PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g90_No35 hlm. 12-14
  • Apakah Hutan Memiliki Masa Depan?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Apakah Hutan Memiliki Masa Depan?
  • Sedarlah!—1990 (No. 35)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Dapatkah para Pakar Lingkungan Hidup Memperbaiki Keadaan?
  • Akar Masalahnya
  • Hutan Hujan​—Dapatkah Mereka Diselamatkan?
    Sedarlah!—2003
  • Lenyap dalam Sekejap!
    Sedarlah!—1990 (No. 35)
  • Hutan Hujan​—Siapa yang Akan Menyelamatkannya?
    Sedarlah!—2003
  • Manfaat Hutan Tropis
    Sedarlah!—1998
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1990 (No. 35)
g90_No35 hlm. 12-14

Apakah Hutan Memiliki Masa Depan?

DI PULAU PASKAH, Pasifik Selatan, patung-patung batu yang besar berbentuk kepala manusia terlihat dengan samar-samar di lereng-lereng bukit-bukit yang hijau, menatap dengan hampa ke arah laut. Orang-orang yang memahatnya telah punah berabad-abad yang silam. Di Amerika Serikat bagian barat, reruntuhan gedung-gedung kuno di daerah-daerah yang gersang dan sunyi merupakan satu-satunya peninggalan dari bangsa yang telah lenyap lama sebelum orang-orang kulit putih datang. Beberapa negeri Alkitab tempat kebudayaan dan perdagangan pernah maju kini hanya tinggal gurun pasir yang terus diterpa angin. Mengapa?

Dalam tiga kasus tersebut, sebagian dari jawabannya mungkin ialah penggundulan hutan. Beberapa pakar berpendapat bahwa manusia terpaksa meninggalkan daerah ini karena mereka telah memusnahkan hutan-hutannya. Tanpa pepohonan tanah menjadi gersang, maka manusia pindah ke tempat lain. Tetapi dewasa ini manusia mengancam akan berbuat yang sama terhadap seluruh planet. Benarkah? Apakah tidak ada yang dapat mencegah proses ini?

Banyak orang mencobanya. Di Pegunungan Himalaya, kaum wanita dilaporkan memeluk pohon-pohon dalam upaya yang nekat untuk mencegah tindakan para penebang kayu. Di Malaysia, suku-suku penghuni hutan membentuk rantai manusia untuk mencegah datangnya para penebang kayu dan peralatan mesin berat mereka.

Dua ratus juta orang yang mencari nafkah dari hutan-hutan tropis mempunyai kepentingan yang bersifat sangat pribadi dalam krisis ini. Seraya peradaban makin maju, suku-suku asli mundur lebih jauh lagi ke dalam hutan, kadang-kadang sampai berhadapan dengan para pendatang baru yang pindah ke sana dari sisi satunya. Banyak suku bangsa punah akibat penyakit yang disebarkan oleh orang-orang luar. Yang lain-lain, terpaksa menyesuaikan diri dengan dunia luar, dan akhirnya hidup di antara orang-orang miskin di kota—terasing dan risau. Tetapi dunia mulai menyadari keadaan mereka yang kritis. Semangat cinta lingkungan hidup mulai melanda dunia.

Dapatkah para Pakar Lingkungan Hidup Memperbaiki Keadaan?

”Pengetahuan dan teknologi ada untuk menyelamatkan hutan-hutan tropis di seluruh dunia,” demikian kata pengantar buku Saving the Tropical Forests. Hal ini telah dibuktikan dalam bentuk taman-taman nasional di seluruh dunia. Guanacaste National Park di Costa Rica dikhususkan untuk penghutanan daerah-daerah yang luas. Pohon-pohon ditanam dalam jumlah jutaan di negara-negara seperti Kenya, India, Haiti dan Cina. Tetapi menanam pohon-pohon tidak sama dengan pemulihan hutan.

Kadang-kadang dalam ”penghutanan” orang hanya menanam satu spesies pohon dengan tujuan komersial, yang di kemudian hari akan dituai hasilnya. Ini tidak sama dengan ekosistem yang rumit dari sebuah hutan tropis. Selain itu, beberapa orang berpendapat bahwa hutan tropis yang lembab tidak pernah dapat dipulihkan kembali kepada keadaan asal yang rumit susunannya. Tidak mengherankan bahwa banyak pakar lingkungan hidup bersikeras bahwa pelestarian lebih baik daripada peremajaan.

Tetapi pelestarian tidak semudah yang dikatakan orang. Jika suatu daerah hutan terlalu kecil, ini tidak dapat bertahan lama. Beberapa pakar lingkungan hidup menyarankan agar sekurang-kurangnya 10 sampai 20 persen hutan tropis di seluruh dunia disisihkan sebagai hutan lindung untuk mempertahankan keanekaragamannya yang kaya. Tetapi dewasa ini, hanya 3 persen dari hutan-hutan tropis di Afrika yang dilindungi. Di Asia Tenggara hanya 2 persen, di Amerika Selatan 1 persen.

Dan beberapa dari daerah-daerah itu hanya dilindungi di atas kertas. Taman-taman dan hutan-hutan lindung tidak akan dapat bertahan lama jika tidak direncanakan atau dikelola dengan baik atau jika para pejabat yang korup mengalihkan dana untuk taman-taman itu ke kantong mereka sendiri. Beberapa orang bahkan mencari uang dengan secara diam-diam memberikan konsesi kepada perusahaan kayu. Juga, tenaga kerja tidak banyak. Di Amazone, satu penjaga ditugaskan untuk melindungi suatu daerah hutan tropis yang luasnya sama dengan Perancis.

Para pakar lingkungan juga mendesak agar para petani diajar teknik pertanian yang tidak mengikis tanah sehingga mereka tidak usah pindah dan membuka lebih banyak daerah hutan untuk lahan pertanian. Beberapa orang telah mencoba menanam berbagai jenis tanaman di sebuah ladang, yang akan mencegah datangnya hama yang biasa makan satu spesies tanaman saja. Pohon buah-buahan dapat melindungi tanah dari hujan tropis. Orang-orang lain memakai kembali teknik pertanian primitif. Mereka menggali saluran-saluran di sekitar kebun yang kecil dan memindahkan lumpur serta ganggang dari saluran-saluran itu ke tanah-tanah kebun tadi sebagai pupuk untuk tanaman. Ikan dapat diternakkan di saluran-saluran itu sebagai sumber makanan tambahan. Metode-metode itu telah dicoba dengan hasil yang baik.

Tetapi mengajarkan ”teknik” pertanian memakan waktu dan uang serta menuntut keahlian. Negara-negara tropis sering mempunyai terlalu banyak problem ekonomi yang harus ditangani dengan segera sehingga tidak memungkinkan penanaman modal jangka panjang untuk upaya tadi. Tetapi, sekalipun kecakapan teknik telah meluas, ini tidak akan memecahkan masalahnya. Sebagaimana ditulis oleh Michael H. Robinson dalam Saving the Tropical Forests, ”Hutan-hutan tropis dimusnahkan bukan karena ketidaktahuan atau kebodohan tetapi terutama karena kemiskinan dan ketamakan.”

Akar Masalahnya

Kemiskinan dan ketamakan. Kelihatannya krisis penggundulan hutan berakar kuat pada struktur masyarakat manusia, jauh lebih dalam daripada akar-akar hutan tropis pada lapisan tanah tropis yang tipis. Apakah manusia sanggup mencabut akar problemnya?

Suatu pertemuan puncak dari 24 bangsa di The Hague [Den Haag], Belanda, tahun lalu mengusulkan pembentukan suatu wewenang baru dalam PBB yang akan disebut Globe. Menurut Financial Times dari London, Globe akan memiliki ”jangkauan kekuasaan yang belum pernah ada sebelumnya untuk menetapkan dan memberlakukan standar-standar lingkungan hidup”. Meskipun bangsa-bangsa mungkin harus menyerahkan sedikit dari kedaulatan nasional yang mereka nilai tinggi agar Globe mendapat kekuasaan nyata, beberapa orang berpendapat bahwa organisasi semacam ini pada suatu hari pasti akan muncul. Hanya suatu badan sedunia yang terpadu dapat menghadapi masalah-masalah dunia.

Itu masuk akal. Tetapi pemerintahan atau organisasi manusia manakah yang dapat menyingkirkan ketamakan dan kemiskinan? Pemerintahan manakah yang pernah melakukan hal itu? Terlalu sering pemerintahan manusia justru didasarkan atas ketamakan, maka mereka melestarikan kemiskinan. Tidak, seandainya kita harus menunggu suatu organisasi manusia untuk memecahkan krisis penggundulan hutan, maka hutan-hutan tidak memiliki masa depan; sesungguhnya manusia pun tidak akan memiliki masa depan.

Tetapi pertimbangkanlah hal ini. Bukankah hutan-hutan memberi bukti bahwa ia dirancang oleh suatu pribadi yang maha cerdas? Ya! Dari akar sampai daunnya, hutan-hutan tropis menyatakan hasil karya Arsitek Ulung.

Maka, apakah Arsitek Agung ini akan membiarkan manusia memusnahkan semua hutan tropis dan menghancurkan bumi kita? Satu nubuat yang menonjol di dalam Alkitab menjawab pertanyaan ini secara langsung. Nubuat itu berbunyi, ”Dan semua bangsa telah marah, tetapi amarahMu [Allah] telah datang, dan saat [”yang ditentukan”, NW] . . . untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi.”—Wahyu 11:18.

Ada dua hal yang mencolok dari nubuat tersebut. Pertama, nubuat ini menunjukkan masa manakala manusia akan benar-benar dapat membinasakan seluruh bumi. Pada waktu kata-kata tersebut ditulis hampir dua ribu tahun yang lalu, manusia tidak dapat menghancurkan bumi apalagi terbang ke bulan. Tetapi dewasa ini manusia dapat. Kedua, nubuat itu menjawab pertanyaan apakah manusia akan benar-benar menghancurkan bumi—dengan jawaban yang menggema, tidak!

Allah menciptakan manusia untuk memelihara dan mengelola bumi, bukan untuk membuatnya tandus. Pada zaman Israel purba Dia menetapkan batas-batas penebangan hutan yang dilakukan umat-Nya pada waktu mereka menaklukkan Negeri Perjanjian. (Ulangan 20:19, 20) Dia berjanji bahwa seluruh umat manusia di masa depan yang dekat akan hidup harmonis dengan lingkungannya.—1 Yohanes 2:17; Yeremia 10:10-12.

Alkitab menawarkan harapan, harapan akan suatu masa manakala manusia akan menggarap bumi menjadi firdaus dan bukan membuldosernya menjadi gurun pasir, memulihkan dan bukan merusaknya, memeliharanya dengan bijaksana dan bukan dengan tamak mengurasnya sampai kering demi keuntungan yang bersifat sementara. Hutan-hutan memiliki masa depan. Sistem yang korup, yang merusak hutan dan seluruh bumi, tidak memiliki masa depan.

[Gambar di hlm. 13]

Penggundulan hutan di sini di Pulau Paskah mungkin menjadi penyebab punahnya suatu peradaban

[Keterangan]

H. Armstrong Roberts

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan