratnya ikatan kasih Kristen yang terjalin di antara keluarga-keluarga mereka dan keluarga-keluarga setempat seraya mereka berkumpul untuk beribadat dan bergaul dengan gembira.
”Kami terkesan oleh penduduknya yang sopan dan hangat terhadap kami dalam pelayanan dan kewibawaan mereka yang tidak dibuat-buat,” kenang Tom Cooke. ”Sungguh suatu hak yang sangat istimewa bisa memiliki peran kecil dalam melihat pertumbuhan sidang.”
Sewaktu ditanya bagaimana perasaannya mengenai kepindahannya, Tom menjawab, ”Inilah lingkungan terbaik untuk melayani Yehuwa bersama anak-anak yang masih kecil. Ada teladan bagus saudara-saudari dari banyak negeri, pergaulan dengan saudara-saudari lokal yang loyal dan pengasih, hak istimewa dinas yang sangat produktif, terbebas dari pengaruh televisi, dan dapat melihat alam pedesaan Afrika yang mengagumkan. Itu baru sedikit contoh berkat yang kami nikmati.”
Yang juga membuktikan bahwa saudara-saudari yang melayani di tempat yang lebih membutuhkan sangat menghargai pergaulan Kristen adalah bahwa mereka mau mengadakan perjalanan jauh ke Kenya untuk menghadiri kebaktian wilayah. Jaraknya 750 kilometer sekali jalan dengan bus atau kereta api!
Untuk menghadiri kebaktian distrik, dibutuhkan upaya yang lebih besar lagi. Misalnya, pada tahun 1961, delegasi dari Uganda dan Kenya menghadiri kebaktian distrik di Kitwe, Rhodesia Utara (Zambia). ”Kami harus mengadakan perjalanan selama empat hari sejauh lebih dari 1.600 kilometer melalui beberapa jalan yang paling buruk—kebanyakan tidak beraspal—di Tanganyika (Tanzania),” kenang seorang anggota delegasi, ”kemudian empat hari lagi melalui sabana Afrika yang berdebu dan panas terik untuk pulang ke Uganda. Benar-benar petualangan yang seru, dan sungguh besar berkat yang kami terima bisa bergaul gembira dengan begitu banyak saudara-saudari.” Dibutuhkan perjuangan besar, namun perjalanan itu benar-benar menyegarkan secara rohani!
UTUSAN INJIL MELAKUKAN PEKERJAAN PENTING
Pada tahun 1962, Uganda merdeka dari Inggris. Pada tahun berikutnya, Saudara Henschel berkunjung ke Nairobi, Kenya, dan membahas kemungkinan untuk mengirim utusan injil ke Uganda. Siapa yang akan ditugaskan ke sini?
Tom dan Bethel McLain, dari kelas ke-37 Gilead, belum lama tiba untuk melayani di Nairobi. Mereka kaget sekali ketika selanjutnya mendapat tugas ke Kampala! Tetapi, mereka rela menerima perubahan itu dan menjadi utusan injil lulusan Gilead pertama di Uganda. ”Awalnya, kami merindukan Kenya,” kata Tom, ”tapi tak lama kemudian kami sangat menikmati Uganda—orang-orangnya ramah dan antusias menanggapi pekerjaan kesaksian.”
Tom dan Bethel sempat belajar bahasa Swahili di Kenya, tetapi kini mereka harus belajar bahasa baru—Luganda. Modal mereka hanya tekad yang kuat, kebergantungan kepada Yehuwa, dan bantuan buku pelajaran bahasa. Selama bulan pertama di Uganda, mereka mengkhususkan 250 jam untuk belajar bahasa baru, dan selama bulan kedua, 150 jam. Itu belum termasuk 100 jam yang mereka gunakan dalam dinas lapangan. Lambat laun mereka pun menguasai bahasa baru mereka dan menikmati hasil baik dalam pelayanan.
Pada bulan Januari 1964, Tom dan Bethel mendapat teman, yakni Gilbert dan Joan Walters dari kelas ke-38 Gilead. Dua pasangan lain dari kelas ke-38, yaitu Stephen dan Barbara Hardy serta Ron dan Jenny Bicknell, ditugasi ke negeri tetangga Burundi, tetapi karena problem visa, mereka pun ditugasi ke Uganda. Dalam waktu singkat, rumah utusan injil di Kampala menjadi terlalu sempit.
Sidang di Kampala tidak terlupakan. Ada Saudara Kadu dan keluarganya; John dan Eunice Bwali, pasangan perintis istimewa dari Rhodesia Utara, beserta anak-anak mereka; dan Margaret Nyende beserta anak-anaknya. Perhimpunan diadakan di tempat yang bisa dikatakan terbuka. ”Meski jumlah kami sedikit, orang yang lewat bisa melihat dan mendengar kami,” kenang Gilbert Walters. ”Keluarga Bwali dengan bersemangat mulai menyanyikan lagu-lagu Kerajaan dengan nada tinggi tanpa iringan musik, di hadapan umum. Kami jadi teranjurkan untuk meneruskan dinas kami.”
Tidak lama kemudian, Gilbert dan Joan Walters ditugasi untuk membuka rumah utusan injil di Jinja, di mana belum ada pengabaran yang terorganisasi. Belakangan, dua rumah utusan injil lagi dibuka—satu di Mbale, dekat perbatasan Kenya, dan satu lagi di Mbarara. Utusan injil di sana bekerja sama dengan beberapa perintis istimewa dari negeri-negeri lain. Jelaslah, ladang sudah ”putih dan siap untuk dipanen”. (Yoh. 4:35) Tetapi, apa yang dapat dilakukan untuk mempercepat pengumpulan?
PENGORGANISASIAN YANG LEBIH BAIK
Para pelayan sepenuh waktu di Uganda berupaya mengerjakan daerah mereka yang luas secermat mungkin. Sepanjang minggu, mereka mengabar di kawasan perumahan, yang jalan serta daerahnya memiliki nama dan nomor. Namun, bagaimana mereka bisa dengan saksama mengerjakan daerah yang jalannya tidak bernama dan rumahnya tidak bernomor?
”Kami membagi daerah berdasarkan bukit,” jelas Tom McLain. ”Dua orang mengerjakan sisi bukit yang satu, sedangkan dua orang lain mengitari sisi yang lain. Kami mengikuti jalan-jalan setapak di bukit itu, ke atas dan ke bawah hingga kami berempat bertemu kembali.”
Saudara-saudari asing itu segera mendapat manfaat dari Saksi setempat yang semakin banyak, yang mengenal daerah dan memahami kebudayaan Uganda. Sebaliknya, para penyiar setempat memperoleh pengalaman berharga dari saudara-saudari asing. Di Jinja, misalnya, saudara-saudari Uganda sudah menyertai utusan injil dalam dinas lapangan. Pada hari Minggu, mereka pertama-tama mengabar dari rumah ke rumah dari pukul 08.00 hingga 10.00 pagi. Kemudian, selama sejam mereka mengadakan kunjungan kembali lalu mengadakan PAR sampai siang. Dengan cara ini, semua anggota sidang mendapat manfaat dari pertukaran keterampilan dan anjuran.
Jinja, yang kala itu adalah kota terbesar kedua di negeri itu, memiliki kemewahan berupa pusat pembangkit listrik tenaga air dan, karena itu, menjadi lokasi yang menarik untuk pengembangan industri. Para utusan injil sangat berhasil dalam memberikan kesaksian di pangkalan taksi dan bus yang ramai. Penumpang dari pelosok yang jauh senang menerima lektur Alkitab untuk dibaca selama perjalanan. Dengan demikian, benih Kerajaan tersebar ke daerah-daerah pedesaan yang jauh.
Saudara-saudara juga menggunakan siaran radio untuk menyampaikan kabar baik ke sebanyak mungkin orang. Mereka mendapatkan jatah waktu yang teratur setiap minggu di radio nasional untuk siaran yang dinamai ”Hal-Hal yang Dipikirkan Orang-Orang”. Saudara-saudara menyajikan pokok-pokok yang menggugah seperti ”Mengatasi Krisis dalam Kehidupan Keluarga” dan ”Cara Melindungi Diri dari Kejahatan dan Kekerasan” berupa dialog antara ”Pak Robbins” dan ”Pak Lee”. Seorang saudara mengenang, ”Siaran itu sangat unik; kita bisa mendengarkan percakapan antara suara berlogat Amerika dan suara berlogat Skotlandia di sebuah stasiun radio Afrika. Kami sering mendengar komentar tentang acara ini dalam dinas lapangan, yang memperlihatkan bahwa siaran itu ada gunanya.”
BANTUAN BAGI PEMBERITA YANG BARU
Kelompok di Jinja pada waktu itu mengadakan perhimpunan di sebuah bangunan serbaguna di kawasan perumahan utama, Walukuba. ”Banyak saudara masih baru,” kata Tom Cooke, ”dan tidak punya banyak publikasi yang bisa digunakan untuk mempersiapkan tugas mereka di perhimpunan.” Apa yang dapat dilakukan?
”Para utusan injil membuat perpustakaan di rumah seorang saudara yang tinggal di tengah-tengah perumahan itu,” kata Tom. ”Setiap Senin malam, mereka yang mendapat tugas bisa pergi ke sana untuk menggunakan perpustakaan itu dan dibantu mempersiapkan tugas khotbah mereka.” Sekarang, ada beberapa sidang di sekitar Jinja yang masih menikmati keberhasilan dalam menangkap ikan rohani di sumber utama Sungai Nil itu.
PENGAWAS KELILING MEMBANTU PERTUMBUHAN ROHANI
Pada bulan September 1963, pekerjaan pengabaran di Uganda mulai diawasi oleh kantor cabang Kenya yang baru dibentuk, dan William serta Muriel Nisbet ditugasi untuk mengunjungi Uganda sebagai bagian dari wilayah mereka yang berpusat di Nairobi. Yang sangat menarik, William mengikuti jejak kakak-kakaknya yang sudah lebih dahulu membuka jalan, yakni Robert dan George, yang mengabar di Uganda sekitar 30 tahun sebelumnya. Para penyiar kini mendapat manfaat kerja keras dari ”sif kedua” keluarga Nisbet.
Peminat bertambah, lebih banyak kelompok dibentuk, dan para penyiar tersebar di daerah yang luas. Maka, kunjungan yang teratur dari pengawas keliling sangat penting untuk memberikan pelatihan, anjuran, dan penghiburan bagi saudara-saudari yang terpencil itu bahwa ”mata Yehuwa tertuju kepada orang-orang yang adil-benar”.—1 Ptr. 3:12.
Pada tahun 1965, Stephen dan Barbara Hardy mengunjungi sidang-sidang dalam wilayah yang meliputi Uganda hingga Seychelles, yakni sekumpulan pulau sejauh 2.600 kilometer di Samudra Hindia. Suatu kali, mereka mengadakan ”ekspedisi penjelajahan” Uganda untuk menentukan di mana para perintis menikmati hasil yang terbaik. Dengan menggunakan VW Kombi yang dipinjamkan kepada mereka oleh cabang Kenya untuk transportasi dan akomodasi, mereka menjelajahi hampir seluruh Uganda hanya dalam waktu enam minggu, mengunjungi kota Masaka, Mbarara, Kabale, Masindi, Hoima, Fort Portal, Arua, Gulu, Lira, dan Soroti.
”Perjalanannya sangat seru,” kenang Saudara Hardy, ”dan pengabarannya sangat menyenangkan. Setiap orang, termasuk kalangan berwenang setempat, suka membantu dan ramah. Sewaktu kami datang ke sebuah rumah untuk berbicara kepada penghuninya, kunjungan sering berkembang menjadi ’khotbah umum’ karena para tetangga dan orang yang lewat ikut nimbrung untuk mendengarkan apa yang kami sampaikan. Bahkan sewaktu kami berhenti di tempat yang kami pikir sepi, orang-orang segera mendekat sambil tersenyum, karena merasa bahwa kami adalah tamu mereka. Persediaan lektur cepat ludes. Kami menempatkan sekitar 500 buku dan mendapat banyak pelanggan majalah Menara Pengawal dan Sedarlah!”
Sikap bersahabat, rasa ingin tahu, dan kecenderungan rohani penduduk Uganda tampaknya menunjukkan adanya potensi besar untuk pertumbuhan rohani. Dan, yang paling penting, suami istri Hardy sangat gembira karena merasakan berkat Yehuwa atas pengabaran di ladang yang subur ini.
YEHUWA YANG MENUMBUHKAN
Pada tanggal 12 Agustus 1965, ada peristiwa yang menjadi tonggak sejarah umat Yehuwa di Uganda, yaitu ketika International Bible Students Association didaftarkan, sehingga pekerjaan membuat murid diakui secara hukum. Orang-orang Uganda yang berhati jujur—seperti George Mayende, Peter dan Esther Gyabi, serta Ida Ssali—adalah Saksi-Saksi loyal yang membentuk inti kecil namun kuat selama tahun 1960-an. Pada tahun 1969, Uganda melaporkan adanya 75 penyiar yang tersebar di antara penduduk yang berjumlah kira-kira delapan juta; rasionya lebih dari seratus ribu orang untuk setiap Saksi. Pada tahun 1970, jumlah pemberita Kerajaan meningkat menjadi 97, lalu 128 pada tahun 1971. Pada tahun 1972, ada 162 Saksi Yehuwa yang aktif di Uganda.
Meskipun pertumbuhan ini membesarkan hati, saudara-saudari tahu bahwa kekuatan mereka bukanlah pada jumlah mereka yang bertambah, melainkan pada ”Allah yang menumbuhkannya”. (1 Kor. 3:7) Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa pada tahun 1970-an akan datang perubahan drastis pada kehidupan mereka dan ujian iman yang hebat. Kudeta militer oleh Jenderal Idi Amin pada tahun 1971 disusul oleh pemerintahan diktatorial yang menyebabkan kekalutan bagi jutaan orang dan kematian bagi ribuan orang. Terjadi semakin banyak pertikaian antara pemerintah dan faksi-faksi yang menentang sistem politik yang baru itu. Dari waktu ke waktu, perbatasan ke negara tetangga ditutup. Jam malam diberlakukan. Makin banyak orang hilang. Dan, yang lain diawasi dengan ketat. Bagaimana saudara-saudari yang cinta damai di Uganda menanggapi pergolakan, intimidasi, dan kekerasan ini?
”PEMERINTAHAN ILAHI” ATAU PEMERINTAHAN MANUSIA?
Persis pada waktu itu, Kebaktian Distrik ”Pemerintahan Ilahi” tahun 1972 sedang direncanakan untuk diadakan di Kampala, yang pertama di Uganda. Delegasi akan datang dari Kenya, Tanzania, bahkan dari Etiopia yang jauh. Bagaimana mereka bisa menghadapi situasi yang semakin tegang, bentrokan politik dan suku yang kian menjadi-jadi, dan penyeberangan perbatasan yang makin sulit? Apakah kebaktian sebaiknya dibatalkan? Saudara-saudara mendoakan kebaktian ini dengan khusyuk, memohon bimbingan Yehuwa untuk pengaturan kebaktian dan untuk para delegasi yang akan datang.
Belakangan, situasi tampak makin membahayakan saat delegasi yang tiba di perbatasan melihat banyak orang melarikan diri keluar dari negara itu! Kebanyakan pergi karena pemerintah mengusir semua warga negara asing asal Asia—khususnya orang India dan Pakistan. Banyak orang, misalnya guru-guru asing, juga pergi karena takut bahwa dekret itu akan mengancam kelompok-kelompok etnik lainnya. Meskipun demikian, hadirin kebaktian terus berdatangan. Apa yang mereka rasakan di kota yang sedang memanas karena ketegangan politik itu?
Sungguh tak terduga, ternyata Kampala sangat tenang; saudara-saudari dan para peminat dengan ceria menunggu di lokasi kebaktian untuk menyambut tamu-tamu mereka. Mereka juga heran karena kalangan berwenang memberikan izin untuk menggantungkan spanduk yang sangat besar di jalan yang paling ramai di Kampala, yang mengumumkan tanggal dan lokasi kebaktian. Pada spanduk itu terpampang judul khotbah umum dengan huruf-huruf tebal: ”Pemerintahan Ilahi—Satu-satunya Harapan Seluruh Umat Manusia”! Dan, ini semua justru di tengah-tengah kericuhan yang sangat hebat itu.
Acaranya sukses tanpa gangguan, dengan puncak hadirin 937 orang—suatu tonggak penting dalam sejarah ibadat murni di Uganda. Setelah itu, meskipun para delegasi asing yang akan kembali mendapat hambatan di perbatasan, semangat mereka tidak terpadamkan, dan semua bisa pulang dengan selamat. Di tengah-tengah situasi politik yang kian tidak menentu, umat Yehuwa telah dengan berani mengumumkan kesetiaan mereka kepada sang Penguasa Tertinggi. Dan, pada masa yang kritis itu, Allah telah membuat umat-Nya ”berani dengan memberikan kekuatan”.—Mz. 138:3.
Di antara hadirin asal Uganda ada George dan Gertrude Ochola. ”Inilah kebaktian pertama saya,” kenang Gertrude, ”dan di sini juga saya dibaptis!” Namun, George belum menjadi Saksi. Ia penggemar berat sepak bola dan lebih tertarik pada stadion itu sebagai gelanggang olahraga. Meskipun demikian, tingkah laku istrinya yang baik dan pelajaran Alkitab yang ia ikuti akhirnya menggerakkan dia untuk melambangkan pembaktiannya dengan baptisan air pada tahun 1975 di Kenya.
Gertrude mengingat bahwa dirinya termasuk di antara orang-orang pertama dari bagian utara Uganda yang belajar kebenaran. ”Pada tahun 1972, sewaktu saya dibaptis,” kenangnya, ”saya pikir daerah saya sangat terpencil. Sekarang, di sini sudah ada Balai Kerajaan, juga rumah utusan injil dan kantor penerjemahan. Ini membuat saya lebih gembira lagi dibandingkan ketika saya dibaptis!”
”MASA YANG SUSAH”
Tanpa ada peringatan, pada tanggal 8 Juni 1973, terdengar pengumuman di radio dan televisi yang menyatakan bahwa 12 kelompok agama, termasuk Saksi-Saksi Yehuwa, dilarang. Pemerintahan yang baru telah menciptakan suasana yang penuh ketakutan dan kecurigaan, dengan memberikan gambaran yang salah bahwa orang asing adalah mata-mata. Para utusan injil pun semakin sulit melakukan pelayanan umum. Saksi-Saksi Yehuwa di Uganda telah memasuki ”masa yang susah”. (2 Tim. 4:2) Apa yang akan terjadi atas mereka?
Dua pasangan utusan injil sudah pergi pada tahun itu karena permohonan mereka untuk memperpanjang izin tinggal ditolak. Pada pertengahan bulan Juli, 12 utusan injil yang masih ada semuanya diusir. Saudara-saudara asing yang datang untuk melayani di tempat yang lebih membutuhkan bisa tinggal sedikit lebih lama karena pekerjaan sekuler mereka, tetapi kemerdekaan mereka tidak berumur panjang. Pada tahun berikutnya, mereka semua terpaksa meninggalkan negeri ini.
’KOKOH DAN TIDAK TERGOYAHKAN’
Dapat dimengerti bahwa para penyiar setempat yang tersisa sangat sedih atas kepergian saudara-saudari asing yang mereka kasihi. Tetapi, dengan kekuatan Yehuwa, mereka terbukti ’kokoh dan tidak tergoyahkan’. (1 Kor. 15:58) Sikap loyal mereka diwakili oleh jawaban tanpa keraguan dari seorang saudara lansia, Ernest Wamala, sewaktu diberi tahu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa telah dilarang. Ia mengatakan, ”Mana bisa mereka melarang apa yang ada dalam hati saya?”
Setelah kepergian semua penatua asing, bagaimana jadinya dengan para penatua lokal, seperti George Kadu dan Peter Gyabi? Kerohanian yang kuat dan pemahaman akan kebudayaan setempat terbukti menjadi berkat. ”Orang yang masuk kebenaran dan melayani Yehuwa di Uganda,” jelas Saudara Gyabi, ”perlu banyak disiplin diri untuk meninggalkan berbagai kebiasaan yang bertentangan dengan standar Yehuwa. Disiplin diri khususnya penting bagi saudara-saudara yang bertanggung jawab, sebab hanya petunjuk tertulis dari organisasi Yehuwa yang harus mereka andalkan.” Para penatua lokal melakukan pelajaran pribadi dengan cermat, dan hal itu membantu mereka tidak disimpangkan oleh hikmat manusia yang salah. Hasilnya, masa penuh cobaan ini ternyata menjadi masa kemajuan rohani bagi umat Yehuwa, dan bukan masa kemunduran.
Di pihak lain, masyarakat pada umumnya merasa semakin tidak aman. Banyak orang diganggu, dan beberapa hidup penuh ketakutan akan militer. Korupsi merajalela, yang mengakibatkan runtuhnya perekonomian. Negeri yang indah ini mengalami luka yang menyakitkan. Apakah hamba-hamba Yehuwa yang setia di Uganda akan terus mempunyai alasan untuk bersukacita selama masa penuh cobaan ini?
PERTEMUAN YANG MENYUKACITAKAN
Pemerintah melakukan apa saja untuk mencegah semua pertemuan politik yang tampaknya mengancam rezim mereka. Meskipun Saksi-Saksi Yehuwa mempertahankan kenetralan yang teguh, mereka juga merespek perintah Alkitab untuk tidak mengabaikan pertemuan guna saling menganjurkan. (Ibr. 10:24, 25) Dibutuhkan banyak keberanian dan kecerdikan untuk tetap berhimpun di bawah pantauan kalangan berwenang yang penuh kecurigaan. Bagaimana hamba-hamba Allah bisa mengatur agar perhimpunan mereka, yang tidak membahayakan, tidak sampai menarik perhatian?
Pertama-tama, mereka mereorganisasi sebagian besar perhimpunan ke dalam kelompok yang lebih kecil di rumah-rumah pribadi. Sewaktu berhimpun dalam kelompok yang lebih besar, mereka melakukannya dengan berpura-pura mengadakan piknik. Misalnya, sebulan sekali seluruh sidang berkumpul untuk menikmati khotbah dan Pelajaran Menara Pengawal. Saudara-saudari akan berpiknik di sebuah taman umum atau di taman seseorang. Taktik ini sangat berhasil di masyarakat Uganda yang memang suka berteman, yang tidak merasa aneh jika sekelompok sahabat atau kerabat mengadakan acara kumpul-kumpul. Selain membawa Alkitab dan buku-buku pelajaran dengan bijaksana, saudara-saudari sudah ahli dalam membawa segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk piknik dan acara masak besar-besaran! Perhimpunan seperti itu membuat mereka teringat akan betapa senangnya bangsa Israel kuno selama perayaan keagamaan mereka.—Ul. 16:15.
Selama masa pelarangan, kebaktian wilayah yang dipersingkat diadakan dengan cara yang sama. Meskipun pemerintah berupaya menghalangi mereka, saudara-saudara tidak pernah berhenti berhimpun atau memberitakan kabar baik. Beberapa saudara bahkan bisa menghadiri kebaktian di Nairobi dan menceritakan pengalaman mereka yang menghangatkan hati saat kembali.
’BERHATI-HATI SEPERTI ULAR NAMUN POLOS SEPERTI MERPATI’
Saudara-saudara yang bertanggung jawab memiliki alasan untuk yakin bahwa jika mereka ’berhati-hati seperti ular namun polos seperti merpati’, pelarangan tidak akan diperketat dan kegiatan teokratis bisa berlanjut. (Mat. 10:16) Maka, dengan kewaspadaan yang sepatutnya, para perintis istimewa terus melayani, dan para penyiar tetap melakukan pelayanan dari rumah ke rumah.
Tentu, beberapa orang tidak senang melihat Saksi-Saksi Yehuwa datang ke rumah mereka. Suatu hari pada pertengahan 1970-an, Peter Gyabi berdinas dengan remaja bernama Fred Nyende. Fred masih kecil ketika ibunya belajar kebenaran pada tahun 1962. Kini Fred sudah besar, dan kematangannya bakal diuji.
Seorang penghuni rumah yang marah—rupanya petugas keamanan yang berpakaian sipil—mengenali mereka sebagai Saksi-Saksi Yehuwa. Ia menahan dan menggelandang mereka ke kendaraannya. Dapat dimengerti bahwa mereka merasa cemas karena ribuan orang yang diciduk seperti itu biasanya hilang begitu saja. Penyiksaan juga lazim, dengan atau tanpa alasan. Dalam perjalanan ke kantor keamanan, Peter dan Fred punya waktu untuk berdoa kepada Yehuwa memohon kekuatan agar tetap tenang dan setia. Pria itu membawa mereka ke pengawasnya, sambil menuduh dan membombardir mereka dengan banyak pertanyaan. Akan tetapi, Peter dan Fred merasakan sendiri benarnya kata-kata di Amsal 25:15, ”Dengan kesabaran, seorang komandan dibujuk, dan lidah yang lemah lembut dapat mematahkan tulang.” Untunglah, tidak ada tulang harfiah yang patah siang itu. Karena ketenangan Peter ketika menjelaskan bahwa kita taat hukum dan berpaut pada ajaran Alkitab, juga karena sikap serta jawaban yang penuh respek dari kedua saudara itu, sirnalah prasangka sang pengawas. Apa hasilnya?
Sang pengawas tidak saja membebaskan Peter dan Fred tetapi juga menyuruh orang yang menangkap mereka untuk mengantar mereka ke tempat semula! Sang ”pengawal” yang telah dibuat malu itu dengan berat hati mematuhinya, dan saudara-saudara bersyukur kepada Yehuwa atas keluputan mereka.
Pertemuan lain dengan polisi tidaklah setegang itu. Misalnya, Emmanuel Kyamiza dan istrinya dengan diam-diam mengadakan perhimpunan di rumah mereka di Entebbe untuk keluarga mereka dan sekelompok kecil peminat. Agar kegiatan mereka tidak terpola, Emmanuel mengganti-ganti tempat ia mengadakan pelajaran Alkitab. Setelah beberapa waktu, Emmanuel pikir taktiknya menghindari polisi sudah berjalan baik. Pada suatu hari, setelah Emmanuel mengakhiri suatu pelajaran Alkitab di Kebun Raya Entebbe, seorang polisi mendekati dia seraya ia cepat-cepat berupaya menyembunyikan bahan-bahan pelajaran. ”Kenapa kamu menyembunyikan buku-bukumu?” tanya si petugas. ”Kami tahu apa yang kalian lakukan. Kami tahu kalian Saksi-Saksi Yehuwa. Tempat kalian berkumpul pun kami tahu. Kalau mau, sudah dari dulu kami menangkap kalian. Tapi, teruskan saja kegiatan kalian.” Dan, itulah yang Emmanuel lakukan—dengan sangat setia!
Belakangan, sewaktu Emmanuel pensiun dari pekerjaan sekulernya dan pulang kampung, ia menghadapi banyak tentangan dan ejekan. Seperti Yesus, ia ’tidak dihormati di daerah asalnya’. (Mrk. 6:4) Meskipun demikian, hingga hampir berusia 80 tahun, Emmanuel terus ”bertumbuh subur pada saat kepala sudah beruban”, dan secara teratur ia mengayuh sepedanya sejauh 30 kilometer untuk pulang pergi ke perhimpunan. (Mz. 92:14) Sekarang, di usianya yang hampir 90 tahun, ia masih setia melayani sebagai hamba pelayanan, meskipun ia tidak lagi naik sepeda sesering yang ia mau.
PARA PERINTIS YANG GIGIH
Meskipun ketidakpastian terus berlangsung, selalu ada orang-orang yang bisa ikut dalam dinas perintis. Seorang perintis yang bersemangat pada masa itu adalah James Luwerekera, juru survei pemerintah, yang dibaptis pada tahun 1974. Tidak lama setelah dibaptis, ia bertani agar dapat memberitakan kabar baik kepada orang-orang di sekitar desa tempat tinggalnya. Istrinya juga belajar sebentar, tetapi belakangan ia menentang James dan tentangannya semakin menjadi-jadi.
Misalnya, pada suatu pagi ketika masih gelap, James dan beberapa saudara berangkat untuk menghadiri kebaktian distrik di Nairobi. Belakangan, sewaktu kendaraan mereka dihentikan di sebuah pos pemeriksaan polisi, saudara-saudara memerhatikan ada yang aneh dengan pakaian James—tidak biasa-biasanya ia mengenakan baju yang tidak serasi dan tidak pas di badan. Mulanya, ia berkelakar bahwa itu karena ia tergesa-gesa berpakaian ketika masih gelap. Tetapi, ketika teman-temannya mendesak, ia mengakui bahwa istrinya menyembunyikan baju-baju berhimpunnya agar ia tidak pergi ke kebaktian. Jadi, ia terpaksa memakai baju seadanya. Rekan-rekan seperjalanan James dengan baik hati memberinya beberapa pakaian mereka, dan ia tiba di kebaktian dengan busana yang cocok.
Kadang-kadang, tentangan dalam rumah dan lingkungan James hanya berupa ketidaknyamanan, tetapi adakalanya lebih keras. Dan, itu berlangsung selama bertahun-tahun. Meskipun begitu, James bertekun menanggung semua itu dengan lemah lembut dan ia membangun reputasi kesetiaan hingga kematiannya pada tahun 2005. Imannya masih dikagumi oleh saudara-saudari dan pastinya diingat oleh Allahnya, Yehuwa.
”SAUDARA YANG DILAHIRKAN UNTUK WAKTU KESESAKAN”
”Teman sejati penuh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara yang dilahirkan untuk waktu kesesakan.” (Ams. 17:17) Saudara-saudara di Kenya terbukti menjadi teman sejati selama waktu kesesakan dan bahaya yang dialami para Saksi di Uganda selama tahun 1970-an. Para pengawas keliling dan wakil-wakil cabang membutuhkan keberanian untuk melewati perbatasan memasuki Uganda demi mendukung dan membesarkan hati saudara-saudari yang mereka kasihi.
Kekacauan politik pecah pada tahun 1978 ketika sebuah faksi dalam angkatan bersenjata Uganda menyerbu wilayah Tanzania. Militer Tanzania membalasnya dengan menggulingkan pemerintahan Uganda pada bulan April 1979, sehingga diktator Uganda yang ditakuti, Idi Amin, terpaksa melarikan diri. Kepergian Amin yang tergesa-gesa mendatangkan banyak perubahan di Uganda. ”Dengan perginya Amin,” kata seorang saudara, ”pergi juga pelarangan.” Uganda Times mengumumkan, ”Utusan Injil Dipersilakan Kembali.” Umat Yehuwa sekali lagi menikmati kebebasan beragama!
”SEKALIPUN MEREKA MAU MEMBUNUH SAYA, SAYA TETAP PERGI”
Setelah pergantian pemerintahan tersebut, Uganda dihantui banyak kekacauan dan penjarahan meskipun mengalami pembebasan. Akibat situasi penuh anarki, pencurian dan kekerasan yang mengerikan pun merebak. Meskipun demikian, saudara-saudara di cabang Kenya segera mengatur agar Günter Reschke dan Stanley Makumba mengunjungi Uganda dan mulai menyelenggarakan kebaktian wilayah.
”Dua minggu sebelum kunjungan pascaperang itu,” kenang Günter, ”kami mengajar di sekolah perintis di Meru, dekat Gunung Kenya. Saya ingat membaca di surat kabar tentang banyaknya pembunuhan di Kampala, terutama pada malam hari. Setelah membaca sebuah berita dengan bersuara, saya berseru, ’Dan inilah tempat yang rencananya akan kami kunjungi minggu depan!’ Tetapi, kemudian saya berpikir, ’Apakah saya mau seperti Yunus dan lari dari tugas?’ Perasaan waswas saya langsung sirna dan saya berkata kepada diri sendiri, ’Sekalipun mereka mau membunuh saya, saya tetap pergi. Saya tidak akan lari seperti Yunus.’ ”
Kedua saudara itu pun pergi seperti yang direncanakan; Stanley mengunjungi sidang-sidang di pedalaman, sedangkan Günter melayani di kota-kota yang lebih besar. ”Ada banyak yang perlu diorganisasi kembali setelah perang,” lapor mereka. ”Hanya ada kira-kira 113 penyiar yang aktif di Uganda pada waktu itu. Semua bahagia karena bisa berhimpun lagi dengan bebas dan mengadakan kebaktian secara terbuka, dan senang sekali melihat ada 241 yang hadir.” Sekalipun telah terinjak-injak, benih kebenaran terbukti masih bisa menghasilkan buah.
MASA PENUH BAHAYA
Di Mbale, dekat perbatasan timur Uganda, kedua saudara yang berkunjung, Günter dan Stanley, memarkir mobil mereka di depan rumah saudara tempat mereka menginap. Pada malam itu, mereka mendengar pencuri memereteli bagian-bagian kendaraan. Günter hampir saja meneriaki para perampok tetapi ia teringat bahwa beberapa hari sebelumnya ada penjahat yang menembak dan menewaskan orang yang mencoba menghentikan aksi perampokan. Günter pun berubah pikiran dan menyimpulkan bahwa nilai mobil itu tidak dapat dibandingkan dengan nilai kehidupan, dan dia pun mengurungkan niatnya. Pagi harinya, mereka melihat bahwa ternyata yang dicuri adalah dua ban dan kaca depan. Mereka melaporkan hal itu kepada polisi, yang menyarankan, ”Bawa pergi mobil kalian sebelum pencuri kembali untuk mencopot bagian-bagian lain!”
Sesegera mungkin, kedua saudara itu berangkat ke Kampala. Tetapi, perjalanan sejauh 250 kilometer ke Kampala tidaklah menyenangkan karena untuk melindungi diri dari terpaan angin dan hujan, Günter hanya mengenakan selimut dan Stanley mengenakan topi. Mereka telah mengganti ban-ban yang dicuri itu dengan ban serep dan satu ban pinjaman yang bocor. Kekhawatiran mereka bertambah saat diberi tahu bahwa ban pinjaman itu harus dikembalikan dalam waktu dua hari! Kedua saudara itu berharap-harap cemas agar ban-ban itu tidak sampai kempis.
Perjalanan semakin menegangkan karena Günter dan Stanley harus melewati jalan di hutan yang terkenal banyak perampoknya. ”Tancap gas saja,” saran tuan rumah mereka, ”dan jangan sampai ada yang menyusul.” Saudara-saudara yang berani itu lega saat tiba dengan selamat di Kampala—dan dengan rekor tercepat. Malah, mereka punya cukup waktu untuk mencari orang yang dapat mengembalikan ban pinjaman itu ke Mbale.
TANTANGAN DAN KESEMPATAN BARU
Pada tahun 1980, sewaktu berkunjung ke kantor pusat di Brooklyn, New York, Saudara Reschke diundang untuk memberikan laporan kepada keluarga Betel tentang perkembangan di Uganda. Setelah itu, para anggota Badan Pimpinan menyatakan harapan agar utusan injil bisa dikirim lagi ke Uganda. Setiap orang setuju bahwa inilah waktu yang tepat untuk meningkatkan kegiatan utusan injil. Pertemuan yang lebih besar sudah bisa diadakan lagi, dan pada tahun 1981 jumlah penyiar di Uganda sudah naik menjadi 175. Bahkan, pada bulan Juli tahun tersebut, Uganda sangat senang bisa mencatat puncak baru sebesar 206 penyiar.
Namun sungguh menyedihkan, senjata dan amunisi bekas pertikaian selama sepuluh tahun terakhir telah jatuh ke tangan banyak orang yang tidak bermoral. Penembakan acak dan perampokan sering terjadi, yang membuat orang ketakutan. Dengan berhati-hati, pemberita kabar baik berupaya menyebarkan lektur Alkitab kita yang menghibur ke seluruh daerah, dengan rata-rata penempatan 12,5 majalah per penyiar selama bulan Juli. Akan tetapi, untuk alasan keamanan, dinas lapangan dan juga kegiatan lainnya hanya boleh dilakukan selama hari masih terang karena bahaya diserang lebih besar lagi pada malam hari. Kendati adanya bahaya-bahaya itu, potensi pertumbuhan jelas masih besar.
UTUSAN INJIL BOLEH MASUK LAGI
Lulusan Gilead Jeffrey Welch dan Ari Palviainen tiba di Kampala dari Kenya pada bulan September 1982. Sejak awal, Jeff dan Ari, panggilan bagi kedua saudara tersebut, menikmati hasil yang menyenangkan. ”Pada waktu itu, orang-orang lapar akan hal-hal rohani,” kenang Jeff, ”jadi mudah sekali menempatkan majalah karena topik-topiknya memang menarik.”
Pada bulan Desember, Jeff dan Ari mendapat rekan baru, yakni Heinz dan Marianne Wertholz dari Sekolah Ekstensi Gilead di Wiesbaden, Jerman. Semenjak awal, suami istri Wertholz sudah sangat terkesan karena jumlah saudara-saudari Uganda bisa tetap bertambah dengan pesat di kawasan-kawasan Uganda yang rusak dan berbahaya.
”Banyak layanan publik,” kenang Heinz, ”seperti persediaan air dan sarana komunikasi tidak berfungsi. Situasi politik tetap tegang. Lebih dari sekali terdengar desas-desus akan terjadi kudeta, dan ada banyak pengadang jalan yang dijaga tentara. Penembakan dan perampokan adalah hal yang biasa, terutama di malam hari. Begitu hari mulai gelap, tidak seorang pun diperbolehkan berada di jalan. Setiap orang yang tinggal di rumah berharap—dan sering kali berdoa—agar malam itu berlalu tanpa kedatangan tamu yang tak diundang.”
Sambil mencari tempat yang cocok untuk rumah utusan injil, Heinz dan Marianne diundang untuk tinggal bersama Sam Waiswa beserta keluarganya. Meskipun Sam adalah seorang pengajar profesional, kondisi ekonomi di negeri itu telah membuat sumber dayanya sangat terbatas. Karena itu, kemurahan hati keluarganya sungguh mengagumkan.
”Sulit menemukan rumah di daerah yang aman,” kata Heinz, ”jadi kami akhirnya tinggal di rumah Sam selama lima bulan. Sepanjang waktu itu kami jadi saling kenal dan akrab. Kadang-kadang, keluarga besar ini hanya makan sekali sehari, tetapi mereka selalu ceria; anak-anak pun penurut dan sopan. Karena persediaan air kota tidak berfungsi dengan baik, anak-anak harus menjunjung jeriken plastik 20 liter yang penuh air di kepala mereka. Setiap kali kami pulang dari dinas, selalu ada air bersih untuk kami. Tentu saja, kami belajar berhemat. Misalnya, kami mandi hanya dengan beberapa liter air dan menampung air bilasannya di baskom untuk mengguyur toilet.”
Pada bulan April 1983, sekitar sepuluh tahun setelah para utusan injil masa awal terpaksa meninggalkan Uganda, keempat utusan injil yang baru itu mendapatkan rumah di daerah yang cukup aman. Keadaan yang umumnya tidak aman dan kelangkaan makanan menimbulkan banyak tantangan, tetapi ketidaknyamanan tersebut menjadi tidak berarti karena kasih saudara-saudari setempat.
”Menceritakan kabar baik kepada orang-orang selalu menyenangkan,” jelas Marianne. ”Mereka religius, kebanyakan memiliki Alkitab, dan mau berdiskusi. Mereka mudah sekali didekati serta sopan. Dan, meski mengalami kesulitan ekonomi dan kesulitan lain, mereka selalu tersenyum riang.”
KAUM LANSIA INGIN BERBUAT LEBIH BANYAK
Banyak lansia, yang dihormati dalam kebudayaan Uganda, telah menyambut kabar baik dan menggunakan usia lanjut mereka untuk melayani Yehuwa. Contohnya adalah Paulo Mukasa, mantan guru, yang berusia 89 tahun sewaktu belajar kebenaran. Karena telah melewati dua perang dunia, pemerintahan kolonial, pemerintahan diktator yang kejam, dan pergolakan politik lainnya, Paulo sangat antusias untuk belajar tentang Kerajaan Allah. Ia senang sekali sewaktu mengetahui bahwa Raja Mesianik, Yesus Kristus, ’akan membebaskan orang miskin dan yang menderita dari penindasan dan tindak kekerasan’.—Mz. 72:12, 14.
Sewaktu Paulo memenuhi syarat untuk dibaptis dua tahun kemudian, saudara-saudara ragu, ’Bisakah kita membenamkan orang setua ini ke dalam air?’ Tetapi, mereka tidak perlu khawatir. Sementara ada calon baptis yang ragu-ragu masuk ke air padahal masih muda, Paulo yang berusia 91 tahun dibaptis dan keluar dari air dengan senyum lebar. Meskipun pelayanannya agak terbatas, Paulo dengan bersemangat memberitakan kabar baik Kerajaan kepada siapa pun yang mengunjungi dia, hingga kematiannya beberapa tahun kemudian.
Lovinca Nakayima adalah contoh lain yang tidak saja lanjut usia tetapi juga kurang sehat. Karena suatu penyakit, kakinya bengkak sehingga ia tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa bantuan. Namun, sewaktu sidang dianjurkan untuk merintis ekstra satu bulan selama pekan-pekan Peringatan, Lovinca ingin mencoba. Dengan membawa para peminat ke rumah Lovinca untuk belajar Alkitab, sidang membantunya untuk merintis. Para utusan injil juga mengajarnya menulis surat kepada orang di desa-desa, yang dapat ia lakukan kapan pun ia mau. Lalu, setiap hari Sabtu, seorang penatua mengajak Lovinca ke tempat umum yang ramai di Kampala, di mana ia bisa duduk dengan nyaman di tembok yang rendah dan memberikan kesaksian kepada orang yang lalu-lalang sepanjang hari. Pada akhir bulan, dengan bahagia dan puas Lovinca berkata, ”Ternyata saya bisa melakukannya—dan menikmatinya!” Ia tidak saja merintis ekstra selama satu bulan tersebut tetapi, dengan dukungan sidang yang baik hati, ia melakukannya selama 11 bulan berturut-turut!
”BAGAIMANA MENGATAKAN . . . ?”
Selama tahun 1980-an, para penyiar yang suka bekerja keras di Uganda dengan hangat menyambut utusan injil yang penuh semangat yang terus berdatangan. Beberapa dari mereka baru lulus dari Gilead, dan yang lain-lain terpaksa meninggalkan daerah tugas di Zaire (kini Republik Demokratik Kongo). Dengan pertambahan utusan injil di Kampala dan Jinja, daerah-daerah yang padat penduduk dapat dikerjakan dengan lebih saksama, dan para utusan injil sangat gembira mendapati ladang Uganda yang sudah siap dituai. Malah, tantangannya bukan sekadar menemukan orang yang berminat melainkan menindaklanjutinya.
Karena penuh semangat setelah pelatihannya di Gilead, Mats Holmkvist sudah tidak sabar untuk menguasai bahasa setempat agar dapat memupuk minat orang-orang akan kebenaran. Kala itu, Fred Nyende adalah perintis istimewa di Entebbe, dan keterampilannya menerjemah dimanfaatkan untuk mengajar para utusan injil agar lancar berbicara bahasa Luganda, yang bisa membuat lidah tersangkut-sangkut. Malah, Mats merasa tantangan mempelajari bahasa baru itu sangat berat.
”Bagaimana mengatakan ’Kerajaan Allah’ dalam bahasa Luganda?” tanya Mats dalam salah satu sesi awal pelajaran bahasanya.
”Obwakabaka bwa Katonda,” itulah jawaban yang berirama dari Fred.
’Wah, kedengarannya mustahil untuk diucapkan,’ pikir Mats, sambil menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. Namun, Mats membuat kemajuan yang luar biasa dan bisa berbahasa Luganda dengan fasih.
PEKERJAAN PENGUMPULAN MENDAPATKAN HASIL LIMPAH
Kendati adanya berbagai kesulitan di Uganda hampir sepanjang tahun 1980-an, sambutan terhadap kebenaran Alkitab sungguh luar biasa. Jumlah penyiar melonjak lebih dari 130 persen—dari 328 orang pada tahun 1986 menjadi 766 orang pada tahun 1990. Kelompok baru bermunculan di berbagai tempat. Di Kampala, jumlah sidang bertambah dua kali lipat. Sidang di Jinja bersukacita karena jumlah penyiar bertambah lebih dari tiga kali lipat, sementara kelompok di Iganga dalam waktu singkat menjadi sidang.
”Pertumbuhan begitu pesat,” kenang seorang penatua di Jinja, ”sampai-sampai kami heran dari mana datangnya semua penyiar baru ini. Untuk sementara waktu, hampir setiap hari Minggu kami harus menjadwalkan waktu untuk bertemu dengan orang-orang yang ingin menjadi penyiar belum terbaptis.”
MEMANEN LADANG YANG LEBIH BESAR
Salah satu faktor yang turut menghasilkan pertumbuhan pesat ini adalah semangat perintis yang mencolok di antara saudara-saudari. Sama seperti para penginjil abad pertama, Paulus, Silas, dan Timotius, para pelayan sepenuh waktu di Uganda ’menjadi teladan untuk ditiru’. (2 Tes. 3:9) Dengan bertambahnya kebutuhan di lapangan dan teladan-teladan bagus itu, banyak penyiar yang bersemangat termotivasi untuk meluaskan pelayanan mereka. Tua dan muda, yang masih lajang dan sudah menikah, pria dan wanita, bahkan ada yang memiliki tanggung jawab keluarga, turut memperkuat jajaran perintis yang suka bekerja keras. Rata-rata, lebih dari 25 persen penyiar pernah ikut dalam suatu bentuk dinas perintis selama akhir tahun 1980-an. Beberapa bisa bertekun dalam dinas sepenuh waktu sampai sekarang.
Para perintis dengan senang hati mendukung kampanye pengabaran khusus setiap tahun yang suka disebut kampanye Makedonia. (Kis. 16:9, 10) Kampanye itu berlanjut selama bertahun-tahun. Selama kira-kira tiga bulan, sidang-sidang mengabar di daerah yang belum atau jarang dikerjakan. Selain itu, beberapa perintis biasa dilantik menjadi perintis istimewa sementara di daerah-daerah yang lebih membutuhkan. Hasilnya sangat membesarkan hati. Banyak orang tulus menyatakan penghargaan atas kampanye ini, yang membuat mereka mengenal kebenaran, dan banyak kelompok serta sidang baru pun terbentuk.
Pada sebuah kampanye, utusan injil Peter Abramow dan Michael Reiss mengabar di kota Kabale dan bertemu dengan Margaret Tofayo, yang pernah belajar Alkitab. Dia yakin bahwa apa yang ia pelajari adalah kebenaran dan telah menceritakan kepercayaannya secara tidak resmi. Untuk sebisa mungkin membantu dia, para utusan injil memberikan kepadanya satu-satunya buku Bertukar Pikiran mengenai Ayat-Ayat Alkitab yang mereka miliki. Sewaktu saudara-saudara mengunjungi Margaret untuk terakhir kalinya sebelum mereka pergi, mereka mendapat kejutan karena Margaret secara khusus menyiapkan makanan bagi mereka. Mereka tersentuh oleh kebaikan hati serta kemurahan hatinya tetapi mereka merasa tidak enak hati karena menyadari bahwa dia telah memasak satu-satunya ayam miliknya. Mereka tahu bahwa biasanya telur-telur yang ia dapat dari ayam itu dia gunakan untuk melengkapi makanan keluarga yang hanya sedikit. ”Jangan khawatir,” katanya, ”selama kunjungan kalian, kalian telah memberi saya lebih banyak daripada makanan yang saya berikan ini.” Belakangan ia dibaptis dan bertekun sebagai penyiar yang bersemangat hingga kematiannya.
Pertumbuhan pesat terjadi juga karena saudara-saudara memanfaatkan berbagai publikasi yang bagus. ”Meskipun kami berupaya meningkatkan keterampilan sebagai guru,” ujar Mats, yang sudah disebutkan sebelumnya, ”Alkitab dan publikasi-lah yang memengaruhi orang-orang dan menggerakkan mereka untuk membuat perubahan dalam hidup mereka. Bahkan orang yang tidak lancar membaca tetapi haus akan kebenaran bisa tersentuh hatinya oleh brosur-brosur kita yang ampuh.”
MENGHADAPI BERBAGAI RINTANGAN
Tetapi, kemajuan menggembirakan selama akhir tahun 1980-an bukannya tanpa tantangan. Pada bulan Juli 1985, militer sekali lagi melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan. Keamanan memburuk seperti sebelumnya, dan perang gerilya semakin gencar. Tentara yang melarikan diri mulai mengacau, menjarah dan menembak orang secara sembarangan. Untuk sementara waktu, pertempuran berkecamuk di daerah dekat rumah utusan injil di Jinja. Pada suatu hari, rumah mereka disergap tentara, tetapi begitu mengetahui identitas para utusan injil, para pengganggu itu tidak merusak apa-apa dan hanya mengambil sedikit barang. Kemudian, pada bulan Januari 1986, rezim lain lagi berkuasa dan berupaya memulihkan stabilitas negara.
Pemerintahan yang baru segera harus melawan musuh baru yang menghancurkan—AIDS. Sewaktu pandemi ini melanda pada tahun 1980-an, Uganda adalah salah satu negeri yang terkena imbas terparah. Satu juta orang diperkirakan tewas, mungkin lebih banyak dari yang terbunuh selama 15 tahun pergolakan politik dan perang sipil. Apa pengaruh penyakit ini atas persaudaraan kita?
”Ada saudara-saudari baru yang masuk kebenaran dengan antusias dan penuh semangat,” jelas Washington Ssentongo, seorang perintis biasa, ”namun kemudian mereka jatuh sakit dan meninggal karena AIDS. Mereka terinfeksi virus HIV sebelum belajar kebenaran.” Yang lain terinfeksi oleh teman hidup yang tidak seiman.
”Kadang-kadang, dalam sebulan ada saja berita tentang pemakaman seorang yang kami kenal dan kasihi,” kata Washington, ”dan setiap orang kehilangan anggota keluarganya. Selain itu, banyak takhayul yang beredar tentang AIDS. Banyak orang mengaitkannya dengan sihir dan kutuk. Pendapat yang menyesatkan ini membuat orang ketakutan, berprasangka tanpa dasar, dan menumpulkan daya nalar.” Meskipun demikian, saudara-saudari kita dengan loyal menghibur satu sama lain dengan harapan kebangkitan dan pernyataan kasih Kristen mereka yang tulus.
Menjelang akhir tahun 1980-an, banyak orang di Uganda merasa optimis. Keamanan telah pulih, dan negara ini mengadakan perbaikan ekonomi. Infrastruktur membaik, dan program-program sosial dijalankan atau diperbarui kembali.
Akan tetapi, seraya lebih banyak orang semakin menandaskan cita-cita politik, kenetralan Saksi-Saksi Yehuwa adakalanya disalahmengerti. Sekali peristiwa, kalangan berwenang dengan semena-mena menghentikan pembangunan sebuah Balai Kerajaan. Izin untuk beberapa kebaktian ditolak, dan beberapa utusan injil harus pergi sewaktu izin tinggal mereka berakhir. Pada akhir tahun 1991, hanya tersisa dua saudara utusan injil. Apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi?
Akhirnya, beberapa saudara menghadap kalangan berwenang untuk menjelaskan kenetralan kita. Begitu kalangan berwenang memahami pendirian kita, para utusan injil diizinkan untuk kembali ke Uganda. Pekerjaan maju tanpa terhalang, dan pada tahun 1993, Uganda senang dapat melaporkan angka 1.000 penyiar. Lalu, dibutuhkan lima tahun saja untuk mencapai 2.000 pemberita Kerajaan. Saat ini, ada sekitar 40 utusan injil yang melakukan pekerjaan baik di berbagai tempat di negeri ini.
PENERJEMAHAN MEMPERCEPAT PENGUMPULAN
Bahasa Inggris digunakan di seluruh negeri. Tetapi, bahasa Luganda adalah bahasa setempat yang paling banyak digunakan, sementara lebih dari 30 bahasa digunakan oleh berbagai kelompok etnik. Maka, satu faktor kunci yang turut mempercepat pertumbuhan belakangan ini adalah kemajuan pekerjaan penerjemahan.
”Meskipun ibu saya seorang saksi yang setia,” ujar Fred Nyende, ”bagi dia, perhimpunan jauh lebih bermakna apabila saya menerjemahkan artikel pelajaran dari bahasa Inggris ke bahasa Luganda. Tanpa sadar, saya mendapat pelatihan untuk pekerjaan penerjemahan yang jauh lebih besar.” Apa yang Fred maksudkan?
Tidak lama setelah ia mulai merintis pada tahun 1984, Fred diminta untuk memberikan kursus bahasa Luganda kepada para utusan injil. Pada tahun berikutnya, ia diundang untuk menjadi anggota tim penerjemah bahasa Luganda. Pada mulanya, ia dan para penerjemah lain bekerja di rumah selama waktu luang mereka. Belakangan, tim tersebut bisa menerjemah bersama secara sepenuh waktu di sebuah ruangan kecil di samping rumah utusan injil. Sungguh menarik bahwa selama pelarangan pada pertengahan tahun 1970-an, beberapa terbitan Menara Pengawal telah diterjemahkan ke dalam bahasa Luganda dan diperbanyak dengan stensil. Namun, setelah beberapa waktu, proyek ini tidak dilanjutkan. Baru pada tahun 1987, Menara Pengawal diterbitkan lagi dalam bahasa Luganda. Sejak itu, tim penerjemah telah diperbesar, dan para penerjemah telah bekerja keras untuk menerjemahkan lebih banyak publikasi untuk sidang berbahasa Luganda yang jumlahnya terus bertambah. Kini, hampir setengah dari semua sidang di negeri ini berbahasa Luganda.
Belakangan, publikasi kita juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain. Sekarang, ada tim penerjemah sepenuh waktu yang tetap untuk bahasa Acholi, Lhukonzo, dan Runyankore. Selain itu, ada beberapa publikasi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ateso, Lugbara, Madi, dan Rutoro.
Tim bahasa Acholi bekerja dari kantor penerjemahan di kota Gulu dan tim Runyankore di kota Mbarara, di mana bahasa tersebut paling banyak digunakan. Hal ini membantu para penerjemah mengikuti perkembangan bahasa ibu mereka dan menghasilkan terjemahan yang mudah dimengerti. Pada waktu yang sama, sidang-sidang setempat bisa menikmati dukungan para penerjemah.
Tidak diragukan, pekerjaan penerjemahan menuntut banyak upaya dan sumber daya. Para penerjemah Uganda yang rajin, beserta tim-tim penerjemah lain di seluas dunia, telah mendapat manfaat dari pelatihan tingkat lanjut dalam pemahaman bahasa dan keterampilan menerjemah. Upaya dan biayanya sepadan karena dibanding sebelumnya, lebih banyak orang di Uganda, dari berbagai ”suku dan umat dan bahasa” yang mendapat manfaat karena membaca kebenaran Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. (Pny. 7:9, 10) Hasilnya, pada tahun 2003, ada lebih dari 3.000 pemberita Kerajaan di Uganda, dan hanya tiga tahun kemudian, pada tahun 2006, ada 4.005 orang.
DIBUTUHKAN—LEBIH BANYAK TEMPAT IBADAT
Pada tahun-tahun awal, saudara-saudari berhimpun di rumah pribadi, gedung pertemuan, dan ruang kelas. Bangunan pertama yang khusus digunakan untuk perhimpunan terbuat dari batu bata dan beratap ilalang di desa Namaingo dan desa Rusese. Inisiatif dan upaya saudara-saudara di kedua daerah ini jelas diberkati, dan sidang-sidang di sana menjadi semakin kuat.
Tetapi, di kota-kota, bahkan bangunan yang sederhana pun sangat mahal, dan kondisi ekonomi di Uganda membuat harapan untuk memiliki Balai Kerajaan sepertinya suram. Baru pada bulan Maret 1988, Balai Kerajaan permanen pertama ditahbiskan di Jinja. Dan, pembangunannya menuntut upaya yang sangat besar—menebangi pohon-pohon di hutan terdekat, mengangkutnya melalui jalan-jalan berlumpur, dan membangun balainya! Belakangan, saudara-saudara di Mbale, Kampala, dan Tororo juga membangun Balai Kerajaan dengan inisiatif dan keterampilan mereka.
Pembangunan Balai Kerajaan mengalami kemajuan pada tahun 1999 ketika kelompok konstruksi dibentuk dengan dukungan Kantor Rancang Bangun Regional di cabang Afrika Selatan. Cabang itu melantik sebuah kru yang terdiri dari sembilan orang, termasuk dua hamba internasional beserta istri mereka. Para anggota kru yang bersemangat itu segera menguasai pekerjaan mereka, dan mereka juga bisa melatih saudara-saudara lokal. Program pembangunan maju pesat, dan 67 balai diselesaikan, masing-masing dalam waktu rata-rata satu setengah bulan—kecepatan yang luar biasa mengingat perkakas listrik sangat sedikit, air sering sulit didapat, dan pasokan bahan bangunan tidak menentu.
Kebanyakan sidang di Uganda kini menikmati perhimpunan di Balai Kerajaan mereka sendiri dan merasakan manfaatnya memiliki balai di lingkungan mereka. Para peminat lebih tertarik untuk datang ke tempat ibadat yang patut daripada hanya ke sebuah ruang kelas, sehingga hadirin perhimpunan meningkat dan sidang mengalami pertumbuhan pesat.
MENANGANI PERLUASAN YANG PESAT
Namun, karena pertumbuhan yang luar biasa di sidang-sidang, tempat kebaktian yang terbatas jumlahnya kini semakin sulit menampung hadirin. Apa yang dapat dilakukan untuk menemukan tempat yang cocok sehingga saudara-saudari tidak perlu menempuh jarak yang jauh, khususnya dari daerah pedesaan? Jalan keluar yang menggembirakan didapat sewaktu persetujuan diberikan untuk membangun Balai Kerajaan yang bisa diperbesar. Ini adalah balai berukuran biasa dengan bagian yang bisa diperluas berupa tempat terbuka yang hanya memiliki lantai dan atap. Apabila ada kebaktian, dinding belakang Balai Kerajaan itu dibuka dan hadirin yang lebih banyak dapat ditampung di bagian yang beratap tersebut. Balai-balai seperti itu telah rampung dibangun di Kajansi, Rusese, dan Lira, dan yang keempat sedang dibangun di kota Seta.
Berkat Yehuwa atas pertumbuhan rohani di Uganda juga menuntut penyesuaian di bidang pengorganisasian. Sebelum tahun 1994, hanya ada satu wilayah untuk seluruh negeri. Belakangan, lebih banyak wilayah dibentuk untuk mengurus sidang dan kelompok yang bertambah jumlahnya, serta keragaman bahasa. Dewasa ini, dengan 111 sidang dan sekitar 50 kelompok, Uganda memiliki delapan wilayah, dan tiga di antaranya berbahasa Luganda.
Apollo Mukasa, salah seorang pengawas wilayah di Uganda, dibaptis pada tahun 1972. Pada tahun 1980 ia memasuki dinas sepenuh waktu ketimbang mengejar pendidikan sekuler yang lebih tinggi. Apakah ia menyesali keputusannya?
”Sama sekali tidak,” kata Apollo. ”Saya mendapatkan begitu banyak pengalaman yang memuaskan sebagai perintis istimewa dan pengawas keliling yang mengunjungi sidang-sidang, dan sebelumnya, kelompok-kelompok. Saya terutama menikmati pelatihan tingkat lanjut mengenai hal-hal rohani dan pengorganisasian di Sekolah Pelatihan Pelayanan.”
Selain Apollo, lebih dari 50 saudara dari Uganda telah menerima pendidikan yang berharga di Sekolah Pelatihan Pelayanan sejak tahun 1994, sewaktu kelas-kelas pada mulanya diadakan di cabang Kenya. Banyak dari saudara-saudara yang rela ini memberikan bantuan yang sangat penting sebagai perintis istimewa di sidang dan kelompok yang lebih kecil, sedangkan yang lain melayani saudara-saudari mereka sebagai pengawas keliling.
Pada tahun 1995, sebuah Panitia Negeri dibentuk di Uganda untuk melayani di bawah pengarahan cabang Kenya. Sebuah rumah utusan injil di Kampala menjadi tempat tinggal bagi keluarga yang baru terbentuk yang terdiri dari delapan sukarelawan sepenuh waktu, termasuk tim penerjemah bahasa Luganda. Pada bulan September 2003, Uganda menjadi kantor cabang.
”KITA SUDAH DI FIRDAUS”
Untuk beberapa waktu Panitia Negeri telah berupaya mengikuti perkembangan tim-tim penerjemah dan mengurus bagian-bagian lain yang makin banyak. Dua properti di dekat kantor di Kampala dibeli untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, belakangan fasilitas yang lebih besar dibutuhkan untuk mengorganisasi perluasan lebih lanjut. Pada tahun 2001, Badan Pimpinan setuju membeli sebidang tanah seluas empat hektar untuk fasilitas cabang yang baru di pinggiran kota Kampala, dekat pesisir Danau Victoria.
Pada mulanya, perusahaan yang memiliki peralatan terbaik untuk melakukan konstruksi tidak menanggapi permintaan kita karena mereka terlalu sibuk. Tetapi, tiba-tiba mereka berubah pikiran dan, yang luar biasa, mereka menawarkan biaya yang paling ekonomis untuk membangun kantor cabang yang baru. Rupanya, tanpa diduga mereka kehilangan kontrak besar, sehingga mereka setuju untuk membangun kantor cabang sesegera mungkin.
Pada bulan Januari 2006, keluarga Betel sangat senang untuk pindah ke gedung tempat tinggal yang baru dan indah, yang terdiri dari dua lantai dan 32 kamar. Di kompleks itu juga ada sebuah gedung kantor, ruang makan yang luas, dapur, dan penatu. Di properti itu juga ada sistem pembuangan limbah yang ramah lingkungan, gudang untuk departemen pengiriman dan lektur, dan bangunan-bangunan untuk bengkel pemeliharaan, penampungan air, dan generator listrik. ”Kita sudah di firdaus,” kata seorang saudara yang antusias, ”yang belum ada hanya kehidupan kekal!” Khotbah penahbisan disampaikan pada hari Sabtu, 20 Januari 2007, oleh Anthony Morris, seorang anggota Badan Pimpinan.
PENGETAHUAN YANG BENAR BERLIMPAH
Selama puluhan tahun terakhir, pada masa yang tenang maupun yang penuh pergolakan, umat Yehuwa di Uganda telah mengetahui seperti apa rasanya ’memberitakan firman pada masa yang menyenangkan dan pada masa yang susah’. (2 Tim. 4:2) Pada tahun 2008, ke-4.766 penyiar bersukacita karena memiliki 11.564 PAR dan 16.644 hadirin Peringatan kematian Kristus. Angka-angka itu, dan rasio sebesar 1 penyiar untuk setiap 6.276 penduduk, menunjukkan bahwa ladang di sini masih ”putih dan siap untuk dipanen”.—Yoh. 4:35.
Pada waktu yang sama, saudara-saudari di Uganda telah belajar melalui pengalaman pahit bahwa situasi bisa tiba-tiba berubah dan ujian iman bisa dengan cepat menimpa kita. Meskipun demikian, pengalaman telah mengajar mereka untuk percaya kepada Yehuwa dan kepada bimbingan Firman-Nya serta dukungan persaudaraan seluas dunia.
Seorang malaikat memberi tahu nabi Daniel yang setia dan lanjut usia bahwa pada ’zaman akhir, pengetahuan yang benar akan berlimpah’. (Dan. 12:4) Dengan berkat Yehuwa, pengetahuan yang benar telah sungguh berlimpah di Uganda. Tidak diragukan, di wilayah yang menjadi sumber Sungai Nil yang menakjubkan ini, limpahnya air kebenaran akan terus berbual-bual untuk memuaskan semua orang yang haus akan kebenaran rohani. Seraya Yehuwa terus memberkati pekerjaan ini di seluruh bumi, kita dengan penuh harap menantikan saat manakala setiap orang akan bersatu dalam menyerukan pujian kepada Yehuwa —untuk selama-lamanya!
[Catatan Kaki]
a Laporan kisah hidup Frank Smith dimuat di Menara Pengawal 1 Agustus 1995, halaman 20-4. Ayah Frank, yaitu Frank W. Smith, juga paman dan bibinya, Gray dan Olga Smith, termasuk orang-orang pertama yang mengabar di Afrika Timur. Ayah Frank meninggal karena malaria sewaktu ia pulang ke Cape Town, hanya dua bulan sebelum Frank lahir.
b Diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Kini tidak dicetak lagi.
[Blurb di hlm. 84]
’Siaran itu sangat unik; kita bisa mendengarkan percakapan antara suara berlogat Amerika dan suara berlogat Skotlandia di sebuah stasiun radio Afrika’
[Blurb di hlm. 92]
”Mana bisa mereka melarang apa yang ada dalam hati saya?”
[Blurb di hlm. 111]
”Bagaimana mengatakan ’Kerajaan Allah’ dalam bahasa Luganda?” ”Obwakabaka bwa Katonda”
[Kotak/Gambar di hlm. 72]
Sekilas tentang Uganda
Negeri
Uganda memiliki keanekaragaman yang menakjubkan, diliputi hutan hujan tropis yang lebat, sabana yang luas, sungai dan danau yang sangat banyak, serta Pegunungan Ruwenzori yang megah berselimutkan salju. Negeri itu luasnya 241.551 kilometer persegi dan mencakup hampir separuh Danau Victoria, danau terbesar di Afrika.
Penduduk
Lebih dari 85 persen penduduknya, yang terdiri dari kira-kira 30 kelompok etnik, tinggal di daerah pedesaan.
Bahasa
Luganda adalah bahasa yang paling umum di antara lebih dari 32 bahasa yang digunakan di Uganda. Bahasa resminya adalah bahasa Inggris dan Swahili.
Mata pencaharian
Uganda adalah negeri agraris penghasil kopi, teh, kapas, dan hasil bumi lain yang bisa dijual. Sebagian besar rakyat Uganda adalah petani yang hidup dari makanan yang mereka tanam sendiri, tetapi ada juga yang hidup dari menangkap ikan atau turisme.
Makanan
Makanan kukus dari pisang yang disebut matooke (lihat foto), populer di sebagian besar daerah selatan negeri ini. Makanan dari tepung jagung, ubi, dan roti dari tepung sekoi atau singkong dimakan dengan beragam sayur-sayuran.
Iklim
Karena berlokasi di plato yang menurun dari ketinggian kira-kira 1.500 meter di selatan hingga ketinggian kira-kira 900 meter di utara, Uganda adalah negeri tropis beriklim sedang. Hampir seluruh daerah merasakan musim kering dan musim hujan.
[Kotak/Gambar di hlm. 77]
Kasih Kristen yang Tulus Menyentuh Hati
PETER GYABI
LAHIR 1932
BAPTIS 1965
PROFIL Penatua yang turut menerjemahkan publikasi selama pelarangan. Ia dan istrinya, Esther, punya empat anak yang sudah dewasa.
◼ SEWAKTU para utusan injil Saksi-Saksi Yehuwa yang pertama datang ke Uganda, prasangka ras sangat kental di negeri ini, dan kebanyakan orang kulit putih menjaga jarak dengan orang Afrika berkulit hitam. Kasih Kristen yang tulus dari para utusan injil menyentuh hati kami, dan kami pun sangat mengasihi mereka.
Selama tahun 1970-an, keluarga kami menikmati pergaulan dan pengabaran bersama para utusan injil, yang tinggal sekitar 65 kilometer jauhnya di Mbarara. Pada suatu hari, dalam perjalanan ke sana, mobil kami dihentikan tentara. ”Kalau kalian jalan terus, kalian bisa mati,” kata seorang tentara. Jadi, kelihatannya lebih baik kami berbalik dan pulang. Tetapi, seraya hari-hari berlalu, kami makin mengkhawatirkan keadaan para utusan injil. Kami ingin pergi ke rumah utusan injil sesegera mungkin untuk mengetahui keadaan mereka. Penjagaan keamanan sangat ketat, tetapi saya menggunakan kedudukan saya di bagian kepengurusan rumah sakit dan stiker rumah sakit di mobil untuk melewati blokade-blokade jalan. Alangkah leganya kami setelah mengetahui bahwa para utusan injil baik-baik saja! Kami mengisi lagi persediaan makanan mereka dan tinggal selama beberapa hari bersama mereka. Setelah itu, kami terus berkunjung setiap minggu sampai keadaan aman bagi mereka untuk pindah ke Kampala. Semakin sulit keadaannya, semakin sering kami merasakan ikatan penuh kasih dari persaudaraan kita yang berharga.
[Kotak/Gambar di hlm. 82]
”Rasanya Saya Tidak Tahu Mau Omong Apa”
MARGARET NYENDE
LAHIR 1926
BAPTIS 1962
PROFIL Saudari Uganda pertama yang menerima kebenaran. Merintis biasa selama lebih dari 20 tahun. Masih aktif sebagai penyiar.
◼ SUAMI saya menyukai pelajaran Alkitab yang dipandu Saudara Kilminster dan berpikir bahwa saya harus ikut belajar karena saya sangat mengasihi Alkitab. Maka, diaturlah agar istri dari John Bwali, Eunice, mengajar saya.
Saya sangat menyukai apa yang saya pelajari, tetapi takut untuk mengabar kepada orang lain. Saya orangnya pemalu dan rasanya saya tidak tahu mau omong apa. Tetapi, Eunice bersabar terhadap saya; mula-mula, ia membantu saya untuk membacakan satu ayat saja. Lalu, sambil berjalan dari rumah ke rumah, ia mengajar saya untuk mengomentari ayat tersebut. Dengan dukungan Yehuwa, saya berhasil mengatasi rasa takut.
Tak lama sebelum dibaptis, saya merasa terpukul saat suami saya menolak kebenaran dan meninggalkan saya beserta tujuh anak kami. Namun, saudara-saudari sangat baik; mereka memberikan bantuan rohani dan bantuan praktis untuk saya dan anak-anak. Sepasang suami istri asing, yang mengadakan perjalanan ke Kampala untuk berhimpun, selalu singgah dan menjemput saya dan anak-anak dengan mobil mereka. Saya amat bersyukur bahwa empat anak saya dan keluarga mereka memilih untuk melayani Yehuwa.
Belakangan, saya bisa merintis biasa. Sewaktu saya semakin sulit bergerak akibat artritis, saya menaruh meja untuk memajang lektur di luar rumah dan berbicara kepada orang-orang yang lewat. Dengan cara ini, saya bisa tetap merintis.
[Kotak/Gambar di hlm. 98, 99]
Allah Memberkati Panen Rohani Kami
SAMUEL MUKWAYA
LAHIR 1932
BAPTIS 1974
PROFIL Selama bertahun-tahun, Samuel mewakili organisasi dalam urusan hukum; ia juga melayani sebagai penatua dan perintis.
◼ SAYA tidak bakal lupa kejadian saat tur ke kantor cabang Kenya di Nairobi.
”Apa artinya paku-paku berwarna ini?” tanya saya ketika saya mengamati peta Uganda.
”Itu tempat-tempat yang banyak peminatnya,” jawab Robert Hart, anggota Panitia Cabang Kenya.
”Kapan perintis akan dikirim ke sini?” tanya saya sambil menunjuk sebuah paku berwarna terang di Iganga, kota kelahiran saya.
”Kami tidak mengirim siapa-siapa ke sana,” katanya. Lalu, dengan tatapan jenaka, ia melanjutkan, ”Broer kan yang akan pergi ke sana.”
Saya kaget mendengar jawaban Saudara Hart sebab saya bukan perintis, dan saya tidak tinggal di kota kelahiran saya. Tetapi entah bagaimana, kejadian itu melekat dalam pikiran saya, dan setelah pensiun sebagai pegawai negeri, saya memutuskan untuk pulang kampung dan menjadi perintis biasa. Betapa bersukacitanya saya melihat sekelompok kecil penyiar berkembang pesat menjadi sidang kuat yang memiliki Balai Kerajaan sendiri!
Sewaktu Patrick Baligeya ditugasi ke Iganga sebagai perintis istimewa, ia tinggal dengan saya, dan kami merintis bersama. Kami juga berladang jagung untuk memenuhi kebutuhan kami. Setiap hari, kami mulai dengan membahas ayat harian pagi-pagi sekali lalu selama beberapa jam bekerja di ladang jagung kami. Sekitar pukul sepuluh pagi, kami pergi berdinas dan menikmati pelayanan sepanjang sisa hari itu.
Sewaktu jagung kami bertunas, beberapa tetangga mengingatkan bahwa karena kami sibuk mengabar, ladang kami terbengkalai. Memang, kami tahu bahwa jagung perlu selalu dilindungi dari monyet-monyet, apalagi sewaktu jagung hampir masak. Namun, kami tidak mau menghentikan panen rohani kami hanya untuk mengusir monyet.
Tidak lama setelah itu, kami memerhatikan dua anjing besar berkeliaran di sekitar ladang. Kami tidak tahu dari mana mereka dan siapa pemiliknya, tetapi kami tidak mengusir mereka, malah memberikan makanan dan air setiap hari. Tentu saja, sementara anjing-anjing itu berpatroli di ladang kami, tidak ada monyet yang kelihatan. Lalu setelah empat minggu, tiba-tiba seperti ketika mereka datang, anjing-anjing itu menghilang—tetapi setelah tanaman jagung kami aman! Kami bersyukur kepada Yehuwa atas limpahnya hasil panen yang bisa menjadi makanan kami dan bukan makanan untuk monyet-monyet itu. Terlebih penting lagi, kami sangat bersyukur karena Allah juga memberkati panen rohani kami!
[Kotak/Gambar di hlm. 101, 102]
Ditahan, tapi Bertahan
PATRICK BALIGEYA
LAHIR 1955
BAPTIS 1983
PROFIL Memasuki dinas sepenuh waktu tidak lama setelah dibaptis. Melayani dalam pekerjaan keliling bersama istrinya, Symphronia.
SEWAKTU pemerintahan yang baru mulai berkuasa pada tahun 1979, setiap orang yang terkait dengan rezim sebelumnya ”diundang” masuk ke tahanan yang katanya demi alasan keamanan pribadi. Diumumkan bahwa siapa pun yang tidak bekerja sama dengan pengaturan tersebut akan dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan yang baru dan akan diperlakukan demikian. Karena saya pernah menjadi musikus dalam angkatan bersenjata, saya harus masuk ke dalam tahanan.
Saya bersyukur bahwa dalam tahanan, saya bisa membaca Alkitab setiap hari untuk menjaga pikiran tetap aktif. Selain itu, saya sedang mencari kebenaran, dan saya suka membicarakan topik-topik Alkitab dengan sesama narapidana. Dalam tahanan yang sama ada seorang Saksi Yehuwa, John Mundua, yang ditahan karena pernah menjadi pegawai negeri sipil dan sukunya dianggap mendukung rezim terdahulu.
John dengan bersemangat menceritakan kabar baik kepada saya, dan saya menyambut dengan senang hati. Kami cuma punya 16 majalah Menara Pengawal dan buku Good News—To Make You Happy (Kabar Baik—Untuk Membuat Anda Bahagia),c tetapi saya langsung menyadari bahwa apa yang saya pelajari ini kebenaran. Setelah saya belajar Alkitab selama tiga bulan, John merasa bahwa saya memenuhi syarat untuk menjadi penyiar. Tidak lama setelah itu, ia dibebaskan dari semua tuduhan dan dilepaskan. Satu-satunya kontak saya dengan organisasi Yehuwa telah pergi. Namun, sebisa mungkin saya terus mengadakan pelajaran dengan para peminat di dalam tahanan.
Saya dibebaskan pada bulan Oktober 1981, dan saya pulang ke desa saya. Di sana belum ada Saksi. Para kerabat mencoba menekan saya untuk ikut dalam kegiatan agama mereka. Tetapi, Yehuwa melihat hasrat saya untuk melayani-Nya, dan Ia menguatkan saya. Saya tahu saya harus mengikuti teladan Yesus, maka saya mulai mengabar sendirian, dan tidak lama kemudian saya punya banyak PAR. Pada suatu hari, seorang penghuni rumah mengeluarkan buku Kebenaran yang Membimbing kepada Hidup yang Kekal dan berkomentar, ”Apa yang Anda katakan mirip dengan apa yang saya baca di buku ini.”d Orang itu tidak begitu berminat, sedangkan saya antusias sekali untuk membaca bukunya dan setumpukan majalah Menara Pengawal miliknya. Jadi, dalam hal ini, justru si penghuni rumah yang menempatkan lektur kepada saya!
Tetapi, saya masih harus menemukan rekan-rekan seiman saya. Saudara Mundua pernah mengatakan bahwa ada Saksi-Saksi di Jinja. Maka, saya bertekad menemukan saudara-saudara di sana. Setelah hampir semalam-malaman berdoa, saya berangkat pagi-pagi keesokan harinya bahkan tanpa sarapan. Orang pertama yang saya lihat, ketika saya berjalan, menjinjing tas plastik bening. Saya hampir tidak percaya ketika melihat majalah Sedarlah! di dalam tas itu. Akhirnya, saya menemukan salah seorang saudara saya!
Pada tahun 1984, saya senang sekali bisa mengikuti kelas pertama Sekolah Dinas Perintis di Uganda. Dan, siapa yang ada di kelas itu? Tidak lain saudara yang saya kasihi, John Mundua. Sampai sekarang pun, dalam usia 74 tahun, ia terus melayani dengan setia sebagai perintis biasa.
[Catatan Kaki]
c Diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Kini tidak dicetak lagi.
d Diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Kini tidak dicetak lagi.
[Kotak/Gambar di hlm. 113]
Akhirnya Ia Menemukan Agama yang Benar
Seorang saudari meminta utusan injil bernama Mats Holmkvist untuk menemui Mutesaasira Yafesi, yang dahulu adalah pastor di Gereja Adven Hari Ketujuh. Kini ia berminat dengan Saksi-Saksi Yehuwa dan telah menyiapkan daftar berisi 20 pertanyaan yang ditulis rapi. Ketika bertemu dengan Mats, ia memberikan daftar itu kepadanya.
Setelah berdiskusi Alkitab selama dua jam, Mutesaasira mengatakan, ”Akhirnya saya menemukan agama yang benar! Tolong datang dan kunjungi saya di desa saya. Ada orang-orang lain yang ingin tahu lebih banyak tentang Saksi-Saksi Yehuwa.”
Lima hari kemudian, Mats dan seorang utusan injil lain pergi naik motor untuk mengunjungi Mutesaasira di desa Kalangalo—perjalanan sejauh 110 kilometer melalui jalur yang sulit dan berlumpur melintasi perkebunan teh. Mereka terkejut ketika dibawa Mutesaasira ke pondok ilalang yang dipasangi tanda ”Balai Kerajaan”. Ya, ia telah menyiapkan tempat yang dapat digunakan untuk pelajaran Alkitab dan perhimpunan!
Ada sepuluh orang lain yang berminat karena Mutesaasira telah menceritakan kebenaran kepada mereka. Pelajaran Alkitab dimulai, dan Mats, kendati harus menempuh jarak yang jauh itu, datang dua kali sebulan. PAR-PAR itu membuat kemajuan yang bagus. Lebih dari 20 orang menjadi penyiar di Kalangalo, dan sebuah sidang berkembang di kota Mityana, tidak jauh dari sana. Sementara itu, Mutesaasira membuat kemajuan pesat dan dibaptis. Ia kini sudah hampir berusia 80 dan melayani sebagai penatua sidang.
[Bagan/Grafik di hlm. 108, 109]
LINTAS SEJARAH—Uganda
1930
1931 Robert Nisbet dan David Norman mengabar di Afrika Timur.
1940
1950
1950 Suami istri Kilminster pindah ke Uganda.
1952 Sidang pertama dibentuk.
1956 Baptisan pertama diadakan.
1959 Saudara-saudari asing memberikan bantuan rohani.
1960
1963 Para utusan injil Gilead tiba.
1972 Kebaktian distrik pertama diselenggarakan.
1973 Saksi-Saksi Yehuwa dilarang dan para utusan injil diusir.
1979 Pelarangan dicabut.
1980
1982 Utusan injil diperbolehkan masuk lagi.
1987 Menara Pengawal diterjemahkan ke dalam bahasa Luganda secara teratur.
1988 Balai Kerajaan permanen pertama ditahbiskan.
1990
2000
2003 Kantor cabang dibentuk.
2007 Fasilitas cabang yang baru ditahbiskan.
2010
[Grafik]
(Lihat publikasi)
Total Penyiar
Total Perintis
5.000
3.000
1.000
1930 1940 1950 1960 1980 1990 2000 2010
[Peta di hlm. 73]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO
SUDAN
KENYA
UGANDA
KAMPALA
Arua
Gulu
Lira
Soroti
Danau Kyoga
Masindi
Hoima
Mbale
Tororo
Namaingo
Iganga
Jinja
Seta
Kajansi
Entebbe
Mityana
Kalangalo
Fort Portal
Rusese
Danau Albert
Peg. Ruwenzori
Khatulistiwa
Danau Edward
Masaka
Mbarara
Kabale
KENYA
DANAU VICTORIA
TANZANIA
BURUNDI
RWANDA
UGANDA
KAMPALA
KENYA
NAIROBI
Meru
G. Kenya
Mombasa
TANZANIA
DAR ES SALAAM
Zanzibar
[Peta/Gambar di hlm. 87]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
UGANDA
KAMPALA
Arua
Gulu
Lira
Soroti
Masindi
Hoima
Fort Portal
Masaka
Mbarara
Kabale
DANAU VICTORIA
[Gambar]
Saudara Hardy dan istrinya menjelajahi hampir seluruh Uganda dalam waktu enam minggu
[Gambar penuh di hlm. 66]
[Gambar di hlm. 69]
David Norman dan Robert Nisbet membawa kabar baik ke Afrika Timur
[Gambar di hlm. 71]
George dan Robert Nisbet serta Gray dan Olga Smith dengan mobil mereka di atas rakit, siap menyeberangi sungai
[Gambar di hlm. 75]
Mary dan Frank Smith, persis sebelum mereka menikah pada tahun 1956
[Gambar di hlm. 78]
Ann Cooke dan anak-anaknya beserta Saudara dan Saudari Makumba
[Gambar di hlm. 80]
Tom dan Bethel McLain adalah utusan injil lulusan Gilead yang pertama di Uganda
[Gambar di hlm. 81]
Rumah utusan injil pertama di Jinja
[Gambar di hlm. 83]
Utusan injil Gilead Barbara dan Stephen Hardy
[Gambar di hlm. 85]
Mary Nisbet (tengah) bersama putra-putranya Robert (kiri), George (kanan), dan William beserta istrinya, Muriel (belakang)
[Gambar di hlm. 89]
Tom Cooke berkhotbah di Kebaktian Distrik ”Pemerintahan Ilahi” di Kampala
[Gambar di hlm. 90]
George dan Gertrude Ochola
[Pictures on page 94]
Meskipun dilarang, saudara-saudari kita tetap berhimpun
[Gambar di hlm. 95]
Fred Nyende
[Gambar di hlm. 96]
Emmanuel Kyamiza
[Gambar di hlm. 104]
Stanley Makumba bersama istrinya, Esinala, pada tahun 1998
[Gambar di hlm. 107]
Heinz dan Marianne Wertholz mengikuti kelas pertama Sekolah Ekstensi Gilead di Jerman
[Gambar di hlm. 118]
Tim Penerjemah
Luganda
Acholi
Lhukonzo
Runyankore
[Gambar di hlm. 123]
Balai Kerajaan modern sangat berbeda dari bangunan masa awal (kiri)
[Gambar di hlm. 124]
Kantor Cabang Uganda
Panitia Cabang: Mats Holmkvist, Martin Lowum, Michael Reiss, dan Fred Nyende; gedung kantor (bawah) dan tempat tinggal (kanan)