PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g85_No13 hlm. 4-10
  • Kebahagiaan—Apa yang Diperlukan untuk Memperolehnya

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Kebahagiaan—Apa yang Diperlukan untuk Memperolehnya
  • Sedarlah!—1985 (No. 13)
  • Bahan Terkait
  • Cara Mendapatkan Kebahagiaan
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2010
  • Dibangun oleh Kasih
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2001
  • Kasih, ‘Pengikat yang Sempurna’
    Membina Keluarga Bahagia
  • ”Yang Paling Besar di Antaranya Ialah Kasih”
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1990
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1985 (No. 13)
g85_No13 hlm. 4-10

Kebahagiaan—Apa yang Diperlukan untuk Memperolehnya

ANDA harus bernapas. Anda harus minum. Anda harus makan. Anda harus tidur. Semua ini sudah jelas. Tubuh anda menuntut hal ini supaya dapat tetap hidup. Tetapi masih banyak, jauh lebih banyak lagi yang diperlukan untuk membuat anda bahagia. Pakaian dan pernaungan, tentu. Dan ya, kebutuhan-kebutuhan materi lainnya, bersama dengan kesenangan dan hiburan yang bersahaja. Banyak orang mengatakan bahwa banyak uang akan membuat mereka bahagia—namun banyak orang kaya juga sengsara.

Tepatnya apa kebutuhan-kebutuhan kita untuk kebahagiaan?

Pertimbangkan ilustrasi ini. Kita membeli sebuah mobil. Pabriknya memberitahu kita apa yang diperlukan: bensin dalam tangki, air dalam radiator, angin dalam ban, oli dalam bak mesin, dan seterusnya. Kita memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Mobil itu berjalan dengan baik.

Tetapi apa kebutuhan-kebutuhan kita? Jauh lebih rumit dari pada yang diperlukan mesin-mesin manapun. Dalam diri manusia ada semangat yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang jauh melebihi hal-hal materi. Jika kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri kita tidak dipenuhi, tidak akan ada perasaan puas, tidak ada kebahagiaan. Kebahagiaan boleh dikata adalah usaha dari dalam. Kita memang diciptakan demikian. Kebutuhan-kebutuhan tubuh maupun rohani harus dipenuhi. Yesus menunjukkan hal ini: ”Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”—Matius 4:4.

Keseimbangan antara jasmani dan rohani diperlukan. Mengabaikan salah satu akan mengakibatkan kekurangan. Dari kedua hal tersebut, yang lebih penting lebih sering diabaikan. Kehidupan yang bahagia tidak berarti kemewahan yang melimpah. Orang yang bahagia tidak puas dengan kesenangan yang dihasilkan secara komersil, dengan gagasan bersenang-senang di diskotik atau kelab malam. Ia memperhatikan hikmat Yesus, yang berkata: ”Berbahagialah mereka yang sadar akan kebutuhan rohani mereka.” (Matius 5:​3, NW) Namun, sayangnya, banyak orang mengutamakan hal-hal materi daripada rohani, kurang merasakan ketenangan batin dan kepuasan, dan tidak pernah tahu mengapa.

Beberapa sarjana yang terhormat mengetahui sebab-sebabnya: Sistem sekarang ini salah.

René Dubos menyatakan: ”Teknologi ilmu pengetahuan sekarang membawa kebudayaan modern pada suatu haluan yang bersifat bunuh diri jika tidak diputarbalik pada waktunya . . . [Negara-negara yang kaya] bertindak seolah-olah kepuasan seketika dari semua ulah dan keinginan besar mereka merupakan satu-satunya patokan tingkah laku . . . Maka, yang dipertaruhkan bukan hanya rusaknya alam tetapi masa depan umat manusia itu sendiri. . . . Saya meragukan apakah umat manusia dapat sabar menghadapi cara hidup kita yang tak masuk akal ini lebih lama lagi tanpa kehilangan apa yang terbaik dalam kemanusiaan. Orang-orang Barat akan memilih sebuah masyarakat baru atau masyarakat baru tersebut menghabisinya.”

Erich Fromm setuju tetapi merasa bahwa ”masyarakat baru dan Manusia baru menjadi mungkin hanya jika motivasi lama berupa keuntungan, kekuasaan, dan intelek diganti dengan yang baru: kesadaran, saling membagi, pengertian.” Ia menunjuk kepada laporan yang dipersiapkan oleh Club of Rome (Perkumpulan Roma) yang menyatakan bahwa hanya dengan perubahan-perubahan yang drastis secara ekonomi dan teknologi manusia dapat ”menghindari malapetaka yang besar dan yang pada akhirnya mencakup seluruh dunia.” Fromm mengatakan bahwa perubahan-perubahan ini dapat terjadi hanya jika pertama-tama ”suatu perubahan pokok terjadi dalam susunan karakter Manusia jaman sekarang. . . . Untuk pertama kalinya dalam sejarah kelangsungan hidup fisik dari umat manusia bergantung pada perubahan yang radikal [sampai ke akar-akarnya] dari hati manusia.” Albert Schweitzer menyetujui bahwa problem-problem ”hanya bisa diselesaikan dengan suatu perubahan karakter dari dalam, sebagai suatu usaha terakhir.”

’Perubahan pokok dalam karakter umat manusia? Suatu perubahan dari hati?’ Ya! Dan Alkitab menunjukkan hal itu 19 abad yang lalu. ”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,” katanya, ”tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.” Juga ’tanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan kenakan manusia baru yang terus menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya.’—Roma 12:2; Kolose 3:9, 10.

”Menurut gambar Khaliknya?” Ya! Gambar atau citra Allah Yehuwa, yang menurut gambar Dialah manusia diciptakan! (Kejadian 1:27, 28) Itulah citra yang seharusnya diusahakan untuk dicerminkan oleh manusia. Ia diciptakan sedemikian. Itulah yang menentukan kebutuhan-kebutuhan rohaninya. Dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan itulah yang diperlukan untuk membuat manusia bahagia!

Yehuwa adalah Allah yang mempunyai maksud-tujuan, dan Ia bekerja untuk melaksanakan maksud-tujuanNya. Manusia yang sama dengan gambarNya juga harus melakukan pekerjaan yang mempunyai tujuan yang berarti. Itu menimbulkan suatu problem. ”Di bawah keadaan industri modern,” kata psikiater Smiley Blanton, ”makin lebih banyak orang mendapati bahwa mereka . . . biasanya hanya suatu roda gigi kecil, dalam sebuah mesin raksasa yang dijalankan oleh manajemen perusahaan yang jauh di atas. Pekerjaan telah dispesialisasikan dan dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang sangat kecil sehingga hampir tidak mempunyai arti secara hakiki, dan pekerja-pekerja itu sendiri berubah menjadi suatu pedal yang tak bernama untuk diinjak orang lain.”

Di bawah sistem ini kebanyakan pekerjaan menimbulkan ketegangan dan tidak mempunyai arti. Namun kita mempunyai suatu kebutuhan yang mendesak agar supaya kehidupan ini berarti. Psikiater Viktor Frankl menulis: ”Perjuangan untuk menemukan arti dalam hidup seseorang adalah kekuatan bermotivasi yang utama dalam manusia. . . . Tidak ada sesuatu pun di dunia, saya berani katakan, yang dapat dengan begitu jitu membantu seseorang untuk melewati bahkan keadaan-keadaan yang terburuk sekali pun, selain dari kesadaran bahwa hidup ini ada artinya.”

Tetapi bagaimana kita dapat merasa bahwa hidup kita berarti? Dalam alam semesta yang luas ini bumi kita hanya suatu titik saja. Masing-masing kita hanya satu dari empat milyar lebih dalam titik ini. Setiap orang sedikit lebih besar dari pada sebuah amuba. Bagaimana mungkin kita dapat berarti? Bahkan Alkitab mengatakan bahwa manusia seperti rumput yang akan kering, bunga yang akan layu, bayangan yang lewat, kabut yang muncul dan segera lenyap. (Mazmur 103:15, 16; 144:4; Yakobus 4:14) Kecuali . . . kecuali jika kita dapat dihubungkan dengan Pribadi agung yang berkuasa yang menciptakan alam semesta. Kecuali jika Pribadi yang berkuasa itu yang juga menciptakan kita mempunyai maksud-tujuan bagi kita. Hanya dengan demikian barulah hidup kita dapat benar-benar berarti dan berlangsung lebih lama dari pada rumput, bunga, bayangan, kabut.

Dan memang demikianlah adanya. Manusia diciptakan oleh Allah, diberi pekerjaan untuk memelihara bumi dan tanam-tanaman serta binatang-binatangnya. Suatu pekerjaan yang sangat berarti—yang menyedihkan sekali, gagal dilakukan oleh manusia. Bukan hanya gagal melakukannya tetapi sebenarnya malahan merusak bumi. (Kejadian 1:28; 2:15; Penyingkapan 11:18) Dengan melakukan hal itu ia telah merampas satu-satunya arti abadi yang tersedia dari kehidupannya.

Orang-orang membutuhkan Allah, suatu dorongan batin yang menekan mereka untuk ”mencari Dia [Allah] dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing.” (Kisah 17:27) Pencipta yang Agung ini tercermin dalam langit dan bumi di sekitar kita. Sifat-sifatNya yang tidak kelihatan—dapat terlihat dalam segala sesuatu yang Ia ciptakan. Dengan cara yang tidak dapat dimaafkan, secara tidak masuk akal, banyak orang mengajar bahwa bumi dan kehidupan di atasnya berevolusi secara kebetulan sekali. Dengan berbuat demikian mereka menolak prinsip-prinsip pembimbing dan nilai-nilai yang dibutuhkan manusia. Mereka dengan membabi-buta menjauhkan pengikut-pengikut mereka yang buta dari satu-satunya kesempatan untuk kebahagiaan yang besar dan memuaskan.—Roma 1:20; Matius 15:14.

Meskipun demikian, semua umat manusia, bahkan cendekiawan yang berpengalaman, mencari-cari suatu allah, dan sering kali mereka menemukan ilah-ilah lain dan bukan Pribadi Mahakuasa yang sejati. Banyak psikiater mengakui kebutuhan manusia sejak lahir untuk menyembah suatu kuasa yang lebih tinggi. Rollo May mengatakan bahwa melalui kepercayaan kepada Allah ”seseorang akan merasa diri kecil dan tidak berarti di hadapan kebesaran alam semesta dan maksud-tujuan Allah di dalamnya. Ia akan mengakui bahwa ada maksud-tujuan yang berputar dalam lingkaran-lingkaran lebih besar dari pada bulatan kecilnya, dan ia akan berusaha menyelaraskan dirinya dengan hal itu.”

C. G. Jung berkata: ”Pribadi yang tidak bersandar dengan kuat pada Allah tidak dapat memberikan perlawanan dengan kekuatannya sendiri kepada bujukan fisik dan moral dari dunia. . . . Agama . . . adalah suatu sikap yang bersifat naluri yang khas pada manusia, dan perwujudannya dapat diikuti seluruhnya sepanjang sejarah manusia. . . . Gagasan adanya suatu pribadi ilahi yang maha-kuasa ada di mana-mana, jika tidak diakui dengan sadar, maka dengan tidak sadar akan diterima juga . . . Karena itu saya anggap lebih bijaksana untuk mengakui gagasan tentang Allah dengan sadar; jika tidak sesuatu yang lain akan menjadi allah, biasanya sesuatu yang sungguh-sungguh tidak pantas dan bodoh.”

Seluruh sejarah manusia menyatakan tanpa ragu-ragu bahwa manusia memiliki dorongan sejak lahir untuk menyembah. Dari suku-suku bangsa yang paling primitip sampai masyarakat yang paling beradab, manusia telah membuat allah-allah—sering kali dengan bodoh. Batu-batu, pohon-pohon, gunung, binatang-binatang, pemimpin-pemimpin manusia, uang, perut mereka, bahkan Setan si Iblis (yang Setan ingin agar Yesus lakukan). Filsafat evolusi yang tidak ilmiah telah menjadi agama jaman modern bagi jutaan orang—suatu agama yang semata-mata berdasarkan atas ”allah keberuntungan.” Juga, banyak yang mengaku beribadat pada Allah yang sejati hanya mengatakannya di bibir saja dan hanya ’secara lahiriah menjalankan ibadah.’ (Yesaya 65:11; 2 Timotius 3:5; Filipi 3:19; Kolose 3:5; Matius 4:9; 7:21) Jika kita dengan sepatutnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dengan menyembah satu-satunya Allah yang sejati, Yehuwa, bersama dengan semua kebutuhan lainnya, baru akan ada kepuasan yang berakar dalam atau kebahagiaan yang tahan lama bagi manusia. Ini bagian yang penting dari apa yang diperlukan untuk membuat kita bahagia.

Yehuwa adalah Allah kasih. PutraNya Yesus memberikan kehidupannya karena kasihnya untuk kita. Dua perintah terbesar adalah untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita. Kasih menutupi banyak dosa. Kasih memberikan displin yang melatih kita kepada kebenaran. Kasih adalah ikatan persatuan yang sempurna di antara kita. Kasih adalah tanda pengenal dari murid-murid Yesus. Kasih inilah, kasih agape yang penuh kebaikan, yang tidak berkesudahan.—1 Yohanes 4:8; Yohanes 15:13; Matius 22:36-40; 1 Petrus 4:8; Ibrani 12:6, 11; Kolose 3:14; Yohanes 13:35.

Itulah kasih yang saleh yang digambarkan dengan begitu indah oleh rasul Paulus di 1 Korintus 13:4-8: ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”

Sifat kasih yang saleh inilah yang harus kita cerminkan. Itu adalah kebutuhan rohani yang harus dipenuhi jika kita ingin bahagia. ”Prinsip yang mendasari masyarakat kapitalis dan prinsip kasih saling bertentangan,” kata Fromm, dan ia menambahkan: ”Kasih adalah satu-satunya jawaban yang waras dan memuaskan bagi problem adanya manusia . . . , kebutuhan terakhir dan yang sebenarnya dari setiap umat manusia.” Itu suatu kebutuhan yang sangat penting, menurut Smiley Blanton: ”Tanpa kasih, kita kehilangan kemauan untuk hidup. . . . Sejumlah kasih akan diri sendiri merupakan ciri yang normal dari setiap orang yang sehat. Memiliki rasa hormat pada diri sendiri yang layak sangat diperlukan untuk semua pekerjaan dan prestasi. Jika kita terlalu keras dan kritis terhadap tingkah laku kita sendiri, perasaan bersalah yang kita alami dapat melemahkan keinginan untuk hidup dan, dalam hal-hal yang ekstrim, mengakibatkan kehancuran yang sebenarnya atas diri sendiri.”

Lama sebelum ini, Yesus menunjukkan kasih akan diri sendiri maupun kasih akan orang lain sewaktu ia berkata: ”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kasih, seperti otot, menjadi kuat jika digunakan. Sebaliknya, kasih, seperti iman, mati tanpa perbuatan. Taburlah kasih untuk dapat menuainya. Kasih itu memberi. ”Berilah dan kamu akan diberi.” Namun, seseorang yang mengasihi dan memberi tidak melakukannya untuk mendapatkan imbalan. Memberi itu sendiri suatu berkat. Seperti Yesus katakan: ”Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” Anda memberi, anda akan mendapat, tetapi anda tidak memberi untuk mendapatkan [sesuatu].—Matius 22:39; Lukas 6:38; Kisah 20:35; Yakobus 2:26.

Memberi sama dengan membagikan, bukan hal-hal materi, tetapi gagasan, pengalaman, sukacita, hasrat, perasaan-perasaan yang paling dalam, bahkan dukacita. Seorang psikiater berkata: ”Salah satu bentuk kebahagiaan manusia yang paling dalam adalah membagi kesenangan.” Pernahkah anda seorang diri memandang dengan takjub terbenamnya matahari yang mengagumkan dan berharap kalau saja orang yang anda sayangi berada di sana untuk sama-sama menyaksikannya dengan anda? Atau apakah anda mempunyai kabar baik yang menyenangkan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat anda beritahu? Atau memandang dengan kagum samudera yang menggelora dengan gelombang-gelombang besar yang menghantam pantai berbatu-batu dan naik tinggi di udara, dan merasa sedih karena tidak ada teman bersama anda yang ikut menyaksikan pemandangan yang menggetarkan tersebut? Atau bahkan suatu adegan yang sangat menyedihkan yang benar-benar mengharukan anda, tetapi anda tidak akan pernah bisa mengungkapkan hal itu sepenuhnya kepada orang lain? Kita ingin mengutarakan perasaan, seperti dikatakan rasul Paulus: ”Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”—Roma 12:15.

Hal itu kedengarannya sederhana. Tetapi juga benar. Psikiater James Fisher berkata: ”Pemikir-pemikir besar . . . telah memperingatkan bahayanya mengejar harta duniawi, dan dengan sungguh-sungguh menganjurkan hidup sederhana.” Kesenangan sejati didapatkan dari hal-hal sederhana dan hal-hal menakjubkan yang Allah ciptakan: kubah beludru hitam di mana jutaan bintang berkelap-kelip dan bersinar, hangatnya matahari, sejuknya angin sepoi-sepoi. Keharuman bunga-bunga, nyanyian burung-burung, lemah-gemulainya binatang-binatang. Bukit-bukit yang bergelombang dan tebing-tebing yang terjal. Sungai-sungai yang deras dan riak-riak kecil, padang rumput yang subur dan hutan-hutan yang lebat, salju yang berkilauan di bawah sinar matahari. Titik-titik hujan di atas atap, jengkerik yang mengerik di tanah, kodok yang berkuak-kuak dalam kolam, dan deburan ikan yang menimbulkan riak yang berputar-putar di bawah sinar bulan.

Bahkan lebih banyak kesenangan didapatkan dalam diri orang-orang yang ramah, karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, dengan kebutuhan untuk diterima. Perhatian yang pengasih, sentuhan yang simpatik, isyarat yang lembut, senyum yang hangat, tindakan yang pengasih, tawa seorang anak yang sedang bermain, degukan bayi di tempat tidur kecilnya, wibawa dan hikmat seorang tua yang kaya dengan pengalaman-pengalaman hidup—inilah hal-hal yang memuaskan.

Bagaimana kita sebenarnya, itulah yang penting, bukan bagaimana rupa kita. Kasih yang kita miliki, bukan kedudukan sosial yang kita dapatkan. Apa yang dapat kita berikan bukan apa yang dapat kita peroleh. Harta di surga yang kita miliki, bukan timbunan emas di bumi. Puas dengan apa yang sedikit lebih penting dari pada kuatir dengan apa yang banyak. Penguasa muda memiliki harta, orang-orang Farisi kelihatannya suci, tetapi penguasa muda yang kaya itu tidak bahagia dan orang-orang Farisi tidak suci. Memiliki pemikiran Allah membuat kita bijaksana, menggunakan hikmat ini untuk menyalurkan kekuatan kita, mengikuti prinsip-prinsipNya untuk menjamin keadilan, meniru Dia dalam menunjukkan kasih—semua ini dibutuhkan untuk mengenyangkan perasaan yang Ia ciptakan dalam diri kita.

Dan semua inilah yang diperlukan untuk membuat kita bahagia.

[Blurb di hlm. 5]

Kelangsungan hidup ”bergantung pada perubahan yang radikal dari hati manusia”

[Blurb di hlm. 7]

”Usaha untuk menemukan arti hidup seseorang adalah kekuatan bermotivasi yang utama dalam manusia”

[Blurb di hlm. 9]

”Tanpa kasih, kita kehilangan kemauan untuk hidup”

[Kotak di hlm. 10]

Kebahagiaan Melalui Hikmat Ilahi

”Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah!”—Mazmur 41:2

”Berbahagialah orang-orang yang berpegang pada hukum, yang melakukan, keadilan segala waktu!”—Mazmur 106:3

”Berbahagialah bangsa yang Allahnya ialah [Yehuwa]!”—Mazmur 144:15

”Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas.”—Amsal 3:13, 14

”Berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita.”—Amsal 14:21

”Berbahagialah orang yang percaya kepada [Yehuwa].”—Amsal 16:20

”Berbahagialah orang yang sadar akan kebutuhan rohaninya.”—Matius 5:3

Kebahagiaan datang dari pribadi yang sama yang menaruh kebutuhan tersebut dalam diri kita pada mulanya, Pencipta kita Allah Yehuwa

[Gambar di hlm. 6]

Manusia diciptakan Allah, diberikan suatu pekerjaan untuk memelihara bumi dan tanam-tanaman serta binatang-binatangnya

[Gambar di hlm. 8]

Kesenangan sejati didapati dalam hal-hal yang sederhana

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan