PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • yb93 hlm. 208-252
  • Malaysia

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Malaysia
  • Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 1993
  • Subjudul
  • Selamat Datang di Malaysia yang Multikultural
  • Perkembangan Politik yang Luas
  • Benih-Benih Pertama Kebenaran Mencapai Malaya
  • Perintis-Perintis Australia Datang Membantu
  • Lightbearer Membawa Lebih Banyak Perintis
  • Langkah-Langkah menuju Organisasi yang Lebih Stabil
  • Seorang Sikh Menjadi Saksi
  • Perang Dunia II dan Invasi Jepang
  • Kebangkitan Kembali Pekerjaan Saksi
  • Namun Bagaimana dengan Malaya?
  • Utusan Injil di Kuala Lumpur
  • Penang Sekali Lagi Disorot
  • Kuala Lumpur Mendapat Lebih Banyak Perhatian
  • Suatu Federasi Baru dan Sebuah Kantor Cabang Baru
  • Kantor Cabang Baru Mengalami Kemajuan yang Baik
  • Suatu Terobosan dengan Kelompok-Kelompok Keluarga
  • Lokasi Kantor Cabang Pindah dan Meluas
  • Sambutan Perintis Sejajar dengan Pertambahan
  • Kebaktian Distrik yang Mula-Mula Menimbulkan Kesulitan
  • Dibelinya Beberapa Balai Kerajaan, Suatu Peristiwa Penting
  • Kunjungan-Kunjungan Istimewa Membina
  • Catatan para Utusan Injil Masa Awal yang Tak Dapat Diabaikan
  • Upaya yang Tidak Lazim dalam Menyambut Kebenaran
  • Pekerja Betel Bertambah seraya Kantor Cabang Diperluas
  • Kebenaran Menyebar ke Sabah dan Sarawak
  • Orang-Orang yang Berharga Terus Dihasilkan
Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 1993
yb93 hlm. 208-252

Malaysia

”PADA hari Minggu sore yang cukup menyenangkan, angin sepoi-sepoi menambah kenyamanan meski panasnya 32 derajat Celcius dan kelembabannya tinggi. Pada waktu itu tahun 1938. Saya belum lama tiba di Malaya dari Australia dan masih belajar membiasakan diri untuk mengabar kepada para manajer berkebangsaan Inggris dan Australia, di vila-vila mereka yang mengesankan di lokasi perkebunan karet yang luas.

”Ada tiga orang dalam kelompok perintis kami, dan strategi kami adalah, saya mendatangi rumah sang manajer dan kedua rekan saya menyelinap ke gubuk-gubuk para pekerja India dan mengabar kepada mereka. Masalahnya begini, banyak dari manajer perkebunan ini tidak senang melihat kami berbicara kepada para pekerja, takut kalau-kalau pendidikan yang mereka terima dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam diri mereka.

”Kami memarkir mobil kami tepat di seberang sungai kecil dan dari sini terlihat rumah sang manajer, kemudian Kurt dan Willy segera turun menuju barisan pekerja. Saya menyeberangi sungai dengan sebuah kano kecil yang tertambat di sana dan berjalan naik ke rumah itu.

”Tujuan utama saya adalah untuk tidak terlalu cepat ditolak, karena jika saya kembali ke mobil dan tidak sesegera mungkin pergi mengendarainya, sang manajer akan mencurigai adanya sesuatu yang tidak beres.

”Saya baru mencapai dasar tangga yang menuju ke rumah tersebut. Pada sore hari itu sang manajer dan istrinya sedang menikmati minum teh di beranda. Ia melihat saya mendekat sambil menenteng tas yang besar, dan kemudian sewaktu saya meletakkan kaki di anak tangga pertama, ia berseru dengan ketusnya, ’Hei! Cepat kembali seberangi sungai itu dan pergi! Ini hari Minggu sore. Saya sedang minum teh bersama istri dan saya di sini bukan untuk menerima kunjungan bisnis.’

”Nah, pikir saya, sekarang saya benar-benar dalam kesulitan. Tetapi di dalam tas, saya memiliki surat pengantar yang diberikan Lembaga bagi kami untuk kesempatan semacam ini, oleh karena itu saya berkata, ’Maaf, tetapi saya membawa surat pengantar yang dapat Anda baca.’

”’Saya tidak mau membacanya,’ jawabnya, bahkan dengan lebih ketus. ’Dan turun dari tangga itu!’

”Saya berdoa dalam hati memohon jalan keluar. Saya juga memutuskan untuk mengulur waktu, maka saya segera berkata, ’Sungguh, ini sangat penting.’ Pada saat yang bersamaan, saya melangkah naik satu anak tangga lagi.

”Kelihatannya ini membuatnya sangat marah, dan sekarang ia berteriak kepada saya dengan cukup keras, ’Saya bilang, turun dari tangga itu!’

”Pada saat itu, tanpa saya duga, istrinya tiba-tiba bangkit meninggalkan meja dan berdiri di belakang suaminya. Ia memeluk suaminya dengan kedua tangannya, dagunya disandarkan pada bahu sang suami. Kemudian dengan suara pelan ia berkata kepada saya, ’Maukah Anda naik dan menikmati secangkir teh?’

”Ia menatap istrinya, tertegun. Suasananya menegangkan. Saya tidak tahu harus melihat ke mana. Terdapat suatu keheningan yang mencekam. Akhirnya, sang manajer berkata dengan suara yang jauh lebih tenang, ’Baiklah. Naik dan nikmatilah secangkir teh tetapi jangan buka tas itu!’

”Maka kami duduk menikmati secangkir teh dan kue-kue yang lezat. Ketegangan mulai surut, dan kami segera menikmati percakapan yang ramah tentang hal-hal ringan dan umum. Tidak lama kemudian sang manajer mulai membahas masalah-masalah dunia dan menanyakan pendapat saya tentang bangkitnya Mussolini di Italia, dengan berkata, ’Saya ingin tahu siapa Mussolini ini sebelum ia memasuki dunia politik dan menjadi diktator Italia. Jenis profesi apa yang ia geluti?’

”Saya kemudian berkata, ’Rasanya saya dapat menjawab pertanyaan Anda,’ dan dengan tenang saya merogoh tas untuk mengambil buku Enemies (Musuh). Saya membacakan apa yang dinyatakan pada halaman 13, bahwa Mussolini dulunya seorang tukang batu dan penggerak politik yang kemudian menjadi pemimpin kelompok politik, yang memimpin suatu gerakan di Roma pada tahun 1922, dan tidak lama sesudah itu menjadi perdana menteri, atau penguasa absolut. Setelah itu saya memasukkan kembali buku itu dan menutup tas.

”Sang manajer ternyata terkesan. Istrinya bertanya, ’Buku apa yang Anda baca tadi?’

”’Oh,’ kata saya. ’Ini hanya sebuah buku yang menjelaskan banyak hal.’

”Namun rasa ingin tahunya bangkit, dan ia ingin melihatnya. Tentu, saya ingat akan larangan untuk membuka tas, namun sekarang istrinya, dengan tangan terjulur, meminta untuk melihat buku tersebut. Saya memandang sang manajer, dan dengan perasaan agak terpaksa ia mengangguk tanda setuju. Maka saya menyerahkan buku tersebut kepadanya.

”Tidak lama kemudian semua buku dan Alkitab yang saya bawa dalam tas ada di atas meja. Akhirnya mereka menginginkan semua publikasi yang saya bawa: tujuh buku, sebuah Alkitab baru, dan langganan majalah Menara Pengawal dan Consolation [sekarang Sedarlah!].

”Dan kemudian, setelah tiga perempat jam suasana yang hangat, ia berjalan bersama saya sampai di anak tangga atas, berjabat tangan, dan mengatakan, ’Nah, saya minta maaf atas penyambutan yang Anda terima tadi, soalnya hari Minggu yang lalu seorang pria datang ke sini hendak menjual oli, ketika saya sedang duduk minum teh sore hari bersama istri, dan itu sangat mengganggu saya. Anda yang terkena getahnya. Tetapi saya dapat menjamin Anda bahwa lain kali bila ada rekan Anda datang ke sini, ia akan mendapat sambutan yang lebih baik daripada yang Anda terima.’

”Maka semuanya berakhir dengan baik. Kurt dan Willy pada waktu itu juga telah selesai mengabar ke gubuk-gubuk para pekerja, dan kami melanjutkan perjalanan, bersukacita atas cara Yehuwa memberkati upaya kami pada sore hari itu.”

Inilah pengalaman yang dinikmati oleh para utusan injil pendahulu seperti Ted Sewell sewaktu mereka bekerja keras membuka pekerjaan pengabaran di Malaya pada akhir tahun 1930-an.a Dewasa ini, lebih dari setengah abad kemudian, metode pengabaran agak berubah, tetapi kabar baik yang sama tentang Kerajaan Yehuwa yang telah berdiri sedang diberitakan. Namun, sekarang berita tersebut telah tersebar di seluruh penjuru negeri yang beraneka-warna dan menakjubkan ini, yang tidak lagi disebut Malaya tetapi Malaysia.

Selamat Datang di Malaysia yang Multikultural

Semenanjung Malaya yang panjang dan beriklim tropis terletak persis di atas Pulau Singapura, yang dihubungkan satu sama lain oleh jalan sepanjang satu kilometer dan lintasan rel kereta api di atas kanal sempit sepanjang Selat Johor. Semenanjung ini terletak tepat di sebelah utara khatulistiwa dan dibatasi sebelah barat oleh Selat Malaka dan di sebelah timur oleh Laut Cina Selatan. Malaysia terdiri dari Semenanjung Malaya yang mula-mula (sekarang disebut Semenanjung Malaysia) dan dua wilayah yaitu Sabah dan Sarawak di Kalimantan (Borneo) Utara (yang membentuk Malaysia Timur). Sungguh, ini adalah sebuah negara multikultural dalam segala hal, dengan populasi lebih dari 18 juta. Lebih dari setengah populasinya adalah orang-orang Melayu, dan sisanya terutama adalah orang-orang Cina. Namun selain itu minoritas yang kuat dari orang-orang India dan segelintir orang Eurasia (Eropa-Asia) serta orang-orang Eropa semakin menjadikannya populasi yang paling kosmopolitan dalam wilayah tropis ini.

Malaysia juga adalah negeri yang memiliki perbedaan mencolok. Di kota-kota, gedung pencakar langit dan menara berdesak-desakan dengan gubuk beratap jerami. Namun, sebagian besar daerah pinggiran kota didominasi dengan lanskap yang terdiri dari hutan tropis, sawah padi, dan dataran subur, yang dilengkapi di sana-sini dengan kampung, atau desa, dan dibentangi oleh pantai pasir berwarna keemasan. Namun, di mana-mana terlihat warna hijau subur—berbagai corak warna hijau—dilukiskan oleh beberapa orang sebagai ”hijau dengan ribuan corak”.

Orang-orang Malaysia pada umumnya ramah. Mereka beragam dalam gaya hidup, dari gaya Barat yang paling canggih sampai petani tradisional yang sederhana. Para wisatawan dapat menikmati hiburan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan pelbagai kebudayaan negeri tersebut. Dan salah satu hal yang paling menyenangkan tentulah makanan Malaysia, karena hanya di sedikit negara lainnya orang dapat menikmati makanan yang begitu enak dengan harga begitu murah.

Dalam bidang ibadat, Islam telah dinyatakan sebagai agama nasional, meskipun agama-agama lain juga dijamin kebebasan beribadatnya oleh Undang-Undang Dasar Malaysia. Hasilnya, orang-orang dari berbagai kepercayaan—Islam, Budha, Hindu, Tao, Katolik, dan banyak sekte Protestan—hidup bersama dalam keadaan yang relatif harmonis. Namun, hukum melarang upaya untuk mempengaruhi orang-orang Islam masuk ke agama lain.

Perkembangan Politik yang Luas

Pada tahun 1930-an, Malaya telah dibagi ke dalam banyak negara bagian, beberapa di antaranya dikepalai oleh orang Inggris, yang lain oleh sultan yang ”diatur” oleh pejabat berkebangsaan Inggris. Karena itu semenanjung ini menjadi koloni Inggris, dan masyarakatnya mempelajari cara hidup orang Inggris, meskipun, tentunya, berbagai ras sebagian besar hidup dan berkembang secara terpisah.

Selama Perang Dunia II, wilayah ini diduduki tentara Jepang. Sesudah itu, sejak akhir tahun 1940-an sampai pertengahan tahun 1950-an, keadaan berubah seraya kerusuhan yang hebat dan bahkan perang gerilya yang sengit memorak-porandakan seluruh negeri. Akhirnya keadaan menjadi tenang kembali setelah kemerdekaan dari kekuasaan Inggris diraih pada tahun 1957. Kemudian pada tahun 1963, Malaya bergabung dengan bekas koloni Inggris yaitu Sabah, Serawak, dan Singapura untuk membentuk federasi negara bagian yang secara kolektif disebut Malaysia. Pada tahun 1965, Singapura menarik diri dari federasi tersebut dan menjadi republik yang independen.

Benih-Benih Pertama Kebenaran Mencapai Malaya

Charles Taze Russell, presiden pertama dari Lembaga Menara Pengawal, mengadakan tur pengabaran keliling dunia pada tahun 1912. Rencana perjalanannya mencakup memberikan ceramah umum di kota Singapura dan juga di Penang, Malaya. Tindak lanjut yang dilakukan setelah kedua ceramah ini sangat minim, pada dasarnya hanya pengiriman risalah oleh Saudara S. P. Davey di India kepada banyak orang India yang telah menetap di Malaya. Namun, meletusnya Perang Dunia I menghentikan upaya apa pun untuk menyebarkan benih-benih Kerajaan di wilayah ini.

Pada tahun 1923, Harris dan Freda Frank beserta keempat putra dan keenam putri mereka bermigrasi ke Malaya dari Sailan (sekarang Srilanka). Mereka menetap di Batu Caves, tidak jauh dari Kuala Lumpur, sekarang ibu kota negara tersebut. Freda adalah seorang Siswa Alkitab yang terbaptis, yaitu sebutan bagi Saksi-Saksi Yehuwa pada waktu itu, tetapi Harris bukan, meskipun ia suka membaca Menara Pengawal dan The Golden Age (sekarang Sedarlah!) yang dikirim lewat langganan dari kantor cabang India. Pada tahun 1931, keluarga Frank mendapat kunjungan singkat dari dua perintis muda dari Bombay, Claude Goodman dan Ron Tippin, yang menggunakan waktu beberapa bulan di Malaya dan Singapura untuk mengabar dari rumah ke rumah. Namun, satu-satunya lektur yang mereka miliki adalah dalam bahasa Inggris, maka aktivitas mereka dibatasi hanya kepada orang-orang yang berbicara bahasa Inggris. Kunjungan singkat dari dua utusan injil muda yang bergairah ini merupakan anjuran besar bagi Freda Frank dalam situasinya yang terisolasi.

Perintis-Perintis Australia Datang Membantu

Pada awal tahun 1930-an, wilayah Pasifik Selatan dan Asia Tenggara berada di bawah pengarahan kantor cabang di Australia. Kantor cabang tersebut segera mengirim utusan-utusan injil. Yang pertama tiba adalah George Schuett, yang beberapa bulan kemudian ditemani oleh seorang perintis berkebangsaan Inggris, Peck, yang sebelumnya mengabar di Papua Nugini. Selama beberapa tahun kemudian, kurang lebih dua belas pemberita sepenuh waktu lainnya dari Australia, Selandia Baru, dan Jerman melayani di Malaya selama periode yang berlainan, tetapi karena beberapa alasan, tidak seorang pun tinggal cukup lama di satu tempat untuk dapat melihat buah-buah langsung hasil pengabarannya.

Kemudian, pada tahun 1936, suatu pengaturan yang lebih permanen mulai terbentuk dengan berdirinya depot lektur di Singapura. Harold Gill dari Australia ditunjuk untuk mengawasi pekerjaan di depot tersebut. Dua tahun sebelumnya, tahun 1934, Frederick (Jimmy) James dan keluarganya telah pindah dari India dan menetap di Singapura. Rumahnya terletak di pinggiran kota yang menyenangkan, Katong, dan ia menawarkan sebagian dari rumahnya untuk digunakan sebagai depot Lembaga. Ini juga digunakan sebagai balai pertemuan dan rumah perintis.

Suatu pelajaran kelompok yang secara tetap tentu memakai buku The Harp of God (Kecapi Allah) diadakan di rumah keluarga James, dan para tetangga diundang untuk menghadirinya. Sepasang suami-istri tetangga mereka, Frank dan Win Hill, beserta ketiga anak mereka akhirnya dibaptis.

Pada akhir pekan, saudara-saudara di Singapura kadang-kadang mengadakan perjalanan pulang-pergi mengunjungi keluarga Frank di Batu Caves. Dalam perjalanan panjang ini, mereka menggunakan mobil berfonograf untuk memperdengarkan rekaman ceramah-ceramah Joseph F. Rutherford, presiden Lembaga pada waktu itu, serta melakukan pengabaran dari rumah ke rumah di Kuala Lumpur. Jadi, dalam skala kecil, benih-benih kebenaran ditaburkan di Malaya.

Lightbearer Membawa Lebih Banyak Perintis

Lightbearer adalah sebuah perahu yang diperlengkapi oleh Lembaga di Australia khusus untuk pekerjaan di wilayah Singapura-Malaya. Dengan berawak tujuh perintis berbadan tegap di bawah pimpinan kapten Eric Ewins dari Fiji, Lightbearer tiba di Singapura pada tanggal 7 Agustus 1935, dan berlabuh sebentar sebelum berlayar ke pantai barat Malaya. Beberapa dari kota yang dikunjungi dengan cara ini adalah Johor Baharu, Muar, Malaka, Klang, Port Swettenham (sekarang Port Klang), dan Penang. Ceramah-ceramah dari Saudara Rutherford dalam rekaman fonograf akan diudarakan lewat pengeras suara dari tempat Lightbearer ditambatkan. Setelah itu diadakan kunjungan dari rumah ke rumah untuk menawarkan lektur.

Kadang-kadang saudara-saudara dari Lightbearer ini dapat masuk lebih jauh ke pedalaman, dan karena itu mereka mengunjungi keluarga Frank di Batu Caves, bersama keluarga tersebut menghadiri perhimpunan kecil dan ikut dalam dinas pengabaran. Saudari Frank senang melihat beberapa anggota keluarganya dibaptis pada saat salah satu kunjungan seperti ini. Banyak lektur ditempatkan selama perjalanan ini, namun Eric Ewins melaporkan, ”Kesaksian kami tampaknya tidak meninggalkan kesan yang tahan lama dalam diri orang-orang tersebut. Mereka dengan cepat menerima lektur tetapi mereka membutuhkan pengajaran Alkitab di rumah secara tetap tentu, yang pada waktu itu belum mungkin.”

Langkah-Langkah menuju Organisasi yang Lebih Stabil

Harold Gill dipanggil kembali ke Sydney pada tahun 1937, dan Alfred Wicke dikirim untuk mengawasi depot Singapura. Sementara itu, perintis-perintis seperti Ted Sewell dari Australia dan Kurt Gruber dan Willy Unglaube dari Jerman menyebarkan benih-benih kebenaran di Malaya. Kemudian, ketika Alfred Wicke mengumumkan rencananya untuk menikah pada tahun 1939, ia ditugaskan ke Malaya untuk bergabung dengan Kurt Gruber di Penang, dan George Powell dari Australia tiba untuk mengurus depot.

Tunangan Alfred Wicke, Thelma, ketika itu sedang berlayar dari Sydney ke Singapura untuk menikah dengan Alfred dan bergabung dengannya dalam pekerjaan merintis di Penang. Akan tetapi, ketika kapalnya telah berlayar beberapa hari dari Perth, meletusnya Perang Dunia II diumumkan. Semua jendela dan tingkap kapal ditutup, dan jalan zig-zag melintasi Lautan Hindia menjadi hal yang penting guna mengelak kapal selam musuh yang mungkin ada. Tetapi Thelma tiba dengan selamat, dan pernikahan mereka berlangsung seminggu kemudian. Setelah itu mereka pergi mengendarai mobil sejauh 800 kilometer ke Penang, tempat Saudari Wicke menjadi saudari Australia pertama yang melayani sebagai perintis di Malaya.

Pekerjaan memberi kesaksian pada waktu itu terutama berupa penyiaran lektur secara luas, benar-benar tanpa ada tindak lanjut. Maka ketika keluarga Wicke menyelesaikan wilayah di Pulau Penang, mereka menyeberang ke wilayah semenanjung. Secara teratur mereka mengabar dari Alor Setar di sebelah utara lalu ke bawah menyusuri kota-kota dan pedesaan di sepanjang pantai barat mengarah ke selatan, menggunakan lektur dalam lebih dari 20 bahasa.

Seorang Sikh Menjadi Saksi

Ketika sedang memberi kesaksian di Kuala Kangsar di negara bagian Perak, keluarga Wicke menerima kunjungan yang tidak diduga-duga dari seorang murid sekolah berusia 16 tahun yang tinggal di sebuah kota yang berdekatan. Namanya adalah Puran Singh, dan ia seorang Sikh, sebagaimana ditunjukkan dari namanya. Ia telah memperoleh buku kecil Lembaga Where Are the Dead? (Di Mana Orang-Orang Mati Berada?) dan begitu terkesan akan apa yang ia baca sehingga ia menulis sebuah artikel tentang pokok ini untuk majalah sekolahnya. Ia menulis kepada depot Singapura untuk meminta lebih banyak keterangan dan kemudian diberi tahu alamat keluarga Wicke. Ia segera mengendarai sepeda sejauh lebih dari 50 kilometer untuk menemui mereka.

Keesokan harinya, ia menemani Alfred Wicke dalam perjalanan pengabaran di pedesaan—”hanya ingin melihat cara bagaimana itu dilakukan.” Segera setelah pemuda yang serius ini menyelesaikan sekolahnya, ia meninggalkan rumah, kemudian bersepeda sejauh 240 kilometer untuk menghadiri kebaktian di Kuala Lumpur. Di sana ia melambangkan pembaktiannya kepada Yehuwa dengan baptisan air dan menggunakan nama George Singh. Ia segera mendaftarkan diri untuk pelayanan sepenuh waktu. Dan dengan demikian George Sigh memiliki hak istimewa sebagai orang Malaya pertama yang menjadi perintis. Tidak lama setelah ini Lembaga mengirimnya ke India, tempat ia melanjutkan dinas kepada Yehuwa dengan setia.

Perang Dunia II dan Invasi Jepang

Tidak lama setelah pecah Perang Dunia II tahun 1939, pekerjaan pengabaran terganggu. Akibatnya? Para perintis tidak lagi dapat menunjang diri mereka secara finansial, oleh karena itu, dengan terpaksa, keluarga Wicke kembali ke Singapura. Namun, mereka merasa puas karena mengetahui selama 20 bulan mereka melayani bersama di Malaya sejak mereka menikah, mereka telah menempatkan lebih dari 50.000 buku dan buku kecil yang berisi berita Kerajaan. Menarik untuk dicatat bahwa pada waktu pecah perang, hanya ada 16 penyiar yang melapor dalam dinas pengabaran di seluruh Singapura dan Malaya. Namun, lebih dari 18 bulan kemudian ada 36 penyiar yang melapor!

Segalanya bergerak cepat setelah peristiwa ini. Pada bulan Juni 1941, George Powell ditolak masuk kembali ke Singapura setelah ia mengadakan perjalanan ke Thailand dan terpaksa kembali ke Bangkok dengan kapal yang sama. Pada bulan Juli, tiga wakil sepenuh waktu yang terakhir, Len Linke dan Alfred serta Thelma Wicke, dideportasi ke Australia. Enam bulan kemudian, bala tentara Jepang secepat kilat maju melewati hutan Malaya dan dengan cepat merebut benteng kuat Singapura pada tanggal 14 Februari 1942.

Dengan demikian, babak lain dalam sejarah umat Yehuwa di Singapura dan Malaya diakhiri. George Powell akhirnya masuk kamp interniran di Thailand, bersama Ted Sewell. Jimmy James dan istrinya, serta Frank Hill, dipenjarakan oleh tentara Jepang di Singapura. Keluarga lain, termasuk Win Hill dan anak-anaknya, berhasil meninggalkan Singapura sebelum terjadi invasi tersebut dan pergi ke Australia. Beberapa Saksi pergi ke Inggris. Yang lainnya, termasuk sebagian besar dari keluarga Frank, melarikan diri ke India dengan harta benda yang dapat mereka bawa.

Kebangkitan Kembali Pekerjaan Saksi

Kurang dari dua tahun setelah Perang Dunia II berakhir, pada tanggal 28-29 Maret 1947, Nathan H. Knorr, ketika itu presiden dari Lembaga, dan Milton G. Henschel, sekretarisnya, mengunjungi Singapura sebagai bagian dari tur dinas keliling dunia. Apakah akan ada orang di sana yang akan menemui mereka?

Ya, Frank Dewar, perintis dan bekas anggota awak Lightbearer, datang menyambut mereka. Namun ia tidak sendirian. Jimmy James, yang istrinya meninggal dalam sebuah kamp penjara, telah keluar dari tahanan dan sekarang bekerja di Singapura. Jimmy bekerja sebagai ahli mesin dan listrik di Hotel Raffles yang terkenal, maka saudara-saudara yang berkunjung ke sini dapat tinggal dan bertemu dengan beberapa saudara lain yang masih ada di Singapura.

Selama kunjungan ini, Saudara Knorr dan Saudara Henschel berbicara kepada sembilan saudara dan saudari di perhimpunan dan mengatakan kepada mereka bahwa dua lulusan Gilead sedang dalam perjalanan dan akan tiba di Singapura tidak lama lagi. Maka, pada tanggal 5 April 1947, dua orang Kanada, seorang dari kelas ketujuh Gilead dan yang seorang lagi dari kelas kedelapan, tiba untuk melaksanakan tugas utusan injil mereka di Singapura.

Dengan cara ini pekerjaan dimulai kembali setelah Perang Dunia II. Tidak lama sesudah itu, pada bulan Maret 1949, enam utusan injil lainnya, dari kelas ke-11 Gilead, tiba di Singapura. Mereka adalah Les Franks dan dua adik perempuannya, Aileen dan Gladys; Norman Bellotti; serta Alfred dan Thelma Wicke, yang tentu merasa seperti pulang kampung.

Namun Bagaimana dengan Malaya?

Pekerjaan kini mulai maju dengan baik di Singapura, karena setiap utusan injil berkonsentrasi pada pengajaran Alkitab di rumah. Maka, pada kunjungan kedua dari Saudara Knorr dan Saudara Henschel pada bulan April 1951, sebuah kebaktian diselenggarakan dengan 72 hadirin; 307 orang datang menghadiri khotbah umum di Teater Victoria yang menyenangkan di kota tersebut. Selama kunjungan inilah sebuah kantor cabang didirikan untuk menangani pekerjaan Kerajaan bukan hanya di Singapura tapi juga di Malaya dan wilayah-wilayah Kalimantan milik Inggris yaitu Sabah dan Sarawak. Sekarang perhatian dapat difokuskan pada Malaya. Enam utusan injil ditugaskan ke wilayah ini. Dua di antara mereka, James Rowe dan Neil Crockett, dapat mengabar selama satu tahun di Kuala Lumpur, tetapi sayangnya empat orang lainnya hanya diizinkan tinggal selama satu bulan, lalu mereka melayani di Penang. Alasan mereka tinggal begitu singkat merupakan suatu cerita tersendiri.

Utusan Injil di Kuala Lumpur

Pada awal tahun 1951 kapal Steel King bergerak sambil mengeluarkan letusan-letusan kecil ke pelabuhan Penang dari New York membawa enam utusan injil. Di Penang para petugas imigrasi memeriksa paspor Saudara Crockett dan Saudara Rowe dan membubuhkan cap untuk tinggal satu tahun di Malaya. Akan tetapi, ketika mereka memeriksa paspor milik empat utusan injil lainnya, tiba-tiba mereka sadar berapa banyak utusan injil dari Saksi-Saksi Yehuwa yang memasuki negara tersebut. Mereka mengatakan kepada para utusan injil itu bahwa peraturan yang baru saja disahkan tidak mengizinkan Saksi-Saksi asing tinggal di negeri itu. Namun, karena paspor Saudara Crockett dan Saudara Rowe sudah dicap untuk tinggal satu tahun, mereka diizinkan tinggal, tetapi keempat orang lainnya hanya diberikan izin tinggal satu bulan di Penang, setelah itu mereka harus meninggalkan Malaysia kemudian ditugaskan kembali ke Thailand.

Kantor cabang menugaskan Saudara Crockett dan Saudara Rowe ke Kuala Lumpur. Sebuah rumah utusan injil segera ditetapkan di Jalan Klang 25-A, kira-kira tiga kilometer dari pusat kota. Kota ini hanya memiliki seorang penyiar aktif, Saudari Mackenzie, seorang wanita lanjut usia yang berlatar belakang Eurasia. Bayangkan sukacita yang dialaminya ketika dua orang utusan injil bergabung dengannya dalam dinas!

Meskipun kebenaran telah diberitakan sampai tingkat tertentu pada tahun 1930-an dan pada awal tahun 1940-an, namun mengerjakan daerah itu pada tahun 1951 tampak seperti mengabar di daerah baru. Dua saudara utusan injil tersebut ingin sekali menggarap daerah tersebut secepat mungkin. Dengan keinginan yang besar untuk mencari calon domba, sepanjang siang dan sore hari mereka mengabar dan mengadakan kunjungan kembali kepada orang-orang berminat. Tidak heran bila mereka menempatkan seratus buku dalam satu bulan. Maka, dalam waktu singkat, setiap utusan injil memimpin 15 sampai 16 pengajaran Alkitab per bulan. Dan kira-kira setelah enam bulan, sidang pertama dibentuk, dengan jumlah hadirin sebanyak 14 orang.

Karena pada waktu itu para pemberontak Komunis sangat aktif di Malaya, maka dianggap hal yang gila-gilaan bila seorang asing nekat pergi melewati batas kota, agar tidak disergap dan dibunuh karena disangka pemilik perkebunan yang dicurigai atau pejabat pemerintah kolonial. Namun, Saudari Mackenzie mempunyai putra, George, yang tinggal di sebuah propinsi yang letaknya jauh, dan ia ingin belajar Alkitab. Bagaimana kedua utusan injil ini dapat mengunjunginya mengingat kondisi perjalanan yang berbahaya? Saudara Crockett mendapat ide—menyatu dengan orang-orang pribumi. Maka ia naik bis antar kota dan duduk di antara penumpang-penumpang lainnya yang membawa ayam dan babi yang ramai mengeluarkan suara. Terdapat banyak saat-saat tegang. Setiap kali bus membelok di tikungan jalan, para penumpang tidak pernah tahu apa yang menantikan mereka. Mungkin mereka akan disergap dan dihujani peluru. Syukur, selama berbulan-bulan mengadakan perjalanan untuk belajar bersama George, tak terjadi insiden yang mengancam jiwa. Oh ya, George akhirnya dibaptis dan menjadi seorang penatua yang dihormati sampai ia meninggal pada tahun 1986.

Segalanya terlalu cepat bagi kedua utusan injil tersebut, izin tinggal mereka di Malaya hampir habis. Apakah permohonan perpanjangan izin mereka akan diberikan? Buyar semua harapan ketika jawabannya adalah tidak.

Maka, Saudara Crockett dan Saudara Rowe dengan sedih hati harus mengatakan selamat tinggal kepada keluarga [rohani] mereka di Malaya dan pergi naik kapal untuk melanjutkan dinas utusan injil di Thailand. Apakah dengan kepergian mereka pekerjaan ini terhenti di Malaya?

Syukur tidak. Ada juga beberapa penduduk Saksi di Malaya pada awal tahun 1950-an. Mereka telah pulang dan menetap kembali setelah Perang Dunia II. Maka diatur agar pengawas wilayah dari Singapura mengunjungi mereka secara berkala supaya mereka dapat terus berhubungan dengan organisasi Allah dan mereka dapat dibina secara rohani. Selain itu, saudara-saudara di Singapura mengatur kampanye akhir pekan ke wilayah-wilayah di Malaya, menyeberangi jalan lintas, mengabar di kota-kota yang jauhnya sampai 240 kilometer.

Penang Sekali Lagi Disorot

Informasi diterima oleh kantor cabang di Singapura bahwa dua pelajar sekolah yang muda di Penang memperlihatkan minat yang luar biasa terhadap pekerjaan umat Yehuwa. Mereka memperoleh buku ”The Truth Shall Make You Free” (Kebenaran Akan Memerdekakan Kamu) dari para utusan injil yang telah melayani di sana selama satu bulan. Pengawas wilayah, Les Franks dari Singapura, dijadwalkan akan mengunjungi Penang untuk melihat sampai seberapa minat kedua gadis muda ini. Ia takjub akan dalamnya pengetahuan dan gairah mereka. Salah seorang dari mereka telah mengerahkan banyak tenaga untuk mengetik ulang sebagian besar dari buku ini sehingga mereka dapat membagikan berita Kerajaan kepada orang-orang lain. Mereka tidak tahu cara memperoleh buku-buku lain, karena surat mereka yang ditujukan ke alamat di Singapura sebelum perang telah dikembalikan dengan cap ”Tidak Dikenal”. Mereka bahkan telah mulai pergi dari rumah ke rumah namun mendapat tanggapan yang buruk dan ada beberapa menolak mereka dengan kasar, ini terutama karena mereka kurang bijaksana dan kurang pelatihan dalam cara mendekati penghuni rumah, dan cara menyampaikan kabar baik dengan gaya yang menarik.

Maka diatur agar Alfred dan Thelma Wicke pindah dari Singapura dan mendirikan rumah utusan injil di Penang. Rumah ini juga berfungsi sebagai depot untuk menyalurkan lektur ke seluruh Malaya. Sebuah sidang kecil segera diorganisasi. Dua siswi sekolah ini, Lee Siew Chan dan Ng Yoon Chin, senang dibimbing oleh Saudara dan Saudari Wicke dan terus memperlihatkan kemajuan yang baik. Mereka menghadiri kebaktian di Singapura pada tahun 1956, acara yang diselenggarakan sewaktu kunjungan ketiga dari Saudara Knorr, dan keduanya dibaptis di sana. Ketika mereka menyelesaikan pendidikan sekolah, keduanya bergabung dalam barisan perintis. Kemudian hati mereka sangat tergetar ketika mereka menerima undangan untuk menghadiri kelas Gilead ke-31 bersama seorang perintis lain dari Singapura, Grace Sinnapillai. Pada tahun 1958 mereka dinyatakan lulus dari Gilead pada Kebaktian Internasional Kehendak Ilahi di Stadion Yankee, New York, dan kemudian mereka ditugaskan kembali ke Malaya untuk ambil bagian dalam meluaskan pekerjaan di sana.

Kuala Lumpur Mendapat Lebih Banyak Perhatian

Norman Bellotti dan Gladys Franks telah melayani sebagai utusan injil di Singapura sejak tahun 1949. Mereka menikah pada tahun 1955 dan kemudian dialih-tugaskan ke Kuala Lumpur. Sekali lagi ini dijadikan tempat bertumpu di ibu kota Malaya dan memungkinkan beberapa dari orang-orang yang pernah memperlihatkan minat empat atau lima tahun sebelumnya, pada waktu utusan injil Rowe dan Crockett tinggal di sana selama satu tahun, dihubungi kembali dan dikumpulkan.

Sementara itu, Les Franks, yang melayani sebagai pengawas keliling, menelusuri pantai barat Malaya. Bepergian pada waktu itu berbahaya karena perang gerilya sedang berkecamuk melawan pemerintahan kolonial Inggris. ”Ketika sedang bepergian dengan kereta api,” Les mengenang, ”rekan-rekan penumpang lainnya serta saya sendiri menghabiskan sebagian besar waktu dengan berbaring di lantai kereta api, karena pasukan gerilya akan menembak secara membabi-buta dari hutan-hutan di sepanjang jalur kereta api.” Namun ada juga saat-saat yang tidak begitu tegang. Misalnya, suatu kali ketika sedang mengunjungi seorang penambang timah yang mengurus beberapa mesin pengeruk, Les menyalakan apa yang ia sangka lampu kamar tidurnya sendiri. Namun, tombol yang ia tekan ternyata telah menyebabkan raungan sirene sebagai tanda peringatan dan telah menyalakan lampu-lampu darurat yang menerangi seluruh kampung. Ia terperanjat dan malu ketika melihat semua penghuni di situ segera bersiap siaga, mengira akan ada serangan gerilya.

Pada tahun 1958, Les menikah dengan Margaret Painton, seorang utusan injil Australia yang melayani di Jepang. Kemudian mereka ditugaskan ke Kuala Lumpur untuk menggantikan Norman dan Gladys Bellotti, yang kemudian dipindahkan ke kota Ipoh. Keluarga Bellotti membantu mendirikan Sidang Ipoh, dan belakangan mereka dipanggil pulang ke Singapura karena Norman harus menggantikan hamba cabang.

Hamba cabang sebelumnya telah menikah dengan rekan utusan injilnya. Ia terus melayani di kantor cabang, tetapi pada waktu itu mereka menantikan seorang bayi, maka perlu baginya untuk mengambil pekerjaan duniawi guna membiayai keluarga.

Pekerjaan yang stabil dan konsisten serta teladan yang diberikan oleh ketiga pasangan utusan injil ini berperan besar dalam menempatkan pekerjaan Kerajaan di atas fondasi yang baik dan kokoh, siap menghadapi pertambahan di masa depan.

Suatu Federasi Baru dan Sebuah Kantor Cabang Baru

Seraya perkembangan-perkembangan teokratis ini berlangsung, perubahan besar dalam bidang politik juga terjadi di seluruh Malaya dan Singapura. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, Malaya memperoleh kemerdekaannya dari kekuasaan Inggris pada tahun 1957, dan enam tahun kemudian Federasi Malaysia, yang termasuk Singapura, lahir. Namun belakangan, pada tahun 1965, Singapura menarik diri dari Malaysia dan menjadi sebuah republik yang independen.

Pada tahun 1972 dianggap perlu dan bijaksana untuk mendirikan di Malaysia kantor cabang yang terpisah dari Lembaga. Tempat yang masuk akal untuk ini tampaknya adalah Penang yang, meskipun secara geografis tidak terletak di tengah, adalah tempat depot lektur Lembaga beroperasi dengan sukses selama bertahun-tahun. Alfred Wicke ditunjuk sebagai Pengawas Cabang untuk kantor cabang Malaysia yang baru. Ketika itu kira-kira 200 penyiar telah melapor dalam delapan sidang di seluruh Malaysia.

Jumlah ini tidak besar mengingat sudah empat dasawarsa berlalu sejak utusan injil pertama datang ke Malaysia. Jelas kemajuannya lambat. Satu alasan adalah bahwa lebih dari setengah populasi Malaysia adalah Muslim, dan saudara ingat, undang-undang melarang orang-orang dari agama lain berpropaganda di kalangan Muslim. Selebihnya dari populasi ini, yang terutama terdiri dari orang-orang Cina dan India, memeluk agama Budha, Tao, dan Hindu, dan orang-orang ini mendalami tradisi-tradisi yang tidak berdasarkan Alkitab. Minoritas orang ”Kristen” dibagi ke dalam banyak sekte, dan kebanyakan dari mereka sangat dikuasai oleh imam, pastor, dan pendeta mereka masing-masing.

Selain itu, terdapat problem banyaknya bahasa dan dialek, belum lagi buta aksara, maka, jelas mengapa banyak waktu dan ketekunan diperlukan untuk membantu orang-orang yang sederhana ini membayangkan kehidupan dunia baru dan melepaskan diri dari belenggu takhayul serta tradisi. Di antara orang-orang Cina, misalnya, pemujaan kepada orang-tua dipraktikkan pada masa mereka masih hidup dan, sering kali, setelah mereka mati. Maka, suatu hal yang umum bila seorang penyiar diberi tahu oleh penghuni rumah bahwa ia ingin menjadi seorang Kristen, namun ia harus menunggu dulu sampai ibunya meninggal.—Bandingkan Matius 8:21, 22.

Kantor Cabang Baru Mengalami Kemajuan yang Baik

Selama empat tahun dinas pertama setelah kantor cabang Malaysia yang baru dibentuk pada tahun 1972, terlihat kenaikan dengan rata-rata lebih dari 20 persen setiap tahun. Setelah itu pekerjaan kesaksian tidak menunjukkan kemajuan, namun menjelang tahun 1976 jumlahnya telah bertambah dari kira-kira 200 menjadi 433 penyiar kerajaan yang aktif. Belakangan angka 500 dalam jumlah penyiar dicapai pada tahun 1980. Kegembiraan meluap pada tahun dinas 1989 ketika jumlah penyiar 1.000 dicapai pada bulan Februari, dan belakangan jumlah itu dilampaui dengan puncak sebesar 1.102 sebelum tahun dinas tersebut berakhir. Suatu puncak sepanjang masa dari mereka yang dibaptis selama satu tahun juga dicapai pada tahun 1991, dengan 164 orang yang melambangkan pembaktian mereka. Jumlah penyiar terus bertambah, dengan puncak sebesar 1.391 dicapai pada bulan Agustus 1992.

Meski pujian atas pertambahan ini terutama harus diberikan kepada Allah Yehuwa, ”yang memberi pertumbuhan”, anjuran dan teladan kesetiaan yang diberikan oleh para pengawas wilayah dan distrik yang melakukan perjalanan keliling, bagaimanapun juga, telah memberi sumbangan besar bagi pertambahan stabil yang dinikmati selama beberapa tahun. (1 Kor. 3:6, 7) Pengawas wilayah pada tahun-tahun awal berdirinya kantor cabang termasuk Les Franks, Robert Cunard, dan Alfred Wicke, yang masing-masing juga melayani sebagai pengawas distrik. Saudara-saudara lain yang turut serta dalam pekerjaan wilayah selama beberapa tahun adalah Norman Bellotti, Michael Freegard, Michael Chew, Chow Yee See, Khoo Soo Theong, Koh Chye Seng, N. Sreetharan, dan S. Thiyagaraja.

Juga terdapat saudara dan saudari setia lainnya yang dengan upaya keras telah membantu mengubah kelompok yang terisolasi dan bahkan wilayah yang belum tersentuh menjadi sidang-sidang. Liew Lai Keen tiba di Kuala Trengganu pada tahun 1971 untuk bekerja sebagai guru. Meski ia sendirian, ia segera mulai mengabar dari rumah ke rumah sehingga akhirnya sebuah sidang terbentuk. Pada tahun 1971, perintis istimewa Michael Chew diutus kembali untuk melayani kelompok kecil saudara-saudara di Klang. Ketika ia menikah, istrinya, Karen, juga diangkat sebagai perintis istimewa. Menjelang tahun 1974 kelompok kecil ini menjadi sebuah sidang, dan sekarang ada dua sidang di Klang. Dulu pada tahun 1975, Koh Chye Seng melaksanakan penugasan pertamanya sebagai perintis istimewa di Kuantan dan segera membina kelompok yang terisolasi di sana menjadi sebuah sidang. Belakangan, pada tahun 1985, Saudara dan Saudari Chew ditugaskan ke kota yang terpencil yaitu Sitiawan, yang sekarang memiliki sebuah kelompok yang sedang berkembang.

Suatu Terobosan dengan Kelompok-Kelompok Keluarga

Hingga waktu itu, sebagian besar sidang terdiri dari orang-orang muda yang masih duduk di bangku sekolah. Setelah mengikuti ujian akhir dan lulus sekolah lanjutan, banyak di antara mereka, baik saudara maupun saudari, pindah untuk mencari pekerjaan. Meskipun ini menyebabkan kurangnya stabilitas dalam sidang-sidang, namun ini tidak berarti mengurangi iman dan tekad orang-orang muda tersebut.

Misalnya, pertimbangkan seorang remaja bernama Tan Teng Koon. Segera setelah orang-tuanya tahu bahwa ia sedang belajar dengan Saksi, mereka mulai menganiayanya. Pertama, ia terus-menerus dimarahi. Kemudian ia dipukuli. Semua lekturnya dirobek. Ketika ia tetap menghadiri perhimpunan, sepedanya dikunci agar ia tidak bisa pergi. Namun ia berjalan kaki sejauh tiga kilometer ke Balai Kerajaan. Ia terpaksa menyembunyikan semua lekturnya. Namun Alkitabnya terlalu tebal, karena itu ia membaginya ke dalam beberapa ”buku kecil”. Kemudian ia membuat sebuah ruang rahasia dalam tas sekolahnya sehingga ia dapat membawa beberapa buku kecil itu dan menyembunyikan sisanya di langit-langit rumahnya. Ia menyangka telah menemukan tempat persembunyian yang sempurna sampai suatu hari hujan turun—dan membasahi lektur-lekturnya! Pada suatu hari ketika ia sedang belajar Alkitab di Balai Kerajaan, ibunya datang dan menyeretnya pulang. Setelah itu ia mengatur agar pengajaran dilakukan di tempat-tempat yang berbeda dan pada waktu yang berlainan. Sekarang, Saudara Teng Koon, yang telah menikah dan mempunyai dua anak, melayani sebagai pelayan sidang.

Akan tetapi, pada awal tahun 1970-an, mulai terlihat perubahan sedikit demi sedikit—keluarga-keluarga secara keseluruhan, bukan hanya orang-perorangan, mulai menyambut kebenaran. Salah satu keluarga pertama yang mengenal kebenaran adalah keluarga dari Penang, Tan Eng Hoe dan istrinya, Geok Har, beserta tiga anak mereka. Mereka berdua berlatar belakang agama Metodis, dan Saudari Tan dulu juga adalah pemain organ di gereja selama beberapa tahun. Keluarga itu menghadapi perjuangan yang berat dan banyak tentangan dari seluruh sanak-saudara ketika mereka menetapkan pendirian mereka untuk menjadi Saksi-Saksi Yehuwa, namun mereka tetap teguh. Hal ini selanjutnya menganjurkan keluarga-keluarga lain untuk menyambut kebenaran. Keluarga lainnya adalah Philip dan Lily Kwa beserta kedua anak mereka. Sekarang, baik Saudara Kwa maupun Saudara Tan melayani sebagai penatua.

Lokasi Kantor Cabang Pindah dan Meluas

Lembaga tidak memiliki fasilitas Rumah Betel di Malaysia namun selama bertahun-tahun Lembaga telah menyewa bangunan-bangunan yang cocok. Ketika kantor cabang mulai beroperasi pada tahun 1972, Sidang Penang baru saja membeli Balai Kerajaan mereka sendiri. Balai tersebut berada di lantai bawah sebuah bangunan berpaviliun bertingkat dua yang indah, yang terletak di bagian ujung deretan rumah kopel. Selain ruang utama yang luas di lantai dasar, ada juga sebuah ruang di belakang yang cocok untuk tempat penyimpanan lektur, sementara lantai atas dapat dipakai sebagai tempat tinggal. Lembaga telah menyewa ruangan-ruangan bangunan ini dari Sidang Penang untuk digunakan sebagai rumah utusan injil dan depot lektur. Maka ketika kantor cabang baru berdiri, rumah utusan injil dan depot lektur menjadi Rumah Betel dan kantor. Ini berjalan sangat baik, dan segalanya berlangsung lancar selama beberapa tahun. Namun, karena beberapa alasan, kantor cabang perlu dipindahkan dari Balai Kerajaan Penang. Sebenarnya, kantor cabang maupun Rumah Betel dirasakan perlu untuk dipindahkan setelah beberapa tahun berlalu, namun kedua tempat itu dipindahkan ke lokasi lain yang tidak jauh dari situ, dengan demikian kantor pusat Betel tetap berada di Pulau Penang yang menyenangkan.

Namun, pada awal tahun 1980-an, dirasakan bahwa lokasi kantor cabang yang lebih ke pusat akan bermanfaat dan dengan demikian dapat memberikan pengawasan yang lebih efisien atas pekerjaan Kerajaan. Maka, upaya dikerahkan untuk mencari tempat yang cocok di wilayah Kuala Lumpur—ibu kota negara itu.

Tempat-tempat yang sesuai tidak mudah disewa. Namun pada tahun 1982, terdapat dua bangunan dupleks berlantai dua yang hampir selesai dibangun di daerah Klang, sekitar 30 kilometer dari Kuala Lumpur. Ketika itu hanya satu bagian dari masing-masing bangunan dupleks tersebut dapat disewa, tetapi satu bagian cukup ideal bagi Rumah Betel dan kantor cabang, dan bagian lainnya dapat digunakan untuk pengiriman dan gudang. Seperti yang sering terjadi dengan gedung-gedung baru, terdapat beberapa penundaan dalam pembangunan, tapi akhirnya, pada tanggal 1 Juli 1983, perpindahan dilakukan dari Penang ke Klang. Kemudian, pada bulan Februari 1986, bagian lainnya dari bangunan dupleks pertama tersebut dapat disewa. Dengan demikian bagi cabang tersedia seluruh bangunan dupleks serta bagian dari bangunan kedua yang berdampingan. Belakangan, pada awal tahun 1989, bagian terakhir dari bangunan dupleks kedua juga dapat disewa. Maka sekarang kantor cabang memiliki dua bangunan dupleks yang indah yang berdampingan satu sama lain, memungkinkan tersedianya ruang tambahan untuk perkantoran, pengiriman, dan gudang, serta pemondokan bagi tambahan staf Betel.

Sambutan Perintis Sejajar dengan Pertambahan

Sejak operasi kantor cabang dimulai pada tahun 1972, terdapat korelasi antara sambutan bagi pekerjaan perintis sepenuh waktu dan pertambahan dalam jumlah penyiar Kerajaan. Dari jumlah rata-rata 214 orang yang mengabar pada tahun itu, 32 orang ikut dalam pekerjaan perintis biasa atau istimewa. Jumlah perintis terus bertambah secara teratur sampai tahun dinas 1975, ketika, dari 373 penyiar, terdapat puncak 64 perintis.

Kemudian selama tujuh tahun berikutnya, jumlah perintis terus-menerus menurun sampai mencapai angka 50 pada tahun 1982. Namun, sejak saat itu terdapat kenaikan yang mantap dalam jumlah pekerja sepenuh waktu setiap tahunnya, dan sekarang kita bersukacita melihat 123 orang terjun dalam dinas perintis. Sambutan bagi pekerjaan perintis ekstra juga luar biasa dalam periode yang sama. Di antara tahun-tahun terbaik baru-baru ini terlihat puncak sebesar 239 perintis ekstra yaitu pada bulan Mei 1988.

Pengalaman berikut ini merupakan pengalaman yang khas tentang berkembangnya keinginan yang sepenuh hati untuk ambil bagian dalam dinas perintis.

”Setiap kali saya membaca tentang pengalaman perintis dalam publikasi Lembaga, timbul keinginan saya untuk menjadi hamba Yehuwa sepenuh waktu. Saya bahkan mencari artikel-artikel mengenai merintis dalam terbitan majalah yang lebih tua. Selama dua tahun berturut-turut, suami saya telah menjadi perintis ekstra sambil bekerja penggal waktu. Saya bekerja duniawi sepenuh waktu dan ini menghasilkan pendapatan tambahan untuk menunjang hidup kami. Namun, saya menyadari bahwa kecuali saya juga bekerja penggal waktu, saya akan dapat terjun dalam dinas sepenuh waktu. Saya dan suami mencarinya tanpa hasil karena pekerjaan penggal waktu di daerah kami sangat langka.

”Sambil berdoa dalam hati saya mendekati majikan saya untuk mengusulkan agar saya bekerja penggal waktu, karena sering kali pekerjaan saya di kantor sangat sedikit. Namun saya merasa kecewa karena jawabannya dengan nada yang pasti: tidak! Satu tahun berlalu. Suatu hari suami saya mengatakan kepada saya bahwa kemungkinan inilah waktu yang cocok bagi kami berdua untuk memasuki dinas sepenuh waktu karena ia telah memperoleh pekerjaan penggal waktu baru yang mungkin dapat menunjang hidup kami berdua, dengan demikian saya bahkan mungkin tidak perlu bekerja penggal waktu lagi. Ia mengingatkan saya bahwa keberhasilan dalam merintis terutama merupakan masalah iman akan pemeliharaan dan persediaan Yehuwa bagi kita. (Mat. 6:33) Karena itu ia menyarankan agar saya mengundurkan diri dari pekerjaan duniawi sepenuh waktu. Dalam dinas pengabaran pada bulan itu, kami mendapatkan beberapa pengajaran Alkitab yang baru. Ini mendorong saya untuk mendekati majikan saya sekali lagi. Saya dan suami menetapkan hari pertama dalam bulan berikutnya sebagai saat mulainya kami melayani sebagai perintis biasa. Sepuluh hari sebelum akhir bulan, saya mengajukan permohonan kepada majikan, tetapi ia sekali lagi menolaknya. Maka saya menerangkan kepadanya bahwa karena halnya demikian saya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengundurkan diri, karena saya akan bergabung dengan suami dalam dinas sepenuh waktu kepada Allah mulai hari pertama bulan berikutnya.

”Tiba-tiba ekspresi mukanya berubah. Dia meminta saya menunda niat untuk mengundurkan diri, karena ia ingin mempertimbangkan usul saya itu. Pada sore harinya, saya dipanggil masuk ke kantornya dan ia menyarankan agar saya bekerja setiap sore hari, lima hari seminggu, sementara ia akan mempekerjakan seorang karyawan tata usaha yang baru untuk mengambil alih pekerjaan rutin saya sehari-hari. Saya tertegun! Itu persis apa yang saya ingin rekomendasikan kepadanya! Ia bahkan menambahkan bahwa saya dapat bekerja dengan aturan baru ini selama jangka waktu yang saya kehendaki. Sore itu, ketika saya memberi tahu suami saya, ia juga sangat tercengang. Yehuwa jelas telah menjawab doa-doa kami dan membuka jalan bagi kami untuk menjadi perintis biasa.”

Kebaktian Distrik yang Mula-Mula Menimbulkan Kesulitan

Kebaktian distrik yang pertama direncanakan di bawah pengaturan kantor cabang Malaysia yang baru adalah di Petaling Jaya pada bulan Desember 1972. Satu hal yang menimbulkan keprihatinan adalah tuntutan surat izin untuk semua pertemuan umum kecuali bagi mereka yang hadir di tempat-tempat ibadat yang sudah dikenal. Izin demikian dijanjikan untuk kebaktian yang telah diajukan tersebut, karena sifatnya religius. Akan tetapi, izin yang diperlukan ditolak hanya satu hari sebelum kebaktian dilangsungkan.

Namun, kantor cabang memiliki rencana cadangan: Menggunakan dua rumah pribadi dan dua Balai Kerajaan di Petaling Jaya dan Kuala Lumpur. Hadirin dibagi ke dalam sembilan kelompok: Kelompok berbahasa Cina menikmati acara setiap pagi hari, empat dari delapan kelompok berbahasa Inggris menikmati acara mereka setiap siang hari, dan empat kelompok sisanya menggunakan waktu malam hari.

Tahun berikutnya, izin yang diperlukan sekali lagi sulit diperoleh. Meskipun demikian, pada bulan Oktober 1973 Kebaktian ”Kemenangan Ilahi” dapat dilangsungkan di Ipoh dengan puncak hadirin 320 orang. Sejak itu, karena fasilitas kebaktian yang layak sulit diperoleh di kota-kota lain, Ipoh menjadi lokasi tetap kebaktian distrik selama hampir sepuluh tahun. Tetapi belakangan, tempat-tempat lain dapat digunakan untuk kebaktian dan pada bulan Agustus 1983, tidak lama setelah kantor cabang pindah dari Penang ke Klang, dua Kebaktian Distrik ”Persatuan Kerajaan” diselenggarakan. Satu, di Petaling Jaya, yang diadakan seluruhnya dalam bahasa Cina, dan yang lain di Klang dalam bahasa Inggris. Hadirin seluruhnya untuk khotbah umum hari Minggu siang di kedua kebaktian tersebut berjumlah 966.

Dibelinya Beberapa Balai Kerajaan, Suatu Peristiwa Penting

Tempat-tempat yang disewa untuk digunakan sebagai Balai Kerajaan telah berfungsi dengan baik dan terus berlanjut seperti itu. Namun dibelinya sebuah Balai Kerajaan yang khusus digunakan oleh sidang menambah kesan permanen di mata orang-orang berminat dan penghargaan dalam hati para saudara dan saudari.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sidang Penang dapat membeli Balai Kerajaannya sendiri sekitar satu tahun sebelum kantor cabang Malaysia dibentuk pada tahun 1972. Setelah beberapa tahun, balai yang mula-mula itu telah diperbesar dan diperluas dua kali, untuk menampung pertumbuhan sidang. Namun, empat tahun sebelumnya, sidang Kuala Lumpur berhasil membeli ruang kantor di lantai dua sebuah gedung bertingkat delapan untuk digunakan sebagai Balai Kerajaan mereka. Gedung yang besar dan mengesankan ini, dengan nama yang mengesankan yaitu Selangor Mansion, berada di tepi Sungai Gombak, dan Balai Kerajaan itu berada pada sisi gedung yang memiliki pemandangan ke sungai. Di situ 80 orang dapat duduk dengan nyaman, dan tentu, lebih banyak lagi dapat ditampung pada acara-acara khusus, terutama jika kursi-kursi diletakkan berdempet dengan model khas Melayu atau India. Saudara-saudara merasa gembira memiliki balai mereka sendiri, apalagi di sebuah gedung yang begitu mengesankan. Mereka pindah ke balai tersebut pada bulan September 1967.

Sebenarnya, Selangor Mansion sudah terkenal di kalangan saudara-saudara itu karena selama dua tahun sebuah apartemen di lantai tujuh gedung tersebut telah digunakan sebagai rumah utusan injil bagi empat saudari, yaitu utusan injil lulusan Gilead, Lee Siew Chan dan Grace Sinnapillai (sekarang Grace John) serta para perintis istimewa lainnya. Seraya sidang berkembang, apartemen di lantai ketujuh ini juga digunakan sebagai ruang kedua untuk Sekolah Pelayanan Teokratis dan ruang ini terbukti sangat sesuai—meski kadang-kadang pembicara harus terengah-engah bila lift tidak berfungsi!

Akan tetapi, Balai Kerajaan itu menjadi sangat padat dan tidak nyaman lagi. Masalah itu untuk sementara waktu dapat diatasi sewaktu sebuah apartemen di sebelahnya dibeli dan dindingnya dijebol, dengan demikian ruangan diperbesar, tetapi pada pertengahan tahun 1980-an sebuah balai yang lebih besar sangat dibutuhkan. Saudara-saudara itu menyusuri kota dan daerah pinggiran dengan saksama dan ini mendatangkan hasil ketika akhirnya mereka menemukan sebuah gedung kantor bertingkat empat yang terletak di pojok, yang telah dibangun pada tahun 1985. Karena nilai tanah cenderung turun, gedung tersebut saat itu ditawarkan dengan harga murah yaitu 60 persen dari harga pasaran yang semula! Maka, dengan sumbangan dan pinjaman yang murah hati dari saudara-saudara serta pinjaman dari Lembaga, gedung tersebut dibeli, dan pada tanggal 9 September 1989 sebuah Balai Kerajaan baru, yang cukup besar untuk menampung 220 hadirin, ditahbiskan.

Lebih lanjut, tiga Balai Kerajaan tambahan dibeli oleh beberapa sidang. Dua di antaranya juga ditahbiskan pada tahun 1989—satu di Ipoh dan yang lain di Bukit Mertajam—sedangkan Balai Kerajaan di Klang ditahbiskan pada waktu kunjungan Lyman Swingle dari Badan Pimpinan pada tanggal 17 Januari 1991. Balai Kuala Lumpur yang mula-mula di Selangor Mansion terus digunakan oleh sidang berbahasa Cina yang lebih kecil di kota itu. Beberapa Balai Kerajaan juga dibangun di Sabah dan Sarawak, Malaysia Timur, satu di Keningau dan satu lagi di Kuching. Sekarang, ada sepuluh Balai Kerajaan milik sidang di seluruh Malaysia.

Kunjungan-Kunjungan Istimewa Membina

Kunjungan tahunan para pengawas zona selalu sangat dihargai oleh saudara-saudara, terutama oleh saudara-saudara yang bertanggung jawab yang melayani di Betel. Mereka juga telah menikmati kunjungan saudara-saudara yang berpengalaman dari kantor-kantor cabang yang berdekatan. Pada beberapa kunjungan zona, mereka khususnya diberkati dengan adanya saudara-saudara dari Badan Pimpinan yang datang untuk melayani mereka.

Hanya beberapa tahun setelah kantor cabang tersebut mulai beroperasi, Nathan H. Knorr dan istrinya, Audrey, beserta Saudara Frederick W. Franz dan lima orang lainnya dari Amerika Serikat, mengunjungi Penang pada bulan Januari 1975. Meskipun Saudara Knorr telah mengunjungi Singapura dan Kuala Lumpur sebelumnya, ini merupakan kunjungan pertama baginya dan Saudara Franz ke Penang. Keempat anggota keluarga kecil Betel tergetar dengan kunjungan tersebut, dan semua utusan injil di negeri itu diundang ke Penang untuk pertemuan dan perjamuan makan utusan injil yang istimewa. Pada malam terakhir kunjungan tersebut, 226 orang memadati Balai Kerajaan di Penang untuk mendengar khotbah-khotbah yang disampaikan oleh dua saudara yang berkunjung ini. Hadirin terdiri dari saudara-saudara yang datang dari berbagai penjuru Malaysia dan beberapa dari Indonesia.

Selama beberapa tahun berturut-turut mereka telah menikmati kunjungan dari Lloyd Barry, Albert Schroeder, Lyman Swingle, dan John Booth—semuanya anggota dari Badan Pimpinan—dengan gaya mereka masing-masing, mereka memberikan penyegaran rohani dan anjuran yang limpah bagi keluarga Betel, yang ribuan kilometer jauhnya dari kantor pusat di Brooklyn.

Catatan para Utusan Injil Masa Awal yang Tak Dapat Diabaikan

Di banyak negeri dan kantor cabang yang perkembangannya terutama dimulai pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, gairah, iman, dan teladan integritas serta keuletan para utusan injil yang dilatih di Gilead kelas awal tak pernah dapat dilupakan. Terutama karena pekerjaan yang mereka lakukan dengan tekun, yang kadang-kadang tampak tak dihargai, Allah telah mendatangkan pertambahan. Demikian halnya di Malaysia. Pertimbangkan para utusan injil berikut ini.

Les dan Margaret Franks: Saudara Franks pertama melayani di Singapura dan di Malaysia sebagai pengawas wilayah. Setelah menikah, ia dan Margaret melayani selama lima tahun di Kuala Lumpur yang kini memiliki tiga sidang yang tumbuh dengan subur. Pada tahun 1962 mereka ditugaskan kembali ke Taiping, lalu enam tahun kemudian ke Petaling Jaya, kota satelit Kuala Lumpur, untuk membantu mengembangkan kelompok kecil di sana menjadi sidang. Ini dicapai pada tahun 1974, dan sekarang dua sidang yang sedang berkembang memberitakan kabar baik di kota yang makmur secara materi ini. Pada tahun 1983, Saudara dan Saudari Franks kembali ke Selandia Baru, tempat mereka melanjutkan dinas sepenuh waktu dengan setia.—Lihat kisah hidup Les Franks dalam The Watchtower 15 November 1958.

Alfred dan Thelma Wicke: Saudara Wicke pertama melayani di Singapura, kemudian di Penang selama dua tahun sebelum Perang Dunia II. Thelma melayani bersamanya di Penang dan Malaya setelah mereka menikah. Mereka terpaksa kembali ke Australia pada masa perang, tempat mereka meneruskan dinas sepenuh waktu. Setelah mengikuti pelatihan Gilead, pada tahun 1949 mereka ditugaskan kembali ke Singapura dan belakangan ke Penang. Saudara Wicke melayani di kantor cabang sejak kantor tersebut didirikan pada tahun 1972, pertama sebagai pengawas cabang, kemudian sebagai koordinator Panitia Cabang, sampai kesehatan Saudari Wicke menurun akibat penyakit Alzheimer yang menyebabkan mereka kemudian ditugaskan kembali ke dinas Betel di Australia. Di sana Thelma dapat dirawat dengan lebih baik di klinik kantor cabang.—Lihat kisah hidup yang menarik dari Alfred Wicke dalam The Watchtower 1 Agustus 1961.

Norman dan Gladys Bellotti: Saudara dan Saudari Bellotti melayani di Singapura dan di Kuala Lumpur serta Ipoh, lalu belakangan kembali ke Singapura untuk menangani tugas-tugas di kantor cabang. Kemudian, mereka melayani selama tujuh tahun sebagai utusan injil di Indonesia dan kemudian pergi ke Papua Nugini. Pada awal tahun 1986, Saudara Belloti mulai berjuang melawan penyakitnya yang parah dan akhirnya tertidur dalam kematian pada bulan April 1987. Saudari Bellotti dengan tabah terus melanjutkan pekerjaan, melayani dengan setia dalam penugasan perintis di Brisbane, Australia.

Michael Freegard dan Peter Price: Pada tahun 1957 dua saudara berkebangsaan Inggris yang berwajah segar tiba di Kuching, Sarawak, setelah mengikuti pelatihan Gilead. Mereka melakukan pekerjaan yang baik di sana selama dua tahun sebelum ditugaskan ke Malaka. Keduanya akhirnya menikah dengan dua saudari keturunan Cina yang bergairah dan melanjutkan dinas utusan injil sampai mereka mempunyai anak. Saudara Freegard sekarang tinggal di Inggris bersama keluarganya, tempat ia melayani sebagai penatua di sebuah sidang di London. Setelah putra-putra mereka bertumbuh dewasa, Saudara dan Saudari Price mulai melayani di Betel Australia, tempat Saudara Price bekerja di Bagian Informasi Rumah Sakit.

Upaya yang Tidak Lazim dalam Menyambut Kebenaran

Ada persamaan yang mengagumkan dalam cara yang digunakan oleh sebagian besar saudara dan saudari di Malaysia dalam menetapkan pendirian mereka bagi kebenaran. Ada yang ditemui pertama kali pada waktu mereka masih muda, biasanya masih duduk di bangku sekolah, dan menghadapi tentangan yang hebat dan keras dari keluarga, atau ada yang mulai belajar dengan Saksi-Saksi meskipun seorang suami, istri, atau anggota keluarga lainnya menentang. Dalam kebanyakan kasus, ketekunan seperti Kristus telah membuahkan hasil, dan lambat-laun tentangan tersebut berkurang dan akhirnya berhenti sama sekali. Beberapa orang-tua dan pasangan hidup yang pada mulanya menentang dengan keras sekarang menjadi Saksi-Saksi yang berbakti.

Tidak sedikit orang yang telah mengerahkan upaya besar untuk belajar kebenaran. Misalnya, seorang perintis istimewa bertemu dengan seorang wanita muda yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga selama berjam-jam setiap hari, dari pagi sampai kira-kira tengah malam. Namun, pembantu tersebut mengembangkan rasa lapar akan kebenaran sedemikian rupa sehingga ia meminta agar pengajaran diadakan tiga kali seminggu. Seraya kemajuan rohani diperlihatkan, ia memberanikan diri meminta waktu bebas kepada majikannya untuk menghadiri perhimpunan. Ia diberi izin asalkan pekerjaan rumah tidak terbengkalai. Ini berarti agar ia bebas pada malam-malam perhimpunan, ia harus bekerja lebih keras, bahkan tidak sempat makan siang, dan kemudian lari sejauh kira-kira hampir satu kilometer agar sampai di Balai Kerajaan tepat pada waktunya. Ia bangun pada pukul 5.30 setiap pagi agar dapat melakukan pelajaran pribadi selama satu jam sebelum mulai bekerja. Belakangan ini ia mulai ambil bagian secara tetap tentu dalam kegiatan pengabaran.

Beberapa orang telah belajar kebenaran dengan cara yang tidak lazim. Sebuah pengalaman yang dialami seorang anggota gereja Pentakosta yang menemukan sebuah Alkitab tua di tempat sampah. Dalam Alkitab versi itu nama Yehuwa muncul di seluruh Kitab-Kitab Ibrani. Maka, ketika salah seorang saudari kita berkunjung dan menggunakan nama Yehuwa dalam pembicaraannya, wanita ini segera menerima tawaran untuk pengajaran Alkitab di rumah. Rekan-rekan anggota gerejanya berupaya keras mengecilkan hatinya untuk tidak belajar dengan Saksi-Saksi, tetapi ia tidak mau mengatakan kepada saudari itu agar berhenti berkunjung. Sebaliknya, ia memutuskan untuk berdoa dan meminta agar Tuhan yang menghentikan pengajaran tersebut. Rekan-rekan anggota gerejanya mempersembahkan doa yang serupa. Doa-doa tersebut tidak berpengaruh, dan saudari kita ini terus mengunjunginya.

Orang yang berminat ini sekarang mulai berpikir jangan-jangan doa dari Saksi-Saksi Yehuwa dan Allah mereka, Yehuwa, lebih berkuasa daripada doanya sendiri. Maka ia melanjutkan pelajaran dan merasa senang dengan jawaban yang masuk akal atas banyak pertanyaan yang ia ajukan. Akan tetapi, pada waktu yang sama, ia terus menghadiri gerejanya, karena ia sangat terlibat dengan karunia lidah. Namun ia mengakui bahwa setiap kali ia berbicara dengan karunia lidah di gereja, ia menderita karena ia langsung akan merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga. Kemudian ia akan menderita sakit kepala yang hebat dan bertingkah seperti sedang mabuk dan merasa mual. Bahkan ketika ia berdoa di rumah, lidahnya akan berputar-putar tak terkendali mengeluarkan kata-kata yang tak dapat ia mengerti. Kemudian pada malam hari ia mulai mendapat penglihatan, yang tampaknya seperti Yesus, dan ia menjadi sangat takut.

Ketika ia mengetahui, dengan bantuan buku Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab, bahwa apa yang dilihatnya itu bukan Yesus tetapi tanpa diragukan adalah roh-roh jahat, ia memutuskan untuk berseru keras memanggil nama Yehuwa bila ia menemui kesulitan seperti itu lagi. Maka pada pertemuan berikutnya di gereja Pentakosta, ketika yang lainnya bernyanyi ”Puji Tuhan!” ia berseru, ”Puji Yehuwa!” Ia terheran-heran karena ketika semua yang lain mulai berbicara dengan karunia lidah, ia sendiri tidak. ”Apa yang saya lakukan di sini?” tanyanya kemudian pada dirinya sendiri. ”Ini jelas bukan agama yang sejati.” Sejak hari itu, ia tidak pernah datang ke gereja Pentakosta itu lagi dan sekarang menjadi penyiar kabar baik yang terbaptis.

Pengalaman lainnya mengenai seorang wanita Katolik yang memperlihatkan kemajuan yang baik dalam pengajaran Alkitabnya dengan Saksi-Saksi. Ia terutama terkesan ketika ia belajar bahwa Trinitas merupakan doktrin kafir. Pastor setempat berkunjung dan memerintahkannya untuk berhenti belajar dengan Saksi-Saksi dan sebaliknya menghadiri diskusi Alkitab di Gereja Katolik. Wanita ini mengatakan kepada pastor tersebut bahwa ia belajar dari Alkitab tentang perkara-perkara yang belum pernah didengarnya di gereja. Kemudian ia berkata kepada pastor itu, ”Baiklah, jika saya berhenti belajar dengan Saksi-Saksi Yehuwa, apakah Bapak akan datang dan mengajar saya Alkitab sekali seminggu?” Ia menjawab dengan marah, ”Apakah Anda menyangka Anda begitu penting sehingga saya, seorang pastor, harus datang jauh-jauh ke sini untuk mengajarmu Alkitab setiap minggu?” Kemudian, pembicaraan tersebut menjadi sangat hidup ketika wanita itu mulai mengajukan berbagai pertanyaan berdasarkan Alkitab yang tidak dapat dijawab oleh pastor tersebut. Akhirnya, pastor itu melontarkan argumen yang lemah untuk membuktikan bahwa dewasa ini tidak seorang pun dapat benar-benar berpaut kepada Firman Allah, dengan berkata, ”Jika Anda ingin mengikuti Alkitab, Anda tidak boleh makan nasi [yang umum dilakukan orang-orang Malaysia]. Apakah Yesus makan roti atau nasi?” Namun, sebaliknya daripada merasa terkesan, anggota jemaat yang dianggap hilang ini menjawab, ”Itu argumen terbodoh yang pernah saya dengar.” Mendengar itu pastor melompat dari kursinya dan meninggalkan rumah wanita tersebut dengan marah. Wanita tulus yang dulunya penganut agama Katolik ini terus membuat kemajuan yang baik dalam pengajaran Alkitab di rumahnya dan sekarang telah memutuskan semua hubungan dengan gereja.

Pekerja Betel Bertambah seraya Kantor Cabang Diperluas

Ketika kantor di Penang berubah fungsinya pada tahun 1972 dari melayani sebagai sebuah depot lektur di bawah Kantor Cabang Singapura menjadi beroperasi sebagai kantor cabang bagi seluruh Malaysia, penyiarnya hanya berjumlah 200 orang. Dengan demikian, Alfred dan Thelma Wicke dapat menangani kantor tersebut sekaligus membaktikan sebagian waktu mereka dalam dinas pengabaran sebagai utusan injil. Namun seraya jumlah penyiar bertambah, jumlah pekerjaan administrasi serta tugas-tugas lain di kantor cabang pun ikut bertambah. Sejak tahun 1972 keluarga Betel telah bertambah dan sekarang terdiri dari sepuluh anggota.

Penyelenggaraan Panitia Cabang mulai beroperasi pada tahun 1976, dan panitia mula-mula yang dilantik oleh Badan Pimpinan adalah Les Franks, Robert Cunard, dan Alfred Wicke, dengan Saudara Wicke melayani sebagai koordinator. Panitia tersebut kemudian bertambah menjadi empat anggota, yaitu sekarang Robert Cunard, Foo Chee Kang, Koh Chye Seng, dan Ng Hock Siew. Saudara Koh dan istrinya mengikuti kelas Gilead ke-73 pada tahun 1982 dan ditugaskan kembali ke Malaysia dalam pekerjaan wilayah. Ketika Saudara Wicke menyadari bahwa ia kemungkinan besar harus meninggalkan dinasnya di Malaysia karena kesehatan Saudari Wicke yang semakin memburuk, Saudara dan Saudari Koh diundang menjadi anggota keluarga Betel. Belakangan, Saudara Koh dilantik menjadi anggota Panitia Cabang. Kemudian, ketika Saudara dan Saudari Wicke meninggalkan Malaysia untuk kembali ke Australia pada bulan Oktober 1989, Saudara Koh dilantik sebagai koordinator Panitia Cabang.

Kebenaran Menyebar ke Sabah dan Sarawak

Catatan mengenai pekerjaan di Malaysia tidak akan lengkap tanpa menceritakan kesabaran yang ditanggung serta upaya yang rajin dari banyak saudara dan saudari yang telah memperlihatkan iman yang luar biasa dalam memberitakan kabar baik selama 35 tahun terakhir ini di Malaysia Timur. Seperti yang dapat dilihat di peta, Malaysia Timur secara geografis terpisah dari Semenanjung Malaysia oleh Laut Cina Selatan dan wilayah ini terdiri dari negara bagian Sabah dan Sarawak yang terletak di pantai utara dan barat laut dari Pulau Kalimantan yang besar.

Kedua daerah ini memiliki banyak hal unik yang dapat ditawarkan kepada wisatawan yang berkunjung. Ciri yang menonjol dari Sabah adalah Gunung Kinabalu yang tingginya lebih dari 4.000 meter. Sebaliknya, Sarawak, yang dulu terkenal sebagai Negeri Para Pengayau (pemburu kepala orang), sekarang terkenal akan rumah-rumah panjangnya yang menarik. Rumah-rumah ini berstruktur panjang, terbuat dari kayu keras dan daun-daun palem, dibangun di atas tiang-tiang yang kokoh, dan biasanya terletak di tepi sungai, di pinggir hutan. Setiap rumah panjang dapat menampung kira-kira 40 tempat tinggal yang terletak berdampingan di sepanjang lorong yang digunakan bersama. Dengan demikian banyak keluarga dapat tinggal di sebuah bangunan panjang seperti itu.

Kembali ke awal tahun 1950-an, ada dua keluarga Saksi di Sabah. Mereka tinggal di ibu kota, Jesselton, yang sejak itu namanya berubah menjadi Kota Kinabalu. Kemudian, pada tahun 1956, tiga saudara yang berbakti dari Filipina datang ke Sabah untuk suatu kontrak kerja dan menetap di kota pelabuhan Tawau. Tidak lama setelah itu istri-istri mereka menyusul. Selama beberapa tahun kemudian, saudara-saudara lain serta keluarga mereka datang dari Filipina oleh karena pekerjaan duniawi mereka. Mereka mulai memberi kesaksian kepada orang-orang lain, dan pada waktunya sebuah sidang dibentuk. Hasilnya, menjelang tahun 1963 terdapat 28 penyiar di Tawau.

Selama lebih dari 20 puluh tahun, sidang tersebut menggunakan rumah salah seorang saudara yang pertama datang dari Filipina sebagai Balai Kerajaan mereka. Belakangan, pada tahun 1983, sebuah tempat pertemuan lain ada di lantai dua sebuah gedung pertokoan. Meskipun lokasi baru itu jauh lebih mudah dicapai—terutama pada musim hujan—ventilasinya buruk, sehingga udara di ruangan tersebut sangat panas. Tempat itu juga sangat bising dan berdebu karena di lantai bawah terdapat bengkel ban dan mobil. Syukur, sebuah rumah besar bertingkat dua bisa disewa pada bulan Januari 1985. Sidang Tawau terus bertumbuh secara rohani maupun jumlahnya selama bertahun-tahun dan kini ada 62 penyiar.

Pada tahun 1984, Saudara dan Saudari Lua, yang telah melayani sebagai perintis istimewa di Malaka, ditugaskan ke sidang Tawau. Kehadiran mereka di sidang itu, serta peranan bimbingan mereka dalam dinas pengabaran, benar-benar memberikan dorongan bagi sidang tersebut. Saudara Lua juga telah melayani sebagai pengawas wilayah pengganti di Sabah pada berbagai waktu.

Namun Sidang Tawau juga telah sangat dianjurkan dengan adanya dua saudari perintis lainnya yang berbakti. Salah satunya adalah, Saudari Gan Yam Hwa, yang datang dari Semenanjung Malaysia sebagai perintis pada tahun 1985. Yang lainnya adalah, Saudari Victoria Ico, yang dibaptis pada tahun 1947 di Filipina. Pada tahun 1988 ia pindah dari Tawau ke kota Keningau di pedalaman, yang adalah salah satu tempat yang memiliki Balai Kerajaan yang dibangun sendiri oleh saudara-saudara di situ. Balai yang baru dibangun ini pertama kali digunakan untuk perayaan Perjamuan Malam Tuhan tahun 1989 dan ditahbiskan pada tanggal 1 Juni tahun itu.

Sidang kedua yang didirikan di Sabah adalah di Kota Kinabalu, di situ pekerjaan kesaksian hanya dimulai dengan jumlah yang kecil pada tahun 1950-an. Sekarang ada 71 penyiar dan 6 perintis yang melayani di sidang ini. Maka dengan adanya dua sidang dan lima kelompok terpencil di kota Keningau, Lahad Datu, Sandakan, dan Kota Belud, serta di Pulau Labuan, pekerjaan berada di atas dasar yang kokoh di negeri Sabah. Jumlah puncak penyiar, termasuk para perintis, sekarang telah mencapai 180 orang.

Negara kembarnya, Sarawak, hampir sama dengan Sabah dalam banyak hal. Sarawak juga memiliki lima kelompok terpencil. Namun, terdapat tiga sidang—salah satunya juga telah membangun Balai Kerajaannya sendiri.

Baik Sabah maupun Sarawak menerima kunjungan pertama pengawas wilayah dari Singapura pada pertengahan tahun 1950-an. Kemudian, dua utusan injil muda Inggris dari kelas Gilead ke-28, Michael Freegard dan Peter Price, ditugaskan ke Kuching, ibu kota Sarawak. Mereka tiba di sana pada bulan Oktober 1957 dan mendirikan sebuah rumah utusan injil. Mereka memperoleh visa untuk satu tahun dan kemudian tidak mendapat kesulitan sewaktu memperpanjang untuk tahun berikutnya. Namun, permohonan perpanjangan visa mereka untuk tahun berikutnya lagi ditolak tanpa alasan yang jelas, maka dengan terpaksa mereka harus meninggalkan Sarawak pada bulan November 1959. Mereka ditugaskan kembali ke Malaka untuk meneruskan pekerjaan utusan injil.

Meskipun demikian, setelah dua tahun di Kuching, mereka berhasil meninggalkan suatu inti sidang dengan 25 orang menghadiri perhimpunan yang diadakan secara tetap tentu di rumah utusan injil, dan beberapa di antara mereka yang belajar dengan kedua utusan injil tersebut juga ikut ambil bagian dalam dinas pengabaran secara tetap tentu. Selama mereka berada di Sarawak, risalah Man’s Only Hope for Peace (Satu-Satunya Harapan Manusia Akan Perdamaian) diterjemahkan ke dalam bahasa Iban dan kemudian dicetak oleh Lembaga. Risalah tersebut disebarkan secara luas sampai ke Sungai Rajang dan ke tempat-tempat terpencil di daerah pedalaman negeri itu, yaitu daerah orang-orang yang hanya dapat berbicara dan mengerti bahasa Iban.

Penerjemahan dilakukan oleh Eliab Bayang, seorang kepala keluarga suku Dayak Iban, yang belajar kebenaran dari salah seorang utusan injil. Ketika Eliab Bayang meninggal, ia mencantumkan dalam surat wasiatnya bahwa sebidang tanah yang bagus diwariskan kepada Sidang Kuching. Sebuah Balai Kerajaan yang menarik sekarang berdiri di tempat itu.

Maka pekerjaan Kerajaan juga terus berkembang di Sarawak. Sidang-sidang terdapat di Kuching, Miri, dan Sibu, dan kelima kelompok terpencil di Bintulu, Sri Aman, Sarikei, Kapit, dan Nanga Medamit. Di seluruh negeri tersebut sekarang terdapat 167 penyiar dan 16 perintis yang melayani dengan setia.

Orang-Orang yang Berharga Terus Dihasilkan

Sungguh, Malaysia yang multikultural telah menghasilkan banyak orang yang berharga. Nabi Hagai yang mendapat ilham menulis, ”Barang yang indah-indah kepunyaan segala bangsa datang mengalir.” (Hag. 2:8) Tentu, rasio penduduk-penyiar masih cukup tinggi yaitu kira-kira 1 penyiar Kerajaan untuk setiap 13.500 orang, namun kesudahannya belum tiba, dan kita menunggu dengan penuh minat untuk melihat apa yang Yehuwa masih akan lakukan sebelum datangnya kesusahan besar secara tiba-tiba.

Sementara itu, kelompok yang bergairah dari 1.391 Saksi, yang sekarang melayani di 36 sidang dan kelompok di seluruh wilayah yang menakjubkan ini, akan terus menyebarkan kabar baik agar dengan bantuan Yehuwa, lebih banyak lagi orang berharga dapat ditemukan.

[Catatan Kaki]

a Lihat kisah kehidupan Saudara Sewell dalam majalah Watchtower 1 November 1988.

[Grafik di hlm. 252]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

MALAYSIA

Grafik Rata-Rata Perintis

211

66

30

17

6

1958 1960 1970 1980 1992

Grafik Puncak Penyiar

1,391

514

168

80

32

1958 1960 1970 1980 1992

[Peta di hlm. 208]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

MALAYSIA

Ibu Kota: Kuala Lumpur

Bahasa-Bahasa Resmi: Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris

Agama Utama: Islam

Penduduk: 18.687.000

Kantor Cabang: Klang

MALAYSIA

SEMENANJUNG MALAYSIA

Penang

Ipoh

PERAK

Kuala Lumpur

Klang

Selat Malaka

THAILAND

Singapura

SUMATRA

[Peta]

MALAYSIA

Kota Kinabalu

BRUNEI

SABAH

SARAWAK

Sungai Rajang

Kuching

Laut China Selatan

FILIPINA

KALIMANTAN

[Gambar di hlm. 213]

Ted Sewell dan istrinya Isabell. Ted membantu membuka jalan bagi kabar baik pada akhir tahun 1930-an

[Gambar di hlm. 216]

George Powell bekerja di depot Singapura sejak tahun 1939 sampai 1941

[Gambar di hlm. 220]

Hotel Raffles di Singapura yang terkenal, tempat Milton Henschel dan Nathan Knorr pada kunjungan mereka yang pertama bulan Maret 1947 mengumumkan bahwa lulusan-lulusan Gilead sedang dalam perjalanan ke tempat itu

[Gambar di hlm. 221]

Pada tahun 1956, Saudara Knorr melakukan kunjungannya yang ketiga ke Singapura. Bersamanya ikut Don Adams dari staf kantor pusat

[Gambar di hlm. 222]

Neil Crockett dan James Rowe tiba di Kuala Lumpur, Malaya, pada tahun 1951, untuk memulai penugasan utusan injil mereka

[Gambar di hlm. 224]

Alfred dan Thelma Wicke bersama Lloyd Barry, kanan, yang melayani sebagai pengawas zona pada bulan Agustus 1956. Di latar belakang tampak gedung sekolah Cina yang sudah tua yang digunakan untuk perhimpunan di Penang

Alfred dan Thelma Wicke pada tahun 1989

[Gambar di hlm. 225]

Sepeda bermotor, yang disebut Sepeda Kumbang, digunakan untuk menyebarkan kabar baik. Thelma Wicke, pada tahun 1951, siap untuk memulai hari pengabarannya di Singapura

[Gambar di hlm. 226]

Dari kiri, Lee Siew Chan, Grace Sinnapillai, dan Ng Yoon Chin, lulusan kelas Gilead ke-31 pada tahun 1958, yang membantu meluaskan berita Kerajaan

[Gambar di hlm. 227]

Norman dan Gladys Bellotti, utusan injil sejak tahun 1949, meletakan dasar yang kuat bagi kepentingan Kerajaan di Kuala Lumpur. Belakangan mereka melayani di Indonesia dan Papua Nugini

[Gambar di hlm. 228]

Les Franks melayani sebagai pengawas keliling, dan setelah ia menikah dengan Margaret, mereka berdua melayani di Kuala Lumpur dan Petaling Jaya

[Gambar di hlm. 230]

Balai Kerajaan dan rumah utusan injil Saudara dan Saudari Bellotti di Ipoh, pada tahun 1960

[Gambar di hlm. 236, 237]

Kantor cabang dan Rumah Betel di Klang, 30 kilometer dari Kuala Lumpur

[Gambar di hlm. 236]

Beberapa Balai Kerajaan terletak di dalam gedung-gedung yang menjulang tinggi, seperti ini di Kuala Lumpur

[Gambar di hlm. 243]

Para utusan injil yang melayani di Singapura dan Malaysia berkumpul di luar gedung tempat Kebaktian Distrik Kehendak Ilahi tahun 1958 yang dilangsungkan di Singapura

[Gambar di hlm. 250]

Douglas King, tengah, melayani sebagai pengawas zona, ketika mengunjungi utusan injil Peter Price dan Michael Freegard pada tahun 1959

[Gambar di hlm. 251]

Panitia Cabang. Dari kiri, Ng Hock Siew, Foo Chee Kang, Robert Cunard, dan Koh Chye Seng

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan