-
Republik Kongo (Brazzaville)Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 2004
-
-
Republik Kongo (Brazzaville)
Judul ”The Truth Shall Make You Free” (”Kebenaran Itu Akan Memerdekakan Kamu”) berkilau pada sampul buku ungu dalam sebuah paket yang baru ia buka. Etienne kebingungan. Tidak ada keraguan bahwa paket itu ditujukan untuknya. Pada label alamat terpampang namanya, Etienne Nkounkou, kepala juru gambar di sebuah departemen pemerintah di Bangui, Afrika Ekuatorial Prancis. Namun, ia tidak memesan buku itu, dan alamat pengirimnya, Menara Pengawal di Swiss, terdengar asing di telinganya. Di luar dugaannya, kebenaran Alkitab yang dijelaskan dalam buku itu akan segera mengubah kehidupannya. Kebenaran itu juga akan membebaskan ribuan rekannya sesama orang Afrika dari agama palsu, prasangka antarsuku, dan buta aksara. Kebenaran itu akan melindungi banyak orang sehingga tidak ikut hanyut dalam euforia politik yang segera melanda negeri itu dan kekecewaan yang menyusulnya. Kebenaran itu akan menyediakan keyakinan dan harapan selama peristiwa-peristiwa traumatis. Kebenaran itu juga akan menggugah orang-orang yang takut akan Allah untuk mempertaruhkan kehidupan mereka guna membantu orang lain. Kisah tentang berbagai perkembangan ini akan menggugah dan menganjurkan Saudara. Namun, sebelum kita mencari tahu apa yang dilakukan Etienne selanjutnya, marilah kita perhatikan beberapa informasi latar tentang negeri kampung halamannya di Afrika.
Satu dasawarsa sebelum Christopher Columbus mengadakan perjalanannya yang terkenal ke Benua Amerika pada tahun 1492, para pelaut Portugis di bawah Diogo Cão tiba di muara Sungai Kongo di Afrika bagian tengah. Mereka tidak tahu bahwa air sungai yang memerciki kapal mereka telah menempuh jarak ribuan kilometer sebelum sampai ke samudra.
Orang-orang Portugis itu bertemu dengan orang-orang setempat, penduduk kerajaan Kongo yang berkembang pesat. Selama beberapa ratus tahun kemudian, orang Portugis dan pedagang lain asal Eropa membeli gading dan budak dari orang Afrika yang tinggal di sepanjang pesisir. Baru pada pengujung tahun 1800-an, orang Eropa berani masuk ke pedalaman. Salah satu pria yang paling terkenal dalam menjelajahi kawasan ini adalah Pierre Savorgnan de Brazza, seorang perwira dalam angkatan laut Prancis. Pada tahun 1880, Brazza menandatangani traktat dengan seorang raja setempat, menjadikan daerah di bagian utara Sungai Kongo itu berada di bawah perlindungan Prancis. Belakangan, kawasan itu menjadi Afrika Ekuatorial Prancis. Ibu kotanya adalah Brazzaville.
Dewasa ini, Brazzaville adalah ibu kota dan kota terbesar di wilayah yang sekarang disebut Republik Kongo. Kota itu terletak di tepi Sungai Kongo. Di hilir, sungai itu mengalir deras melewati batu-batu besar dan tebing sejauh 400 kilometer menuju laut, tempat Cão melabuhkan kapalnya dalam pelayaran penjelajahannya. Dari Brazzaville, Saudara dapat melihat ke seberang sungai ke gedung-gedung pencakar langit di Kinshasa, ibu kota Republik Demokratik Kongo. Karena kedua negara itu mengambil namanya dari sungai tersebut, masing-masing biasa disebut Kongo (Brazzaville) dan Kongo (Kinshasa).
Jeram dan air terjun di hilir Brazzaville membuat sungai itu tidak mungkin dilayari hingga Samudra Atlantik. Namun, sebuah jalur kereta api menghubungkan Brazzaville dengan kota Pointe-Noire di pesisir. Kebanyakan penduduk Kongo tinggal di kedua kota ini dan sekitarnya. Meskipun beberapa kota pesisir terletak lebih jauh di utara, sebagian besar dari negeri yang panas dan berhutan lebat ini jarang penduduknya.
Kebenaran Mulai Membebaskan Orang-Orang
Sekarang, marilah kita kembali ke kisah Etienne. Peristiwa saat ia menerima buku lewat pos itu terjadi pada tahun 1947. Pada hari itu juga, Etienne membaca dan membahas beberapa pasal pertama dengan seorang tetangga. Kedua-duanya mengenali nada kebenaran dan memutuskan untuk mengundang beberapa teman pada hari Minggu berikutnya untuk membaca buku itu bersama-sama dan memeriksa ayat-ayatnya. Mereka yang datang senang dengan apa yang mereka pelajari dan memutuskan untuk bertemu kembali pada hari Minggu berikutnya. Seorang petugas pabean bernama Augustin Bayonne hadir pada pertemuan kedua. Seperti Etienne, ia berasal dari Brazzaville, dan ia pun menjadi bergairah dalam menyebarkan kebenaran yang mendatangkan kebebasan sejati.
Pada minggu berikutnya, Etienne menerima dua pucuk surat. Yang pertama dari seorang kenalan di Kamerun yang mengetahui minat Etienne pada agama. Ia menulis bahwa ia telah mengirimkan nama Etienne ke kantor Lembaga Menara Pengawal di Swiss. Surat kedua datang dari Swiss yang memberi tahu bahwa sebuah buku dikirimkan kepada Etienne dan menganjurkan dia untuk membaca buku itu lalu membagikan isinya kepada keluarga dan teman-temannya. Surat itu juga mencantumkan alamat di Prancis tempat ia dapat memperoleh lebih banyak informasi. Sekarang, Etienne tahu mengapa buku itu sampai ke tangannya. Segera, ia mulai berkorespondensi secara teratur dengan kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Prancis.
Dalam waktu beberapa tahun, baik Etienne maupun Augustin telah kembali ke Brazzaville. Namun, sebelum itu, Etienne menyurati seorang kenalan di Brazzaville yang bernama Timothée Miemounoua, yang adalah dekan sebuah sekolah teknik. Suratnya diawali dengan kata-kata, ”Saya senang memberi tahu kamu bahwa jalan yang telah kita ikuti bukan jalan kebenaran. Saksi-Saksi Yehuwa memiliki kebenaran.” Etienne selanjutnya menjelaskan apa yang telah ia pelajari. Ia juga menyertakan buku ”The Truth Shall Make You Free”. Timothée menyambut baik berita Alkitab, sebagaimana halnya Etienne dan Augustin. Merekalah tiga orang Kongo pertama yang menerima kebenaran Alkitab, dan masing-masing dari mereka selanjutnya membantu banyak orang lain melakukan hal yang sama.
Timothée mengundang siswa-siswa yang tinggal di asrama sekolah teknik itu untuk menghadiri diskusi Alkitab pada malam hari. Ia juga menulis surat untuk meminta publikasi lain yang berdasarkan Alkitab. Kelompok itu mulai mengadakan perhimpunan dan mengabar sebisa-bisanya. Beberapa siswa, seperti Noé Mikouiza dan Simon Mampouya, belakangan menikmati hak istimewa melayani sebagai pengawas dalam organisasi Yehuwa.
Pada tahun 1950, Eric Cooke, seorang utusan injil yang tinggal di Rhodesia Selatan (kini Zimbabwe), berkunjung untuk memberikan dukungan moril kepada kelompok kecil para peminat di Bangui dan Brazzaville itu. Namun, problemnya adalah Saudara Cooke tidak bisa berbahasa Prancis. Etienne mengenang, ”Dengan kamus kecil bahasa Inggris-Prancis-nya, saudara yang rendah hati dan simpatik ini mencoba sebisa-bisanya untuk menjelaskan kepada kami pekerjaan pemberitaan Kerajaan dan organisasi teokratis. Adakalanya kami harus menebak-nebak apa yang ingin ia katakan.”
Pembatasan Diberlakukan
Kunjungan Saudara Cooke sungguh tepat waktu karena pada tanggal 24 Juli 1950, komisaris tinggi pemerintah kolonial memberlakukan pembatasan atas impor dan peredaran semua lektur yang diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Pada tahun berikutnya, para penyiar di Afrika Ekuatorial Prancis menempatkan hanya enam lektur, meskipun mereka mengadakan 468 perhimpunan umum. Dalam 1952 Yearbook of Jehovah’s Witnesses, pengertian dan keibaan hati terhadap saudara-saudara itu diungkapkan. Bunyinya, ”Bayangkan seandainya Saudara berada di sebuah kawasan yang sangat luas dengan hanya 37 penyiar berita Kerajaan yang tersebar di seluruh negeri. Barangkali Saudara belum pernah bertemu dengan saksi-saksi lain yang aktif kecuali beberapa orang saja di kampung halaman Saudara. Satu-satunya hal yang Saudara ketahui tentang kebenaran dan prosedur memberikan kesaksian adalah apa yang Saudara baca dalam publikasi dan beberapa pucuk surat yang berhasil dikirimkan oleh Lembaga kepada Saudara. [Inilah] yang sedang dihadapi oleh saudara-saudara di negeri-negeri Afrika yang dikuasai Prancis.”
Belakangan, Jacques Michel datang dari Prancis untuk membesarkan hati kelompok itu dan menyediakan pelatihan lebih lanjut. Noé Mikouiza, salah satu siswa sekolah teknik itu, mengingat suatu pertanyaan dalam benak mereka. Mereka bertanya, ”Apakah kita dilarang minum anggur?” Semua mata terpaku pada Saudara Michel seraya ia membuka Alkitabnya di Mazmur 104:15. Setelah membacakan ayat itu, Jacques menjelaskan bahwa anggur adalah karunia dari Allah, namun orang Kristen tidak boleh terlalu banyak meminumnya.
Saudara-saudara yang baru dibaptis di Brazzaville itu dengan bergairah memberikan kesaksian kepada orang lain. Pada akhir pekan, mereka secara teratur naik feri melintasi sungai untuk mengabar di Kinshasa. Pada tahun 1952, orang Kongo pertama di sisi selatan sungai itu dibaptis. Saudara-saudara dari Brazzaville banyak membantu saudara-saudara di Kinshasa pada tahun-tahun awal itu. Belakangan, peranan itu akan dibalik.
Pada bulan Desember 1954, saudara-saudara mengorganisasi sebuah kebaktian di Brazzaville. Hadirinnya berjumlah 650 orang, dan jumlah yang dibaptis adalah 70. Kebenaran membebaskan semakin banyak orang dari agama palsu. Tentu saja, para pemimpin agama Susunan Kristen tidak senang dengan hal itu dan berupaya mempengaruhi kalangan berwenang pemerintah untuk melawan Saksi-Saksi Yehuwa. Polisi menyangka Timothée Miemounoua adalah pemimpin Saksi-Saksi, maka mereka sering kali memanggilnya ke kantor polisi. Mereka mengancam dan memukuli dia. Hal ini tidak membuatnya tawar hati, dan ini juga tidak mengintimidasi umat Yehuwa lainnya di Brazzaville. Minat akan kebenaran Alkitab terus menyebar.
Kalangan berwenang kemudian bertindak lebih jauh. Timothée Miemounoua dan Aaron Diamonika, salah seorang mantan siswa sekolah teknik yang menyambut kebenaran, kedua-duanya bekerja pada pemerintah. Pada tahun 1955, pemerintah memindahkan mereka ke kota-kota yang jauh di pedalaman negeri itu. Timothée dikirim ke Djambala, dan Aaron ke Impfondo. Upaya untuk menghentikan kegiatan pengabaran itu ternyata gagal total. Saudara-saudara di Brazzaville terus mengabar dengan bergairah sementara Timothée dan Aaron membuka wilayah dan membentuk sidang-sidang di lokasi baru mereka. Sekalipun saudara-saudara itu bergairah, mereka menanti-nantikan bantuan dari luar. Harapan mereka akan segera terwujud.
Pada bulan Maret 1956, keempat utusan injil pertama tiba, dari Prancis: Jean dan Ida Seignobos disertai Claude dan Simone Dupont. Pada bulan Januari 1957, sebuah kantor cabang yang bertanggung jawab atas pekerjaan kesaksian di Afrika Ekuatorial Prancis ditetapkan di Brazzaville. Saudara Seignobos dilantik sebagai hamba cabang. Tak lama kemudian, tragedi melanda sewaktu istri Jean, Ida, tewas dalam suatu kecelakaan mobil ketika pasangan suami istri itu mengunjungi sidang-sidang di daerah yang sekarang adalah Republik Afrika Tengah. Jean terus melayani dalam tugasnya.
Masuk ke Pedalaman
Pada waktu itu, Augustin Bayonne telah menjadi pengawas wilayah. Augustin mengunjungi desa-desa yang terletak jauh di dalam hutan serta perkemahan orang Pigmi di bagian utara dan barat negeri itu. Karena ia begitu sering berjalan dan pergi ke tempat yang sangat jauh, ia kemudian dikenal di daerah itu sebagai Si Pejalan Kaki. Adakalanya, Jean Seignobos menemani Saudara Bayonne. Jean terkejut karena orang-orang yang tinggal jauh di dalam hutan di khatulistiwa itu sudah mengetahui kedatangan mereka. Genderang mereka telah meneruskan pesan ini: ”Si Pejalan Kaki sedang datang dengan seorang kulit putih.”
Ada banyak hal bagus yang dicapai melalui ekspedisi-ekspedisi ini. Sebelumnya, orang-orang menyatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa hanya ada di Kongo (Brazzaville). Kehadiran Saudara Seignobos dan para utusan injil yang lain, serta pemutaran film The New World Society in Action (Masyarakat Dunia Baru Sedang Beraksi), membuktikan hal yang sebaliknya.
Kebenaran Alkitab terus menembus ke desa-desa yang terletak jauh di pedalaman, membebaskan orang-orang dari praktek spiritisme dan perselisihan antarsuku. Banyak saudara di daerah-daerah ini buta huruf. Karena mereka tidak punya jam, mereka menentukan saat pergi ke perhimpunan berdasarkan ketinggian matahari. Untuk menghitung jam yang digunakan dalam dinas lapangan, mereka menggunakan potongan kayu kecil. Setiap kali mereka memberikan kesaksian, mereka menyelipkan sebatang kayu ke dalam sapu tangan. Empat batang berarti satu jam. Dengan cara itu, mereka dapat mengisi laporan dinas lapangan mereka secara lengkap pada akhir bulan. Namun, sebenarnya saudara-saudara itu mengabar lebih banyak daripada yang dilaporkan, karena kebenaran merupakan topik utama percakapan mereka dengan orang lain.
Perkembangan Hukum dan Perubahan Politik
Ingatlah bahwa pada tahun 1950, pembatasan diberlakukan atas impor lektur yang dihasilkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Sebagaimana yang telah kita lihat, hal ini tidak menghentikan pekerjaan menjadikan murid. Dengan cemas, para pemimpin agama Susunan Kristen mengeluh kepada kalangan berwenang administratif pemerintah, mengajukan dakwaan palsu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah Komunis. Akibatnya, pada suatu hari Kamis tahun 1956, sepuluh saudara ditangkap pada jam lima dini hari. Berita tentang penangkapan itu segera menyebar; para penentang bersukacita. Persidangan diadakan pada hari yang sama di sebuah gedung pengadilan yang penuh sesak dengan saudara-saudara yang datang untuk mengamati jalannya persidangan.
Noé Mikouiza menceritakan, ”Selama jalannya persidangan, kami membuktikan bahwa kami bukan Komunis melainkan orang Kristen, hamba-hamba Allah, yang melakukan apa yang ditulis di Matius 24:14. Pengacara kami, yang telah membaca publikasi kami, memberi tahu majelis pengadilan bahwa seandainya semua orang seperti Saksi-Saksi Yehuwa, tidak akan ada yang melanggar hukum. Pada petang itu juga, keputusan akhirnya diumumkan, ’Tidak bersalah.’ Dengan senang, kami semua bergegas pulang untuk berganti pakaian, karena pada malam itu ada perhimpunan. Berita tentang penangkapan kami telah menyebar ke seluruh kota, dan kami menginginkan semua orang tahu bahwa kami bebas. Di perhimpunan, kami melantunkan nyanyian Kerajaan sekeras-kerasnya. Banyak orang yang mendengar kami terperanjat. Mereka mengira kami masih di penjara.”
Pada tanggal 15 Agustus 1960, Republik Kongo memperoleh kemerdekaannya. Tindak kekerasan politik berkobar. Sementara para pemimpin agama Susunan Kristen ambil bagian secara aktif dalam peristiwa ini, Saksi-Saksi Yehuwa terus mengabar. Pada tahun 1960, sebanyak 3.716 orang menghadiri kebaktian wilayah di Brazzaville. Di bagian utara, orang-orang juga berduyun-duyun datang ke sidang-sidang. Misalnya, di sebuah kawasan tempat 70 penyiar tinggal, hampir seribu orang menghadiri perhimpunan.
Pada bulan Desember 1961, Saksi-Saksi mendaftarkan sebuah badan hukum yang disebut Les Témoins de Jéhovah. Pengakuan hukum mendatangkan manfaat-manfaat, tetapi saudara-saudara tahu bahwa bergantung sepenuhnya pada hal-hal semacam itu adalah kebodohan. Saudara Seignobos menceritakan apa yang terjadi tidak lama setelah itu, ”Pada suatu hari, saya dipanggil oleh seorang pejabat tinggi kantor keamanan yang mengecam kenetralan Kristen kita. Ia mengancam akan mengusir saya dari negeri ini. Saya takut ia bakal melaksanakan ancamannya, karena ia punya wewenang untuk melakukannya. Namun, pada hari berikutnya, ia mati karena serangan jantung.”
Kehidupan Utusan Injil pada Tahun 1960-an
Pada bulan Februari 1963, Fred Lukuc dan Max Danyleyko tiba dari Haiti. Setelah Fred menikah, ia melayani sebagai pengawas wilayah. Pada mulanya, seraya ia mengunjungi sidang-sidang, ia sulit mengetahui siapa saja anggota setiap keluarga. Ia mengenang, ”Saya tidak tahu siapa saja istri penatua, dan saya tidak dapat menebak yang mana anak-anak mereka. Saudara-saudara masih mengikuti kebiasaan di Afrika bagian tengah yakni para istri tetap menggunakan nama keluarga mereka setelah menikah dan anak-anak dinamai menurut nama keluarga seorang kerabat atau teman keluarga.
”Pada malam kunjungan kami yang pertama, di Balai Kerajaan, kami mendapati saudara-saudara diam saja dan malu-malu kepada kami. Ketika perhimpunan dimulai, kami mengamati sesuatu yang ganjil. Saudara-saudara dan anak laki-laki yang lebih dewasa duduk di satu sisi balai; anak-anak yang lebih kecil dan saudari-saudari duduk di sisi yang lain. Sisi untuk saudara cukup penuh sewaktu perhimpunan dimulai, tetapi hanya sedikit yang duduk di sisi untuk saudari. Seraya perhimpunan berlangsung, saudari-saudari lain tiba dengan anak-anak kecil dan Alkitab serta buku-buku yang diletakkan dengan anggun dan seimbang di atas kepala mereka.
”Saya naik ke panggung untuk menyambut sidang itu dan memperkenalkan istri saya dan saya sendiri. Setelah menyampaikan sambutan yang hangat, saya berhenti sejenak, menatap ke sisi untuk saudara di balai itu, lalu berkata, ’Saudara-Saudara, silakan ambil waktu sepuluh menit untuk mencari istri dan anak-anak Saudara. Mulai sekarang, marilah kita duduk bersama-sama sebagai keluarga seperti yang dilakukan oleh umat Yehuwa di seluruh dunia.’ Mereka senang untuk menyelaraskan diri.”
Angkutan umum juga menghadirkan tantangannya sendiri. Istri Saudara Lukuc, Leah, mengenang, ”Kami mengemas tempat tidur lipat kecil, kelambu, ember, saringan air portabel, pakaian, buku, majalah, dan film berdasarkan Alkitab. Untuk menayangkan film-film itu, kami harus membawa juga kabel listrik, bohlam, gulungan film, naskah, pembangkit listrik kecil, dan sejerigen bensin. Kami membawa semua itu dengan truk setempat. Supaya mendapat tempat duduk di ruang pengemudi, kami harus menunggu di pemberhentian truk pada pukul 2.00 dini hari. Kalau tidak, kami harus duduk di belakang, diterpa sinar matahari, bersama hewan, barang, dan banyak penumpang lain.
”Sekali waktu, setelah berjam-jam berjalan di bawah terik matahari, kami sampai di rumah dan mendapati bahwa segerombolan semut telah menyerbu pondok kecil yang terbuat dari lumpur, tempat kami menginap. Mereka telah memanjat sebuah ember air, membuat jembatan dengan tubuh mereka untuk mencapai sekaleng kecil margarin, dan memakannya hingga ludes. Pada malam itu, kami masing-masing menyantap roti panggang kering dan setengah kaleng ikan sarden. Meskipun kami merasa letih dan sedikit kecewa, kami pergi tidur, sementara saudara-saudara di luar melantunkan nyanyian Kerajaan dengan suara rendah di sekeliling api unggun. Benar-benar pengantar tidur yang lembut dan indah!”
Para Utusan Injil dan Penatua Setempat yang Setia
Dari tahun 1956 sampai 1977, lebih dari 20 utusan injil melayani di Kongo (Brazzaville). Meskipun keadaannya tidak selalu mudah bagi mereka, masing-masing memberikan sumbangan yang berharga bagi pekerjaan pemberitaan Kerajaan. Misalnya, semua saudara yang melayani sebagai hamba cabang adalah utusan injil juga. Sewaktu Saudara Seignobos kembali ke Prancis pada tahun 1962, Larry Holmes dilantik untuk mengawasi pekerjaan pengabaran. Setelah Larry dan istrinya, Audrey, meninggalkan dinas utusan injil pada tahun 1965, Saudara Lukuc menjadi hamba cabang.
Banyak saudara setempat juga merupakan teladan yang sangat bagus dalam menjalankan kepemimpinan. Sewaktu penyelenggaraan Panitia Cabang diperkenalkan pada tahun 1976, Badan Pimpinan melantik tiga saudara: Jack Johansson dan Palle Bjerre, yang adalah para utusan injil, serta Marcellin Ngolo, seorang saudara setempat.
Augustin Bayonne—Si Pejalan Kaki—menghadiri Gilead kelas ke-37, pada tahun 1962. Setelah lulus, ia pergi ke Republik Afrika Tengah, tempat, hampir 15 tahun sebelumnya, ia pernah membaca buku ”The Truth Shall Make You Free”. Belakangan, Augustin menikah, mempunyai anak-anak, dan kembali ke Brazzaville, tempat ia mengizinkan rumahnya digunakan untuk perhimpunan. Lantas, ia menyumbangkan sebagian tanah miliknya untuk Balai Kerajaan, yang dibangun belakangan.
Baik Augustin Bayonne maupun Timothée Miemounoua telah meninggal dunia. Tetapi, sebelum meninggal, Timothée menuliskan beberapa pengalamannya. Ia mengakhiri kisahnya dengan mengutip Ibrani 10:39, ”Kita bukan jenis yang undur sehingga binasa, melainkan jenis yang memiliki iman sehingga jiwa terpelihara hidup.” Etienne Nkounkou, salah satu dari ketiga orang pertama yang menerima kebenaran di Kongo, kini berusia hampir 90 tahun. Saudara-saudara ini benar-benar terbukti sebagai teladan dalam melayani dengan setia!
Masa Pengujian
Pada bulan Agustus 1970, Republik Kongo menerapkan bentuk pemerintahan Komunis. Ingatlah bahwa bertahun-tahun sebelumnya, kalangan berwenang menyulitkan saudara-saudara, menuduh mereka sebagai Komunis. Sekarang setelah Komunis yang berkuasa, kalangan berwenang yang baru mengecam saudara-saudara karena mereka bukan Komunis!
Namun, selama beberapa waktu, pemerintah yang baru ini tidak menghalangi pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa. Kebaktian dan perhimpunan diselenggarakan secara terbuka, dan para utusan injil yang baru diizinkan masuk ke negeri itu. Namun, pada akhirnya, saudara-saudara mulai merasakan dampak rezim Komunis. Pertama-tama, beberapa pejabat menuduh para utusan injil sebagai mata-mata. Lalu, pada tanggal 3 Januari 1977, pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa secara resmi dilarang. Satu demi satu, para utusan injil diusir hingga tinggal Jack dan Linda Johansson. Mengenai masa itu, Jack berkata, ”Beberapa bulan sendirian di kantor cabang mungkin merupakan masa yang paling menguji iman dan sekaligus menguatkan iman yang pernah kami alami dalam dinas utusan injil kami. Kami dicurigai sebagai mata-mata Lembaga Intelijen Pusat (CIA) Amerika. Musuh-musuh pemerintah, termasuk para pemimpin agama, ditangkap dan dibunuh. Jadi, kami tahu bahwa kami berada dalam bahaya besar. Namun, kami melihat bahwa tangan Yehuwa melindungi kami, dan hal itu menguatkan iman kami.”
Noé Mikouiza naik banding ke perdana menteri, meminta agar Jack dan Linda diizinkan tinggal di negeri itu. Permintaan itu ditolak; mereka harus pergi. Properti kantor cabang serta Balai-Balai Kerajaan disita, dan kantor cabang ditutup. Selama waktu yang singkat, kantor cabang Prancis mengawasi pekerjaan pengabaran, tetapi belakangan, tanggung jawab ini didelegasikan ke kantor cabang di Kinshasa.
Meskipun saudara-saudara dibatasi dalam beberapa hal, mereka tidak mengalami penganiayaan yang hebat seperti yang harus dialami Saksi-Saksi di negeri lain. Namun, beberapa saudara menjadi takut, dan hal ini menular. Meskipun saudara-saudara masih mengadakan perhimpunan secara teratur, dinas dari rumah ke rumah nyaris terhenti. Sebagai tanggapan, kantor cabang di Kinshasa mengutus para penatua melintasi sungai untuk menganjurkan dan menguatkan saudara-saudara itu.
Salah seorang penatua ini adalah André Kitula. Pada bulan Juni 1981, ia mulai mengunjungi ke-12 sidang di Brazzaville sebagai pengawas wilayah. Saat mengunjungi sidang pertama di kota itu, ia mengamati bahwa saudara-saudara menghadiri Sekolah Pelayanan Teokratis dan Perhimpunan Dinas pada hari Selasa. Namun, pada hari Rabu pagi, tidak satu pun penyiar yang datang ke pertemuan untuk dinas lapangan. Seraya André mulai mengabar sendirian, seorang penghuni rumah berseru kepadanya, ”Dulu Saksi-Saksi Yehuwa yang biasa menghibur kami, tetapi sekarang mereka sudah lenyap!”
Seraya André terus mengabar pada pagi itu, ia bertemu dengan seorang saudara yang mengatakan, ”Kami semua sudah tidak terbiasa lagi mengabar dari rumah ke rumah.” Saudara ini kemudian menceritakan kepada penyiar lain tentang kegiatan André. Pada sore itu, beberapa saudari datang ke pertemuan untuk dinas. Tak lama kemudian, kegiatan dari rumah ke rumah mulai berlangsung kembali di seluruh Brazzaville. Selama tiga tahun, André dan istrinya, Clémentine, melayani di sana, tidak satu pun saudara yang ditangkap. Saudara-saudara di luar ibu kota mendengar tentang apa yang terjadi. Mereka menyimpulkan bahwa jika saudara-saudara di Brazzaville tidak takut pergi dari rumah ke rumah, tidak ada alasan bagi mereka untuk takut.
David Nawej, yang kala itu bekerja di kantor cabang Kinshasa, menjelaskan mengapa kantor cabang sangat senang mengirimkan bantuan melintasi sungai itu. Ia berkata, ”Saudara-saudara dari Brazzaville-lah yang telah menanamkan kebenaran di Kinshasa. Belakangan, sewaktu sistem Komunis di sana membuat kegiatan melambat, Saksi-Saksi di sini pergi untuk membantu saudara-saudara di sana. Hikmat dari Pengkhotbah 4:9, 10 diteguhkan, ’Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena mereka mempunyai upah yang baik untuk kerja keras mereka. Karena jika seorang di antara mereka jatuh, yang seorang lagi dapat mengangkat rekannya.’ Dalam kasus kami, saudara-saudara mengatakan, ’Dua Kongo lebih baik daripada satu.’”
Terus Maju di tengah-tengah Perubahan Politik
Pada tahun 1991, terjadi pergolakan dan perubahan di panggung politik. Kongo (Brazzaville) beralih dari sistem partai tunggal ke sistem multipartai. Meskipun ada euforia di jalanan, saudara-saudara mencamkan peringatan di Mazmur 146:3, yang berbunyi, ”Janganlah percaya kepada para bangsawan, ataupun kepada putra manusia, yang padanya tidak ada keselamatan.” Tak lama kemudian, kebenaran pernyataan ini terbukti.
Meskipun demikian, perubahan politik mendatangkan manfaat bagi umat Yehuwa. Pada tanggal 12 November 1991, menteri dalam negeri mengeluarkan dekret yang mencabut pelarangan atas kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa. Balai-Balai Kerajaan yang telah disita dikembalikan, tetapi tidak demikian dengan bekas bangunan kantor cabang, yang masih ditempati Pasukan Pengawal Presiden hingga sekarang. Pada bulan Agustus 1992, kebaktian distrik diorganisasi di Brazzaville dan Pointe-Noire, yang pertama dalam 15 tahun. Tahun itu juga jumlah pengajaran Alkitab meningkat hingga 5.675, hampir empat kali jumlah penyiar!
Sementara itu, status hukum yang dipulihkan membuka kembali jalan bagi kedatangan para utusan injil. Para perintis istimewa dilantik dan diutus ke bagian utara, tempat sebagian besar hadirin perhimpunannya buta aksara. Sidang-sidang di perkotaan telah berhasil mengajar banyak orang untuk membaca dan menulis. Kinilah waktunya untuk mengintensifkan upaya memasyarakatkan baca-tulis di seluruh negeri itu.
Pemilu pada tahun 1993 menyebabkan perubahan lagi dalam pemerintahan. Ketidakpuasan yang meluas oleh partai oposisi mengakibatkan keadaan darurat selama beberapa minggu. Konfrontasi bersenjata, pemogokan, pemberlakuan jam malam, pengadangan jalan, dan penjarahan semuanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang-orang tersentak dan kecewa. Kesulitan ekonomi tak kunjung berlalu. Euforia tahun 1991 telah padam.
Problem etnik timbul seiring dengan pergolakan politik. Pertikaian antarsuku memaksa beberapa saudara pindah ke lokasi yang lebih aman. Akibatnya, beberapa sidang harus dibubarkan. Sementara itu, saudara-saudara berulang kali memperlihatkan bahwa kebenaran telah membebaskan mereka dari kebencian etnik. Selama pergolakan itu, saudara-saudara saling membantu dan melindungi, tidak soal apa latar belakang suku mereka. Banyak orang mulai sadar bahwa hanya Yehuwa yang dapat memberi mereka keamanan sejati.
Kantor cabang di Kinshasa menyediakan pengarahan dan dukungan moril. Pada akhir tahun 1996, kondisi di negeri itu kembali menjadi damai, dan jumlah penyiar mencapai 3.935 orang. Lima utusan injil tinggal di sebuah rumah utusan injil dan melayani di Brazzaville. Sewaktu tiba dua pasang suami istri lagi, sebuah rumah utusan injil yang baru dibuka di Pointe-Noire pada bulan April 1997.
Di sisi utara sungai, di Kongo (Brazzaville), kehidupan berjalan dengan damai, dan pekerjaan pemberitaan Kerajaan mengalami kemajuan yang lancar. Sementara itu, konflik berkecamuk di negeri tetangga, Kongo (Kinshasa). Seraya perang mendekati Kinshasa, para utusan injil di sana harus mengungsi. Jadi, pada pengujung bulan Mei, para utusan injil di Kinshasa melayani dengan bergairah bersama rekan-rekan mereka di Brazzaville dan Pointe-Noire. Tidak seorang pun membayangkan peristiwa traumatis yang akan terjadi hanya beberapa hari kemudian.
Perang Sipil Meletus
Tiba-tiba, pada tanggal 5 Juni 1997, perang meletus di Brazzaville. Konflik terjadi antara pasukan yang loyal kepada presiden pada saat itu dan pasukan yang mendukung presiden sebelumnya. Senjata berat membombardir dan menghancurkan kota dan pinggirannya. Ribuan orang tewas. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Kota itu dilanda kebingungan. Sulit untuk membedakan kedua pihak yang bertikai. Kestabilan yang dinikmati Brazzaville hancur berkeping-keping. Jasa feri ke Kinshasa berhenti. Banyak orang melarikan diri ke hutan, sementara yang lainnya mengayuh kanonya ke pulau-pulau kecil di sungai itu. Yang lain lagi mencoba menyeberangi Sungai Kongo ke Kinshasa. Meskipun ada pertempuran di dekat Kinshasa, itu masih cukup ringan dibandingkan dengan tindak kekerasan di Brazzaville.
Perang menimbulkan problem bagi saudara-saudara sebagaimana bagi orang-orang lain, tetapi sungguh jelas perbedaan yang dihasilkan oleh kebenaran dalam pikiran dan hati hamba-hamba Allah! Mereka sepenuhnya yakin akan kata-kata di Mazmur 46:1, 2, yang berbunyi, ”Allah adalah perlindungan dan kekuatan bagi kita, pertolongan yang siap didapat pada waktu kesesakan. Itulah sebabnya kita tidak akan takut, walaupun bumi mengalami perubahan dan walaupun gunung-gunung goyah masuk ke dalam jantung laut yang luas.”
Banyak saudara berhasil tiba di Kinshasa, lalu Panitia Cabang di sana mengatur agar mereka diberi makanan, penaungan, dan perawatan medis. Keluarga-keluarga di Kinshasa senang mengulurkan kasih dan keramahtamahan kepada rekan-rekan seiman mereka dari Brazzaville.
Untuk membantu saudara-saudara yang kesulitan melarikan diri, beberapa saudara tetap tinggal di Brazzaville. Jean Théodore Otheni dan istrinya, Jeanne, seorang perintis biasa, termasuk di antaranya. Pada bulan Agustus, sebutir peluru meriam menghantam rumah mereka, mengakibatkan Jeanne cedera parah. Jean bergegas membawanya ke Kinshasa, tetapi sudah terlambat. Jean mengenang, ”Jeanne sangat mengasihi pelayanan, hingga akhir hayatnya. Ia memberi saya buku catatan alamat miliknya dan mengatakan, ’Kamu harus mengunjungi semua pelajar Alkitab saya karena mereka sangat berarti bagi saya.’ Saya memeluknya, dan sewaktu saya menatap wajahnya lagi, saya melihat bahwa ia sudah meninggal.” Jean, seperti begitu banyak saudara lainnya, terus melayani Yehuwa dengan bergairah, dengan keyakinan penuh akan janji kebangkitan.
Karena jasa feri reguler antara kedua ibu kota itu terputus, para pemilik perahu motor kecil menawarkan jasa mereka kepada orang-orang yang ingin lari dari Brazzaville. Saudara-saudara yang berani dari Brazzaville, termasuk Louis-Noël Motoula, Jean-Marie Lubaki, dan Symphorien Bakeba, merelakan diri untuk mencari saudara-saudara yang hilang dan untuk membantu mereka yang masih tinggal di Brazzaville. Itu berarti melawan arus kuat Sungai Kongo yang besar dengan perahu kecil untuk mengadakan pencarian di pulau kecil dan pantai. Itu berarti memasuki zona konflik di Brazzaville, tempat kekejaman berlanjut. Itu berarti mempertaruhkan kehidupan mereka demi saudara-saudara.
Symphorien, yang berpengalaman dalam menyeberangi sungai, mengadakan banyak perjalanan selama perang sipil itu. Adakalanya ia menyeberang untuk menyediakan dukungan bagi saudara-saudara yang masih tinggal di Brazzaville. Misalnya, sekali waktu ia menyeberang dengan sepuluh karung beras untuk saudara-saudara di Brazzaville yang tinggal di tempat yang relatif aman. Tentu saja, menyeberangi sungai itu saja sudah cukup sulit, tetapi yang jauh lebih sulit adalah membawa beras itu ke tempat tujuan tanpa direbut para penjarah. Di antara penumpang pada perjalanan itu ada seorang pria yang tampak berbeda dari yang lainnya dan ia menanyai Symphorien ke mana ia hendak membawa beras itu. Symphorien menjelaskan apa yang ia lakukan, memanfaatkan kesempatan itu untuk membagikan harapannya yang berdasarkan Alkitab. Sewaktu perahu mendarat, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai seorang pejabat berpangkat tinggi. Ia memanggil beberapa tentara dan memerintahkan mereka agar menjaga beras itu sampai Symphorien mendapatkan mobil untuk mengangkutnya kepada saudara-saudara.
Biasanya, Symphorien menyeberangi sungai untuk membantu saudara-saudara melarikan diri dari Brazzaville. Ada satu penyeberangan yang tidak akan pernah ia lupakan. Ia mengenang, ”Arus di Sungai Kongo sangat kuat, tetapi kebanyakan pemilik perahu tahu cara melayarinya tanpa terseret ke hilir menuju jeram yang berbahaya. Kami meninggalkan Brazzaville dengan tujuh saudara dan lima orang lain. Persis di tengah sungai, perahu kehabisan bahan bakar. Kami berhasil mengarahkan perahu ke sebuah pulau kecil dan menambatkannya di sana. Lega rasanya sewaktu sebuah perahu kecil lewat dan kaptennya berjanji untuk membelikan kami bahan bakar di Kinshasa dan kembali. Selama satu setengah jam yang terasa lama sekali, kami menunggu dengan perasaan cemas hingga ia kembali sambil membawa bahan bakar.”
Tak lama kemudian, kantor cabang di Kinshasa mengurus sekitar 1.000 saudara-saudari serta keluarga mereka dan para peminat. Pada bulan Oktober 1997, konflik berhenti, dan para pengungsi mulai kembali ke Brazzaville.
Semua utusan injil yang melayani di Brazzaville dan Pointe-Noire telah mengungsi karena perang. Beberapa telah pulang ke negeri asal mereka di Inggris dan Jerman, sedangkan yang lain pergi ke Benin dan Pantai Gading. Sewaktu keadaan relatif aman lagi, beberapa kembali ke tempat tugas mereka di Kongo (Brazzaville). Selain itu, tiga pasang suami istri dan seorang saudara lajang dijadwalkan tiba dari Prancis pada bulan Desember 1998. Eddy dan Pamela May, para utusan injil kawakan yang melayani di kantor cabang Kinshasa, dipindahkan ke Brazzaville, dan sebuah rumah utusan injil yang baru pun dibuka.
Perang Sipil Lagi
Pada tahun berikutnya, perang sipil kembali meletus di Brazzaville. Sekali lagi, ribuan orang tewas, termasuk beberapa Saksi. Kebanyakan utusan injil, yang baru saja tiba, mengungsi ke rumah-rumah utusan injil di Kamerun yang berdekatan. Meskipun terus terdengar desas-desus bahwa perang akan menjangkau Pointe-Noire di pesisir, tiga utusan injil berhasil tetap tinggal di sana. Akhirnya, pada bulan Mei 1999, perang sipil itu berakhir.
Karena begitu banyak Saksi terpaksa melarikan diri, jumlah sidang di negeri itu turun dari 108 menjadi 89. Brazzaville kini memiliki 1.903 penyiar di 23 sidang. Pointe-Noire memiliki 1.949 penyiar di 24 sidang. Selama kedua perang sipil itu, Saksi-Saksi Yehuwa di tempat-tempat lain menyediakan bantuan materi bagi saudara-saudari rohani mereka. Seperti biasa, bantuan semacam itu juga bermanfaat bagi mereka yang bukan Saksi-Saksi Yehuwa.
Terlepas dari perang, bala kelaparan, penyakit, dan banyak kesulitan lain, Saksi-Saksi di Kongo (Brazzaville) tetap melaporkan rata-rata 16,2 jam setiap bulan dalam dinas lapangan. Pada bulan April 1999, seraya perang sipil kedua mendekati akhirnya, 21 persen dari semua penyiar berada dalam salah satu corak dinas sepenuh waktu.
Bersukacita dalam Kebenaran
Perang telah memorak-porandakan negeri itu hingga hampir rata dengan tanah. Pembangunan kembali di Brazzaville sedang berlangsung, tetapi masih ada banyak hal yang perlu dilakukan. Salah satu proyek pembangunan yang terpenting adalah Balai Kerajaan, tempat orang-orang mempelajari kebenaran Alkitab. Pada bulan Februari 2002, empat Balai Kerajaan ditahbiskan, dua di Pointe-Noire dan dua di Brazzaville.
Dalam salah satu acara penahbisan ini di Brazzaville, seorang saudara lansia melukiskan apa yang terjadi 15 tahun yang lalu selama pelarangan. Saudara-saudara telah merencanakan untuk mengadakan kebaktian satu hari pada tanggal 1 Januari di sebuah tanah kosong. Mereka yakin acara itu akan berlangsung lancar, karena orang-orang merayakan tahun baru. Namun, setelah acara pagi selesai, polisi tiba dan menghentikan kebaktian itu. Saudara itu berkata, ”Kami meninggalkan lokasi kebaktian sambil bercucuran air mata. Hari ini, kami kembali berada di tempat yang sama sambil mencucurkan air mata. Tetapi, kali ini, kami menangis dengan sukacita karena kami berada di sini untuk menahbiskan Balai Kerajaan yang baru dibangun.” Ya, balai yang baru dan indah ini dibangun di atas tanah yang sama!
Lebih dari 50 tahun telah berlalu sejak buku ”The Truth Shall Make You Free” membantu Etienne Nkounkou, Augustin Bayonne, dan Timothée Miemounoua mempelajari kebenaran. Selama periode itu, ribuan orang di Kongo (Brazzaville) telah mengikuti teladan iman mereka, dan banyak lagi yang terus melakukannya, membuat cerah prospek masa depan. Lebih dari 15.000 pengajaran Alkitab sedang diadakan—tiga setengah kali jumlah penyiar! Hadirin Peringatan melonjak hingga sebanyak 21.987 orang pada tahun 2003. Pada akhir tahun dinas 2003, 4.536 penyiar, termasuk 15 utusan injil, dengan bergairah berupaya membantu lebih banyak orang lagi mempelajari kebenaran yang akan memerdekakan mereka.—Yoh. 8:31, 32.
[Blurb di hlm. 143]
Genderang mereka telah meneruskan pesan ini: ”Si Pejalan Kaki sedang datang dengan seorang kulit putih”
[Blurb di hlm. 144]
Karena mereka tidak punya jam, saudara-saudara menentukan saat pergi ke perhimpunan berdasarkan ketinggian matahari
[Blurb di hlm. 151]
”Kami pergi tidur, sementara saudara-saudara di luar melantunkan nyanyian Kerajaan dengan suara rendah di sekeliling api unggun. Benar-benar pengantar tidur yang lembut dan indah!”
[Kotak di hlm. 140]
Sekilas tentang Kongo (Brazzaville)
Negeri: Republik Kongo terletak di antara Gabon, Kamerun, Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratik Kongo. Luasnya lebih besar daripada Finlandia atau Italia. Sebuah dataran pesisir membentang sekitar 60 kilometer ke pedalaman, lalu dilanjutkan oleh plato yang menjulang hingga lebih dari 800 meter. Hutan lebat dan sungai besar mendominasi daerah selebihnya dari negeri ini.
Penduduk: Lebih dari tiga juta penduduknya terdiri dari banyak suku. Orang Pigmi tinggal di daerah berhutan lebat.
Bahasa: Meskipun bahasa resmi adalah Prancis, Lingala digunakan secara luas di bagian utara. Monokutuba digunakan di selatan.
Mata pencaharian: Pertanian untuk konsumsi sendiri serta penangkapan ikan air tawar dan air laut menyediakan kebutuhan dasar. Hutan-hutannya sarat dengan satwa liar, yang menjadi mangsa empuk bagi pemburu yang terampil.
Makanan: Singkong atau nasi merupakan pilihan utama dalam kebanyakan santapan. Ini dihidangkan dengan ikan atau ayam yang dibumbui saus pedas. Buahnya beraneka ragam, mencakup mangga, nanas, pepaya, jeruk, dan avokad.
Iklim: Kongo adalah negeri tropis, iklimnya panas dan lembap sepanjang tahun. Ada dua musim: musim hujan, yang berlangsung dari Maret hingga Juni, dan musim kering, yang berlangsung dari Juni hingga Oktober.
[Daftar/Grafik di hlm. 148, 149]
KONGO (BRAZZAVILLE)—LINTAS SEJARAH
1940
1947: Buku ”The Truth Shall Make You Free” membangkitkan minat yang pertama.
1950: Utusan injil Eric Cooke mengunjungi Brazzaville. Kalangan berwenang memberlakukan pembatasan atas lektur yang dihasilkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa.
1956: Pada bulan Maret, para utusan injil yang pertama tiba, dari Prancis.
1957: Kantor cabang dibuka pada bulan Januari.
1960
1961: Badan hukum didaftarkan pada tanggal 9 Desember, sekalipun pembatasan atas lektur masih berlanjut hingga tahun berikutnya.
1977: Saksi-Saksi Yehuwa dilarang. Properti kantor cabang disita, dan para utusan injil diusir.
1980
1981: André Kitula membantu memulihkan pengabaran di Brazzaville.
1991: Menteri dalam negeri mencabut pelarangan. Lalu, kebaktian distrik pertama dalam 15 tahun diorganisasi.
1993: Kemelut sosial dan politik menimbulkan keadaan darurat.
1997: Pada tanggal 5 Juni, perang sipil meletus. Para utusan injil diungsikan. Kantor cabang di Kinshasa menyediakan makanan, penaungan, dan perawatan medis bagi 1.000 pengungsi.
1999: Perang sipil meletus lagi. Para utusan injil kembali diungsikan.
2000
2002: Empat Balai Kerajaan pertama yang baru dibangun ditahbiskan pada bulan Februari.
2003: Ada 4.536 penyiar aktif di Kongo (Brazzaville).
[Grafik]
(Lihat publikasinya)
Total Penyiar
Total Perintis
5.000
2.500
1940 1960 1980 2000
[Peta di hlm. 141]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
REPUBLIK AFRIKA TENGAH
KAMERUN
GUINEA EKUATORIAL
GABON
REPUBLIK KONGO
Impfondo
Djambala
BRAZZAVILLE
Pointe-Noire
Sungai Kongo
REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO
KINSHASA
ANGOLA
[Gambar penuh di hlm. 134]
[Gambar di hlm. 138]
Para anggota kelompok awal pelajaran Alkitab pada tahun 1949, dari kiri ke kanan: Jean-Seth Mountsamboté, Timothée dan Odile Miemounoua, dan Noé Mikouiza
[Gambar di hlm. 139]
Etienne Nkounkou
[Gambar di hlm. 142]
Jean Seignobos masuk ke pedalaman Kongo, menyeberangi sungai dengan feri untuk mengunjungi sidang-sidang
[Gambar di hlm. 147]
Fred dan Leah Lukuc (tengah) bersama sidang yang berkumpul di rumah Augustin Bayonne
[Gambar di hlm. 150]
Pembaptisan di Samudra Atlantik di Pointe-Noire
[Gambar di hlm. 152]
Augustin Bayonne—Si Pejalan Kaki— menghadiri Gilead kelas ke-37, pada tahun 1962
[Gambar di hlm. 153]
Bangunan ini berfungsi sebagai kantor cabang dari tahun 1967 sampai 1977
[Gambar di hlm. 155]
Noé Mikouiza
[Gambar di hlm. 158]
Louis-Noël Motoula, Jean-Marie Lubaki, dan Symphorien Bakeba
-
-
Republik Demokratik Kongo (Kinshasa)Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 2004
-
-
Republik Demokratik Kongo (Kinshasa)
’Kami seperti butir-butir dalam sekantong jagung Afrika. Di mana pun kami dijatuhkan, satu demi satu, hujan akhirnya turun, dan kami pun menjadi banyak.’ Kata-kata itu diucapkan lebih dari 50 tahun yang lalu oleh seorang Saksi yang setia dari Yehuwa yang telah banyak menderita di tangan kalangan berwenang di negeri yang kala itu dikenal sebagai Kongo Belgia. Pada halaman-halaman berikut, Saudara akan membaca tentang bagaimana berkat Yehuwa, bagaikan hujan yang menyegarkan, telah menghasilkan peningkatan pemberita Kerajaan secara mencengangkan di seluruh Kongo.
Negeri itu, kini dikenal sebagai Republik Demokratik Kongo, atau Kongo (Kinshasa), terletak di jantung Afrika.a Sebagian besar dari negeri yang membentang di kedua sisi khatulistiwa ini diselimuti oleh hutan yang sangat subur. Hutan dan sabananya yang luas menjadi tempat tinggal bagi margasatwa dengan keragaman yang spektakuler. Negeri yang berlimpah sumber daya alamnya ini telah lama menjadi incaran dunia internasional dan fokus invasi serta perang sipil.
Pada tahun 1885, Negara Merdeka Kongo dibentuk dengan Raja Leopold II dari Belgia sebagai penguasa yang berdaulat dan sekaligus pemilik tunggalnya. Namun, kehidupan rakyat Kongo sama sekali tidak merdeka. Anak buah Leopold menggunakan tenaga kerja paksa dan kebrutalan yang luar biasa untuk menjarah gading dan karet. Kemarahan negeri-negeri tetangga Belgia di Eropa memuncak hingga Leopold akhirnya menyerah di bawah tekanan. Pada tahun 1908, Negara Merdeka Kongo ditiadakan, menjadi Kongo Belgia, sebuah koloni yang dikendalikan oleh parlemen Belgia. Kongo meraih kemerdekaan pada tahun 1960.
Penduduk Kongo cukup religius. Ada banyak sekali gereja, seminari, dan sekolah teologi. Sudah lazim untuk bertemu dengan orang-orang yang dapat mengutip banyak ayat Alkitab. Namun, seperti yang terjadi di tempat-tempat lain, meneguhkan Kekristenan sejati bukanlah hal yang mudah. Tetapi, yang khususnya mempersulit keadaan di Kongo adalah bahwa selama beberapa waktu, orang-orang mengira Saksi-Saksi Yehuwa sama dengan suatu gerakan religius yang dikenal sebagai Kitawala.
Problem Identitas
”Kitawala” diambil dari kata dalam bahasa Swahili yang berarti ”mendominasi, mengarahkan, atau memerintah”. Selaras dengan itu, tujuan gerakan ini pada dasarnya bersifat politik—untuk meraih kemerdekaan dari Belgia. Beberapa orang bernalar bahwa cara terbaik untuk mencapai tujuan itu adalah dengan kedok agama. Sayangnya, kelompok Kitawala memperoleh, mempelajari, dan mengedarkan publikasi Saksi-Saksi Yehuwa. Sebuah tanda bertuliskan ”Menara Pengawal” mengidentifikasi tempat-tempat pertemuan mereka. Lama sebelum Saksi-Saksi Yehuwa menjadi mapan, ”gerakan Menara Pengawal” ini menonjol di Provinsi Katanga di bagian tenggara Kongo. Selama puluhan tahun, orang-orang mengira bahwa para pengikut Kitawala adalah Saksi-Saksi Yehuwa. Tentu saja, mereka bukan.
Kitawala memutarbalikkan ajaran Alkitab untuk mendukung pandangan politik, kebiasaan yang bersifat takhayul, dan jalan hidup mereka yang amoral. Mereka tidak mau membayar pajak dan menentang penguasa kolonial. Beberapa kelompoknya mengadakan pemberontakan bersenjata melawan kalangan berwenang. Tidak heran apabila pemerintah Belgia melarang mereka.
Pada tahun 1956, seorang komisaris distrik Kongo Belgia menulis sebuah artikel surat kabar yang menyingkapkan latar belakang Kitawala. Artikel itu membahas tentang Tomo Nyirenda, penduduk asli Nyasaland (kini Malawi), yang tinggal di Rhodesia Utara (kini Zambia). Rupanya, Nyirenda telah menerima bimbingan agama dari seseorang yang pernah bergabung dengan Siswa-Siswa Alkitab (kini dikenal sebagai Saksi-Saksi Yehuwa) di Cape Town, Afrika Selatan. Artikel itu menyatakan, ”[Nyirenda] masuk ke Katanga [Kongo] pada tahun 1925, . . . mengumumkan dirinya sebagai Mwana Lesa, ’Putra Allah’. Ia memanfaatkan perasaan takut disihir dalam diri penduduk asli, berjanji bahwa para pengikutnya tidak hanya akan dibebaskan dari para dukun, tetapi juga memiliki cara untuk bebas dari semua pajak dan peraturan kalangan berwenang yang ada, baik pemerintah maupun Gereja. Mereka yang tidak menerima hukumnya dinyatakan sebagai tukang sihir, dipukul hingga pingsan, dan kemudian ditenggelamkan dalam ’baptisan’ paksaan. (Dari sebuah sungai, 55 mayat ditemukan.) Setelah kedoknya dibeberkan oleh seorang wakil kepala desa, Tomo berhasil melarikan diri dan kembali ke Rhodesia. Karena kalangan berwenang Rhodesia memburu dia atas pembunuhan yang dilakukannya, ia ditangkap, diadili, dan digantung.”
Menurut kalangan berwenang Belgia, serbuan tokoh yang disebut Mwana Lesa ini ke dalam Katanga dari tahun 1923 sampai tahun 1925 menandai awal Kitawala di Kongo. Perlu waktu puluhan tahun sebelum Saksi-Saksi Yehuwa diizinkan masuk ke negeri itu dan berdiam di sana.
Untuk memahami problem identitas ini, perlu diketahui bahwa gereja-gereja independen adalah hal yang lazim di Afrika. Menurut perkiraan beberapa orang, ada ribuan organisasi semacam itu. John S. Mbiti, seorang pakar agama-agama Afrika, menulis, ”Problem utama yang dihadapi Kekristenan di Afrika adalah banyaknya divisi, denominasi, kelompok, dan sekte Gereja. Banyak di antaranya diimpor dari luar negeri. Banyak lagi yang didirikan oleh orang Kristen Afrika sendiri, sebagian karena mereka tidak ingin terus berada di bawah dominasi misionaris asing, sebagian karena hasrat pribadi akan kekuasaan, sebagian karena ingin membuat Kekristenan mencerminkan kebudayaan dan problem Afrika, dan beragam alasan lain.”
Itu sebabnya, ada banyak gereja independen, sebagian besar meminjam ajaran atau sama sekali terpisah dari agama yang mapan. Dalam hal ini, gerakan Kitawala hanyalah salah satu di antaranya. Namun, kehadiran Kitawala memberi Susunan Kristen kesempatan yang unik untuk mengusir Saksi-Saksi Yehuwa dari Kongo. Meskipun para pemimpin gereja tahu benar perbedaan antara Kitawala dan Saksi-Saksi, mereka sengaja menyebarkan pandangan yang keliru bahwa Kitawala itu sama dengan Saksi-Saksi Yehuwa.
Gereja-gereja berada dalam kedudukan yang kuat untuk menyebarkan dusta itu. Pada awal abad ke-20, agama-agama Susunan Kristen, khususnya Gereja Katolik, sangat berkuasa dan berpengaruh di Kongo Belgia. Kontrasnya, Saksi-Saksi Yehuwa tidak diakui di sana, dan para pemimpin agama Susunan Kristen menginginkan agar keadaannya tetap seperti itu. Mereka dengan bersemangat mencengkeram orang-orang yang telah mereka tobatkan dan tidak ingin mereka diusik oleh Saksi-Saksi Yehuwa.
Aksi huru-hara, pemberontakan, dan pertikaian antarsuku penduduk asli dengan gampangnya ditudingkan kepada Kitawala, sering kali disebut gerakan Menara Pengawal. Nama Menara Pengawal menjadi memuakkan bagi pejabat publik dan kalangan berwenang. Hal ini sangat mempersulit orang-orang yang ingin melayani Yehuwa di Kongo.
Selama dekade-dekade menjelang kemerdekaan negeri ini, Saksi-Saksi Yehuwa di negeri lain berulang kali menyurati kalangan berwenang di Kongo, menjelaskan bahwa Lembaga Alkitab dan Risalah Menara Pengawal tidak ada sangkut-pautnya dengan gerakan Menara Pengawal. Namun, selama bertahun-tahun, para pejabat terus mengaitkan aktivitas gerakan agama pribumi ini dengan pekerjaan umat Yehuwa. Upaya yang berulang kali dikerahkan untuk mengutus Saksi-Saksi Yehuwa ke dalam Kongo sebagian besar mengalami kegagalan.
Karena Saksi-Saksi tidak diizinkan masuk ke negeri itu, tidak banyak yang diketahui tentang Saksi-Saksi sejati di dalam negeri itu sendiri. Namun, ada sekilas gambaran yang menarik tentang apa yang terjadi selama tahun-tahun awal yang sulit dalam laporan tentang Kongo dari kantor-kantor cabang tetangga. Marilah kita sekarang memeriksa beberapa kutipan dari buku harian Kongo selama 30 tahun ini, disertai beberapa komentar tambahan dari kami.
Buku Harian Kongo—Kutipan dari Laporan Negeri Tahun 1930-60
1930: Permintaan lektur telah diterima lewat pos dari . . . Kongo Belgia.
1932: Kami berharap nantinya dapat mengerjakan Kongo Belgia dan bagian-bagian lain dari Afrika Tengah yang belum mendapat kesaksian.
Sejak bulan Mei 1932, kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika Selatan berulang kali mengajukan permohonan kepada kalangan berwenang Belgia agar para rohaniwan sepenuh waktu diizinkan masuk ke Kongo. Permohonan itu ditolak. Namun, karena migrasi orang-orang antara Kongo dan Rhodesia Utara, beberapa saudara asal Rhodesia dapat masuk ke Kongo, biasanya untuk waktu yang singkat.
1945: Dibutuhkan pria yang berani untuk mewakili Allah dan kerajaan Teokratis-Nya di [Kongo Belgia]. Bukan hanya pekerjaan dan lektur yang dilarang total, melainkan orang Afrika Kongo yang mengaku berkaitan dengan kita dapat dibawa ke distrik tertentu lalu ditahan dalam penjara yang tidak terlalu ketat, adakalanya selama beberapa tahun. Surat-surat dari Kongo jarang tiba di sini [Rhodesia Utara], dan surat-surat balasan tampaknya tidak diantarkan; tetapi . . . kami melakukan sebisa-bisanya untuk membantu rekan-rekan kami sesama pekerja Kerajaan di negeri yang sarat imam ini.
1948: Ada dua penyiar Kerajaan yang tinggal di daerah itu sekarang, dan mereka telah mengirimkan beberapa laporan ke kantor di Brussel. Kami berharap bahwa daerah yang sangat luas ini akan terbuka suatu hari nanti sehingga injil Kerajaan dapat diberitakan di sana.
1949: Selama bertahun-tahun, pekerjaan kesaksian di daerah yang didominasi Katolik ini telah dilakukan di bawah keadaan yang tersulit. Dahulu, para pendeta adakalanya bahkan punya kebiasaan memaksa seseorang menelan sebongkah garam tanpa minum air sebagai hukuman karena menjadi saksi-saksi Yehuwa, tetapi kini metode mereka lebih mirip dengan Inkwisisi Spanyol; mereka menginginkan pemerintah yang melakukan pekerjaan mereka yang fasik dan menindas untuk mereka. Selama bertahun-tahun, para penyiar Afrika telah dipenjara tanpa masa hukuman yang jelas karena pekerjaan kesaksian mereka, dan yang memperparah keadaannya, mereka dikirim ke kamp konsentrasi khusus di Kasaji, sekitar [500] kilometer dari Elisabethville [kini Lubumbashi]. Di sini, mereka bekerja keras menggarap lahan-lahan kecil, dan diasingkan bersama atau tanpa keluarga mereka. . . . Hal ini bahkan bisa berlangsung sampai sepuluh tahun. Sering kali, pengasingan selama bertahun-tahun ini ditanggung tanpa sedikit pun harapan untuk dibebaskan atau mendapatkan keadilan, kecuali dengan harga yang mengerikan yakni mengkompromikan integritas mereka.
Alhasil, pekerjaan terpaksa dilakukan di bawah tanah; perhimpunan diselenggarakan secara diam-diam, dan tempat perhimpunan harus dipindah-pindah untuk menghindari penangkapan. Sebagian besar kesaksian dilakukan dengan mengunjungi orang-orang yang bersikap bersahabat dan teman-teman mereka, tetapi dengan cara ini pun banyak yang ditimpa kesulitan. Seorang Saksi ditangkap dan segera dibawa ke kamp Kasaji.
Kira-kira pada masa ini, Llewelyn Phillips, dari kantor cabang di Rhodesia Utara, pergi ke Kongo Belgia untuk turun tangan demi Saksi-Saksi yang ditindas di sana. Gubernur jenderal dan para pejabat pemerintah lainnya mendengarkan seraya ia menjelaskan sifat pekerjaan pemberitaan Kerajaan serta perbedaan antara kepercayaan Saksi dan kepercayaan Kitawala. Lalu, sang gubernur jenderal dengan sedih bertanya, ”Kalau saya membantu Anda, apa yang akan terjadi dengan saya?” Ia tahu benar bahwa Gereja Katolik Roma sangat berkuasa di negeri itu.
1950: Tahun lalu merupakan tahun yang paling sulit, dan, bagi saudara-saudara yang tinggal di Kongo Belgia, hal itu berarti banyak kesukaran. Pada awal tahun dinas, tidak semua buku dan surat ke daerah itu sampai ke penerimanya dan sarana komunikasi hampir terputus. Selanjutnya, pada tanggal 12 Januari, gubernur jenderal memberlakukan pelarangan atas Lembaga dan hukuman dua bulan pemenjaraan serta denda 2.000 franc bagi semua orang yang berkumpul dengan, mendukung dengan cara apa pun, atau menjadi anggota Lembaga. Keputusan ini disambut gembira oleh pers Katolik. Penangkapan demi penangkapan pun dilakukan. Daftar-daftar yang diambil pada tahun sebelumnya dari seorang mantan hamba [sidang] di Elisabethville digunakan sebagai sarana untuk melacak ratusan orang yang berkaitan dengan Lembaga dan mereka, beserta istri mereka, ditangkap. Setelah menjalani masa hukuman mereka, orang-orang Afrika asal Rhodesia Utara dideportasi, tetapi sahabat-sahabat mereka, orang asli Kongo, dalam banyak kasus dikirim ke Kasaji, sebuah kamp konsentrasi [sekitar 500] kilometer dari Elisabethville, tempat beberapa saudara masih ditahan. Beberapa saudara yang dideportasi diberi makanan yang minim dan dipaksa berjalan kaki menempuh perjalanan terakhir sejauh 30 kilometer dari Sakania ke perbatasan Rhodesia Utara.
Belum lama ini, polisi rahasia telah berlipat ganda, dan memiliki Alkitab saja sudah cukup untuk membuat seseorang dicurigai sebagai salah seorang saksi-saksi Yehuwa.
Baru saja diterima berita bahwa dua saudari Eropa dari distrik Elisabethville telah divonis 45 hari penjara, ditangguhkan selama tiga tahun dengan syarat berkelakuan baik (yang tentu saja berarti tidak bekerja untuk Tuan), karena memiliki majalah Menara Pengawal dan memberikan kesaksian. Setiap hari, mereka dibayang-bayangi ancaman deportasi.
1951: Banyak artikel telah diterbitkan dalam surat kabar dan majalah Belgia yang menuduh saksi-saksi Yehuwa dan Lembaga Menara Pengawal berkaitan dengan gerakan pribumi yang fanatik di Kongo Belgia yang disebut ”Kitawala”. Di Belgia, apabila seseorang menjawab artikel yang diterbitkan oleh sebuah surat kabar atau majalah, hukum mewajibkan surat kabar atau majalah itu menerbitkan jawaban tersebut. Kami telah memanfaatkan hak ini untuk membela pekerjaan Kerajaan terhadap artikel-artikel yang memfitnah ini, dan jawaban kami telah diterbitkan.
Sejak [tanggal 12] Januari 1949, pekerjaan Lembaga Menara Pengawal telah dilarang di Kongo Belgia dan saksi-saksi Yehuwa yang sejati telah menderita karena laporan-laporan palsu ini. Protes tertulis telah dilayangkan ke menteri koloni dan cukup banyak bukti diserahkan bahwa saksi-saksi Yehuwa dan Lembaga Menara Pengawal tidak ada sangkut-pautnya dengan ”Kitawala” yang subversif, tetapi protes ini tidak digubris.
Pencemaran nama baik, penindasan, denda, pemukulan, pemenjaraan, dan deportasi telah dijadikan senjata di Kongo Belgia untuk melenyapkan secara menyeluruh ’pemberitaan Firman’ di negeri itu.
1952: Afrika Tengah ternyata memiliki ”tirai besi” juga! Bagi saksi-saksi Yehuwa, tirai itu membentang di sekeliling perbatasan Kongo Belgia. Pelarangan atas pekerjaan kesaksian di negeri yang didominasi Katolik Roma ini tak kunjung reda.
Segelintir laporan yang sesekali diterima dari negeri itu menceritakan tentang deportasi, pemenjaraan, pemukulan, dan penderitaan lain yang dialami oleh para penyiar di Afrika itu. Di banyak bagian, tampaknya ada peningkatan permusuhan yang ganas terhadap saksi-saksi. Penduduk asli negeri itu dibuang untuk bekerja di kamp-kamp jika tertangkap basah memberikan kesaksian atau bahkan memiliki lektur Menara Pengawal. Bahkan, apabila seseorang ketahuan memiliki Alkitab, ia bisa dianggap sebagai salah seorang saksi-saksi Yehuwa.
Rumah saudara-saudara terus diamat-amati dan sering kali digeledah. Salah seorang saudara melaporkan sebagai berikut, ”[Polisi Kongo Belgia] tidak tidur karena kami, mereka pergi ke mana-mana hanya untuk mencari saksi-saksi Yehuwa. Situasinya kini lebih serius daripada sebelumnya.”
Sebuah laporan yang langka dari 30 penyiar untuk bulan Agustus tiba di kantor dengan 1 Tesalonika 5:25, NW, ditulis sebagai catatan kaki, ”Saudara-saudara, teruslah berdoa bagi kami.”
Seperti yang kami sebutkan sebelumnya, Saksi-Saksi Afrika dari Rhodesia Utara pergi ke Kongo. Namun, sewaktu tertangkap, mereka dipenjarakan dan belakangan dideportasi. Meskipun sebagian besar dipenjarakan sebentar, beberapa saudara dikirimkan ke kamp kerja paksa selama beberapa tahun. Seorang saudara menghabiskan hampir lima tahun di berbagai penjara di Kongo. Para penawan sering kali memukuli dia. Mereka juga mengatakan bahwa dia hanya akan dibebaskan kalau dia berhenti memberikan kesaksian.
Pada tahun 1952 inilah, saudara yang setia itu mengatakan, ’Kami seperti butir-butir dalam sekantong jagung Afrika. Di mana pun kami dijatuhkan, satu demi satu, hujan akhirnya turun, dan kami pun menjadi banyak.’ Kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Rhodesia Utara menulis tentang hal ini, ”’Kantong jagung Afrika’ benar-benar sedang disebarkan di Kongo terlepas dari, atau justru karena, penindasan atas saudara-saudara. Sekali peristiwa, kantor cabang di Lusaka menerima laporan dari beberapa ratus orang yang bergabung dengan saksi-saksi di daerah Kolwezi. Namun, kini kami menerima berita bahwa sejumlah dari mereka sedang dibawa ke bagian lain di Kongo.” Penyebaran saudara-saudara ini menghasilkan ekspansi kegiatan menjadikan murid.
Sementara saudara-saudara terus bekerja keras di bagian tenggara negeri itu, kebenaran diperkenalkan di Léopoldville (kini Kinshasa). Saudara-saudara di Brazzaville telah membuat kemajuan rohani yang pesat dan dengan bergairah membagikan kebenaran kepada orang lain. Beberapa mulai naik feri menyeberangi Sungai Kongo untuk mengabar di Léopoldville. Pada tahun 1952, Victor Kubakani dan istrinya menjadi Saksi pertama yang dibaptis di Kinshasa. Tak lama kemudian, sebuah sidang terbentuk.
1953: Kami menerima laporan yang memperlihatkan bahwa sekitar 250 saudara ambil bagian dalam pekerjaan kesaksian di berbagai bagian negeri, tetapi barangkali ada lebih banyak lagi. Kesaksian terbatas pada kunjungan kembali dan pengajaran Alkitab di rumah dan dilakukan dengan sangat sedikit lektur atau bahkan tidak ada lektur, karena saudara-saudara tidak pernah tahu kapan rumah mereka akan digeledah. Seorang saudara diadukan memiliki dua buku kecil oleh salah seorang ”sahabat”-nya, dan ia divonis dua bulan mendekam di penjara Central di Elisabethville.
1954: Pelarangan total terhadap Lembaga dan kegiatan saksi-saksi Yehuwa berlanjut di Kongo Belgia . . . Dalam penjara, saksi-saksi yang setia terus mengabar kepada narapidana lain, yang dengan secarik kecil kertas dan sepotong kecil pensil membuat catatan untuk dibawa dan diperiksa lebih lanjut dalam Alkitab yang disediakan di penjara. Tidak diragukan bahwa karena kegiatan semacam itulah beberapa saksi-saksi Yehuwa dalam penjara telah diasingkan dari narapidana lain.
Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa maupun Kitawala dilarang. Para petugas menyita lektur Alkitab yang dikirimkan ke negeri itu. Lektur yang lolos dari petugas adakalanya direbut dan digunakan oleh Kitawala untuk memajukan kepentingan mereka. Baik Saksi-Saksi Yehuwa maupun Kitawala ditangkap, dipukuli, dan dibawa ke kamp konsentrasi. Namun, Yesus menyatakan, ”Dari buah-buahnya kamu akan mengenali mereka.” (Mat. 7:16) Kalangan berwenang kolonial mengamati tingkah laku yang baik dari saudara-saudara dan mulai menyadari perbedaan antara mereka dan Kitawala.
1955: Pelarangan berlanjut atas pekerjaan di negeri ini dan tampaknya kecil kemungkinannya itu akan dicabut dalam waktu dekat, tetapi hal ini tidak memadamkan gairah orang-orang yang mengasihi dan melayani Yehuwa. Banyaknya kasus pemenjaraan dan deportasi saudara-saudara pada tahun lalu tidak mengendurkan semangat mereka.
Dalam keadaan sekarang, pekerjaan dari rumah ke rumah tidak mungkin dilakukan, maka diadakan kunjungan kembali dan pengajaran Alkitab di rumah. Seperti ditulis oleh sebuah sidang, para penyiar ingin membagikan kabar baik di hadapan umum juga, meskipun ”kami tidak tahu apakah Yehuwa akan mengizinkan kami memberitakan kabar baik dari rumah ke rumah di negeri ini sebelum perang Armagedon”.
1957: Tidak ada keraguan bahwa pada tahun lalu, pekerjaan telah mendapat perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya, khususnya dari sudut pandang pejabat pemerintahan dan pers. Pada bulan November yang lalu, Saudara [Milton G.] Henschel mengadakan pendekatan langsung kepada pemerintah Kongo Belgia di Leopoldville dan pada saat itu mengajukan petisi untuk pencabutan pelarangan terhadap Lembaga dan saksi-saksi Yehuwa. Pendekatan awal ini diikuti oleh kunjungan lebih lanjut ke Leopoldville dan kemudian oleh wakil-wakil di New York dan Brussel. Belakangan, seorang pakar urusan Afrika dari Belgia mengunjungi kantor cabang Rhodesia Utara, dan ada kesempatan untuk memberikan penjelasan terperinci tentang pekerjaan serta berita kita.
Sementara itu, pelarangan berlanjut, dan saudara-saudara di Kongo Belgia harus bekerja di bawah keadaan yang sulit. Dua ratus enam belas orang menghadiri perayaan Peringatan, meskipun berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil.
1958: Pada tahun lalu, sekalipun masih ada pelarangan atas pemberitaan kabar baik dan pemenjaraan saudara-saudara, berita Kerajaan telah dikumandangkan dengan pengaruh yang meningkat.
1959: Untuk pertama kalinya, izin lisan diperoleh dari kalangan berwenang pemerintah setempat bagi saudara-saudara untuk menyelenggarakan perhimpunan sidang, sekalipun pelarangan resmi terhadap pekerjaan belum dicabut. Hingga saat ini, perhimpunan sidang mustahil dilakukan, yang diselenggarakan hanyalah perhimpunan dalam kelompok kecil untuk pelajaran Alkitab di rumah-rumah. Sekarang, saudara-saudara sibuk dan mengatur perayaan Peringatan sebagai perhimpunan sidang pertama yang terorganisasi, dan di kelima [sidang] Leopoldville, sebanyak 1.019 orang hadir. Para pengamat terheran-heran, bukan hanya karena terselenggaranya perhimpunan itu sendiri, melainkan karena menyaksikan semangat persaudaraan Kristen yang penuh sukacita yang diperlihatkan oleh saudara-saudara. Beberapa orang langsung melihat bahwa orang-orang ini berbeda dengan agama lain karena ’mereka memanifestasikan kasih di antara mereka sendiri’.
Meskipun para utusan injil belum dapat dikirim ke Kongo, sebuah dekret toleransi yang ditandatangani pada tanggal 10 Juni 1958 mengizinkan Saksi-Saksi Yehuwa di sana ”untuk berkumpul dalam tempat pertemuan yang tertutup”. Saudara-saudara senang karena dapat berhimpun dengan leluasa. Beberapa agen keamanan menghadiri perhimpunan ini dan memuji saudara-saudara atas tingkah laku mereka yang baik dan ketertiban mereka.
Ada perkembangan positif lainnya. Hingga tahun 1956, semua sekolah disponsori oleh organisasi agama. Lalu, menteri kolonial baru yang liberal mendirikan sekolah-sekolah negeri dan menganjurkan sikap yang lebih toleran terhadap kelompok minoritas. Lambat laun, Kitawala tidak lagi disamakan dengan Saksi-Saksi Yehuwa seraya para pejabat mengamati perbedaan di antara kedua-duanya. Hujan rintik-rintik yang menyegarkan telah jatuh ke atas benih-benih yang tersebar. Di mana-mana, orang-orang berpihak pada Yehuwa.
Pada waktu itu, seorang kepala desa menangkap beberapa Saksi dan membawa mereka ke hadapan administrator daerah untuk diadili. Sang administrator bertanya apa kesalahan mereka. Kepala desa itu tidak tahu. Sang administrator memarahi kepala desa itu, membebaskan saudara-saudara, dan memerintahkan agar mereka diberi angkutan untuk pulang ke rumah mereka.
1960: Pekerjaan di Kongo Belgia telah bergerak maju secara menakjubkan pada tahun lalu. Terlepas dari kesulitan di negeri itu dan fakta bahwa secara teknis pekerjaan masih di bawah pelarangan, saudara-saudara bisa mengadakan perhimpunan secara teratur di Balai Kerajaan.
Suatu peristiwa yang menonjol terjadi pada waktu Peringatan di kota Leopoldville, ibu kota negara. Keenam [sidang] di kota itu mengadakan perhimpunan bersama untuk khotbah umum pada hari Minggu dan tergetar melihat hadirin sebanyak 1.417 orang. Sebagaimana ditulis salah seorang [pengawas] pada waktu itu, ”Kami sangat bahagia, karena itulah pertama kalinya kami mencoba hal seperti itu; para malaikat Yehuwa berkemah di sekeliling kami.”
Buku harian 30 tahun ini memberikan gambaran umum kegiatan di Kongo, sebagaimana dilaporkan oleh kantor-kantor cabang tetangga. Sekarang, marilah kita lihat perkembangan selanjutnya.
Kemerdekaan Nasional Mendekat
Pada pengujung tahun 1950-an, pekerjaan pemberitaan Kerajaan di Kongo, di bawah pengawasan kantor cabang Rhodesia Utara, secara resmi ditoleransi meskipun tidak diakui secara hukum. Sementara itu, problem baru dan ketidakpastian mencuat. Nasionalisme semakin kuat, demikian juga perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Pada bulan Januari 1959, para perusuh menjarah dan membakar toko-toko di Léopoldville. Mereka juga menjarah gereja, melemparkan patung-patung ke jalanan. Alhasil, diadakanlah konferensi antara para pejabat Belgia dan wakil-wakil partai politik setempat. Mereka menetapkan tanggal untuk kemerdekaan nasional: 30 Juni 1960. Tentu saja, tidak seorang pun Saksi-Saksi Yehuwa yang ambil bagian dalam kerusuhan itu.
Di seluruh negeri, partai-partai politik setempat mulai bermunculan. Para anggota mereka sering kali lebih dipersatukan oleh ikatan suku ketimbang oleh keyakinan politik. Mereka melancarkan tekanan ekstrem terhadap saudara-saudara agar membeli kartu partai politik. Pierre Mafwa, yang telah dibaptis setahun sebelumnya, mengatakan, ”Waktu itu hari Sabtu di bulan Juni 1960. Saya sedang pulang kerja pada siang hari. Sewaktu saya melewati bandara lama di Léopoldville, seorang pria bersenjatakan pedang mendekati saya. ’Mana kartu politik kamu?’ desaknya. Saya tidak menjawab. Tiba-tiba, ia membabatkan pedangnya ke muka saya, memotong hidung saya. Ia terus menyerang saya dengan pedangnya. Saya mencoba lari tetapi terjatuh ke tanah. Saya berdoa kepada Yehuwa, memohon agar Ia mengingat saya dalam kebangkitan sehingga saya dapat kembali bertemu dengan istri dan enam anak saya. Setelah doa singkat ini, saya mendengar tembakan senapan. Tentara telah melumpuhkan calon pembunuh itu dengan menembak lututnya. Seorang polisi membawa saya ke rumah sakit, tempat saya dirawat. Ayat-ayat Alkitab sangat membesarkan hati saya.”
Para Utusan Injil yang Pertama Tiba dan Membuka Kantor Cabang
Seperti yang telah kita lihat, upaya yang berulang kali dikerahkan untuk mengutus wakil Saksi-Saksi Yehuwa ke Kongo telah mengalami kegagalan. Namun, keadaan politik sedang berubah, membuka jalan untuk tibanya Ernest Heuse, Jr.
Saudara Heuse adalah orang Belgia yang jangkung, kekar, dan berambut hitam berombak. Meskipun ia tidak gentar, ia tahu bahwa kehidupan di Kongo tidak akan mudah bagi dirinya; istrinya, Hélène; atau bagi putrinya yang berusia 11 tahun, Danielle. Latar belakang Ernest membuatnya cocok untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Ia telah memasuki dinas Betel di Brussel pada tahun 1947. Setahun kemudian, ia menikah dan dipindahkan ke dinas perintis bersama istrinya. Setelah itu, Ernest ditugasi menghubungi para pengacara dan pejabat dengan brosur yang membahas perbedaan antara Kitawala dan Saksi-Saksi Yehuwa. Lantas, ia melayani sebagai pengawas wilayah.
Beberapa kali, Ernest berupaya mendapatkan surat-surat untuk masuk ke Kongo, bahkan menyampaikan permohonan pribadi kepada raja Belgia. Permohonannya ditolak. Sebaliknya, nama Ernest dicantumkan dalam daftar orang-orang yang dianggap ”tidak diinginkan” untuk masuk ke Kongo.
Ernest berkanjang. Ia pergi ke Afrika dan mencoba masuk ke Kongo dari negeri tetangga. Semua upayanya gagal. Akhirnya, ia mendapatkan visa untuk pergi ke Brazzaville, ibu kota Republik Kongo. Lalu, ia naik feri menyeberangi sungai ke Léopoldville. Kedatangannya memicu perdebatan yang menarik di antara para pejabat yang bertugas. Ada yang mengatakan bahwa ia tidak boleh diberi visa, karena namanya ada dalam daftar orang-orang yang tidak diinginkan. Akhirnya, salah seorang petugas, Cyrille Adoula, yang belakangan menjadi perdana menteri, mengatakan bahwa ia sering menghadapi upaya seperti yang dikerahkan Ernest untuk masuk ke Kongo. Ia bernalar bahwa jika para mantan penguasa kolonial tidak menyukai Heuse, ia pastilah seorang sahabat bagi Kongo. Ernest diberi visa sementara dan belakangan visa tinggal. Jadi, pada bulan Mei 1961, Saksi-Saksi Yehuwa memiliki wakil di Kongo untuk mengawasi pekerjaan menjadikan murid.
Ernest mengatur agar Hélène dan Danielle datang ke Kongo, dan pada bulan September, Danielle sudah mulai bersekolah di Léopoldville. Kantor cabang pertama didirikan di ibu kota pada tanggal 8 Juni 1962. Kantor dan tempat tinggal berada di apartemen tiga lantai di Avenue van Eetvelde (kini Avenue du Marché). Karena keterbatasan ruang, lektur disimpan terpisah di sebuah depot. Meskipun situasi ini tidak ideal, ini adalah solusi terbaik karena ada kekurangan perumahan yang parah.
Saudara Heuse langsung bekerja. Ia meminjam sebuah proyektor dan film dari kantor cabang Brazzaville. Lalu, ia mempertunjukkan film itu, yang berjudul The Happiness of the New World Society (Kebahagiaan Masyarakat Dunia Baru), kepada sidang-sidang di Léopoldville dan beberapa pejabat pemerintah. Mata saudara-saudara dan para peminat terbuka sewaktu melihat bahwa ada persaudaraan internasional berupa Saksi-Saksi yang semuanya tinggal dengan damai dan bahagia. Mereka terpukau melihat seorang saudara berkulit hitam membaptis orang-orang Eropa. Wali kota Léopoldville begitu menikmati film itu sampai-sampai ia berkata, ”Pekerjaan [Saksi-Saksi Yehuwa] ini harus didukung sebisa mungkin.” Sebanyak 1.294 orang menghadiri empat tayangan pertama.
Saudara-saudara sangat bersukacita karena akhirnya ada yang membantu mereka, setelah menunggu selama bertahun-tahun. Sebelumnya, mereka mengenal saudara-saudara Eropa dari namanya saja. Ada yang bertanya-tanya apakah mereka memang ada, karena kalangan berwenang Belgia menegaskan bahwa tidak ada Saksi-Saksi Yehuwa di Belgia. Saudara-saudara tergetar dengan keberadaan Saudara Heuse di tengah-tengah mereka.
Menerapkan Kebenaran—Suatu Tantangan
Ada banyak sekali pekerjaan yang perlu dilakukan untuk membantu saudara-saudara menerapkan kebenaran dalam kehidupan mereka. Misalnya, ada persaingan antarsuku, dan beberapa pengawas sidang tidak berbicara dengan pengawas lain. Jika seseorang dipecat dalam sidang yang didominasi oleh suku tertentu, ia bisa diterima oleh penatua di sidang lain yang khususnya terdiri dari saudara-saudara yang satu suku dengannya. Keputusan yang diambil di satu sidang tidak berlaku di sidang lain. Adat istiadat kesukuan mendominasi kehidupan sehari-hari, dan cara berpikir kesukuan mempengaruhi sidang-sidang.
Problem-problem lain timbul akibat adat istiadat kesukuan. Di antara beberapa suku, hubungan antara suami dan istri didasarkan pada keloyalan suku. Pada umumnya, tidak ada hubungan yang akrab antara suami dan istri. Perkawinan sering kali dipandang sebagai penyelenggaraan suku. Jika para anggota suku tidak memperkenan suatu perkawinan, mereka dapat memaksa suami untuk mengusir istrinya dan mengambil istri lain—yang mereka pilih.
Sewaktu suami meninggal, akibatnya bisa sangat mengerikan. Sering kali, keluarga sang suami akan mengambil segala sesuatu di rumah itu, sehingga istri dan anak-anaknya jatuh miskin. Dalam beberapa suku, suami dianggap bertanggung jawab kalau istrinya meninggal, dan keluarga istri akan menyuruh dia membayar denda.
Masih ada problem lain. Hingga hari ini, banyak orang di Kongo percaya bahwa tidak seorang pun mati karena sebab-sebab alami. Akibatnya, pada waktu pemakaman, diadakan upacara yang konon dilakukan untuk mengidentifikasi orang yang bertanggung jawab atas kematian itu. Rambut orang itu digunduli, dan ada banyak lagi adat istiadat lain. Dalam beberapa suku, apabila suami meninggal, istri harus dimurnikan oleh seorang anggota pria dalam suku mereka melalui hubungan seks. Pada upacara pemakaman, berbagai komentar sering ditujukan kepada orang mati, mencerminkan kepercayaan bahwa roh terus hidup setelah tubuh mati. Mengingat semua adat istiadat yang sangat berurat-berakar ini, dapat dibayangkan problem-problem yang dihadapi oleh orang-orang yang ingin mempraktekkan ibadat yang murni. Ada juga yang mengaku sebagai orang Kristen sejati tetapi tidak sepenuhnya meninggalkan adat istiadat ini dan bahkan mencoba memperkenalkannya ke dalam sidang Kristen.
Para pengawas yang berani dan jujur dibutuhkan untuk meluruskan perkara-perkara. Orang-orang yang mengasihi Yehuwa bersedia belajar dari mereka dan membuat perubahan yang perlu. Memang tidak mudah untuk merobohkan gagasan-gagasan yang dibentengi dengan kuat dalam diri orang-orang yang keliru mengira bahwa mereka sudah mengetahui kebenaran. Namun, problem terbesarnya adalah orang-orang menyamakan Saksi-Saksi Yehuwa dengan Kitawala.
Sewaktu berita menyebar ke seluruh negeri bahwa kantor cabang telah dibuka, banyak kelompok saudara menulis surat yang berisi permohonan untuk diakui sebagai sidang. Kelompok Kitawala juga melakukannya. Sebuah laporan mengatakan, ”Ada yang datang sejauh 2.300 kilometer sambil membawa daftar panjang berisi nama orang-orang yang ingin diakui sebagai Saksi-Saksi Yehuwa. Daftar ini adakalanya ditulis di atas kertas selebar 70 sentimeter dan sepanjang 90 sentimeter, dan adakalanya mencakup nama semua orang yang mendiami dua atau tiga desa.”
Sebelum memberikan pengakuan kepada orang atau kelompok sebagai Saksi-Saksi Yehuwa, perlu dipastikan siapa orang Kristen sejati dan siapa anggota Kitawala. Saudara Heuse mengutus saudara-saudara yang matang untuk menyelidiki. Proses ini berlangsung selama bertahun-tahun. Marilah kita perhatikan beberapa pengalaman pria-pria yang setia ini.
Mengkonfrontasi Kitawala
Pada tahun 1960, Pontien Mukanga, seorang saudara yang berperawakan agak kecil dan berwatak lemah lembut, dilantik sebagai pengawas wilayah pertama di Kongo. Setelah menerima pelatihan di Kongo (Brazzaville), ia mengunjungi sidang-sidang di Léopoldville dan beberapa kelompok terpencil di dekatnya. Namun, tugas yang jauh lebih sulit terbentang di hadapannya: mengkonfrontasi Kitawala.
Salah satu perjalanan pertama Saudara Mukanga adalah ke Kisangani (kala itu disebut Stanleyville), lebih dari 1.600 kilometer dari ibu kota. Mengapa ke sana? Seorang Eropa yang ditemui Saudara Heuse dalam dinas lapangan memperlihatkan kepadanya foto yang diambil di Stanleyville persis setelah kemerdekaan. Dalam foto itu terlihat sebuah papan besar terpampang di depan stasiun kereta api, berisi gambar sebuah Alkitab yang terbuka dan kata-kata berikut ini, ”Lembaga Alkitab dan Risalah Menara Pengawal—Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional—Orang Kongo Agama Kitawala—Hidup Patrice E. Lumumba—Hidup Antoine Gizenga—Hidup Pemerintah M.N.C.” Jelaslah, Kitawala di Kisangani menyalahgunakan nama badan hukum Saksi-Saksi Yehuwa.
Adakah Saksi-Saksi Yehuwa yang sejati di Kisangani? Saudara Mukanga diutus untuk mencari tahu. Satu-satunya informasi yang dimiliki kantor cabang adalah tentang seorang pria bernama Samuel Tshikaka, yang mendengar kebenaran di Bumba dan kembali ke Kisangani pada tahun 1957. Samuel tidak tergabung dengan salah satu kelompok Kitawala dan sangat ingin membantu Saudara Mukanga, yang belakangan menulis, ”Saya pergi dengan Samuel untuk menyelidiki orang-orang yang menggunakan nama Menara Pengawal. Kami pergi mengunjungi pendeta mereka, yang memberi tahu kami tentang kelompoknya. Kami mendengar bahwa meskipun beberapa dari mereka menggunakan Alkitab, semuanya percaya kepada jiwa yang tidak berkematian. Mereka mengajarkan kasih dengan saling bertukar istri.
”Tak lama setelah saya tiba, polisi berupaya menangkap Kitawala di kota itu. Kitawala melawan. Polisi memanggil tentara sebagai bala bantuan. Banyak anggota Kitawala terbunuh. Pada hari berikutnya, sebuah perahu berisi orang yang mati dan cedera melintasi sungai. Sekretaris pendeta ada bersama mereka dan mengenali saya sebagai orang yang mengunjungi pemimpin mereka dua hari sebelumnya. Ia melontarkan tuduhan palsu bahwa saya mengkhianati mereka kepada kalangan berwenang dan mengatakan bahwa saya bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang tewas dalam pertikaian itu. Ia menyuruh teman-temannya anggota Kitawala memastikan agar saya tidak lolos, tetapi saya berhasil melarikan diri sebelum mereka membunuh saya.”
Sewaktu surat kabar di Belgia melaporkan insiden ini, mereka memberi judul artikel itu ”Bentrokan antara Saksi-Saksi Yehuwa dan Polisi”. Namun, kalangan berwenang Kongo—yang mengetahui perbedaan antara Kitawala dan Saksi-Saksi Yehuwa—memberikan laporan yang akurat. Tak satu pun surat kabar di Kongo yang menuduh Saksi-Saksi terlibat dalam insiden ini!
Bagaimana dengan Samuel Tshikaka? Kini, ia masih berada dalam kebenaran dan melayani sebagai penatua di Sidang Kisangani Tshopo-Est. Saat ini, ada 1.536 penyiar yang diorganisasi ke dalam 22 sidang di Kisangani. Putra Samuel, Lotomo, melayani sebagai pengawas wilayah, persis seperti yang dilakukan Pontien Mukanga sekitar 40 tahun sebelumnya.
Seorang Pengawas Wilayah yang Meluruskan Perkara-Perkara
François Danda adalah pengawas wilayah lain yang bekerja untuk memperjelas perbedaan antara Saksi-Saksi dan Kitawala. Ia menjelaskan, ”Itu adalah masa yang sulit, dan ada banyak kerancuan. Kitawala selalu memasang tanda bertulisan ’Menara Pengawal’ dalam bahasa Inggris di tempat pertemuan mereka. Dalam semua publikasi kita, tidak soal dalam bahasa apa pun, ada tulisan ’Menara Pengawal’ di halaman penerbit. Sekarang, bayangkan ada orang yang membaca publikasi kita lalu mencari umat Allah. Ia mungkin menemukan tempat pertemuan bertanda ’Balai Kerajaan Saksi-Saksi Yehuwa’ dalam bahasa setempat dan tempat lain bertanda ’Menara Pengawal’ dalam bahasa Inggris. Ke mana ia akan cenderung pergi? Saudara dapat melihat betapa membingungkan situasinya.
”Banyak saudara tidak memiliki pengetahuan yang saksama, dan hanya sedikit publikasi yang tersedia. Sidang-sidang sering kali mencampurkan kebenaran dengan ajaran Kitawala, khususnya tentang kesucian perkawinan. Di sebuah kota yang saya kunjungi, saudara-saudara mengira bahwa 1 Petrus 2:17, yang menasihati untuk ’mengasihi segenap persekutuan saudara-saudara’, berarti saudari-saudari boleh ditiduri oleh saudara mana pun dalam sidang. Jika seorang saudari hamil karena seorang saudara yang bukan suaminya, sang suami menerima anak itu sebagai anaknya sendiri. Seperti pada abad pertama, ’orang yang tidak mendapat pengajaran dan yang tidak teguh’ memutarbalikkan ayat-ayat Alkitab.—2 Ptr. 3:16.
”Saya menyampaikan khotbah-khotbah Alkitab yang sangat blak-blakan tentang standar Yehuwa, termasuk yang mengenai perkawinan. Saya katakan bahwa ada beberapa hal yang harus kita luruskan dengan kesabaran, sedikit demi sedikit, tetapi ini tidak termasuk soal tukar-menukar istri. Syukurlah, saudara-saudara memahami dan menerima sudut pandang yang tepat dari Alkitab. Bahkan, beberapa anggota Kitawala di kota itu menerima kebenaran.”
Berkat upaya Saudara Mukanga dan Saudara Danda serta banyak saudara lain seperti mereka, orang-orang dapat melihat dengan jelas bahwa Saksi-Saksi Yehuwa berbeda dengan Kitawala. Dewasa ini, tidak seorang pun mengaitkan ”Kitawala” dengan istilah ”Menara Pengawal”. Kitawala masih ada, meskipun tidak menonjol atau berkuasa lagi seperti dahulu. Di banyak daerah, mereka sama sekali tidak dikenal.
Pengorganisasian yang Lebih Baik Menghasilkan Pertambahan
Menjelang akhir tahun dinas 1962, lebih dari 2.000 penyiar melayani Yehuwa dengan bergairah di seluruh Kongo. Namun, hanya ada sedikit saudara yang memenuhi persyaratan Alkitab untuk menjalankan kepengawasan. Salah satu problemnya adalah buta huruf, khususnya di antara saudara-saudara yang lebih tua. Problem lain adalah banyak yang lambat menyesuaikan diri dengan standar Allah yang adil-benar karena adat istiadat merupakan penghalang besar. Selain itu, siapa pun yang pernah bergabung dengan Kitawala harus menunggu bertahun-tahun sebelum mendapat hak istimewa dinas apa pun.
Namun, secara bertahap, ajaran Alkitab yang sehat dan bekerjanya roh Yehuwa membantu pria-pria memenuhi persyaratan untuk mengemban kedudukan sebagai pengawas dalam sidang-sidang. Di seluruh negeri, para pengawas wilayah dan perintis yang berani banyak berperan dalam menguatkan dan melatih saudara-saudara. Sekitar waktu itu, para pengawas wilayah dan perintis istimewa yang dilatih di Zambia bahkan masuk ke Katanga dan bagian selatan Kasai, kawasan yang telah dilanda perang sipil.
Setelah Kemerdekaan—Tahun-Tahun Toleransi Agama
Ingatlah bahwa pada tahun 1958, pemerintah mengeluarkan dekret toleransi yang memberi saudara-saudara kebebasan beragama hingga taraf tertentu. Pada awal tahun 1960-an, saudara-saudara terus mengajukan permohonan untuk mendapatkan pengakuan hukum secara resmi. Mereka tidak meminta-minta subsidi pemerintah atau bantuan finansial lainnya, tetapi mereka ingin diakui secara hukum. Pengakuan semacam itu akan memungkinkan mereka memberitakan kabar baik tanpa gangguan. Ini adalah kebutuhan yang mendesak karena di banyak tempat kalangan berwenang setempat mengorganisasi serangan terhadap saudara-saudara. Tempat perhimpunan dibakar, dan saudara-saudara dipukuli, ditangkap, serta dipenjarakan. Sewaktu saudara-saudara melayangkan protes kepada Kementerian Kehakiman, jawabannya selalu sama, ’Mohon maaf, tetapi karena kalian tidak diakui secara hukum, kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk kalian.’
Problem ini diperparah oleh situasi dalam negeri yang kacau balau. Wewenang pemerintah pusat tidak diakui di bagian-bagian tertentu negeri itu. Di beberapa daerah, sepucuk surat dari kantor cabang saja sudah cukup bagi kalangan berwenang setempat untuk membebaskan saudara-saudara dari penjara. Namun, di tempat-tempat yang merupakan basis para penentang, tak banyak yang dapat dilakukan untuk melindungi saudara-saudara dari penindasan dan pemenjaraan.
Di Kinshasa, saudara-saudara tidak banyak menghadapi tentangan. Sebelumnya, pertemuan besar di kota itu hanyalah untuk pernikahan dan pemakaman. Namun, pada tahun 1964, kantor cabang merencanakan dua kebaktian wilayah di ibu kota. Ini merupakan pengalaman baru bagi sebagian besar saudara. Pada pertemuan-pertemuan khusus, mereka mendapat pelatihan dalam menyampaikan khotbah maupun mengorganisasi berbagai departemen kebaktian.
Karena begitu bersemangatnya, saudara-saudara membicarakan kebaktian itu secara terang-terangan, dan hal ini sampai ke telinga gubernur Provinsi Léopoldville waktu itu. Karena pria ini tidak senang kepada Saksi-Saksi Yehuwa, ia menstensil sepucuk surat untuk disebarkan kepada kalangan berwenang setempat. Surat itu memerintahkan agar Saksi mana pun yang didapati mengabar atau berkumpul untuk ibadat harus ditangkap. Namun, sewaktu surat itu dikirimkan untuk diperbanyak, tugas itu ternyata diberikan kepada seorang saudara kita. Saudara itu hanya punya sangat sedikit persediaan kertas stensil, dan ia tahu bahwa toko-toko di Léopoldville juga sedang kosong. Sewaktu atasannya meminta salinan surat itu, saudara tersebut memperlihatkan rak-rak yang kosong—tidak ada kertas!
Sementara itu, saudara-saudara dengan sungguh-sungguh berdoa kepada Yehuwa tentang masalah tersebut. Apa yang terjadi? Di luar dugaan, pemerintah memutuskan untuk membentuk beberapa provinsi baru, dan provinsi yang diperintah oleh sang penentang dibubarkan! Selama bertahun-tahun, ada banyak pihak yang mencoba mengganggu atau menghancurkan umat Allah. Namun, upaya-upaya mereka digagalkan.—Yes. 54:17.
Lebih Banyak Utusan Injil Tiba
Pada tahun 1960-an, organisasi memanfaatkan kesempatan untuk mengirim utusan injil ke Kongo. Sebuah rumah kecil bagi utusan injil ditetapkan di Kinshasa. Pada bulan Maret 1964, utusan injil Julian dan Madeleine Kissel tiba dari Kanada. Empat puluh tahun kemudian, mereka masih melayani dengan setia sebagai anggota keluarga Betel di Kinshasa.
Beberapa utusan injil yang datang pada pengujung tahun 1960-an kini tinggal di negeri-negeri lain. Pada tahun 1965, Stanley dan Bertha Boggus ditugasi ke Kongo setelah melayani di Haiti. Saudara Boggus, seorang pengawas keliling, kembali ke Amerika Serikat pada tahun 1971 karena problem kesehatan. Menjelang akhir tahun 1965, Michael dan Barbara Pottage bergabung dengan para utusan injil di Kongo. Mereka sekarang berada di Betel Inggris. William dan Ann Smith ditugasi ke Kongo pada tahun 1966; mereka lebih sering bekerja di Katanga. Karena pelarangan, mereka ditugasi kembali ke Kenya pada tahun 1986. Manfred Tonak dari Jerman, yang lulus dari Gilead kelas ke-44, melayani sebagai pengawas keliling di Kongo. Sewaktu pelarangan tiba, ia ditugasi ke Kenya. Sekarang, ia adalah koordinator Panitia Cabang di Etiopia. Pada tahun 1969, Dayrell dan Susanne Sharp datang ke Kongo setelah lulus dari Gilead kelas ke-47. Setelah diusir dari Kongo, mereka ditugasi ke Zambia dan telah berada di Betel Lusaka sejak saat itu. Para utusan injil lain ditugasi ke negeri-negeri di Afrika Barat. Di antaranya adalah Reinhardt dan Heidi Sperlich, yang meninggal dalam suatu kecelakaan pesawat. Tragedi ini menjadi sumber kesedihan besar bagi semua orang yang mengenal mereka.
Pada tahun 1966, rumah utusan injil pertama di luar Kinshasa dibuka di Lubumbashi, di bagian tenggara negeri itu. Belakangan, rumah-rumah lain dibentuk di Kolwezi, bagian barat laut Lubumbashi, dan di Kananga (kala itu Luluabourg), Kasai. Kehadiran para utusan injil tersebut merupakan pengaruh kuat yang memantapkan dan hal ini membantu saudara-saudara untuk hidup menurut kebenaran. Misalnya, di Kasai, persaingan antarsuku masih ada di antara saudara-saudara. Karena para utusan injil tidak berasal dari suku mana pun, mereka berada dalam kedudukan yang baik untuk menengahi problem dan bertindak secara tidak berat sebelah dalam kasus pengadilan.
Dari tahun 1968 sampai tahun 1986, lebih dari 60 utusan injil melayani di berbagai bagian negeri itu. Beberapa telah mengikuti Sekolah Alkitab Gilead Menara Pengawal di Amerika Serikat, dan yang lainnya, Sekolah Ekstensi Gilead di Jerman. Selain itu, para perintis berbahasa Prancis datang langsung ke Kongo sebagai utusan injil. Banyak yang mempelajari bahasa setempat, dan semuanya bekerja keras untuk menghibur orang-orang dengan kabar baik Kerajaan.
Balai-Balai Kerajaan pada Tahun 1960-an
Di kota-kota yang lebih besar, perhimpunan biasanya diadakan di bangunan yang tidak berdinding. Bangunan semacam ini cocok mengingat panas dan kelembapan yang ekstrem, dan sebagian besar perhimpunan diadakan pada malam hari atau pagi-pagi sekali, sewaktu udaranya sejuk. Hal ini tidak menjadi masalah sewaktu tidak ada hujan. Namun, pada musim hujan, perhimpunan sering kali harus ditangguhkan hingga keesokan harinya.
Balai Kerajaan pertama ditahbiskan pada tahun 1962. Letaknya di Kimbanseke, Kinshasa, dan milik salah satu dari keenam sidang yang ada pada waktu itu. Sejak saat itu, sidang-sidang di Kongo telah memperlihatkan inisiatif yang besar dalam membangun Balai Kerajaan. Namun, sesekali timbul problem hukum. Adakalanya, seorang saudara mengizinkan sidang menggunakan tanahnya untuk membangun balai, tetapi tidak mendaftarkannya secara hukum. Sewaktu saudara itu meninggal, para anggota keluarganya datang dan menyita balai tersebut berikut isinya. Tak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegahnya. Belakangan, pada masa pelarangan, banyak balai diambil alih oleh kalangan berwenang setempat dan digunakan untuk tujuan mereka sendiri. Problem-problem ini membatasi pembangunan Balai Kerajaan secara ekstensif.
Meskipun demikian, Balai-Balai Kerajaan didirikan di seluruh negeri itu. Meskipun sebagian besar berupa bangunan sederhana, semuanya mencerminkan iman saudara-saudari yang membangunnya. Perhatikan uraian seorang utusan injil tentang tempat-tempat perhimpunan pada pengujung tahun 1960-an.
”Untuk tiba di sebuah Balai Kerajaan di Léopoldville, kami harus berjalan melewati lorong-lorong di antara rumah-rumah yang terbuat dari beton kasar. Segerombolan anak mengikuti kami. Kami memasuki sebuah halaman yang dikelilingi oleh dinding beton. Balai Kerajaan yang tidak berdinding tersebut berada di belakang sebuah rumah yang dihuni saudara-saudara. Mereka sedang berlatih menyanyikan lagu Kerajaan. Sungguh menggetarkan untuk mendengarkan mereka! Mereka menyanyi dengan sepenuh hati. Kami senang bahwa balai itu dinaungi oleh pepohonan, sehingga terlindung dari matahari. Ada tempat duduk untuk sekitar 200 orang. Panggungnya terbuat dari beton dan beratap seng. Jika pembicaranya jangkung, ia mungkin harus sedikit membungkuk. Ada papan pengumuman untuk surat-surat dari kantor cabang dan tugas-tugas sidang. Ada meja untuk lektur. Saudara-saudara telah meletakkan tanaman di sisi panggung. Lampu minyak digunakan sebagai penerang, sehingga saudara-saudara dapat menyelenggarakan perhimpunan pada malam hari. Sewaktu kami pulang, anak-anak itu masih berada di luar untuk mengantar kami kembali ke jalan utama.
”Sekarang, kami mengadakan perjalanan jauh ke pedalaman Kongo. Seraya kami memasuki sebuah desa yang terdiri dari pondok-pondok rumput, perhatian kami langsung terpaku pada Balai Kerajaan. Ini adalah bangunan yang ditopang oleh sembilan tiang, dengan atap tebal yang terbuat dari daun-daun. Ada parit-parit kecil yang digali di tanah dari satu sisi balai ke sisi lainnya. Di luar dugaan, sewaktu kami duduk di tanah dan meletakkan kaki kami di dalam parit itu, kami tidak merasa tidak nyaman. Di atas saudara yang memimpin perhimpunan terpasang tanda yang ditulis tangan berbunyi ’Balai Kerajaan’ dalam dialek setempat. Ada sekitar 30 orang yang hadir. Barangkali hanya setengahnya adalah penyiar. Mereka tahu beberapa lagu Kerajaan. Meskipun kurang menguasai teknik musik, nyanyian mereka diimbangi oleh antusiasme, dan kami bernyanyi dengan sepenuh hati.
”Sekarang, kami pergi ke bagian utara negeri ini. Kami menghentikan Land Rover kami dan memandang ke desa. Kami melihat gugusan pondok rumput, di belakangnya ada sebuah bangunan yang tampak berbeda dari yang lainnya. Bangunan ini terbuat dari tiang-tiang bambu tebal yang disatukan dengan ikatan yang kuat. Pada dinding bambunya dibuat potongan yang membentuk jendela-jendela dan pintu. Atapnya terbuat dari rumput. Di depan bangunan itu terdapat pekarangan rumput yang rapi dengan sebuah jalan sempit, dan di atas pekarangan itu terdapat papan kecil bertuliskan: ’Saksi-Saksi Yehuwa’. Kami menyusuri jalan sempit itu sampai ke Balai Kerajaan dan disambut dengan sukacita oleh saudara-saudara kita. Seraya kami masuk, kami mengamati bahwa bangku-bangku terdiri dari batang-batang bambu yang diletakkan melintang di atas pasak bambu. Untung saja Balai Kerajaan itu memiliki atap yang kedap air! Kalau tidak, bisa timbul masalah: Jika air sampai mengenai pasak bambu itu, pasak itu bisa berakar dan segera tumbuh. Bukannya setinggi 30 sentimeter dari tanah, bangku ini bisa jauh lebih tinggi lagi. Sebuah papan pengumuman memuat daftar acara perhimpunan dan surat-surat dari kantor cabang. Saudara-saudara menerima lektur dari sebuah meja yang terbuat dari bilah bambu yang diikat dengan buluh.
”Kami pergi ke selatan menuju Katanga, tempat matahari baru terbenam. Di sini, udaranya jauh lebih sejuk, dan kami perlu mengenakan pakaian yang lebih hangat. Kami tiba di sebuah desa, dan seraya kami mendekat ke Balai Kerajaan, kami mendengar saudara-saudara bernyanyi. Saudara-saudara di desa biasanya tidak memiliki jam tangan, jadi mereka memperkirakan waktu perhimpunan berdasarkan matahari. Saudara-saudara yang pertama tiba di balai biasanya mulai bernyanyi sampai sebagian besar saudara hadir dan perhimpunan dapat dimulai. Kami duduk berdesak-desakan di kursi yang terbuat dari batang pohon yang digergaji menjadi dua dan diletakkan di atas dua penopang. Lektur disimpan dalam sebuah lemari tua, tetapi tidak dapat diletakkan untuk waktu yang lama karena serangan kecoak dan rayap, yang merusak kertasnya. Seusai perhimpunan, saudara-saudara mengundang kami untuk melihat balai mereka. Dindingnya terbuat dari ranting-ranting kecil yang diikat dengan buluh lalu dilapisi tanah liat. Atapnya yang kedap air dibuat dari rumput anyaman.”
Yehuwa Melindungi Hamba-Hamba-Nya
Selama tahun 1960-an, pertikaian sipil dan tindak kekerasan sudah lumrah terjadi. Banyak orang kehilangan nyawanya, termasuk sebagian umat Yehuwa. Dibutuhkan iman dan keberanian bagi saudara-saudara untuk berkumpul bersama, karena perhimpunan adakalanya keliru dianggap sebagai pertemuan politik. Di Provinsi Équateur, tentara bersenjata mendatangi sebuah Balai Kerajaan tempat saudara-saudara sedang berhimpun. Para tentara segera memahami bahwa saudara-saudara berada di sana untuk beribadat kepada Allah, bukan untuk mempromosikan pandangan politik. Oleh karena itu, para tentara itu pergi, mengatakan bahwa mereka tidak menentang agama maupun Allah.
Pada peristiwa lain, di Kisangani, Bernard Mayunga dan beberapa penyiar lain dikumpulkan oleh para pemberontak yang mencari para kepala administrasi setempat, yang rencananya akan mereka eksekusi. Sewaktu ditanya dari suku mana ia berasal, Bernard menjawab, ”Saya seorang Saksi-Saksi Yehuwa.” Terkejut oleh jawaban itu, pemimpin pemberontak meminta penjelasan. Bernard memberi kesaksian dari Alkitab, lalu pemimpin pemberontak itu menyatakan, ”Jika semua orang seperti Anda, tidak akan ada perang.” Bernard dibebaskan, demikian juga Saksi-Saksi lain yang ditahan.
Akhirnya, Pengakuan Hukum!
Hingga tahun 1965, Betel Kongo masih berupa sebuah apartemen di pusat kota Kinshasa. Tempatnya kecil dan penuh sesak. Jumlah pemberita Kerajaan kini mendekati 4.000 orang, dan fasilitas yang lebih besar dibutuhkan. Setelah mencari dengan sungguh-sungguh, saudara-saudara mendapatkan sebuah rumah yang baru berusia enam tahun, berlokasi di 764 Avenue des Elephants, Limete, Kinshasa. Bangunan itu bertingkat dua dan memiliki empat kamar tidur. Saudara-saudara mulai bekerja dan mengubah lobi serta ruang makan yang besar di lantai pertama menjadi kantor. Mereka menggunakan garasinya untuk pengiriman dan penstensilan. Bangunan itu diperluas pada tahun 1972.
Pada bulan November 1965, Joseph-Désiré Mobutu mengambil alih kekuasaan politik melalui suatu kudeta. Sekali lagi, kantor cabang mengajukan permohonan untuk pengakuan hukum, dan pada tanggal 9 Juni 1966, Presiden Mobutu menandatangani peraturan yang mengesahkan hal itu. Kini, umat Yehuwa menikmati hak dan keuntungan yang sama dengan semua agama lain yang diakui secara hukum di Kongo. Apa yang telah diupayakan dan didoakan oleh saudara-saudara sejak tahun 1932 akhirnya terwujud. Mereka bebas mengabar di hadapan umum, mengadakan kebaktian besar, dan memiliki properti. Namun, kebebasan ini hanya akan berlangsung selama enam tahun.
Kebaktian Menghasilkan Kesaksian Besar
Alangkah senangnya saudara-saudara karena dapat mengorganisasi kebaktian wilayah di bawah perlindungan hukum! Rangkaian pertama terdiri dari 11 kebaktian dengan total hadirin 11.214 orang dan 465 orang dibaptis.
Kebaktian itu menimbulkan reaksi keras dari gereja-gereja setempat. Para klerus telah berjuang dengan ganas untuk mencegah Saksi-Saksi Yehuwa menerima pengakuan hukum di daerah yang subur ini, yang para klerus anggap sebagai daerah kekuasaan mereka. Di Gandajika, Provinsi Kasai, para pemimpin agama mengajukan protes kepada wali kota. Karena wali kota tidak takut kepada intimidasi mereka, mereka mengutus orang-orang muda ke lokasi kebaktian untuk mengganggu acara itu. Namun, ternyata sebuah film berdasarkan Alkitab sedang ditayangkan di kebaktian itu, dan sekumpulan besar orang telah datang untuk menontonnya. Tak lama kemudian, para pembuat onar itu juga ikut duduk untuk menontonnya. Mereka sangat terkesan oleh apa yang mereka saksikan. Setiap kali gulungan film diganti, kumpulan orang itu, yang berjumlah puluhan ribu, bersorak, ”Hidup Saksi-Saksi Yehuwa!”
Saksi-Saksi Yehuwa kini punya otorisasi untuk mengadakan kebaktian-kebaktian besar, tetapi dibutuhkan banyak persiapan sebelum mereka dapat mengadakannya. Mereka perlu mengorganisasi drama Alkitab, dan drama membutuhkan kostum. Saudara-saudara harus memasang dan mengoperasikan peralatan tata suara. Semua ini mereka lakukan karena mereka sangat ingin merelakan diri sekaligus belajar.
Mengadakan Perjalanan untuk Melayani Kebaktian Wilayah
Pada tahun 1964, sudah ada cukup banyak wilayah di Kongo untuk membentuk dua distrik. Pada tahun 1969, distrik ketiga dibentuk, di Kasai, dan pada tahun 1970, ada empat distrik. Karena jalanan yang jelek, para pengawas distrik dan orang lain sering kali kesulitan mengadakan perjalanan ke kebaktian. Sebagai gambaran, marilah kita temani seorang pengawas distrik, William Smith, dalam perjalanan ke sebuah kebaktian wilayah.
”Hujan telah membanjiri daerah pinggiran, sehingga sungai-sungai meluap. Tujuan kami adalah Kamina, tempat kebaktian wilayah dijadwalkan akan diadakan. Untuk mencapai tempat itu, kami harus mengadakan perjalanan lebih dari 320 kilometer. Hujan lebat mengubah beberapa jalan menjadi lautan lumpur, dan di tempat lain, jalanannya lenyap terendam air. Sebuah lembah telah menjadi danau. Mobil, truk, dan kendaraan pemerintah diparkir di mana-mana seraya orang-orang menunggu air surut. Banyak orang memperkirakan bahwa kegiatan mereka akan tertunda selama dua minggu.
”Saya tahu bahwa saudara-saudara sangat menanti-nantikan acara kebaktian. Beberapa saudara telah berjalan selama berhari-hari untuk hadir. Saya bertanya apakah ada jalan lain untuk melewati lembah itu. Saya terkejut sewaktu diberi tahu orang-orang bahwa Saksi-Saksi Yehuwa telah membangun sebuah jalan pintas yang sempit, tetapi karena tanahnya sangat lembek, Saksi-Saksi itu tidak memperbolehkan siapa pun melewatinya sampai sang pengawas distrik telah lewat dalam perjalanannya ke Kamina.
”Saudara-saudara dari dua desa telah bekerja sepanjang hari, sepanjang malam, dan hingga keesokan harinya untuk membuat jalan tembus yang baru, yang memintas bagian jalan yang tidak dapat dilalui. Saya segera bertemu dengan saudara-saudara itu dan bersiap-siap menjalankan jip di atas jalan yang mereka bangun. Ada cukup banyak orang yang berkumpul untuk melihat apakah jip itu dapat lewat. Betapa kecewanya kami melihat jip itu terperosok ke dalam tanah yang lembek setelah berjalan beberapa meter saja di jalan baru tersebut!
”Sekalipun saudara-saudara mendorongnya, kendaraan itu tidak bergeming. Mereka telah bekerja begitu keras, dan kekecewaan tampak di wajah mereka. Meskipun demikian, tekad mereka tidak luntur untuk mengupayakan agar pengawas distrik dapat menghadiri kebaktian. Para pengamat, yang mengira bahwa jalan baru itu tidak membantu tetapi malah membahayakan, kembali ke kendaraan mereka. Saudara-saudara memutuskan untuk mencoba lagi. Kali ini, mereka membongkar semua muatan jip, yang sarat dengan lektur, peralatan tata suara, pembangkit listrik, dan barang-barang lain. Saudara-saudara menggali dan mendorong, dan roda-rodanya yang berputar cepat mulai mendorong jip itu maju sedikit.
”Satu jam kemudian, dengan seruan sukacita dan nyanyian lagu Kerajaan, kami merayakan keberhasilan kami melewati lumpur. Saudara-saudara telah mencapai sesuatu yang dianggap mustahil oleh orang-orang yang duduk di kendaraan mereka. Kebaktian itu sangat sukses, berkat kerja keras saudara-saudara. Yehuwa menyertai umat-Nya dan membantu mereka melakukan kehendak-Nya.”
Rezim Politik Baru Memberlakukan Perubahan
Tidak mudah untuk mencapai orang-orang yang tersebar di hutan hujan khatulistiwa dan sabana seluas ribuan kilometer persegi. Sementara para utusan injil mengabar di kota-kota besar, saudara-saudari setempat yang melayani sebagai perintis istimewa membuka daerah pedesaan. Namun, banyak penduduk desa buta huruf sehingga sulit membangun sidang-sidang yang kuat. Selain itu, perubahan politik nasional akan segera mempengaruhi kehidupan saudara-saudara.
Tahun 1970 menandai awal sistem politik satu partai. Partai itu dikenal sebagai Gerakan Populer Revolusi (Mouvement Populaire de la Révolution, dalam bahasa Prancis), atau MPR. Kebijakannya adalah kembali ke nilai-nilai tradisional, dan ini mencakup menamai kembali kota dan desa. Stanleyville sudah menjadi Kisangani, dan Elisabethville menjadi Lubumbashi. Pada tahun 1971, pemerintah mengganti nama negeri itu dan sungai utamanya dari Kongo menjadi Zaire. Mata uang diubah dari franc menjadi zaire. Pemerintah mewajibkan orang-orang mengganti nama mereka juga: Nama yang dianggap berbau Kristen harus diganti menjadi nama asli Afrika. Dasi tidak boleh dikenakan, karena itu dikaitkan dengan orang Eropa. Dalam semua hal ini, saudara-saudara menaati dengan penuh respek.—Mat. 22:21.
Menurut ideologi politik, semua orang yang lahir di Kongo otomatis adalah anggota aktif MPR. Agar boleh tetap bekerja, bersekolah, atau berjualan di pasar, orang-orang diwajibkan memiliki kartu politik. Selain itu, orang-orang diharuskan mengenakan lencana partai politik, khususnya sewaktu memasuki kantor pemerintah. Itu adalah masa yang sulit bagi umat Yehuwa. Saudara-saudara kehilangan pekerjaan mereka, dan anak-anak dikeluarkan dari sekolah.
Namun, beberapa pejabat pemerintah memahami kedudukan Saksi-Saksi Yehuwa. Menteri dalam negeri bertanya kepada seorang saudara yang bekerja padanya mengapa ia tidak mengenakan lencana partai. Saudara itu menjelaskan alasannya yang berdasarkan Alkitab. Menteri itu menjawab, ”Kami mengenal kamu, dan kami tidak akan menyulitkan kamu; tetapi, tidak demikian dengan gerakan pemuda.”
Dilaporkan bahwa Presiden Mobutu sendiri, setelah menerima banyak keluhan tentang Saksi-Saksi Yehuwa, menjawab kepada para anggota partainya dalam sebuah rapat, ’Kalaupun saya sampai punya problem, itu tidak akan berasal dari Saksi-Saksi Yehuwa. Ingatlah siapa yang mengkhianati Yesus. Yudas, salah satu murid-Nya. Jika ada yang akan mengkhianati saya, dia pasti seseorang yang sedang makan bersama saya.’
Betel Berkembang untuk Memenuhi Kebutuhan
Nathan H. Knorr, dari kantor pusat di Brooklyn, mengunjungi Kongo pada bulan Januari 1971. Salah satu persoalan yang dibahas dalam kunjungannya adalah perluasan Rumah Betel dan gedung kantor. Pada tahun 1970, ada hampir 14.000 penyiar di 194 sidang dan lebih dari 200 kelompok terpencil. Karena kebutuhan akan lektur terus meningkat di Kongo, gudang di Betel telah menjadi terlalu kecil. Betapa menyukacitakannya sewaktu Saudara Knorr mengumumkan bahwa bangunan yang ada akan diperluas! Seorang arsitek menggambar rancangan untuk sebuah bangunan baru bertingkat dua yang modern, dua kali ukuran bangunan yang ada. Bangunan baru itu mencakup sebuah kantor yang besar, sebuah gudang yang luas, dan beberapa kamar tidur tambahan.
Pada bulan Juni 1971, rencana itu disetujui, dan pekerjaan dimulai. Don Ward diutus dari Dahomey (kini Benin) untuk mengawasi pembangunan. Banyak relawan dari ke-39 sidang di Kinshasa datang untuk membantu, dan bersama-sama mereka merampungkan proyek pembangunan itu. Semua ekspansi di lapangan dan di Betel ini semakin mengesalkan agama-agama Susunan Kristen, sebagaimana akan kita lihat.
Tahun 1970-an—Waktunya untuk Berani dan Waspada
Pada bulan Desember 1971, pemerintah mengeluarkan hukum untuk menertibkan banyak agama dan kelompok doa yang baru dibentuk di seluruh negeri. Menurut hukum baru ini, hanya tiga agama yang sah: Gereja Katolik Roma, gereja-gereja Protestan, dan gereja Kimbangu, sebuah agama setempat. Pada tahun 1972, tiga agama lain juga mendapat pengakuan: Islam, Ortodoks Yunani, dan Yudaisme. Banyak agama yang lebih kecil mengelompokkan diri di bawah golongan Protestan.
Maka, tahun 1971 sampai tahun 1980 merupakan periode tanpa pengakuan, atau pelarangan secara halus, yang dengan satu atau lain cara membatasi kegiatan umat Allah. Meskipun Saksi-Saksi Yehuwa tidak diakui secara resmi, tidak pernah ada perintah untuk mengusir para utusan injil, dan Betel tidak diganggu. Rumah utusan injil di Kananga ditutup, tetapi rumah-rumah di Bukavu, Kisangani, Kolwezi, dan Lubumbashi tidak. Saudara-saudara tidak dapat lagi mengorganisasi kebaktian distrik yang besar. Namun, di banyak tempat, saudara-saudara berhimpun di Balai Kerajaan mereka. Mereka menyelenggarakan kebaktian-kebaktian wilayah kecil di balai-balai yang lebih besar. Situasinya banyak bergantung pada sikap kalangan berwenang setempat. Di tempat-tempat yang tentangannya kuat, saudara-saudara bisa mengantisipasi penindasan dan penangkapan. Ratusan saudara dipenjarakan. Di tempat yang kalangan berwenangnya baik, saudara-saudara dapat menjalankan kegiatan agama mereka dengan leluasa.
Terlepas dari pembatasan, Saksi-Saksi terus mengabar dengan berani. Tiga saudara dan satu saudari pergi ke pasar untuk memberikan kesaksian. Dua pria mendekat dan menangkap salah seorang saudara sewaktu ia menempatkan buku kepada seorang peminat. Mereka menggiringnya ke kantor pusat partai politik dan meninggalkannya di sebuah ruangan untuk menunggu kedatangan kepala partai. Sang kepala partai masuk dan mendapati saudara itu menawari pria lain di ruang tunggu itu buku Did Man Get Here by Evolution or by Creation?
”Apakah kamu sedang menyebarkan propagandamu di sini?” tanya sang kepala.
Saudara itu menjawab, ”Kalau ada yang bertanya kepada Bapak, ’Apakah manusia ada melalui evolusi atau penciptaan?’ apa jawaban Bapak?”
Sang kepala tidak menjawab. Sambil berpaling kepada pria yang telah menangkap saudara itu, ia berkata, ”Biarkan dia pergi. Ia tidak melakukan apa pun yang tidak sah.”
Saudara itu kembali ke pasar dan melanjutkan memberikan kesaksian. Belakangan, sang kepala kebetulan lewat dan melihat dia. Sambil menunjuk ke saudara itu, ia berkata kepada rekannya, ”Pria itu benar-benar pemberani, ya?”
Pada tahun 1974, pengawas cabang Ernest Heuse terpaksa kembali ke Belgia atas rekomendasi para dokternya. Ernest telah menderita emfisema selama beberapa waktu, dan kesehatannya diperburuk oleh serangan malaria yang berulang kali. Saudara-saudara mengasihi keluarga Heuse; mereka telah memberikan banyak sumbangsih untuk pekerjaan kita. Di Belgia, mereka terus melayani Yehuwa dengan bergairah. Ernest meninggal pada tahun 1986; istrinya, Hélène, meninggal delapan tahun kemudian. Di Kinshasa, pengawasan kantor cabang dipercayakan kepada Timothy A. Holmes, yang telah melayani sebagai utusan injil sejak tahun 1966.
Pengakuan Hukum Lagi pada Tahun 1980
Pada tanggal 30 April 1980, presiden republik itu menandatangani peraturan yang memberikan pengakuan hukum kepada Asosiasi Saksi-Saksi Yehuwa. Minat akan kebenaran lebih besar daripada sebelumnya, dengan 90.226 orang yang menghadiri Peringatan dan sekitar 35.000 pengajaran Alkitab yang diadakan di rumah-rumah para peminat. Ada puncak-puncak baru jumlah penyiar dan perintis. Fasilitas yang lebih baik dibutuhkan untuk melayani kebutuhan di lapangan dengan lebih efisien. Maka, saudara-saudara bersukacita sewaktu Badan Pimpinan menyetujui pembelian sebidang lahan seluas dua setengah kali lahan yang sudah dimiliki Kongo. Namun, seperti yang akan kita lihat, timbul kesulitan.
Selama bertahun-tahun, saudara-saudara tidak dapat mengorganisasi kebaktian distrik yang besar. Kini, mereka bebas untuk melakukannya. Pada tahun 1980, lima Kebaktian Distrik ”Kasih Ilahi” diselenggarakan di seluruh negeri itu. Beberapa delegasi harus menempuh perjalanan yang sangat jauh. Banyak keluarga berjalan kaki lebih dari 400 kilometer untuk hadir. Dua perintis istimewa di kawasan yang sangat terpencil menghabiskan dua minggu bersepeda sejauh lebih dari 700 kilometer melewati pasir yang dalam dan hutan hujan. Beberapa delegasi juga datang dari Kongo (Brazzaville), Burundi, dan Rwanda.
Pada tahun-tahun berikutnya, kebaktian distrik perlu diorganisasi di lebih banyak tempat lagi. Memang benar bahwa saudara-saudara memiliki kebebasan beragama, tetapi tekanan ekonomi sedang meningkat. Banyak yang kesulitan untuk sekadar bertahan hidup. Harga-harga membubung, tetapi gaji tidak. Biaya transportasi terlalu tinggi bagi kebanyakan saudara untuk mengadakan perjalanan jauh. Oleh karena itu, kantor cabang dengan pengasih mengorganisasi lebih banyak kebaktian yang lebih dekat ke tempat tinggal kebanyakan saudara.
Jalan di Kongo penuh rintangan: Pohon tumbang, jembatan yang rusak, pasir yang dalam, dan lubang berlumpur sering ditemui. Wakil dari kantor cabang serta istri mereka selalu memperlihatkan semangat rela berkorban sewaktu melayani dalam kebaktian-kebaktian. Namun, pengorbanan mereka kecil apabila dibandingkan dengan pengorbanan saudara-saudari setempat yang setia yang sering kali harus berjalan selama berhari-hari dan tidur di tempat terbuka. Masih umum bagi saudara-saudara untuk berjalan kaki sejauh 50 hingga 150 kilometer untuk menghadiri kebaktian distrik.
Rumah-Rumah Baru bagi Utusan Injil Dibuka
Pengakuan hukum pada tahun 1980 membuka jalan bagi para utusan injil baru untuk datang ke negeri itu. Pada tahun 1981, sebuah rumah baru dibuka di Goma (Provinsi Kivu). Selama dua tahun berikutnya, lebih banyak rumah dibuka di Likasi (Katanga), Mbuji-Mayi (Kasai), Kikwit (Bandundu), dan di kota pelabuhan Matadi (Kongo Bawah). Rumah-rumah yang telah ditutup dibuka kembali. Akhirnya, pada tahun 1986, sebuah rumah dibuka di Isiro (Provinsi Orientale), sehingga secara keseluruhan ada 11 rumah utusan injil di negeri itu. Rumah-rumah ini juga berfungsi sebagai depot lektur. Para utusan injil adalah penghubung antara kantor cabang dan lapangan. Saudara-saudari setempat menghargai dukungan moril dan pelatihan yang diterima dari mereka. Tahun dinas 1981 diakhiri dengan puncak baru sebanyak 25.753 penyiar. Kemungkinan untuk pertambahan sangat besar.
Tidak Takut kepada Kimbilikiti
Kimbilikiti adalah nama salah satu roh suku. Roh ini disembah orang-orang suku Rega, yang hidup di bagian timur-tengah negeri itu yang berhutan lebat. Kehidupan orang-orang ini—sebagian besar pemburu, petani, dan nelayan—didominasi oleh kepercayaan agama yang berkaitan dengan Kimbilikiti. Kultus ini diselubungi kerahasiaan, dan para pendetanya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap orang-orang yang hidup dalam ketakutan akan roh itu.
Saksi-Saksi Yehuwa di daerah itu tidak takut kepada Kimbilikiti karena mereka tahu bahwa Yehuwa adalah satu-satunya Allah yang benar. Mereka adalah satu-satunya yang tidak menuruti tuntutan para pendeta Kimbilikiti, seperti mempersembahkan kambing dan ayam yang kemudian disantap para pendeta itu sendiri.
Sejak tahun 1978, para anggota kultus itu mulai menindas Saksi-Saksi Yehuwa secara terbuka. Mereka membakar habis beberapa Balai Kerajaan, mengejar beberapa saudara dari rumah mereka sendiri, dan menyita harta milik saudara-saudara itu. Kultus itu juga menggunakan sihir dan jampi-jampi untuk mencelakai saudara-saudara, tetapi gagal. Kemudian, pada bulan Agustus 1983, para anggota kultus itu melaksanakan rencana yang mengerikan—mereka dengan brutal membunuh delapan saudara di dekat desa Pangi.
Insiden yang mengerikan ini sangat menggegerkan sidang, khususnya bagi saudara-saudari yang telah kehilangan suami atau ayah yang disayangi. Kantor cabang dan saudara-saudara setempat segera mengerahkan bantuan rohani serta materi kepada keluarga-keluarga yang terimbas.
Sementara itu, para pembunuh merasa aman di kawasan hutan yang terpencil ini. Namun, akhirnya, orang-orang yang bersalah itu ditangkap. Persidangan diadakan di pengadilan distrik di Kindu. Para terdakwa menyatakan bahwa roh Kimbilikiti telah mendorong mereka untuk membunuh. Namun, jaksa penuntut menunjukkan siapa biang keladi sebenarnya. Ia menyatakan, ”Beberapa [anggota suku Rega] yang dulunya ambil bagian dalam ritus Kimbilikiti dan mengetahui rahasianya kini bergabung dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Mereka telah membeberkan rahasia itu, khususnya yang berkaitan dengan tidak adanya roh yang disebut Kimbilikiti. Dengan demikian, mereka telah menyingkapkan bahwa permintaan korban oleh roh tersebut adalah kepalsuan dan bahwa roh itu, menurut Saksi-Saksi Yehuwa, adalah penipuan besar-besaran yang diorganisasi oleh pria-pria tua yang mengatur upacara-upacara tersebut.”
Oleh karena itu, para terdakwalah yang dinyatakan bersalah, bukan roh Kimbilikiti. Sewaktu kasus itu dinaikbandingkan, pengadilan tinggi di Bukavu mendukung hukuman mati bagi para pembunuh itu. Jaksa penuntut umum mengeluarkan peringatan akan konsekuensi serangan apa pun di masa depan terhadap Saksi-Saksi Yehuwa oleh para penyembah Kimbilikiti.b
Setelah itu masih ada insiden-insiden lain, tetapi para anggota kultus itu kini sadar bahwa mereka tidak dapat menyembunyikan hal-hal tersebut di dalam hutan ataupun mengandalkan perlindungan Kimbilikiti yang memang tidak ada. Sementara itu, Saksi-Saksi Yehuwa dengan setia terus membantu orang-orang lain membebaskan diri dari kultus ini. Dengan pengasih, Yehuwa telah memberkati upaya-upaya ini. Kini, ada lebih dari 300 penyiar yang dengan bergairah melayani dalam sidang-sidang di daerah ini. Mereka mengasihi Yehuwa; mereka tidak takut kepada Kimbilikiti.
Pekerjaan di Bawah Pelarangan
Pada tahun 1985, pekerjaan Kerajaan sedang berkembang pesat di Kongo. Pembangunan sebuah Betel baru telah dimulai di lahan yang telah dibeli pada tahun 1980. Sekitar 60 relawan asing turun tangan untuk membantu. Pada akhir tahun dinas itu, terdapat hampir 35.000 penyiar di lapangan dan puncak baru jumlah perintis. Enam puluh utusan injil mengabar dengan bergairah di seluruh penjuru negeri. Para pengawas keliling melatih penatua sidang dan perintis. Segala sesuatu tampaknya siap untuk pertambahan yang luar biasa.
Namun, tidak semua orang senang melihat kemakmuran rohani dan materi umat Allah. Melalui para politikus, para klerus mengganggu kegiatan saudara-saudara. Pada tanggal 12 Maret 1986, Presiden Mobutu menandatangani sebuah dekret yang melarangkan pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa. Pada hari berikutnya, pelarangan itu diumumkan lewat radio nasional. Seorang penyiar radio mengatakan, ”Sekarang, kita tidak akan pernah lagi mendengar tentang Saksi-Saksi Yehuwa di [Kongo].” Betapa kelirunya ia!
Kantor cabang memanggil empat utusan injil yang telah melayani sebagai pengawas distrik dan menugasi saudara-saudara setempat untuk menjalankan pekerjaan distrik. Karena para utusan injil tidak bisa lagi mengabar secara terbuka, mereka seolah-olah berada dalam tahanan rumah. Saudara-saudara setempat sangat berhati-hati sewaktu mengabar. (Mat. 10:16) Sungguh menyedihkan, banyak peminat menjadi takut dan berhenti belajar. Beberapa Balai Kerajaan ditutup atau bahkan dihancurkan. Yang lainnya disita oleh partai politik. Saudara-saudara harus berhimpun dalam kelompok kecil. Saudara-saudara ditangkap malam-malam di rumah mereka sendiri, dan harta milik mereka dicuri.
Di Provinsi Équateur, banyak saudara dipukuli dan dijebloskan ke dalam penjara. Seorang perintis istimewa dipukuli dengan hebat dan dipenjarakan selama tiga bulan. Semuanya gara-gara pengumuman di radio itu. Hingga saat itu, tidak ada hukum resmi yang telah dikeluarkan untuk memberlakukan pelarangan tersebut. Tak lama setelah pengumuman tentang pelarangan, saudara-saudara mengajukan banding tetapi tidak digubris. Lalu, pada bulan Juni 1986, presiden negeri itu menyampaikan pidato umum dan di dalamnya ia mengutuk Saksi-Saksi karena tidak patriotis dan tidak merespek wewenang.
Betapa cepatnya keadaan berubah! Orang-orang yang tadinya direspek mendadak tidak direspek lagi. Pembangunan cabang yang baru pun terhenti, dan keheningan menyelimuti lokasi yang sebelumnya ingar-bingar dengan kegiatan yang menyukacitakan. Semua relawan asing harus meninggalkan negeri itu, dan peralatan pembangunan dijual. Sekitar 20 saudara setempat tinggal untuk menjaga properti itu.
Lalu, seperti disambar petir di siang bolong, sepucuk surat tertanggal 26 Juni 1986 datang dari kepala keamanan, mengatakan bahwa semua utusan injil harus meninggalkan negeri itu. Pelarangan ini sangat berbeda dari pelarangan pada tahun 1972, manakala para utusan injil masih boleh tinggal. Sungguh menyedihkan melihat Departemen Pengiriman terisi barang-barang pribadi seraya para utusan injil berkemas-kemas untuk pergi! Pada bulan Juli, 23 utusan injil berangkat ke negeri lain. Mereka yang sedang berlibur ke luar negeri tidak pernah kembali. Kini, dimulailah masa pemurnian lebih lanjut di Kongo.
Reorganisasi untuk Kegiatan Bawah Tanah
Jika para penentang mengira bahwa mereka dapat mengecilkan hati atau menghancurkan umat Yehuwa, mereka keliru. Mereka tidak tahu kekuatan roh kudus Yehuwa dan tekad umat Allah. Sejumlah kecil utusan injil kawakan yang menjadi inti kegiatan berhasil tetap tinggal di negeri itu. Personel kantor cabang menjalankan kepengawasan mereka atas pekerjaan pemberitaan Kerajaan di beberapa rumah pribadi. Saudara-saudara mengadakan Sekolah Dinas Perintis di rumah-rumah di seluruh penjuru negeri.
Tidak ada kekurangan makanan rohani. Saudara-saudara terus mencetak dan menyiarkan publikasi berdasarkan Alkitab. Kantor cabang mengirimkan rangka untuk kebaktian distrik dan wilayah ke sidang-sidang, yang kemudian disampaikan sebagai khotbah. Selama kunjungan ke sidang-sidang, para pengawas wilayah memutar rekaman drama kebaktian dalam bahasa setempat. Hal ini dilakukan setiap tahun sejak tahun 1986 sampai pelarangan dicabut. Meskipun semua hal ini cukup merepotkan, saudara-saudara memperoleh manfaat yang sangat besar.
Sementara itu, para penatua menghubungi kalangan berwenang pemerintah untuk menjelaskan kedudukan kami yang netral secara politik dan untuk mencoba menjelaskan bahwa kenetralan tidak identik dengan subversi. Dengan cara ini, nama dan maksud-tujuan Yehuwa diketahui oleh semua orang, termasuk kalangan berwenang tertinggi di negeri itu. Hamba-hamba Yehuwa tampil sebagai umat yang unik—memegang teguh kenetralan namun suka damai dan tidak subversif.
Penurunan lalu Peningkatan Pemberita Kerajaan
Laporan dinas tahun 1987 memperlihatkan penurunan jumlah penyiar sebanyak 6 persen. Ada yang ketakutan dan tidak ingin dikaitkan dengan organisasi terlarang. Penindasan yang ganas merebak di beberapa kawasan.
Namun, adakalanya tentangan menjadi senjata makan tuan. Misalnya, seorang kepala desa setempat mengadakan rapat khusus untuk berbicara menentang Saksi-Saksi Yehuwa. Sang kepala desa mengacungkan Buku Cerita Alkitab dan memberi tahu orang-orang bahwa mereka harus menangkap siapa pun yang membagikan buku itu. Orang-orang mengatakan bahwa mereka ingin memeriksa buku itu sehingga bisa mengenalinya. Ia setuju, dan mereka senang dengan apa yang mereka lihat. Ada yang kemudian meminta beberapa buku itu dari seorang perintis istimewa yang tinggal di desa lain. Perintis istimewa itu mengenang, ”Saya memulai sepuluh PAR dengan orang-orang. Saya belum pernah mengabar di desa sang kepala desa tersebut. Seandainya sang kepala desa tidak berbicara menentang kita, barangkali orang-orang ini tidak akan punya kesempatan untuk mempelajari kebenaran!”
Saudara-saudara beradaptasi dengan keadaan baru itu. Meskipun dibatasi dalam banyak hal, mereka tidak ”terimpit sehingga tidak dapat bergerak”. (2 Kor. 4:8) Tahun dinas 1988 diakhiri dengan 7 persen peningkatan penyiar. Ada sekitar 60.000 PAR yang dipimpin. Saudara-saudara dari Departemen Dinas di Betel mengunjungi kota-kota besar untuk memberikan dukungan moril dan untuk bertemu dengan para penatua setempat serta pengawas keliling. Sementara itu, kantor cabang terus mengawasi negeri tetangga, Kongo (Brazzaville), tempat pekerjaan juga di bawah pelarangan, serta Burundi.
Seorang saudara yang bekerja sebagai kepala sekolah di Kolwezi menolak mengucapkan ikrar politik. Akibatnya, ia dipukuli dengan hebat lalu dipindahkan ke Lubumbashi, tempat para penentangnya mengira ia akan dibunuh. Saudara itu dengan tenang menjelaskan alasan di balik kedudukannya yang netral. Ia dinyatakan tidak bersalah dan kembali ke Kolwezi. Mereka yang telah memukulinya diharuskan meminta maaf! Ia diterima kembali untuk mengajar dan diangkat sebagai inspektur!
Pada bulan Oktober 1988, kepala-kepala desa setempat merebut lokasi pembangunan Betel di Kinshasa dan menyita berton-ton lektur Alkitab. Para tentara secara rutin mencuri buku dan Alkitab di dalam kardus, lalu menjualnya di pasar setempat. Orang-orang membelinya, dan saudara-saudara mendapat kesempatan emas untuk memulai PAR.c
Pada tahun 1989, jumlah penyiar Kerajaan mencapai angka 40.707, sekalipun ada pelarangan. Musuh-musuh religius Saksi-Saksi Yehuwa sangat marah. Menteri kehakiman pada waktu itu, yang terkenal bersahabat dengan Gereja Katolik, mengirimkan kepada semua jaksa umum di Kongo sepucuk surat yang menyatakan kekecewaan bahwa kegiatan umat Yehuwa masih berlanjut. Ia menganjurkan dakwaan terhadap Saksi-Saksi Yehuwa dan penutupan Balai-Balai Kerajaan. Belakangan, dalam sebuah pidato di hadapan para pemimpin agama, ia menggambarkan umat Yehuwa sebagai ”hantu-hantu yang nyata”. Hal ini memicu penindasan di Provinsi Bandundu tempat tinggal menteri itu.
Anak-Anak Dipenjarakan
Selama periode itu, beberapa anak Saksi-Saksi Yehuwa ditangkap di sekolah karena menolak ambil bagian dalam upacara politik tertentu. Seorang ayah dua anak juga ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara bersama putra-putranya. Para penjaga penjara diperintahkan untuk tidak memberi mereka makan. Seorang penjaga bertanya dengan keheranan, ”Di penjara ini ada pembunuh dan pencuri, dan kita memberi mereka makan. Mengapa pria ini dan kedua putranya tidak boleh diberi makan?” Ketika tidak mendapatkan jawaban yang masuk akal, penjaga ini sendiri memberi mereka makan. Anak-anak itu menghabiskan 11 hari di penjara, dan ayah mereka, seorang perintis istimewa, 7 hari. Ujian ini sama sekali tidak mengecilkan hati mereka.
Di Kikwit, seorang pria yang bukan Saksi-Saksi Yehuwa ditangkap setelah istrinya, yang adalah seorang Saksi, dan dua putrinya dipenjarakan. Sewaktu para petugas mendapati bahwa pria itu tidak menganut kepercayaan yang sama dengan istrinya, mereka menyuruhnya meninggalkan penjara. Ia menolak pergi, mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan istri dan anak-anaknya. Sewaktu ia akhirnya dibebaskan bersama keluarganya, ia belajar Alkitab dan dibaptis. Kini, ia melayani sebagai penatua sidang.
Gejolak di dalam Negeri
Pada bulan September 1991, suatu pemberontakan militer terjadi di Kinshasa, diikuti oleh penjarahan di mana-mana. Hal ini mengakibatkan kekurangan makanan dan bahan bakar yang parah serta pengangguran massal dan inflasi yang membubung. Kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika Selatan dan Prancis mengirimkan bantuan kemanusiaan.
Seraya berjuang mengatasi problemnya sendiri, kantor cabang Kongo juga mengurus para pengungsi dari negeri tetangga, Angola dan Sudan. Di bagian timur laut Kongo, Zekaria Belemo, saat itu sebagai pengawas keliling, mengunjungi sekelompok saudara pengungsi dari Sudan. Ia menyapa hadirin dalam bahasa Inggris yang terbatas, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Zekaria bertanya-tanya apakah saudara-saudara itu memahami sebagian besar khotbahnya. Sekitar lima tahun kemudian, dua pemuda yang mengunjungi Betel mendekati dia dan bertanya, ”Apakah Om ingat kami? Kami ikut mendengarkan khotbah Om di kamp pengungsi. Kami mencamkan semua anjuran yang Om berikan dan mulai belajar Alkitab.” Belakangan, kedua pemuda itu membaktikan kehidupan mereka kepada Yehuwa.
Pertikaian etnik merupakan problem utama lain yang tak kunjung selesai di negeri itu. Banyak orang dari Kasai telah pindah ke Katanga di selatan. Pada tahun 1992 dan 1993, penduduk Katanga mengusir mereka ke luar provinsi tersebut. Sebagian besar orang dari Kasai harus meninggalkan pekerjaan, harta milik, dan rumah mereka. Mereka melarikan diri ke kamp atau tempat lain untuk berkumpul bersama demi keamanan. Lebih dari 100.000 orang pulang ke kampung halamannya di Kasai. Di antaranya, ada sekitar 4.000 orang Saksi-Saksi Yehuwa. Meskipun saudara-saudara yang tinggal berdekatan miskin dan makanan termasuk barang langka, mereka membantu sebisa-bisanya. Sebuah sidang di rute utama ke arah utara dari Katanga mengutus saudara-saudara untuk pergi ke setiap truk yang tiba dan mencari tahu apakah ada Saksi-Saksi di dalamnya. Begitu ditemukan, saudara-saudara mendapat perhatian yang dibutuhkan.
Kantor cabang Afrika Selatan mengirimkan beberapa truk bermuatan makanan dan obat-obatan untuk dibagikan kepada saudara-saudara pengungsi yang menunggu di kamp-kamp. Persediaan ini menyelamatkan kehidupan. Badan Pimpinan juga memberikan pengarahan kepada saudara-saudara di Kinshasa untuk membeli makanan, obat-obatan, cangkul, dan sekop sehingga keluarga-keluarga dapat menetap kembali di Kasai dan mengolah ladang mereka.
Tanda Perubahan yang Lain
Pidato presiden dan konferensi pers pada tanggal 24 April 1990 menandai perubahan mencolok dalam sikap resmi terhadap Saksi-Saksi Yehuwa. Dalam konferensi persnya dengan wartawan nasional dan luar negeri, sang presiden memberikan jaminan bahwa pemerintah menjunjung semua kebebasan dasar, termasuk kebebasan pers dan kebebasan agama. Hal ini membuka jalan bagi saudara-saudara untuk mengabar dan berhimpun secara lebih terbuka. Saudara-saudara yang berada dalam penjara dibebaskan.
Ingatkah Saudara penyiar radio yang dengan yakin mengumumkan pada tahun 1986 bahwa Saksi-Saksi Yehuwa tidak akan pernah terdengar lagi di Kongo? Ramalannya terbukti tidak benar. Sewaktu pelarangan dimulai pada tahun 1986, ada 34.207 penyiar di Kongo. Pada akhir tahun dinas 1990, ada 50.677 penyiar di Kongo, dengan 156.590 orang menghadiri Peringatan. Butir-butir dalam kantong jagung Afrika kita telah menjadi banyak sekalipun ada tentangan, fitnah, penindasan, dan amarah dari para pemimpin agama dan politik. Pada tahun 1997, sewaktu rezim Presiden Mobutu digulingkan, sang penyiar radio-lah, bukan Saksi-Saksi Yehuwa, yang harus melarikan diri dari negeri itu.
Kebebasan Lagi
Dekret presiden pada tahun 1986 melarangkan semua kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa dan membekukan badan hukum mereka di negeri itu. Namun, pada tanggal 8 Januari 1993, Mahkamah Agung Zaire (Kongo) mengeluarkan keputusan dalam kasus Saksi-Saksi Yehuwa vs Republik Zaire. Pengadilan memutuskan bahwa dekret presiden itu tidak dapat dibenarkan dan oleh karena itu dibatalkan. Alangkah bersukacitanya saudara-saudara mendengar hal itu!
Keputusan Mahkamah Agung itu cukup menggemparkan karena pengadilan itu menggunakan undang-undang transisi yang baru, yang tidak diterima oleh presiden dan para pendukungnya. Pihak lain menganggap bahwa keputusan itu menjadi dasar untuk keputusan di masa depan. Saksi-Saksi hanyalah penonton di tengah silang pendapat itu, tetapi hal ini benar-benar merupakan kesaksian yang luar biasa bagi kemuliaan nama Yehuwa! Puluhan artikel surat kabar mengomentari kasus bersejarah ini. Lalu, Departemen Kehakiman memberi tahu para gubernur provinsi bahwa Saksi-Saksi Yehuwa sekali lagi mendapat izin hukum untuk melaksanakan kegiatan agama mereka. Benar-benar kemenangan bagi umat Yehuwa dan bagi ibadat sejati!
Kerumitan Pengiriman di dalam Kongo
Kongo adalah negeri yang sangat luas. Namun, selain pesisir kecil di Bas-Kongo, negeri itu diapit oleh daratan. Kebanyakan kiriman besar tiba di Pelabuhan Matadi. Ada rel kereta api jalur tunggal dan sebuah jalan beraspal yang menghubungkan Matadi dan ibu kota, berjarak kira-kira 300 kilometer.
Kantor-kantor cabang di Eropa mengirimi kantor cabang Kongo beberapa truk berpenggerak empat roda, yang digunakan secara efektif untuk pengiriman dan pembangunan. Sejak tahun 1999, sebuah depot Betel telah beroperasi di Matadi. Hal ini merupakan bantuan besar karena lektur dapat langsung diturunkan dari kapal dan disimpan di depot hingga truk dari kantor cabang datang untuk membawanya ke Kinshasa.
Pada tahun 1980-an, saudara-saudara masih dapat mengadakan perjalanan melintasi negeri itu langsung dari Kinshasa ke Lubumbashi, singgah di depot sekaligus rumah-rumah utusan injil di Kananga dan Mbuji-Mayi. Meski jarak antara Kinshasa dan Lubumbashi bisa ditempuh dalam waktu kira-kira dua jam dengan pesawat jet, sebuah truk bermuatan membutuhkan dua minggu! Namun, seraya tahun demi tahun berlalu, kondisi jalan memburuk sampai taraf tidak dapat dilewati. Meskipun ada sungai-sungai sepanjang ribuan kilometer yang dapat dilayari, perahu-perahu yang masuk ke pedalaman negeri itu dari Kinshasa tidak dapat diandalkan. Selain kesulitan-kesulitan ini, pergolakan politik masih berkecamuk di sebagian daerah, yang semakin membatasi jangkauan kendaraan ke seputar Kinshasa dari Betel. Cara terbaik untuk mengirimkan lektur dari kantor cabang ke tempat-tempat yang jauh adalah dengan pesawat barang.
Kantor-kantor cabang lain telah bekerja sama untuk menyediakan lektur bagi saudara-saudara. Cabang di Kamerun mengirimkan publikasi dengan truk melintasi Republik Afrika Tengah dan masuk ke bagian utara Kongo. Cabang Rwanda dan Kenya membantu melayani bagian timur negeri itu. Sidang-sidang di beberapa daerah di selatan menerima lektur dari Afrika Selatan dan Zambia.
Sekolah Pelatihan Pelayanan—Berkat bagi Ladang
Pada tahun 1995, kelas pertama Sekolah Pelatihan Pelayanan diorganisasi di Kinshasa. Hingga bulan April 2003, lebih dari 400 saudara telah menerima pelatihan dalam 16 kelas. Lima siswa telah menjadi pengawas distrik, dan lebih dari 60 sedang melayani dalam pekerjaan wilayah. Lima puluh lainnya telah dilantik sebagai perintis istimewa. Saudara-saudara ini terbukti sebagai aset berharga dalam meningkatkan antusiasme terhadap pekerjaan pengabaran.
Bagi beberapa orang, tidaklah mudah untuk menghadiri sekolah itu. Sewaktu Georges Mutombo menerima surat undangan untuk hadir, ia tinggal di sebuah daerah di negeri itu yang dikendalikan oleh pasukan yang menentang pemerintah. Ia harus menempuh perjalanan sejauh 400 kilometer dengan bersepeda ke Kamina sebelum dapat naik pesawat ke Kinshasa, tempat sekolah itu akan diadakan. Selama tiga hari perjalanan, ia diguyur hujan dan harus melewati 16 pos pemeriksaan militer. Ia juga bersepeda melewati daerah tempat aksi kejahatan merajalela. Di sebuah tempat, ia dikejar oleh sekelompok bandit, yang juga bersepeda. Pengejaran itu berakhir sewaktu ban sepeda pemimpin gerombolan itu pecah. Tampaknya, para bandit itu mengenali Georges sebagai seorang Saksi melalui penampilannya. Mereka berteriak bahwa mereka tidak akan mengejar dia lagi, karena mereka dapat melihat bahwa Allahnya, Yehuwa, menyertai dia.
Berbagai Fasilitas untuk Mengakomodasi Pertambahan Teokratis
Sejak tahun 1965, kantor cabang telah berlokasi di 764 Avenue des Elephants, Limete, Kinshasa. Pada tahun 1991, sebidang tanah dibeli di kawasan industri kota itu. Ketiga bangunan di atas lahan ini sebelumnya digunakan oleh sebuah pabrik kain dan belakangan sebagai bengkel perbaikan. Saudara-saudara merenovasi bangunan-bangunan itu agar kegiatan cabang dapat disentralisasi. Meskipun ketidakamanan dan ketidakstabilan politik mengakibatkan proyek itu tertunda, pembangunan fasilitas cabang yang baru dimulai pada tahun 1993 dengan tibanya para hamba internasional. Pada bulan April 1996, personel cabang pindah dari Avenue des Elephants ke fasilitas baru. Setelah pindah, seorang penatua Betel berkomentar, ”Melihat seluruh keluarga berkumpul lagi mengingatkan kami akan masa sepuluh tahun yang lalu sewaktu pekerjaan kita di bawah pelarangan. Kami sangat bersyukur kepada Allah Yehuwa dan organisasi-Nya yang kelihatan untuk bangunan-bangunan yang bagaikan permata ini.” Pada bulan Oktober 1996, jumlah penyiar mencapai puncak baru sebanyak 100.000 orang. Saudara-saudara tergetar oleh prospek untuk pertambahan lebih lanjut.
Para Utusan Injil Datang Membantu
Pada tahun 1990-an, para utusan injil dapat diundang lagi ke dalam negeri itu untuk bergabung dengan ketujuh utusan injil yang telah berhasil tetap tinggal di sana selama tahun-tahun pelarangan. Pada bulan Juli 1995, Sébastien Johnson dan istrinya, Gisela, ditugasi kembali dari Senegal ke Kongo. Para utusan injil yang lain segera menyusul. Ada yang datang dari Amerika Serikat setelah lulus dari Gilead, dan yang lainnya tiba dari Belgia, Inggris, dan Prancis. Pada bulan Maret 1998, Christian dan Juliette Belotti tiba dari Guyana Prancis. Pada bulan Januari 1999, Peter Wilhjelm dan istrinya, Anna-Lise, ditugasi kembali dari Senegal. Belakangan, para utusan injil lain datang ke Kongo dari Kamerun, Mali, dan Senegal.
Pada bulan Desember 1999, sebuah rumah baru bagi utusan injil dibuka di sebuah kawasan permukiman di Kinshasa. Dua belas utusan injil tinggal di rumah ini. Di Lubumbashi, sebuah rumah utusan injil telah beroperasi tanpa terhenti sejak tahun 1965. Rumah kedua dibuka di sana pada tahun 2003. Saat ini, empat pasang suami istri melayani di rumah itu. Sebuah rumah baru untuk utusan injil didirikan pada bulan Mei 2002 di Goma, bagian timur negeri itu, dan empat utusan injil ditugasi ke sana. Para utusan injil terus menjadi berkat bagi ladang yang luas dan produktif ini.
Kenetralan Kristen selama Perang
Sebagian besar utusan injil ini tiba pada masa perubahan yang penuh kekerasan di negeri itu. Pada bulan Oktober 1996, perang meletus di bagian timur negeri itu dan segera merembet ke daerah lain. Perang ini bertujuan menggulingkan Presiden Mobutu. Pada tanggal 17 Mei 1997, pasukan Laurent-Désiré Kabila memasuki Kinshasa, dan ia menjadi presiden.
Sementara pemirsa TV di seputar dunia menyaksikan gambar-gambar mengerikan berupa para pengungsi yang miskin dan dilanda kelaparan serta penyakit, umat Yehuwa terus mengumumkan berita pengharapan dan penghiburan dari Alkitab. Sungguh menyedihkan, ribuan orang tewas dalam perang itu, termasuk sekitar 50 Saksi. Akibat perang itu, banyak orang meninggal karena kolera dan penyakit lain.
Karena perang, sebagian besar orang tidak memiliki kartu tanda pengenal. Hal ini menimbulkan masalah bagi saudara-saudara yang bepergian dalam kampanye pengabaran. Di sepanjang jalan, ada banyak pos pemeriksaan militer. Para penyiar di sebuah sidang tidak memiliki kartu tanda pengenal, maka seorang penatua menyarankan agar saudara-saudara menunjukkan Kartu Keterangan Medis mereka saja, dan mereka melakukannya. Di sebuah pos pemeriksaan, tentara mengatakan, ”Bukan itu yang kami minta. Kami menginginkan kartu identitas nasional untuk setiap warga!”
Saudara-saudara menjawab, ”Inilah kartu yang mengidentifikasi kami sebagai Saksi-Saksi Yehuwa.” Para tentara membiarkan mereka lewat.
Di Kisangani, para tentara asing yang dibayar untuk berperang bagi pasukan pemerintah memenjarakan empat saudara muda. Saudara-saudara itu mendapat tuduhan palsu memberikan informasi kepada musuh. Setiap pagi, para tentara bayaran itu memilih sepuluh tahanan, membawa mereka ke hutan, dan membunuh mereka. Pada suatu pagi, mereka memilih dua dari saudara-saudara serta delapan tahanan lain. Mereka pun berangkat ke hutan. Dalam perjalanan, truk berhenti karena ada mayat di jalan. Para tentara itu memerintahkan kedua saudara kita menguburkannya. Setelah menyelesaikan tugas itu, saudara-saudara tersebut menunggu truk itu kembali, yang telah melanjutkan perjalanan tanpa mereka. Meskipun ada kesempatan untuk lari, mereka tidak melakukannya karena mereka tidak ingin membahayakan nyawa kedua rekan mereka yang masih ditahan. Truk itu kembali tanpa kedelapan tahanan, yang telah ditembak mati. Sewaktu kembali ke penjara, semua orang keheranan melihat kedua saudara itu kembali hidup-hidup. Tak lama setelah itu, pintu penjara diledakkan sewaktu pasukan oposisi mengambil alih kota itu. Para tentara bayaran melarikan diri, dan saudara-saudara dibebaskan.
Kantor Cabang di Eropa Membantu pada Masa Sulit
Sebagian besar Kongo telah mengalami peperangan sejak tahun 1996, dan sejumlah besar orang terpaksa mengungsi. Beberapa ribu saudara dari Kongo melarikan diri ke kamp-kamp pengungsi di Tanzania dan di Zambia. Seraya lebih banyak bagian Kongo jatuh ke tangan pasukan pemberontak, kantor cabang semakin kesulitan mengurus dan menjaga kontak dengan saudara-saudara di daerah yang telah diduduki. Berbagai panitia bantuan kemanusiaan dibentuk di kota-kota utama untuk membagikan bantuan materi. Keluarga Betel memperlihatkan semangat sukarela dan rela berkorban dengan bekerja sampai malam untuk membantu pembagian bantuan kemanusiaan. Saksi-Saksi Yehuwa di Belgia, Prancis, dan Swiss mengirimkan dengan pesawat ke Kongo berton-ton makanan, pakaian, dan obat-obatan serta 18.500 pasang sepatu dan 1.000 selimut. Pekerjaan kemanusiaan berlanjut. Banyak penderitaan diringankan. Manfaatnya dinikmati oleh Saksi-Saksi Yehuwa dan orang-orang lain.
Pada bulan Oktober 1998, sebuah artikel diterbitkan dalam sebuah surat kabar Kinshasa. Di dalamnya ditulis, ”Sidang Kristen Saksi-Saksi Yehuwa di berbagai negeri Eropa memadukan upaya untuk mengumpulkan lebih dari 400 ton bantuan kemanusiaan ke Kongo-Kinshasa dan Kongo-Brazzaville. Melalui kerja sama para relawan dari Inggris, Prancis, dan Swiss, 37 ton beras, susu bubuk, kacang-kacangan, dan biskuit vitamin telah dikirim ke Kinshasa, berangkat dari Ostend, Belgia, dengan pesawat barang dan tiba di kantor pusat nasional Saksi-Saksi Yehuwa di Kinshasa. Pesawat lain . . . akan tiba . . . dengan 38 ton makanan.
”Patut dicatat bahwa Saksi-Saksi Yehuwa telah menyelamatkan para pengungsi di Afrika Timur sejak genosida di Rwanda. . . . Juru bicara Saksi-Saksi Yehuwa menyatakan bahwa sumbangan sukarela ini, yang terdiri atas makanan dan obat-obatan sebanyak lebih dari 200 ton, turut memerangi epidemi kolera. Pada waktu itu, Saksi-Saksi Yehuwa dari Prancis dan Belgia membentuk beberapa tim untuk membantu para pengungsi di kamp-kamp. Ia juga menyebut tentang sumbangan dari Saksi-Saksi Yehuwa bagi mereka yang miskin di Eropa Timur dan Bosnia.”
Perang Tidak Menghambat Kemajuan Rohani
Pada bulan September 1998, para pemberontak menyerang Ndjili, sebuah daerah pinggiran Kinshasa. Di tengah-tengah pergolakan, sekelompok saudara mencari perlindungan di sebuah rumah tempat pengawas wilayah sedang menginap. Sang pengawas wilayah berdoa demi kepentingan kelompok itu, lalu membacakan Yesaya 28:16. Ayat itu berbunyi, ”Tidak seorang pun yang memperlihatkan iman akan menjadi panik.” Ia menganjurkan semuanya untuk tetap tenang dan mengandalkan bimbingan Yehuwa.
Ada yang menyarankan untuk menyeberangi jembatan agar keluar dari Ndjili, sedangkan yang lain menyarankan untuk mengikuti jalan kereta api. Akhirnya, saudara-saudara memutuskan bahwa mereka harus tetap di tempat mereka. Tiga hari kemudian, pasukan pemerintah merebut kembali kendali atas daerah itu. Saudara-saudara mendapat informasi bahwa seandainya mereka telah mengambil salah satu jalur yang mereka pertimbangkan, mereka pasti telah terperangkap dalam pertempuran.
Seorang saudara dari Sidang Museka Kipuzi di Katanga sedang menjual ikan kepada beberapa tentara. Setelah bercakap-cakap, seorang tentara menuduhnya sebagai mata-mata partai oposisi. Ia diikat, dipukuli dengan hebat, lalu dibawa ke kantor pusat militer di kawasan itu. Hari sudah malam sewaktu ia tiba. Para tentara memaksa saudara itu menari untuk mereka. Saudara itu menjawab, ”Bagaimana kalian bisa menonton tarian saya sedangkan hari sudah gelap?”
”Kalau begitu, kamu menyanyi saja,” kata mereka. Dengan sepenuh hati, saudara itu menyanyikan ”Serahkan Kuatirmu pada Yehuwa”. Tersentuh oleh syair lagu itu, para tentara memintanya mengulangi lagu itu. Ia menyanyikan lagu itu untuk kedua kalinya. Salah seorang tentara memintanya menyanyikan lagu lain. Kali ini, ia menyanyikan ”Syukur Kami, Yehuwa” dalam bahasa Kiluba, bahasa ibunya. Sewaktu ia selesai, para penangkapnya melepaskan ikatannya. Keesokan paginya, para tentara itu membawanya kembali ke kota dan bertanya ke beberapa tetangga saudara itu untuk memastikan bahwa ia bukan mata-mata. Sebelum pergi, para tentara itu memberi tahu dia, ”Seharusnya Anda sudah kami bunuh, tetapi Anda akan tetap hidup. Agama Anda menyelamatkan kehidupan Anda! Kami sangat terkesan oleh syair dalam kedua lagu yang Anda nyanyikan. Jangan berhenti melayani Allah Anda!”
Pembangunan Balai Kerajaan Mendatangkan Pujian bagi Yehuwa
Pada tahun-tahun belakangan ini, Badan Pimpinan Saksi-Saksi Yehuwa telah mengerahkan upaya khusus untuk membantu pembangunan Balai-Balai Kerajaan di negeri yang sumber dayanya terbatas. Saudara-saudara di Kongo menyambut baik perkembangan ini, karena ada kebutuhan yang sangat besar akan Balai Kerajaan. Misalnya, di Kinshasa, ada 298 sidang tetapi jumlah balai yang memadai tidak sampai 20. Ratusan balai dibutuhkan di seluruh negeri itu. Pada bulan April 1999, program pembangunan Balai Kerajaan mulai berlangsung di Kinshasa. Belakangan, program itu diperluas ke provinsi-provinsi lain di Kongo. Pada awal tahun 2003, sekitar 175 Balai Kerajaan telah rampung di kedua Kongo.
Seorang pria yang telah mengetahui kebenaran sejak tahun 1950-an sangat terkesan sewaktu ia mengamati pembangunan sebuah Balai Kerajaan di seberang rumahnya. Ia berkomentar, ”Saya tidak pernah menganggap serius Saksi-Saksi. Kini, saya dapat melihat buah dari upaya mereka. Mereka membangun sebuah Balai Kerajaan di sebelah rumah adik laki-laki saya, dan kini sebuah lagi di seberang rumah saya. Rasanya Saksi-Saksi mengikuti saya ke mana saja!” Pria ini menyambut undangan ke Peringatan kematian Kristus dan ke penahbisan Balai Kerajaan baru ini. Kini, ia menghadiri perhimpunan secara teratur.
Tiga sidang di Matete menyelenggarakan perhimpunan mereka di sebuah bangunan reyot, yang mereka beli pada tahun 1994. Saudara-saudara tidak punya uang untuk memperbaiki bangunan itu, jadi kondisinya tidak berubah selama enam tahun. Di seberang jalan dari properti ini berdiri sebuah gereja yang megah. Sewaktu gereja itu dibangun, penginjilnya mengatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa akan segera lenyap. Para tetangga mencemooh saudara-saudara karena mereka tidak punya tempat pertemuan yang bagus. Bahkan sewaktu sidang itu mulai membuat batako sebagai persiapan untuk membangun Balai Kerajaan yang baru, beberapa tetangga terus mencemooh. Alangkah terpukaunya mereka sewaktu melihat hasilnya! Sekarang, mereka mengatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa memiliki bangunan terbagus di daerah itu. Seorang tetangga yang tidak pernah ingin berbicara dengan Saksi-Saksi terkesan oleh apa yang dicapai saudara-saudara. Ia datang ke lokasi dan berjanji untuk mendengarkan Saksi-Saksi pada kali berikutnya mereka berkunjung.
Di sebuah lokasi pembangunan, seorang wanita menghampiri seorang saudari yang sedang memasak untuk para pekerja. Wanita itu bertanya, ”Apakah kalian sedang membangun gereja?”
”Kami sedang membangun Balai Kerajaan kami,” jawab saudari itu.
Wanita itu berkata, ”Bangunan ini akan persis seperti kalian. Kalian selalu rapi dan bersih. Gereja kalian akan mirip dengan kalian!”
Penyesuaian Administrasi Cabang
Untuk mengurus kebutuhan di lapangan, Panitia Cabang setempat perlu direorganisasi. Pada bulan Mei 1996, Badan Pimpinan membuat penyesuaian. Pada tanggal 20 Mei 1996, Sébastien Johnson dilantik sebagai koordinator Panitia Cabang. Ia dan Peter Ludwig, yang telah ditambahkan ke dalam panitia dua bulan sebelumnya, membentuk Panitia Cabang yang jumlahnya lebih kecil untuk menjalankan kepengawasan atas pekerjaan. Pada tahun-tahun berikutnya, saudara-saudara lain dilantik: David Nawej, Christian Belotti, Benjamin Bandiwila, Peter Wilhjelm, Robert Elongo, Delphin Kavusa, dan Uno Nilsson. Karena alasan kesehatan, Peter Ludwig dan istrinya, Petra, harus kembali ke Jerman, dan kini mereka melayani di kantor cabang di sana.
Saudara-saudara anggota Panitia Cabang bekerja keras untuk memberikan pengarahan teokratis ke seluruh ladang. Selain itu, hamba-hamba Yehuwa telah ditugasi ke Kongo dari Amerika Utara, Eropa, dan Jepang untuk melayani sebagai hamba internasional, pekerja Betel dinas luar negeri, dan utusan injil. Pada tahun dinas 2003, keluarga Betel Kinshasa bertumbuh hingga lebih dari 250 anggota. Rata-rata usianya adalah 34 tahun.
Masih Ada Banyak Pekerjaan
Seorang nabi zaman dahulu menulis, ”Diberkatilah laki-laki yang percaya kepada Yehuwa, dan yang menjadikan Yehuwa keyakinannya.” (Yer. 17:7) Terlepas dari peperangan yang terus berlangsung di beberapa daerah di Kongo, saudara-saudara terus menyampaikan kabar baik Kerajaan kepada orang lain. Meskipun perang sipil menghambat upaya kantor cabang untuk menyediakan bantuan rohani ke seluruh penjuru negeri, sangat membesarkan hati untuk melihat angka penyiar mencapai puncak tertinggi selama ini sebesar 122.857.
Dalam kisah ini, kami telah menceritakan pengalaman hamba-hamba yang setia di Kongo. Mustahil untuk menyebut nama semua saudara-saudari yang telah ambil bagian dalam membela dan secara hukum meneguhkan kabar baik di Kongo. Namun, semuanya dapat yakin bahwa Yehuwa menghargai mereka. Rasul Paulus menulis kepada rekan-rekan Kristen, ”Allah bukannya tidak adil-benar sehingga melupakan perbuatanmu dan kasih yang telah kamu perlihatkan untuk namanya, karena kamu telah melayani orang-orang kudus dan terus melayani mereka.”—Ibr. 6:10.
Masih ada banyak sekali pekerjaan. Ada daerah-daerah baru yang perlu dibuka. Balai-Balai Kerajaan perlu dibangun. Fasilitas cabang perlu diperluas. Meskipun demikian, sewaktu meninjau 50 tahun kegiatan teokratis di Kongo, kita sependapat dengan apa yang dikatakan seorang saudara pada tahun 1952, ’Kami seperti butir-butir dalam sekantong jagung Afrika. Di mana pun kami dijatuhkan, satu demi satu, hujan akhirnya turun, dan kami pun menjadi banyak.’ Kita menunggu dengan berdebar-debar untuk melihat sejauh mana Bapak surgawi kita, Allah Yehuwa, akan menyebabkan benih Kerajaan ini bertumbuh.—1 Kor. 3:6.
[Catatan Kaki]
a Sepanjang sejarah, negeri ini telah dikenal sebagai Negara Merdeka Kongo, Kongo Belgia, Kongo, Zaire, dan sejak tahun 1997, Republik Demokratik Kongo. Sebutan tidak resminya adalah Kongo (Kinshasa), untuk membedakannya dari negeri tetangga, Kongo (Brazzaville). Sepanjang laporan ini, kami akan menggunakan nama Kongo.
b Lihat The Watchtower terbitan 1 Maret 1985, halaman 3-10.
c Sebuah keputusan Mahkamah Agung akhirnya mengembalikan kepada saudara-saudara hak atas properti yang disita tempat pembangunan Betel yang telah dimulai pada awal tahun 1980-an. Belakangan, para tentara mendudukinya. Namun, sewaktu para tentara akhirnya pergi pada tahun 2000, para pejabat setempat membagi seluruh properti itu menjadi lahan-lahan yang lebih kecil dan secara ilegal menjualnya kepada penghuni gelap. Ratusan penghuni gelap kini mendiami daerah itu. Problem itu masih perlu dituntaskan.
[Blurb di hlm. 229]
”Sekarang, kita tidak akan pernah lagi mendengar tentang Saksi-Saksi Yehuwa di [Kongo]”
[Blurb di hlm. 249]
”Seharusnya Anda sudah kami bunuh, tetapi Anda akan tetap hidup. Agama Anda menyelamatkan kehidupan Anda!”
[Kotak di hlm. 168]
Sekilas tentang Kongo (Kinshasa)
Negeri: Membentang di kedua sisi khatulistiwa, luas Republik Demokratik Kongo enam kali luas tetangganya, Kongo (Brazzaville). Sebagian besar bagian utara Kongo diselimuti hutan hujan tropis yang begitu lebatnya sehingga cahaya matahari jarang mencapai dasarnya. Di bagian timur negeri ini, ada gunung-gunung berapi yang aktif dan pegunungan. Bagian barat Kongo terdiri dari pesisir sepanjang 37 kilometer yang berbatasan dengan Samudra Atlantik.
Penduduk: Ke-55 juta penduduk Kongo terdiri dari 200 lebih kelompok etnik Afrika. Dari populasi itu, 50 persen mengaku beragama Katolik; 20 persen, Protestan; 10 persen, pengikut Kimbangu; dan 10 persen, Islam.
Bahasa: Ada banyak bahasa yang digunakan. Meskipun bahasa resminya adalah Prancis, bahasa-bahasa utama Afrika adalah Lingala, Kingwana, Swahili, Kongo, dan Tshiluba.
Mata pencaharian: Kongo memiliki banyak sekali sumber daya alam—minyak bumi, intan, emas, perak, uranium—tetapi, pertikaian yang belum lama ini berlangsung di negeri itu telah secara drastis mengurangi ekspor dan meningkatkan utang luar negeri. Keluarga di pedesaan bercocok tanam untuk dimakan sendiri, yang mencakup singkong, jagung, dan padi.
Margasatwa: Ada banyak sekali satwa liar. Di hutan, babun, gorila, dan monyet sangat banyak. Di daerah yang lebih terbuka, terdapat antelop, macan tutul, singa, badak, dan zebra. Sungai adalah rumah bagi buaya dan kuda nil.
[Kotak/Gambar di hlm. 173, 174]
Ia Mencari Kebenaran dan Menemukannya
Henry Kanama adalah anggota Gereja Evangelis di Luena tetapi akhirnya sadar bahwa agama ini tidak memiliki kebenaran. Untuk berdoa dan bermeditasi, ia sering kali pergi ke pegunungan. Di sana, ia bertemu dengan sekelompok orang yang mengaku dapat bercakap-cakap dengan roh yang tidak kelihatan. Para anggota kelompok ini memberi tahu Henry bahwa mereka menganggap Allah ada di tempat yang sangat jauh, meski mereka tidak tahu di mana itu.
Henry mulai mencari Allah yang sejati. Belakangan, ia bertemu dengan seorang pria yang memberinya majalah Sedarlah! berbahasa Prancis. Dalam waktu singkat, Henry mengenali nada kebenaran Alkitab. Inilah yang telah ia cari-cari selama ini! Ia menyurati Saksi-Saksi Yehuwa di alamat yang ia temukan dalam majalah itu, dan segera menikmati pengajaran Alkitab lewat surat-menyurat. Akhirnya, Henry serta istrinya, Elisabeth, dan beberapa kenalan menanyakan cara mereka dapat dibaptis. Dalam surat berikut yang mereka terima, mereka diminta mengontak kantor cabang di negeri-negeri tetangga. Letak sebagian besar kantor cabang itu jauh.
Kelompok kecil itu, terdiri dari Henry dan Elisabeth serta Hyppolite Banza dan istrinya, Julienne, memutuskan untuk pergi ke Rhodesia Utara. Semua sadar bahwa ini berarti mereka perlu mempelajari bahasa Cibemba untuk memperdalam pengetahuan mereka akan kebenaran. Mereka menghitung biayanya dan pindah. Setelah enam bulan di sana, mereka dibaptis pada tahun 1956.
Pada tahun itu juga, mereka kembali ke Kongo, lalu dengan bergairah membagikan kabar baik kepada orang lain. Pada tahun 1961, Henry dan beberapa rekannya ditangkap dan dipenjarakan. Mereka dituduh sebagai pengikut Kitawala yang telah membunuh seorang kepala desa setempat yang merancang pembunuhan kepala desa lain. Tentu saja, buktinya tidak ada dan mereka kemudian dibebaskan.
Lalu, Henry dan Elisabeth mengambil dinas perintis. Akhirnya, mereka menjadi perintis istimewa dan belakangan melayani dalam pekerjaan wilayah. Meskipun Henry meninggal pada tahun 1991, Elisabeth masih melayani sebagai perintis biasa. Salah satu putra mereka, Ilunga, melayani dalam pekerjaan wilayah.
[Kotak/Gambar di hlm. 178]
Albert Luyinu—Saksi yang Setia
Albert pertama kali mengenal kebenaran pada tahun 1951 lewat seorang rekan sekerja, Simon Mampouya, dari Kongo (Brazzaville). Albert adalah orang Kongo pertama yang menjadi dokter gigi, dan karena status sosialnya yang tinggi, tidak mudah baginya untuk mengambil pendirian di pihak kebenaran. Ia dan istrinya dibaptis setelah perayaan Peringatan pada tahun 1954. Pembaptisan dilakukan pada malam hari karena kala itu pekerjaan berada di bawah pelarangan.
Albert melayani dari tahun 1958 hingga tahun 1996 sebagai wakil hukum Asosiasi Saksi-Saksi Yehuwa, badan hukum setempat yang terdaftar bagi Saksi-Saksi. Ia ingat pernah menerjemahkan khotbah perkawinan yang disampaikan Saudara Heuse di hadapan hadirin sebanyak 1.800 orang. Pertama-tama, khotbah itu menguraikan tanggung jawab istri Kristen. Albert masih ingat bagaimana ia merasa diri penting dan bangga sambil melihat ke istrinya dan saudari-saudari lain yang hadir. Namun, ia ingat bahwa sewaktu ia mendengar tanggung jawab seorang suami Kristen, ia merasa kecil dan tidak berarti. Sewaktu khotbah itu selesai, ia merasa semakin kecil lagi!
[Gambar]
Albert dan Emilie Luyinu
[Kotak/Gambar di hlm. 191-193]
Wawancara dengan Pontien Mukanga
Lahir: 1929
Dibaptis: 1955
Profil: Melayani sebagai pengawas wilayah pertama di Kongo.
Pada tahun 1955, saya pergi ke rumah sakit karena sakit gigi. Sang dokter gigi, Albert Luyinu, merawat saya dan kemudian memperlihatkan kepada saya Penyingkapan 21:3, 4, yang berbicara tentang masa manakala tidak akan ada lagi rasa sakit. Saya memberikan alamat saya, dan Albert mengunjungi saya pada sore itu. Saya membuat kemajuan rohani yang pesat dan dibaptis pada tahun itu juga.
Saya dilantik menjadi pengawas wilayah untuk seluruh Kongo pada tahun 1960. Pekerjaan wilayah tidak mudah. Saya mengadakan perjalanan selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, di bagian belakang truk yang sarat muatan melewati jalan yang rusak parah dan diterpa cahaya matahari yang terik. Nyamuk menyiksa saya pada malam hari. Sering kali, truk rusak dan saya harus menunggunya sampai diperbaiki. Saya berjalan sendirian di jalan yang tidak ada tandanya dan adakalanya tersasar.
Pada suatu hari, saya mengunjungi sebuah kota di bagian utara Kongo. Saya ditemani Leon Anzapa. Kami bersepeda bersama-sama ke kota lain sejauh lebih dari 120 kilometer. Kami tersasar dan harus bermalam di kandang ayam yang tertutup. Kutu ayam menggigiti kami, maka pemilik tempat itu menyalakan api kecil di tengah lantai, padahal tidak ada jendela di tempat tersebut.
Pada malam itu, terjadi perkelahian antara putra pemilik tempat tersebut dan para penduduk lain di desa itu. Tak lama kemudian, si pemilik pun ikut berkelahi. Kami tahu bahwa jika ia kalah, kami akan mengalami kesulitan. Kami tidak tidur sepanjang malam itu karena kutu, asap, dan perkelahian tersebut.
Sebelum fajar, kami menyelinap pergi dengan sepeda kami, tetapi setelah beberapa kilometer, kami kembali tersasar. Kami terus bersepeda sepanjang hari, mengikuti jalan yang ditelantarkan. Menjelang sore, Leon yang sangat lapar dan letih terjungkal dari sepedanya. Wajahnya menghantam batu dan bibir atasnya koyak. Ia mengalami perdarahan hebat, tetapi kami terus bersepeda sampai tiba di sebuah desa. Saat melihat Leon, penduduk desa ingin tahu siapa yang melukai dia. Kami menjelaskan bahwa ia terjatuh dari sepedanya. Mereka tidak mempercayai penjelasan itu dan menuduh saya yang mencederai dia. Kami tidak tidur lagi pada malam itu; Leon kesakitan, dan para penduduk desa ingin mencederai saya sebagai hukuman. Keesokan paginya, kami meneruskan perjalanan hingga akhirnya tiba di sebuah desa yang memiliki obat-obatan. Mereka menuangkan obat merah ke bibir Leon dan menutup lukanya dengan enam jepitan. Kemudian, kami bersepeda lagi sejauh 80 kilometer ke Gemena, dan di sana akhirnya saya meninggalkan Leon untuk dirawat di sebuah rumah sakit kecil. Saya meneruskan perjalanan sendirian untuk berkumpul kembali dengan istri saya, lalu kami bekerja di sepanjang sungai hingga Kinshasa.
Istri Pontien, Marie, sering ikut dalam perjalanan-perjalanan ini. Ia meninggal pada tahun 1963. Pada tahun 1966, Pontien menikah lagi dan terus melayani dalam pekerjaan wilayah hingga tahun 1969. Ia masih berada dalam dinas sepenuh waktu, sebagai perintis biasa.
[Kotak/Gambar di hlm. 195, 196]
Wawancara dengan François Danda
Lahir: 1935
Baptis: 1959
Profil: Pengawas wilayah dari tahun 1963 hingga 1986. Melayani di Betel Kongo dari tahun 1986 sampai 1996. Kini sebagai penatua dan perintis istimewa.
Pada tahun 1974, saya sedang mengunjungi sebuah sidang di Kenge, Provinsi Bandundu, sewaktu milisi partai yang berkuasa menangkap tujuh dari kami. Tuduhan utama terhadap kami adalah bahwa kami menolak ambil bagian dalam upacara politik yang menghormati kepala negara. Mereka menyekap kami dalam sel yang tidak berjendela dan berukuran dua meter kali dua meter. Tidak satu pun dari kami dapat duduk atau berbaring; kami hanya dapat bersandar kepada satu sama lain. Kami mendekam di sel itu selama 45 hari dan hanya diperbolehkan keluar dua kali sehari. Sewaktu istri saya, Henriette, mendengar apa yang terjadi, ia mengadakan perjalanan sejauh 290 kilometer dari Kinshasa untuk menemui saya. Namun, mereka memperbolehkan dia menemui saya hanya sekali seminggu.
Pada suatu hari, jaksa negara mengunjungi penjara. Upacara politik diadakan untuk menghormati dia. Semua orang kecuali kami menyanyikan lagu politik dan mengulangi slogan-slogan partai. Sang jaksa sangat marah dan memerintahkan saya agar menyuruh keenam saudara lain untuk bernyanyi. Saya menjawab bahwa saya tidak punya wewenang atas mereka dan bahwa entah mereka menyanyi entah tidak itu keputusan mereka. Akibatnya, saya dipukuli.
Belakangan, kami dinaikkan ke bagian belakang kendaraan berpenggerak empat roda. Dua tentara ikut mengawal kami, dan jaksa itu juga ikut di bagian depan bersama pengemudi. Kami menuju ke kota Bandundu, ibu kota provinsi yang namanya juga Bandundu. Kendaraan itu bergerak sangat cepat. Saya memberi tahu saudara-saudara untuk berpegangan kuat-kuat, lalu saya mulai berdoa. Persis saat saya selesai berdoa, kendaraan itu membelok terlalu cepat dan terguling. Herannya, tidak seorang pun tewas atau bahkan cedera. Kami merasa bahwa Yehuwa telah melindungi kami. Sewaktu kendaraan itu berhasil ditegakkan kembali, sang jaksa memerintahkan kedua prajurit untuk membawa kami kembali ke penjara dengan berjalan kaki. Kendaraan itu melanjutkan perjalanan ke Bandundu.
Sekembalinya ke penjara, para tentara memberi tahu kalangan berwenang apa yang telah terjadi dan memohon agar mereka membiarkan kami bebas. Kepala penjara sangat terkesan; seperti kami, ia yakin bahwa Allah telah melindungi kami. Selama beberapa hari, kami ditempatkan di sel biasa dan diperbolehkan berjalan-jalan di halaman bersama tahanan lain. Lalu, kami dibebaskan.
Setelah 24 tahun melayani dalam pekerjaan wilayah, François dan Henriette diundang ke Betel. Sepuluh tahun kemudian, mereka ditugasi sebagai perintis istimewa. Henriette meninggal pada tanggal 16 Agustus 1998.
[Kotak/Gambar di hlm. 200-202]
Wawancara dengan Michael Pottage
Lahir: 1939
Baptis: 1956
Profil: Michael dan istrinya, Barbara, melayani di Kongo selama 29 tahun. Kini berada di Betel Inggris, Michael adalah seorang penatua di sebuah sidang berbahasa Lingala di London.
Tantangan utama kami adalah belajar berkomunikasi. Pertama-tama, kami harus fasih berbicara bahasa Prancis, bahasa resmi Kongo. Itu baru permulaan. Di Katanga, kami mempelajari bahasa Swahili; di Kananga, kami harus menguasai bahasa Tshiluba; dan sewaktu kami ditugasi ke Kinshasa, kami mempelajari bahasa Lingala.
Semua ini terbukti sangat bermanfaat. Pertama, saudara-saudara lebih cepat akrab dengan kami seraya kami berjuang untuk berkomunikasi dengan mereka. Mereka melihat upaya kami untuk berbicara dalam bahasa mereka sebagai bukti kasih dan minat kami yang tulus kepada mereka. Manfaat kedua adalah bahwa dinas menjadi lebih bermakna. Sering kali, reaksi pertama penghuni rumah saat mendengar kami berbicara dalam bahasanya adalah tercengang, lalu senang dan respek, serta ingin mendengar apa yang hendak kami katakan.
Sewaktu kami mengadakan perjalanan dalam pekerjaan distrik, pengetahuan kami akan bahasa setempat menyelamatkan kami dari situasi yang bisa membahayakan. Pengadangan jalan yang dibuat oleh militer dan partai politik adalah hal umum di masa krisis dan menjadi tempat ideal untuk memeras uang. Orang asing khususnya dipandang sebagai sasaran empuk yang menggiurkan. Sewaktu kami disuruh berhenti di sebuah pengadang jalan, kami biasa menyapa para tentara dalam bahasa setempat. Hal ini membuat mereka terkejut dan ragu-ragu. Lalu, mereka bertanya siapa kami. Sewaktu kami tidak sekadar bisa mengucapkan salam tetapi menjelaskan kegiatan kami persisnya dalam bahasa mereka, mereka biasanya menanggapi dengan baik, meminta publikasi kami, lalu mengucapkan selamat jalan dan semoga Allah memberkati.
Sering kali, kami sangat tersentuh oleh kasih yang tulus dan rela berkorban yang diperlihatkan oleh saudara-saudara kami dari Afrika. Selama bertahun-tahun, Kongo adalah negara politik satu partai yang dengan aktif dan adakalanya dengan tindak kekerasan menentang pihak-pihak yang netral, seperti Saksi-Saksi Yehuwa. Dalam iklim ini, kami mengadakan perjalanan dengan jip dalam pekerjaan distrik, melayani saudara-saudara di kebaktian.
Saya ingat betul tentang salah satu kebaktian. Pada sesi malam di hari terakhir, kepala partai politik di tempat itu datang ke belakang panggung. Ia sedang mabuk dan bersikap kasar, memaksa agar diperbolehkan naik ke panggung untuk menyuruh semua orang membeli kartu partai. Sewaktu kami menolak, ia marah besar dan mencaci maki kami, mengatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa melawan pemerintah dan harus dipenjarakan. Beberapa saudara berhasil membujuk dia untuk pergi. Ia pun pergi, sambil berteriak bahwa ia akan melaporkan kami kepada administrator, lalu kembali untuk membakar jip kami dan pondok rumput tempat kami tinggal. Kami tahu bahwa ini bukan gertak sambal.
Saudara-saudara kita sungguh luar biasa. Sebaliknya dari lari ketakutan, mereka berkumpul mengelilingi kami, menganjurkan kami untuk percaya kepada Yehuwa dan menyerahkan segala sesuatu ke tangan-Nya. Lalu, mereka bergantian menjaga pondok rumput dan jip kami sepanjang malam. Itu adalah pengalaman yang paling menyentuh. Saudara-saudara tidak hanya siap mengorbankan kehidupan mereka untuk melindungi kami, tetapi mereka rela menghadapi kebrutalan apa pun yang mungkin menimpa mereka setelah kami pulang karena menolak mendukung partai politik. Kami tidak pernah melupakan pertunjukan kasih Kristen yang rela berkorban ini, serta banyak ungkapan kasih yang menghangatkan hati yang kami alami selama tahun-tahun kami melayani di Kongo.
[Kotak/Gambar di hlm. 211-213]
Wawancara dengan Terence Latham
Lahir: 1945
Baptis: 1964
Profil: Melayani sebagai utusan injil selama 12 tahun. Mempelajari bahasa Prancis, Lingala, dan Swahili. Kini melayani di Spanyol bersama istri dan dua anaknya.
Pada tahun 1969, saya dan Raymond Knowles terbang ke Kisangani. Saat itu, kota tersebut berpenduduk sekitar 230.000 orang dan adalah ibu kota provinsi bagian timur laut Kongo.
Sungguh hangat sambutan yang kami terima dari sejumlah kecil penyiar dan banyak peminat di daerah itu! Mereka memberi kami banyak sekali hadiah—pepaya, nanas, dan pisang, serta buah-buah tropis yang tidak pernah kami lihat sebelumnya. Ada yang membawakan ayam dan kura-kura hidup. Samuel Tshikaka dengan baik hati menampung kami di rumahnya. Namun, tak lama kemudian, kami menyewa sebuah bungalo. Lalu, Nicholas serta Mary Fone dan Paul serta Marilyn Evans bergabung dengan kami. Alangkah bahagianya kami! Bersama-sama, kami merenovasi dan mengecat rumah utusan injil pertama di Kisangani. Bangunannya ditutupi tumbuhan rambat dan rumput tinggi, dan selama pembersihan itu, kami mengusir dua ekor musang dari loteng. Belakangan, Peter dan Ann Barnes bergabung dengan kami di rumah utusan injil itu, beserta Ann Harkness, yang telah menjadi istri saya.
Selama empat tahun pertama mengabar di Kisangani, kami mempelajari bahasa Lingala serta Swahili dan menjadi akrab dengan orang-orangnya yang ramah dan bersahabat. Kami memiliki begitu banyak PAR sehingga kami harus bekerja sejak pagi-pagi hingga larut senja untuk mengurus mereka semua. Selama bertahun-tahun kami melayani di Kisangani, kami melihat sekelompok penyiar yang berjumlah kurang dari sepuluh orang bertumbuh menjadi delapan sidang.
Sekali waktu saat mengemudi di jalan sepanjang Sungai Ituri, kami melihat sebuah desa Pigmi. Kami ingin sekali mengabar kepada penduduknya. Orang Pigmi, kata para pakar, menyebut hutan sebagai ibu atau ayah mereka, karena itulah sumber makanan, pakaian, dan penaungan mereka. Oleh karena itu, orang Pigmi memandang hutan itu sakral dan percaya bahwa mereka dapat berkomunikasi dengannya melalui upacara yang disebut molimo. Upacara ini mencakup menari dan bernyanyi di sekeliling api. Tarian diiringi oleh terompet molimo, berupa tabung kayu panjang yang ditiup para pria untuk menghasilkan musik dan suara binatang.
Kami terkesan oleh tempat kediaman yang menarik dari orang-orang nomad ini, yang biasanya tinggal di satu tempat selama kira-kira sebulan saja. Kamp itu terdiri dari tempat-tempat tidur berbentuk sarang lebah yang dibuat dari pohon muda dan dedaunan. Tempat penaungan ini hanya memiliki satu lubang dan dapat dibuat dalam waktu dua jam atau kurang. Masing-masing cukup besar untuk menampung beberapa orang yang tidur melingkar di dalamnya. Beberapa anak mendekati kami untuk menyentuh kulit dan rambut kami; mereka belum pernah bertemu dengan orang kulit putih. Benar-benar kesempatan istimewa untuk bertemu dan mengabar kepada penghuni hutan yang ramah itu! Mereka memberi tahu kami bahwa sebelumnya, mereka telah bertemu dengan Saksi-Saksi yang mendatangi mereka dari desa-desa yang terletak di dekat perkemahan mereka.
[Kotak/Gambar di hlm. 215, 216]
Wawancara dengan David Nawej
Lahir: 1955
Baptis: 1974
Profil: Dari semua anggota lokal keluarga Betel di Kongo, ia yang paling lama melayani. Ia juga anggota Panitia Cabang.
Pada tahun 1976, saya terkejut sewaktu menerima sepucuk surat undangan ke Betel. Kata ”urgen” dan ”segera” digarisbawahi dalam surat itu. Saya tinggal di Kolwezi, sekitar 2.450 kilometer dari Kinshasa. Tidak mudah untuk meninggalkan rumah, tetapi saya ingin menyambut seperti Yesaya, ”Ini aku! Utuslah aku.”—Yes. 6:8.
Sewaktu saya tiba di Betel, saudara-saudara memperlihatkan kepada saya sebuah mesin tik dan bertanya apakah saya bisa mengetik. Saya menjawab bahwa saya penjahit dan tahu cara menggunakan mesin jahit, tetapi bukan mesin tik. Meskipun demikian, saya mengerahkan diri dan belajar mengetik. Pada waktu itu, saya bekerja di departemen Penerjemahan dan departemen Dinas.
Belakangan, saya ditugasi ke kantor Korespondensi. Tugas itu mencakup memroses kupon-kupon yang orang-orang gunting dari publikasi dan dikirimkan ke kantor. Biasanya, mereka meminta publikasi lain. Sering kali, saya bertanya-tanya bagaimana tanggapan orang-orang terhadap lektur yang mereka terima. Saya tahu apa yang terjadi dalam salah satu kasus. Dua pemuda membuat kemajuan yang pesat. Belakangan, mereka menjadi perintis, lalu perintis istimewa. Sewaktu mereka diundang ke Betel, salah satunya menjadi teman sekamar saya.
Adakalanya, orang-orang menyurati Betel untuk meminta uang. Sepucuk surat yang bijaksana telah dipersiapkan, menjelaskan bahwa pekerjaan kita bersifat sukarela dan menganjurkan orang itu untuk mempelajari Alkitab. Beberapa waktu yang lalu, seorang saudara memberi tahu saya bahwa ia telah masuk kebenaran karena surat seperti itu. Ia memperlihatkannya kepada saya. Bertahun-tahun sebelumnya, ia telah menyurati Betel, meminta uang. Ia telah menyambut baik anjuran yang ia terima dan kini berada dalam kebenaran.
Kemudian, saya mengurus soal-soal hukum. Sekali waktu, saya membantu beberapa saudara setempat yang didakwa karena tidak mengenakan lencana partai. Saya mengerahkan keberanian dan mengatakan kepada kalangan berwenang, ”Apa yang dibuktikan oleh lencana itu? Perang sipil baru saja berakhir, dan semua orang yang kalian perangi mengenakan lencana. Lencana itu tidak ada artinya; itu tidak menjamin apa yang sebenarnya orang-orang pikirkan. Yang benar-benar penting adalah manusia batiniah seseorang. Saksi-Saksi Yehuwa adalah warga negara yang tidak akan pernah memulai perang sipil. Sikap yang taat hukum ini jauh lebih berharga daripada sebuah lencana.” Saudara-saudara itu dibebaskan. Yehuwa selalu membantu kita dalam situasi seperti itu.
Kini, saya telah melayani di Betel selama lebih dari 27 tahun. Meskipun saya memiliki beberapa keterbatasan fisik dan tidak mengecap banyak pendidikan duniawi, saya terus mengerahkan diri agar Yehuwa dapat menggunakan saya. Masih ada kebutuhan yang mendesak dan perlu segera dipenuhi di Betel!
[Kotak/Gambar di hlm. 219, 220]
Wawancara dengan Godfrey Bint
Lahir: 1945
Baptis: 1956
Profil: Lulusan Gilead kelas ke-47. Melayani di Kongo selama 17 tahun. Kini melayani sebagai anggota Panitia Cabang di Rwanda. Menguasai bahasa Inggris, Prancis, Lingala, Swahili, dan Tshiluba.
Pada tahun 1973, saya sedang dalam dinas lapangan dengan seorang saudara setempat di Kananga. Kalangan berwenang datang ke sebuah rumah tempat kami sedang mengadakan pengajaran Alkitab, lalu menangkap kami. Kami menghabiskan dua minggu berikutnya di dalam penjara. Pada waktu ini, rekan utusan injil saya, Mike Gates, membawakan kami makanan, karena di penjara itu sendiri tidak tersedia apa-apa. Akhirnya, kami dibebaskan. Tiga bulan kemudian, pada hari saya dan Mike dijadwalkan untuk naik pesawat guna menghadiri sebuah kebaktian internasional di Inggris, kami mendengar bahwa semua saudara di sebuah sidang yang berdekatan telah ditangkap. Kami ingin melihat mereka dan memberi mereka makanan. Sewaktu kami minta bertemu dengan saudara-saudara itu, kami sangat terkejut karena seorang pejabat pengadilan memerintahkan agar kami ditahan. Seraya kami menunggu bus penjara membawa kami ke penjara, kami mendengar pesawat kami tinggal landas. Saudara dapat bayangkan betapa pilunya kami mendengar suara itu!
Setibanya di penjara, saya melihat bahwa banyak narapidana yang ditahan sewaktu saya dipenjarakan tiga bulan sebelumnya masih berada di sana. Karena rekan saya yang membawakan saya makanan kini juga dipenjara, mereka bertanya, ”Siapa yang akan membawakan kamu makanan kali ini?”
Kami menjawab bahwa saudara-saudara kami akan melakukannya, tetapi para narapidana itu menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak percaya. Mereka tahu bahwa tidak ada Saksi lain asal Eropa di daerah itu. Betapa terkejutnya mereka keesokan harinya sewaktu saudara-saudara kami dari Kongo tiba sambil membawa begitu banyak makanan sehingga kami dapat membagikannya kepada para narapidana itu! Sungguh kesaksian yang menakjubkan akan persaudaraan internasional kita dan kasih yang mempersatukan kita. Saudara-saudara yang kami kasihi yang membawakan kami makanan itu berisiko dipenjarakan juga karena melakukannya. Lima hari kemudian, kami dibebaskan. Lalu, kami terbang ke Inggris dan tiba persis sebelum kebaktian.
[Kotak/Gambar di hlm. 224-226]
Wawancara dengan Nzey Katasi Pandi
Lahir: 1945
Baptis: 1971
Profil: Tanpa gentar melayani di daerah-daerah yang sulit sebagai saudari lajang dan belakangan menyertai suaminya dalam pekerjaan keliling sejak tahun 1988 sampai tahun 1996. Kini dalam dinas sepenuh waktu istimewa di Kinshasa.
Pada tahun 1970, saya sedang membaca Alkitab sewaktu ada ketukan di pintu rumah saya di Kinshasa. Rupanya seorang pria dengan putranya yang masih kecil. Anak laki-laki itu mulai berbicara tentang Alkitab dan meminta saya membuka Alkitab saya di Matius 24:14. Saya selalu menganggap diri saya religius, tetapi saya tidak bisa menemukan ayat itu. Ia membantu saya, dan kami menikmati pembahasan yang menarik.
Saudara itu melihat bahwa saya berminat dan mengundang saya menghadiri perhimpunan pada hari Minggu berikutnya. Perhimpunan itu diadakan di belakang rumah seorang saudara, karena pekerjaan Kesaksian berada di bawah pelarangan. Saya menikmati khotbahnya dan tetap tinggal untuk pelajaran Menara Pengawal. Pada sore itu juga, saudara-saudara datang ke rumah saya dan memulai pengajaran dengan saya.
Pada waktunya, saya dibaptis dan mengambil dinas sepenuh waktu. Dalam Pelayanan Kerajaan Kita, saya membaca tentang kebutuhan besar di bagian-bagian lain negeri ini. Saya bertanya apakah saya boleh pergi ke Kenge, Provinsi Bandundu. Saudara-saudara setuju, tetapi mewanti-wanti saya bahwa beberapa saudara telah ditangkap di sana. Saya berpikir, ’Mereka tidak mungkin menangkap setiap orang.’ Jadi, saya memutuskan untuk pergi.
Saya tiba pada malam hari dan senang mengetahui bahwa sang pengawas wilayah, François Danda, sedang mengunjungi sidang itu. Keesokan paginya, saya menghadiri pertemuan untuk dinas lapangan, tetapi malah diberi tahu bahwa François dan beberapa saudara lain telah ditangkap. Kepala keamanan ingin berbicara kepada saya. Ia berkata, ”Kami tahu Anda salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Anda boleh tinggal di Kenge kalau itu yang Anda inginkan, tetapi jika kami sampai melihat Anda berjalan ke sana kemari dengan tas Anda, kami akan menangkap Anda.”
Penduduk kota itu cukup kesal dengan kepala keamanan dan agen-agennya. Mereka tahu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa tidak membahayakan siapa pun. Orang-orang mengatakan bahwa agen-agen keamanan seharusnya memerangi kejahatan—ada cukup banyak penjahat yang berkeliaran—bukannya menghabiskan waktu mereka untuk Saksi-Saksi Yehuwa. Akhirnya, saudara-saudara itu dibebaskan.
Saya dilantik untuk melayani sebagai perintis istimewa pada tahun 1975 dan mengunjungi banyak kota dan desa, tinggal selama dua atau tiga minggu di setiap tempat. Tak lama kemudian, enam kelompok peminat dibentuk. Saya menyurati kantor cabang, meminta agar saudara-saudara diutus untuk menggembalakan dan mengurus kelompok-kelompok itu.
Saya bertemu dengan Jean-Baptiste Pandi, yang juga adalah perintis istimewa. Dahulu, saya pernah berbicara kepada para utusan injil tentang perkawinan dan dinas sepenuh waktu. Mereka memberi tahu saya bahwa jika saya ingin terus berada dalam dinas sepenuh waktu untuk waktu yang lama, akan lebih mudah jika saya tidak punya anak. Jean-Baptiste sependapat, dan kami pun menikah. Orang-orang percaya bahwa anak-anak akan menjamin keamanan sewaktu seseorang sudah lanjut usia. Namun, zaman telah berubah, dan saya mengenal banyak orang tua yang telah sangat dikecewakan. Saya dan Jean-Baptiste belum pernah dikecewakan dalam hal apa pun.
Selama bertahun-tahun, kami telah melihat banyak orang masuk ke dalam kebenaran. Saya khususnya bahagia dengan keluarga saya sendiri. Saya tidak hanya membantu papa dan mama saya, tetapi juga empat adik laki-laki dan satu adik perempuan saya untuk menerima kebenaran.
Mazmur 68:11 berkata, ”Para wanita yang memberitakan kabar baik adalah bala tentara yang besar.” Artinya, kita saudari-saudari punya tanggung jawab besar dan harus melakukan apa yang bisa kita lakukan. Saya sangat bersyukur kepada Yehuwa karena Ia mengizinkan saya ambil bagian.
[Kotak di hlm. 240]
Penerjemahan Makanan Rohani
Prancis adalah bahasa resmi Kongo, tetapi Lingala adalah bahasa utama yang digunakan di Kinshasa dan di sepanjang Sungai Kongo. Meskipun Lingala tidak memiliki kosa kata yang banyak, bahasa itu memiliki beberapa ungkapan yang sangat kaya makna. Misalnya, frasa untuk ”bertobat” adalah kobongola motema, yang secara harfiah berarti ”membalikkan hati”. Ungkapan lain yang berkaitan dengan hati dan perasaan adalah kokitisa motema, secara harfiah berarti ”meletakkan hati”, atau dengan kata lain, ”menenangkan diri”.
Menara Pengawal telah diterjemahkan ke dalam bahasa Lingala selama puluhan tahun. Saat ini, publikasi diterjemahkan ke dalam bahasa berikut ini yang digunakan di Kongo: Kiluba, Kinande, Kipende, Kisonge, Kituba, Lingala, Lingombe, Lomongo, Mashi, Monokutuba, Ngbaka, Otetela, Swahili (Kongo), Tshiluba, dan Uruund.
[Kotak di hlm. 247]
Bergairah sekalipun Tuna Daksa
Richard yang berusia 20 tahun menderita kelumpuhan dan telah terbaring di tempat tidur selama 15 tahun. Ia hanya dapat menggerakkan kepalanya. Namun, pada bulan Januari 1997, ia menjadi penyiar belum terbaptis. Richard secara konsisten mengabar kepada orang-orang yang berkunjung ke kamarnya. Sewaktu ia berbicara, suaranya penuh dengan keyakinan. Rata-rata, ia mengabar sepuluh jam per bulan. Pada tanggal 12 April 1998, ia dibawa dengan usungan untuk dibaptis di sebuah sungai kecil tak jauh dari rumahnya. Kini ia dapat menghadiri perhimpunan secara teratur. Ia juga mengajarkan kebenaran kepada salah satu kerabatnya, yang menghadiri perhimpunan dan membuat kemajuan yang bagus. Meskipun lemah fisik, saudara ini telah dibuat penuh kuasa oleh roh Allah.
[Kotak di hlm. 248]
”Bukan Bagian dari Dunia”
Pada suatu hari di sekolah, Esther yang berusia 12 tahun terkejut sewaktu sang guru meminta setiap siswa untuk berdiri di depan kelas dan menyanyikan lagu kebangsaan. Sewaktu tiba gilirannya, Esther dengan sopan memberi tahu sang guru bahwa ia tidak dapat melakukannya. Esther menceritakan apa yang terjadi,
”Pak guru marah. Lalu, saya bertanya apakah saya boleh menyanyikan lagu lain. Ia setuju. Saya menyanyikan ’Bukan dari Dunia’. Kemudian, pak guru mengatakan bahwa seluruh kelas seharusnya bertepuk tangan, dan mereka melakukannya.
”Seusai kelas, pak guru memanggil saya dan mengatakan bahwa ia sangat menyukai lagu itu, terutama syairnya. Ia menambahkan, ’Saya melihat bahwa kalian Saksi-Saksi Yehuwa memang benar-benar terpisah dari dunia. Tingkah lakumu di kelas memperlihatkan hal ini juga.’
”Salah satu teman sekelas saya juga sangat terkesan. Ia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan saya menjawabnya. Pada akhir tahun, kami harus berpisah, tetapi saya menganjurkan dia untuk mencari Saksi-Saksi Yehuwa di tempatnya yang baru. Ia melakukannya, dan kini ia seorang saudari kita.”
[Kotak di hlm. 251]
Kejujuran Memuliakan Allah
Seorang saudara bekerja di sebuah pabrik. Pada suatu hari, karena kekeliruan yang dilakukan oleh regu saudara itu, sebagian peralatan rusak. Direktur memutuskan untuk memberhentikan semua pekerja dalam regu itu. Ia memberi mereka gaji dan menyuruh mereka pulang ke rumah. Setibanya di rumah, saudara itu mendapati bahwa ia telah menerima kelebihan 500 franc (satu dolar AS lebih sedikit), jadi ia kembali untuk memulangkan uang itu. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk memberikan kesaksian, dan sang direktur begitu terkesan oleh kejujuran saudara itu sehingga ia memintanya untuk tetap tinggal dan bekerja baginya.
[Daftar/Grafik di hlm. 176, 177]
KONGO (KINSHASA)—LINTAS SEJARAH
1932: Upaya dikerahkan untuk mengutus Saksi-Saksi Yehuwa ke Kongo.
1940
1949: Dekret meneguhkan pelarangan tidak resmi atas Saksi-Saksi Yehuwa.
1960
1960: Kongo memperoleh kemerdekaan, dan periode toleransi agama dimulai.
1962: Kantor cabang didirikan di Léopoldville (kini Kinshasa). Para utusan injil yang pertama tiba.
1966: Pengakuan hukum diberikan kepada Saksi-Saksi Yehuwa.
1971: Pengakuan hukum dibatalkan.
1980
1980: Pengakuan hukum kembali diberikan.
1986: Saksi-Saksi Yehuwa dilarang.
1990: Kebebasan beragama diakui secara tidak resmi.
1993: Mahkamah Agung membatalkan pelarangan tahun 1986. Kantor cabang yang baru mulai aktif.
2000
2003: Ada 122.857 penyiar aktif di Kongo (Kinshasa)
[Grafik]
(Lihat publikasinya)
Total Penyiar
Total Perintis
120.000
80.000
40.000
1940 1960 1980 2000
[Peta di hlm. 169]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
SUDAN
REPUBLIK AFRIKA TENGAH
REPUBLIK KONGO
BRAZZAVILLE
REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO
Bumba
Isiro
Sungai Kongo
Kisangani
Goma
Bukavu
Bandundu
KINSHASA
KASAI
Kenge
Kikwit
Matadi
Kananga
Mbuji-Mayi
KATANGA
Kamina
Luena
Kolwezi
Likasi
Lubumbashi
ANGOLA
ZAMBIA
[Gambar penuh di hlm. 162]
[Gambar di hlm. 185]
Hélène, Ernest, dan Danielle Heuse di Kinshasa pada tahun 1960-an
[Gambar di hlm. 186]
Adegan pembaptisan di berbagai kebaktian internasional yang diperlihatkan dalam film ”The Happiness of the New World Society” mengesankan banyak orang Kongo yang menontonnya
[Gambar di hlm. 199]
Madeleine dan Julian Kissel
[Gambar di hlm. 205]
Tempat perhimpunan yang sederhana dibangun di seluruh penjuru negeri
[Gambar di hlm. 207]
Kantor cabang di Kinshasa, 1965
[Gambar di hlm. 208]
Kebaktian di Kolwezi, 1967
[Gambar di hlm. 209]
Jalan yang jelek menyulitkan perjalanan
[Gambar di hlm. 221]
Kebaktian Distrik ”Kasih Ilahi” di Kinshasa, 1980, adalah kebaktian besar pertama yang diadakan di sana dalam kurun waktu delapan tahun
[Gambar di hlm. 223]
Banyak orang berjalan kaki selama berhari-hari sambil membawa makanan dan barang lain, hanya untuk menghadiri kebaktian
[Gambar di hlm. 228]
Pada bulan Desember 1985, persis tiga bulan sebelum pelarangan hebat diberlakukan, Kebaktian ”Para Pemelihara Integritas” diselenggarakan di Kinshasa
[Gambar di hlm. 230]
Selama pelarangan, saudara-saudara kita dipenjarakan dan dipukuli dengan brutal
[Gambar di hlm. 235]
Zekaria Belemo, melayani sebagai pengawas keliling, mengunjungi sekelompok saudara pengungsi dari Sudan
[Gambar di hlm. 237]
Kendaraan yang tangguh mengangkut lektur melintasi jalan-jalan yang sulit dilalui di negeri itu
[Gambar di hlm. 238]
Kelas pertama Sekolah Pelatihan Pelayanan di Kongo (Kinshasa) pada tahun 1995
[Gambar di hlm. 241]
Gisela dan Sébastien Johnson
[Gambar di hlm. 243]
Dua belas utusan injil tinggal di rumah ini di Kinshasa
[Gambar di hlm. 244]
Bantuan kemanusiaan tiba dari Eropa dan dibagikan kepada yang membutuhkan pada tahun 1998
[Gambar di hlm. 246]
Para pengawas keliling, seperti Ilunga Kanama (kiri bawah) dan Mazela Mitelezi (inset, kiri), menghadapi banyak tantangan di daerah yang diporakporandakan perang
[Gambar di hlm. 252, 253]
(1) Fasilitas Betel Kinshasa
(2-4) Balai Kerajaan yang dibangun baru-baru ini
(5) Seorang saudara membantu pembangunan Balai Kerajaan
[Gambar di hlm. 254]
Panitia Cabang, dari kiri ke kanan: Peter Wilhjelm, Benjamin Bandiwila, Christian Belotti, David Nawej, Delphin Kavusa, Robert Elongo, Sébastien Johnson, dan Uno Nilsson
-