PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • yb98 hlm. 162-209
  • Martinik

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Martinik
  • Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 1998
  • Subjudul
  • Berita Kemerdekaan yang Tak Ternilai
  • Memulai Kembali Pekerjaan
  • Sambutan yang Mengejutkan
  • ”To-To-To”
  • Para Pemimpin Agama Menyuarakan Tanda Bahaya
  • Kunjungan Notre Dame du Grand Retour
  • Perkawinan, Bukan Sekadar Hidup Bersama
  • Bebas dari Penyalahgunaan Alkohol
  • Buah-Buah dari Jantung Negeri
  • Para Wanita dengan Loyal Memberitakan Kabar Baik
  • Air Memanjat Gunung
  • ’Tidak Meninggalkan Pertemuan Bersama’
  • Sewaktu Kebaktian Masih Berskala Kecil
  • Berita Kemerdekaan sampai ke Pesisir Timur Laut
  • Patung-Patung Dihancurkan dan Dilempar ke Jalanan
  • Mengapa Imam Itu Menginginkan Buku Kebenaran?
  • Mencari-cari Allah dan Benar-Benar Menemukan Dia
  • Para Pemimpin Agama Menyerang
  • Di Kaki Gunung Berapi—Apakah Mereka Mau Mendengarkan?
  • Dimerdekakan dari Takut akan Manusia
  • Bantuan Tambahan di Dekat Gunung Berapi
  • Semalam di Pohon Mangga
  • Dimerdekakan dari Takhayul dan Quimbois
  • Perhatian ke Bagian Selatan Pulau
  • Akomodasi untuk Kebaktian-Kebaktian yang Lebih Besar
  • Drama-Drama Alkitab yang Menarik Perhatian
  • Meruntuhkan Sekaligus Membangun
  • Suatu Langkah Penting
  • Bantuan Berharga dari Pria-Pria Rohani
  • ’Yehuwa Melihat Orang-Orang yang Rendah Hati’
  • Bertekad untuk Melayani Yehuwa
  • Dimerdekakan dari Perbudakan Obat Bius
  • Akhirnya Kami Mempunyai Balai Kebaktian
  • Organisasi yang Memuji Yehuwa
  • ”Si Bon Dié Lé”
Buku Kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa 1998
yb98 hlm. 162-209

Martinik

BAGI orang-orang di berbagai penjuru dunia, nama Martinik sungguh menggugah minat. Nama itu mungkin mengingatkan orang akan sang surya, pantai berpasir putih, dan laut biru. Nama itu mungkin membuat orang membayangkan yang manis-manis dalam hidup ini, seperti tebu, pisang, serta rum. Terbayang pula penduduk aslinya yang berkulit sawo matang dan hitam, dengan senyum lebar menyajikan nampan berisi buah-buahan tropis kepada para tamu sebagai tanda ucapan selamat datang. Bagi orang lain, Martinik mengingatkan mereka akan letusan Gunung Pelée pada tahun 1902 dan kehancuran total kota Saint Pierre, yang pada waktu itu adalah pusat perekonomian dan kebudayaan di kawasan itu.

Jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, Martinik tampak seperti setitik debu saja. Panjang pulau ini hanya 80 kilometer dan lebarnya 35 kilometer. Namun, pulau ini pernah mempunyai peranan yang luar biasa besar dalam hubungan internasional. Antara abad ke-17 dan ke-19, kekaisaran-kekaisaran kolonial bertempur sengit di sini untuk memperebutkan keunggulan atas Benua Amerika dan Kepulauan Karibia. Saint Domingue (Haiti), Guadeloupe, Martinik, dan pulau-pulau lainnya di Hindia Barat berganti pemilik menurut hasil pertempuran.

Selama puluhan tahun, Martinik, meskipun hanyalah pulau yang kecil, merupakan pusat perdagangan budak di Karibia. Penduduk Martinik erat kaitannya dengan rantai perbudakan yang mengukir sejarah negeri ini dan yang banyak menjelaskan kondisi masyarakatnya dewasa ini.

Kami sedang berbicara tentang suatu masyarakat yang, sekalipun telah sekian lama diperbudak, merasa bangga karena telah merdeka. Masyarakat ini bercirikan paradoks-paradoks yang unik. Mereka sangat bergairah untuk melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh asing dan ingin agar hal ini diketahui. Padahal, mereka menerima kebudayaan Prancis, yang dipaksakan melalui penjajahan—suatu kebudayaan yang segala nilai dan kemakmurannya sangat dijunjung tinggi oleh mayoritas orang. Masyarakat memeluk suatu agama resmi—Katolik Roma—yang dipaksakan ke atas mereka oleh para penjajah yang kejam. Selain itu, mereka diajarkan untuk beribadat kepada suatu Allah yang tidak banyak mereka kenal. Allah diperkenalkan kepada mereka sebagai suatu Pribadi yang mendukung perbudakan atas orang-orang Negro karena konon Ia mengutuk ras itu. Dikatakan bahwa Allah memiliki sifat kasih dan keadilan, namun sifat-sifat ini tampaknya diselubungi oleh kejanggalan-kejanggalan. Agama mereka pada dasarnya berlandaskan ritual dan tradisi yang tidak terlalu mementingkan dasar kepercayaan dan analisis teologi yang jitu. (Demikian pula halnya dengan Barbados, pulau di dekat situ, yang menyatakan Anglikan sebagai agama negara, karena negeri ini adalah bekas jajahan Inggris.)

Menjelang akhir abad ini, mayoritas masyarakat Martinik, meskipun senang dipandang sebagai rakyat merdeka, bekerja keras di bawah belenggu perbudakan dua majikan yang banyak menuntut. Di satu pihak, mereka dibebani oleh sistem ritual dan tradisi yang tidak sanggup memuaskan kelaparan rohani. Di pihak lain, mereka bekerja keras tanpa hasil untuk memuaskan keinginan yang tak habis-habisnya yang dikobarkan oleh pengaruh kuat gaya hidup materialistis kebudayaan Barat.—Pkh. 5:10.

Berita Kemerdekaan yang Tak Ternilai

Di pulau tropis inilah berita kemerdekaan telah dikumandangkan dengan intensitas yang semakin meningkat dalam setengah abad terakhir ini. Inilah kemerdekaan yang dimaksudkan Yesus sewaktu ia berkata, ”Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan memerdekakan kamu.” (Yoh. 8:32) Inilah kemerdekaan dari perbudakan kepalsuan, kemerdekaan dari belenggu sistem ekonomi yang dengan kejam menindas orang-orang, dan kemerdekaan dari dosa dan kematian.

Benih-benih kebenaran ini mulai ditaburkan pada tahun 1946 ketika Georges Moustache, dari Guadeloupe, menggunakan waktu dua minggu untuk memberikan kesaksian di Fort-de-France dan di Saint Pierre. Tiga tahun kemudian, pada tanggal 9 Agustus 1949, empat orang utusan injil (sepasang suami-istri dan dua saudari muda), lulusan Sekolah Alkitab Gilead Menara Pengawal, mendarat di pulau ini. Mereka adalah David dan Celia Homer, Mary Lolos, dan Frances Bailey. Mereka berasal dari Amerika Serikat dan bisa berbahasa Prancis, meskipun tidak terlalu fasih. Akan tetapi, dalam waktu satu setengah tahun, mereka berhasil menempatkan 631 buku serta lebih dari 200 buku kecil yang menjelaskan Alkitab, dan mereka memulai 32 pengajaran Alkitab kepada orang-orang dan kelompok-kelompok keluarga. Tetapi, para pemimpin agama Katolik, yang masih sangat berpengaruh pada waktu itu dan yang sama sekali tidak senang wewenangnya dipertanyakan, menggunakan pengaruhnya untuk mengusir para utusan injil dari pulau ini pada bulan Januari 1951. Selama lebih dari tiga tahun, segala bentuk pemberitaan kabar baik di Martinik terhenti.

Memulai Kembali Pekerjaan

Pada tanggal 10 Juli 1954, Xavier dan Sara Noll tiba dari Marseilles, Prancis. Mereka berdua adalah rohaniwan sepenuh waktu, dan Xavier telah melayani sebagai pengawas di sebuah sidang di Marseilles.

Mereka masih ingat kedatangan mereka di pulau ini, yang bagi mereka bagaikan perjalanan ke ujung bumi, 7.000 kilometer dari kampung halaman mereka. Mereka masih ingat kesan pertama mereka terhadap panas dan kelembapan, serta pembawaan masyarakatnya yang senang berpesta, suka menerima tamu, dan periang.

Sejak hari pertama, mereka belajar hidup seadanya. Setelah menginap selama beberapa hari di rumah seorang pria yang bersikap baik terhadap Saksi-Saksi Yehuwa, mereka mendapatkan rumah kayu yang baru, namun, sesuai dengan namanya, itu hanya suatu bangunan yang terdiri dari dinding kayu dan lantai kayu. Atapnya dari seng gelombang. Tidak ada langit-langit, dan tidak ada kamar kecil. Bila senja tiba, Saudara Noll bertugas untuk mengosongkan ember ”pispot” dengan membuang isinya di sebuah jurang. Perjalanannya yang pertama sambil membawa ember ini adalah pada tanggal 14 Juli, hari nasional Prancis. Ia terpaksa melewati alun-alun yang bernama Stalingrad, yang ramai dengan kegiatan pada hari besar ini. Sewaktu ia berjalan melintasi alun-alun, sambil menenteng ember tanpa tutup sehingga isinya terlihat oleh sekumpulan orang yang keheranan yang datang untuk bersantai dan menghirup udara segar, orang-orang itu pun tertawa terpingkal-pingkal. Penampilan perdana yang tak terlupakan! Baru pertama kali mereka melihat pria kulit putih melakukan pekerjaan itu!

Sambutan yang Mengejutkan

Pada pagi hari itu, Saudara Noll selama berjam-jam menyortir buku dan buku kecil yang ditinggalkan para utusan injil sewaktu mereka diusir. Banyak dari antaranya telah rusak dimakan serangga, namun ada cukup persediaan lektur yang masih bagus untuk digunakan oleh suami-istri Noll dalam kesaksian umum keesokan paginya.

Berikut ini beberapa kenangan Saudara Noll tentang hari pertamanya dalam dinas, ”Sewaktu mengabar untuk pertama kalinya di sini, saya dan istri sangat ingin menjumpai orang-orang, mengenal mereka, mengetahui sambutan macam apa yang akan kami terima. Kenyataannya di luar dugaan kami. Kami mulai memberikan kesaksian di pusat kota, yang pada waktu itu berpenduduk 60.000 jiwa. Pagi itu, saya dan istri berpapasan dua kali sewaktu kami pulang untuk mengisi kembali tas kami dengan buku-buku ’The Truth Shall Make You Free’ dan ’The Kingdom Is at Hand’ serta buku-buku kecil seperti ’The Prince of Peace’.”

Ungkapan yang sering diucapkan penghuni rumah adalah, ”Saya terima buku Anda sebagai kenang-kenangan,” atau, ”Jika buku ini membahas tentang Allah, saya terima.” Selama dua minggu pertama, hampir 200 buku dan ratusan buku kecil ditempatkan. Sungguh mudah untuk memulai percakapan karena orang-orang pada dasarnya ingin tahu dan senang menyambut orang asing. Sungguh menganjurkan rasanya dapat diterima dengan ramah!

Saudara dan Saudari Noll bertanya-tanya apakah mereka dapat memimpin pengajaran dengan begitu banyak orang! Tetapi, mereka segera belajar untuk membedakan antara orang-orang yang sekadar memperlihatkan keramahtamahan dan yang benar-benar berhasrat untuk mengetahui dan mempraktekkan kebenaran dari Allah. Ada beberapa yang ingin belajar. Saudara Noll mengenang, ”Orang yang menjumpai kami setibanya kami di Martinik, memperkenalkan kami kepada beberapa pekerja dan para magang di bengkel perabotannya. Kami mulai belajar pada malam itu juga dan dua malam berikutnya pada minggu pertama itu.”

Salah satu pengajaran itu diberikan kepada pasangan muda, Paul dan Nicole Jacquelin. Mereka belajar tiga kali seminggu dan membuat kemajuan yang bagus. Tak lama kemudian, mereka ikut bersama suami-istri Noll untuk mengabar dari rumah ke rumah. Bersama penyiar-penyiar baru ini, pekerjaan pengabaran mulai dilakukan oleh penduduk asli.

”To-To-To”

Setibanya di sebuah rumah, sang penyiar harus berseru, ”To-to-to, apakah ada orang di rumah?” Sering kali, dari dalam rumah, terdengar sahutan, ”Ada perlu apa?” Setelah sang penyiar berseru lagi untuk memperkenalkan diri, penghuni rumah akan menjawab, ”Mari masuk dan silakan duduk.” Setelah itu, pembicaraan yang menarik pun berlangsung.

Kebanyakan orang bersedia untuk berbincang-bincang. Stres tidak dikenal di Martinik pada waktu itu. Jarang sekali terdengar orang-orang mengucapkan kata-kata yang sering kita dengar dewasa ini, yakni, ”Saya tidak punya waktu.” Akan tetapi, sering kali kata penutupnya adalah, ”Saya memahami semua yang Anda sampaikan, tetapi saya tidak akan meninggalkan agama orang-tua dan kakek-nenek saya.” Bahkan, meskipun orangnya tampak berminat, sehingga sang penyiar bertanya, ”Bolehkah kami mengunjungi Anda lagi segera?” jawabannya sering kali, ”Jika Allah menghendaki.”

Pada umumnya, orang-orang menyatakan respek yang besar pada Alkitab. Namun, hanya segelintir orang saja yang memiliki Alkitab. Para pemimpin agama Katolik berupaya keras mencegah orang-orang memiliki Alkitab. Meskipun demikian, beberapa orang dapat memperoleh terjemahan Prancis Protestan oleh Louis Segond. Ada yang memperolehnya dari pedagang kaki lima, ada pula dari tetangga yang beragama Adven Hari Ketujuh, dan yang lain-lain, dari para Evangelis.

Para Pemimpin Agama Menyuarakan Tanda Bahaya

Lima bulan setelah Saksi-Saksi Yehuwa memulai kembali kegiatan pengabaran mereka di Fort-de-France, sebuah surat kabar yang disponsori oleh Gereja Katolik memuat pertanyaan, ”Siapa Gerangan Saksi-Saksi Yehuwa?” Di sana dimuat sebuah dialog antara seorang imam dan seorang warga paroki, ”Apakah Anda mengenal Yehuwa, Bapa?” ”Tentu saja! Sejak kapan Anda bisa berbahasa Ibrani?” Dan kemudian, itu disusul oleh serangkaian fitnah terhadap Saksi-Saksi Yehuwa dan penyalahgambaran ajaran mereka secara keji. Karikatur tentang Saudari Noll bahkan muncul dalam sebuah pamflet gereja.

Beberapa waktu setelah itu, sekalipun hanya ada segelintir Saksi di pulau ini, seorang imam, yang jelas-jelas merasa resah melihat kegairahan para pemberita Kerajaan ini, mengumumkan, ”Ribuan orang baik sedang dalam proses menjadi Saksi-Saksi Yehuwa karena mereka tidak mengenal baik agama mereka sendiri.” Itu mirip seperti yang diilustrasikan Yesus Kristus dalam perumpamaannya tentang orang kaya dan Lazarus. Orang-orang awam mendambakan remah-remah dari meja para pemimpin agama yang berkelimpahan.—Lihat Lukas 16:19-31.

Kunjungan Notre Dame du Grand Retour

Beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 1948, banyak orang Katolik terguncang imannya. Suatu penipuan besar telah diorganisasi oleh keuskupan. Sebuah patung Maria didatangkan dari Prancis dan disambut dengan banyak upacara. Patung itu diarak ke seluruh Martinik dan masyarakat memuja patung itu dengan kemeriahan yang belum ada duanya bahkan sampai sekarang. Patung sang ”Perawan” diletakkan di sebuah perahu kecil yang diberi roda, dan ditarik melewati jalan-jalan. Di sepanjang jalan, masyarakat mengisi perahu itu dengan uang dan perhiasan bagi sang ”Madonna”. Pada saat itu, orang-orang Martinik, entah miskin maupun kaya, hanya mengenakan perhiasan dari emas. Hasilnya, terkumpullah sejumlah besar uang.

Banyak orang yang masih mengingat jelas peristiwa itu. Marthe Laurent, yang sekarang adalah salah seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa, mengenang kedatangan sang ”Madonna”. ”Ketika itu hari Sabtu malam pada awal bulan Maret 1948, di alun-alun sekitar Sabana di Fort-de-France,” katanya. ”Alun-alun itu penuh orang ketika tiba-tiba kami melihat setitik cahaya muncul dari tengah laut, di ujung La Pointe des Nègres. Kerumunan orang banyak berseru riang; sang ’Perawan’ tiba dengan perahu!” Pierrette Hantoni datang berkali-kali untuk memberikan persembahan. Ia dan suaminya menghiasi rumahnya dengan bunga dan menggantungkan spanduk bertuliskan Chez Nous Soyez Reine (Jadilah Ratu di Rumah Kami). Orang-orang terhanyut dalam suasana dan menjadi sangat murah hati, menyangka bahwa sang ”Perawan” akan mempertunjukkan mukjizat. Misalnya, ada seorang pria yang putrinya menderita kelainan jaringan otot. Sambil berjalan dengan lututnya, ia mengikuti perahu beroda itu, berharap agar sang ”Perawan” mau menyembuhkan putrinya.

Beberapa waktu kemudian muncul laporan bahwa patung itu telah kembali ke Prancis, tetapi ternyata itu kabar bohong belaka. Belakangan ditemukan bahwa patung itu ternyata disembunyikan di sebuah gudang. Menurut kabar angin setempat, pesawat terbang yang lenyap di lautan beberapa waktu berselang sedang mengangkut uang dan harta benda yang terkumpul berikut para organisator penipuan itu. Di benak banyak orang, itulah hukuman dari Allah. Bahkan dewasa ini, sewaktu orang-orang membicarakan peristiwa itu, Saksi-Saksi Yehuwa mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kepada mereka mengenai apa yang Alkitab katakan tentang penyembahan berhala.—Kel. 20:4, 5; Mzm. 115:4-8; 1 Yoh. 5:21.

Perkawinan, Bukan Sekadar Hidup Bersama

Beberapa tradisi Afrika masih terus dipraktekkan setelah berlalunya era perbudakan dan itu diterima oleh Gereja Katolik asalkan para pelakunya juga menjalankan upacara Katolik. Dalam kondisi seperti itu, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan merupakan hal yang lumrah. Sewaktu Saudari Noll mengabar, orang-orang bertanya kepadanya, ”Apakah Anda punya anak?” Ketika ia menjawab, ”Tidak”, mereka pun bertanya, ”Bagaimana dengan suami Anda?” Bukanlah hal yang aneh untuk mendapati pria-pria yang punya anak dari wanita lain selain istri sah mereka. Orang-orang yang ingin menjadi orang Kristen sejati harus meninggalkan praktek-praktek yang tidak berdasarkan Alkitab tersebut.—Ibr. 13:4.

Orang pertama di Martinik yang mengambil langkah demikian adalah seorang wanita yang mempunyai enam anak dari tiga pria yang berbeda dan hidup bersama ayah dari anak bungsunya ketika ia mulai belajar Alkitab. Marguerite Lislet segera menyadari perubahan yang luar biasa besar yang harus diambilnya jika ia hendak menyenangkan Yehuwa. (1 Kor. 6:9-11) Ia meminta agar teman hidupnya meninggalkan dia, dan meskipun mengalami problem kesehatan, dengan tabah ia menghadapi kesulitan keuangan agar dapat merawat keenam anaknya. Ia dibaptis pada tahun 1956. Belakangan, ia menjadi orang Martinik pertama yang menjadi perintis istimewa.

Jeanne Maximin, yang melahirkan anak-anak dari pria yang tinggal bersamanya, juga ingin dibaptis. Berkali-kali pria itu berjanji kepada Jeanne bahwa, sebelum kebaktian berikutnya, ia akan mengesahkan hubungan mereka, tetapi ia tidak pernah menepati janji itu. Akhirnya, pada tahun 1959, ketika kebaktian berikutnya mendekat, Jeanne memanfaatkan kesempatan untuk angkat kaki dari rumah sewaktu pria itu sedang tidak ada di rumah. Sekembalinya pria itu, alangkah terkejutnya ia ketika melihat teman hidupnya sudah pergi dan banyak perabot rumah tangga telah raib! Para tetangga tidak segan-segan memberi tahu pria itu di mana Jeanne berada. Pria itu berkeras meminta agar Jeanne pulang dan berjanji bahwa mereka akan menikah dalam waktu dua minggu, dan selama waktu itu ia akan mempersiapkan segala sesuatunya. Jawaban Jeanne jelas, ”Saya bersedia pulang pada hari pernikahan kita, bukan sebelumnya.” Pengaturan yang dibutuhkan dibuat, dan mereka menikah secara resmi dalam waktu sepuluh hari. Banyak saudari kita mengalami hal yang serupa.

Saksi-Saksi Yehuwa terkenal karena mempraktekkan suatu agama yang memperlakukan perkawinan sebagai lembaga ilahi. Petugas catatan sipil desa Le Vauclin takjub melihat dalam waktu singkat, Jacques dan Pierrette Nelson, perintis istimewa setempat, menjadi saksi bagi dua pasang mempelai yang telah hidup bersama selama bertahun-tahun tanpa ikatan perkawinan. Petugas itu telah memiliki buku Membina Keluarga Bahagia, tetapi sekarang ia berjanji untuk membacanya lagi karena situasinya sendiri sama dengan kedua pasang mempelai yang baru saja dinikahkannya. Sebelum mengakhiri perbincangan mereka, petugas ini berkata dengan tenang kepada dua saksi kita, ”Jamais deux sans trois” (”Setelah dua selalu tiga”). Itu terbukti benar dalam hal ini, karena tak lama setelah itu, para perintis ini sekali lagi hadir di hadapannya, menjadi saksi bagi pernikahan pasangan mempelai ketiga yang belajar Alkitab dengan mereka.

Bebas dari Penyalahgunaan Alkohol

Martinik terkenal karena rum-nya. Minuman beralkohol yang terbuat dari tebu ini dapat diperoleh di segala penjuru pulau ini. Meskipun disukai oleh banyak orang, minuman ini dapat sangat berbahaya jika diminum secara berlebihan. Pada tahun 1950-an orang dapat dengan mudahnya pergi ke kedai minum dan mendapat segelas penuh rum hanya dengan membayar 50 centimes (sekitar 10 sen AS). Sebotol rum, sebotol sirup, dan beberapa iris jeruk nipis dihidangkan, dan para tamu dipersilakan mencampur minumannya sendiri.

Apakah kebenaran Alkitab dapat membantu orang-orang yang mempunyai kebiasaan minum rum secara berlebihan? Ya, tentu saja. (1 Ptr. 4:3) Yang pertama adalah seorang wanita yang biasa minum berlebihan sehingga rasanya sangat risi bila duduk berhadapan dan berbicara dengannya. Selain itu, ia tinggal bersama pria yang tidak dinikahinya dan yang sama-sama diperbudak alkohol. Dalam waktu beberapa bulan, sebagai hasil dari apa yang dipelajarinya dalam pengajaran Alkitab di rumah, ia berhenti minum-minum dan meninggalkan pria itu. Semua orang yang mengenalnya dapat melihat perubahan tersebut. Kesehatannya membaik. Kehidupan profesionalnya meningkat, dan kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil dikukuhkan. Ketika ia menerima sejumlah uang sebagai gaji tambahan, ia menggunakannya untuk menghadiri Kebaktian Internasional Saksi-Saksi Yehuwa yang bertema ”Kehendak Ilahi” di New York pada tahun 1958. Hingga hari ini, meskipun telah berusia 90 tahun, Elisa Lafine secara tetap tentu ikut dalam pekerjaan pemberitaan kabar baik Kerajaan. Ia juga menjadi teladan tingkah laku Kristen yang baik. Firman Allah benar-benar dapat membebaskan orang yang diperbudak alkohol.

Buah-Buah dari Jantung Negeri

Di peta Martinik, pulau ini tampaknya berpusar pada Teluk Fort-de-France. Tidak diragukan lagi, di sinilah letak jantung kegiatan pengabaran. Di sepanjang sisi utara teluk, terdapat tiga kota besar yang bertumpang-tindih—Fort-de-France, Schoelcher, dan Le Lamentin. Hampir setengah penduduk Martinik tinggal di kawasan ini. Kecuali pertanian, sebagian besar aktivitas pulau ini berpusat di sini. Di kawasan inilah pemberitaan kabar baik pertama kali dilakukan, dan kecuali beberapa penyiar saja, penyiar-penyiar pertama berasal dari daerah ini.

Sejak tahun 1955, Saudara dan Saudari Noll mulai mengadakan perjalanan ke bagian luar ibu kota untuk menyebarkan berita Kerajaan. Mereka biasanya mengabar sehari penuh dan pulang pada malam hari. Di suatu pekan, pada hari Jumat, mereka pergi ke Le Lamentin. Pekan berikutnya, giliran jatuh pada desa Le François, dekat pesisir timur. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai menerima kebenaran. Di antara orang-orang pertama di Le Lamentin terdapat Jeanne Marie-Annaïs, Suzanne Guiteaud, Liliane Néral, dan Paulette Jean-Louis. Di Le François, terdapat keluarga Godard dan keluarga Cadasse serta Pierre Loiseau. Beberapa waktu kemudian, para perintis istimewa diutus ke Le Lamentin. Antara lain terdapat Valentin Carel dan Nicolas Rénel. (Saudara Carel belakangan menjadi anggota Panitia Cabang.) Sekarang, terdapat tujuh sidang di wilayah tersebut serta di bagian selatan wilayah itu.

Orang-orang tertentu pada awalnya tampak membuat kemajuan yang bagus, namun belakangan meninggalkan jalan yang sempit. Mereka menyerah karena kekhawatiran hidup, materialisme, dan perbuatan amoral. Banyak orang lainnya menerima firman Kerajaan ke dalam hati mereka yang terbukti seperti tanah yang baik, yang menghasilkan buah selama bertahun-tahun. (Mat. 13:18-23) Mayoritas penyambut ibadat sejati pada tahun-tahun awal tersebut masih dengan loyal melayani Yehuwa. Saudara-saudara yang dibaptis di Martinik lebih dari 30 tahun yang lalu antara lain: Leon dan Christian Bellay, Jules Nubul, Germain Bertholo, Vincent Muller, Roger Rosamond, Albert Nelson, Vincent Zébo, dan Philippe Dordonne. Mereka semua memperlihatkan kasih yang besar akan Yehuwa seraya mereka menggunakan masa muda dalam dinas-Nya. Mereka tidak muda lagi, tetapi mereka semua terus melayani sebagai penatua di sidang-sidang. Ada pula yang telah meninggal—antara lain Toussaint Lada, yang oleh rekan-rekan seangkatannya dikenang karena temperamennya yang tenang dan senyumnya yang hangat. Masih banyak lagi penyiar-penyiar tempo dulu yang masih memberikan teladan iman dan kegairahan. Generasi-generasi berikutnya sedang mengikuti jejak kaki mereka, dan bagi generasi tua, ini merupakan sumber sukacita yang besar.

Para Wanita dengan Loyal Memberitakan Kabar Baik

Pada masa awal itu, sejumlah saudari yang berprofesi sebagai guru di Departemen Pendidikan Nasional juga melakukan pekerjaan yang sangat bagus sebagai guru-guru Firman Allah. Salah seorang di antaranya adalah Stella Nelzy. Ia adalah yang pertama dibaptis dari kelompok tersebut, dan ia terus bergairah dalam pelayanan sekalipun sambil merawat ibunya yang telah lanjut usia, yang meninggal pada usia 102 tahun. Ada pula Andrée Zozor, yang adalah kepala sekolah dan yang secara efektif membela kebenaran Firman Allah, dan Saudari Victor Fousse (sekarang Lasimant), yang tetap kukuh meskipun menghadapi tentangan sengit dari keluarga. Teladan Saudari Fousse mendatangkan pengaruh baik atas anak-anaknya. Sebagai hasilnya, salah seorang putranya melayani sebagai penatua selama bertahun-tahun, dan putrinya, Marlène, adalah utusan injil di Mali.

Ada pula yang telah menyelesaikan perlombaan Kristennya karena usia atau penyakit. Itulah yang terjadi atas Léonide Popincourt, yang mengambil pensiun lebih cepat dan merintis selama 16 tahun. Meskipun Saudari Popincourt meninggal pada tahun 1990, putrinya, Jacqueline, melayani sebagai utusan injil di Guyana Prancis. Emma Ursulet juga memberikan teladan dalam membela kebenaran Alkitab, dan ia khususnya berupaya membantu anak-anaknya menempuh jalan-jalan Yehuwa. Tiga dari antara putrinya memasuki dinas perintis, dan putranya, Henri, melayani sebagai anggota Panitia Cabang di Martinik.

Sara Noll, yang datang ke Martinik sebagai perintis istimewa 43 tahun yang lalu, masih bergairah dalam dinas sepenuh waktu di usianya yang ke-82. Meskipun daerahnya sering dikerjakan, ia terus mencapai sukses yang luar biasa dalam menyiarkan Menara Pengawal dan Sedarlah! Dengan menerapkan saran Lembaga sehubungan dengan mengerjakan kawasan bisnis, ia berhasil memasuki sebagian besar kantor-kantor pemerintah. Ia memiliki trayek majalah yang meliputi balai kota, markas besar kepolisian, Departemen Pekerjaan Umum, dan banyak lagi. Dalam bulan-bulan tertentu, ia menempatkan sebanyak 500 majalah. Selama bertahun-tahun berada di Martinik, ia telah menempatkan lebih dari 111.000 majalah.

Air Memanjat Gunung

Di Martinik terdapat banyak gunung. Konon, seorang laksamana Inggris, sewaktu hendak memberikan gambaran tentang rupa negeri ini kepada Raja George II, mengambil selembar kertas, meremasnya, dan menghamparkannya di atas meja. ”Tuan,” katanya, ”inilah Martinik.” Ada pepatah dalam bahasa Kreol yang mengatakan, ”D’lo pa ka monté morne” (”Air tidak dapat memanjat gunung”). Tetapi di Martinik, terdapat air yang sanggup memanjat gunung. Kota tua Fort-de-France terletak sejajar dengan permukaan laut tetapi terletak di kaki banyak bukit. Air kebenaran telah menaiki bukit-bukit itu.—Pny. 22:17.

Pada tahun 1956, meskipun hanya ada tujuh penyiar dan tiga perintis di pulau ini, 5.000 buku, lebih dari 9.000 majalah, dan banyak buku kecil ditempatkan. Banyak dari lektur itu disiarkan di terminal-terminal bus, kepada para penumpang yang baru datang dan yang hendak pergi ke berbagai bagian dari pulau ini. Saudara dan Saudari Noll juga mengunjungi pasar ikan dan pasar sayur untuk menawarkan majalah, dan mereka mengabar di sejumlah kedai minum yang terletak di dekat pasar. Dengan demikian, para penduduk desa pulang ke rumah mereka di puncak bukit dan di balik bukit dengan lektur Alkitab yang berharga dalam tas mereka.

’Tidak Meninggalkan Pertemuan Bersama’

Hanya beberapa minggu setelah tiba di Martinik, Saudara dan Saudari Noll mulai menganjurkan para pelajar Alkitab untuk menghadiri perhimpunan. (Ibr. 10:23-25) Sebagai hasilnya, beberapa dari antara mereka berhimpun di ruang tamu rumah kayu yang sederhana di Morne Pichevin, Fort-de-France. Ruangan itu hanya dapat menampung sekitar sepuluh orang. Sewaktu keluarga Noll melakukan pelayanan, orang-orang sering bertanya apakah ada tempat berhimpun yang dapat mereka datangi. Para utusan injil ini ingin sekali mempunyai tempat berhimpun yang lebih memadai.

Kemudian, seorang manajer hotel di Fort-de-France, yang masih ingat akan utusan injil Saksi yang pertama (yang tinggal di penginapan selama beberapa waktu), menawarkan ruang makan di restorannya untuk digunakan pada hari Minggu siang, karena pada hari itu restoran tutup. Lokasinya di Schoelcher Street—dinamai menurut seorang politisi Prancis yang menyusun dekret 27 April 1848, yang mencanangkan dihapuskannya perbudakan. Katedral terletak di jalan yang sama. Sekarang, karena mereka mempunyai tempat berhimpun yang lebih baik, Saksi-Saksi menyangka bahwa akan ada banyak yang hadir. Namun, selama beberapa waktu, yang berhimpun hanya 5 sampai 10 orang, di sebuah ruangan yang dapat menampung lebih dari 100 orang. Sewaktu mereka mengundang orang-orang lain, jawaban yang biasanya diberikan adalah, ”Jika Allah menghendaki, saya akan datang.” Tetapi, jarang sekali orang memikirkan dengan serius apa kata Alkitab mengenai kehendak Allah tentang hal ini.

Akan tetapi, Ny. Marceau, seorang pensiunan guru, menghadiri dahulu kebaktian di katedral dan kemudian dengan tetap tentu datang untuk mendengarkan berita Alkitab. Alice Lassus, yang melakukan pembersihan di katedral, juga menghadiri perhimpunan-perhimpunan ini. Mereka berdua menjadi Saksi-Saksi yang loyal bagi Yehuwa. Tetapi, Saksi-Saksi benar-benar membutuhkan tempat berhimpun yang lebih cocok dengan jumlah hadirin.

Setelah beberapa bulan, mereka memindahkan perhimpunan mereka ke Villa Ma Fleur de Mai (Vila Mayflower Saya), di Clairière, Fort-de-France, yang pada waktu itu digunakan sebagai rumah utusan injil. Stella Nelzy, yang mulai menghadiri perhimpunan, terkejut mendengar salah satu komentar yang pernah diucapkan di sana. Belakangan, ia mengenang, ”Ketua mengatakan, ’Inilah rumah terpenting di seluruh Martinik!’” Tetapi ia menambahkan, ”Segera setelah itu saya mengerti bahwa ia benar. Rumah itu memang sederhana dan berperabot bangku-bangku papan, bekas peti kemas, yang dialasi kardus. Akan tetapi, di rumah itulah orang belajar tentang maksud-tujuan yang luar biasa, kehendak, dan kepribadian yang tak terbandingkan dari Allah Yehuwa dan Putra-Nya, Yesus Kristus. Ya, itulah rumah yang terpenting!”

Pada tahun 1960, jumlah penyiar meningkat menjadi 47 orang. Sekali lagi dirasa perlu untuk mencari tempat berhimpun yang memadai. Adrienne Rudier menawarkan kepada kami dua kamar di lantai dasar rumahnya di Bellevue. Dua tahun kemudian, ia mengusulkan agar kami membongkar dinding-dinding yang ada untuk memperlebar tempat berhimpun kita, sementara ia pindah ke lantai atas. Jumlah penyiar berlipat ganda dalam dua tahun saja. Sekarang ada 94 penyiar, dan 177 pengajaran Alkitab di rumah yang sedang dipimpin. Karena beberapa penyiar datang dari sisi lain Fort-de-France, tampaknya bijaksana untuk membentuk kelompok yang kedua. Kelompok ini berhimpun di rumah Inoër Puisy di Sainte Thérèse, sebuah komunitas kecil di bagian selatan Fort-de-France.

Ekspansi terus berlanjut. Pada tahun 1964, kami mencapai rata-rata 157 penyiar. Untuk menampung hadirin perhimpunan, sebuah rumah di daerah Bellevue, Fort-de-France, dibeli dan diubah menjadi sebuah Balai Kerajaan. Lima tahun kemudian, sebuah Balai Kerajaan yang baru didirikan di bagian lain kota itu. Cesaire dan Elvíre Quasima dengan murah hati merelakan Balai Kerajaan dibangun di atas atap beton rumah mereka.

Sewaktu Kebaktian Masih Berskala Kecil

Kebaktian pertama diselenggarakan pada tahun 1955. Lokasinya di rumah Saudara dan Saudari Noll. Untuk menganjurkan ke-5 Saksi-Saksi di Martinik, 27 orang dari Guadeloupe mengadakan perjalanan. Total hadirin tidak sampai 40 orang. Tetapi, program kebaktian menyediakan makanan rohani yang limpah. Alangkah sukacitanya dapat berkumpul bersama dalam suasana rohani dan persaudaraan!

Pada masa itu, sulit sekali untuk memulai perhimpunan tepat pada waktunya. Sewaktu orang-orang datang terlambat, kadang-kadang timbul situasi-situasi yang lucu. Pada kebaktian tahun 1956, sebuah adegan memperlihatkan seorang imam, dengan busana khasnya, pergi ke rumah seseorang untuk melarang orang tersebut membaca lektur Saksi-Saksi Yehuwa. Seorang saudara yang biasanya berjenggot pada waktu itu mengenakan jubah untuk memerankan sang imam. Seorang peminat yang datang terlambat tidak tahu bahwa itu cuma adegan. Setelah perhimpunan usai, ia berkata dengan perasaan tidak senang, ’Saya tidak setuju akan perbuatan imam tadi. Saksi-Saksi Yehuwa tidak pernah datang ke katedral untuk membuat keributan, dan imam itu pun seharusnya tidak boleh datang ke mari untuk cari gara-gara!’

Berita Kemerdekaan sampai ke Pesisir Timur Laut

Beberapa waktu kemudian, lebih banyak perhatian perlu diberikan ke bagian-bagian pulau yang jauh dari ibu kota. Pantai barat Martinik menghadap ke Laut Karibia, dan pantai timurnya menghadap Samudra Atlantik. Alhasil, pantai timur langsung terkena angin pasat, mengakibatkan hujan lebat dan kelembapan yang tinggi. Di bukit-bukit yang banyak air dan plato-plato di kawasan itu, segala macam tanaman dapat tumbuh—tebu, sayur-mayur, pisang, dan buah-buahan lainnya. Desa-desa besar, yang pada umumnya terletak di sepanjang pesisir, juga mengandalkan usaha perikanan.

Di daerah ini pula tergores sejarah perdagangan budak dan pembebasan budak. Di desa Le Lorrain, nama-nama tempat tertentu mengingatkan orang akan era itu, misalnya, Fond-Gens-Libre (Lembah Orang Merdeka) dan Fond-Massacre (Lembah Pembantaian). Meskipun perbudakan telah ditiadakan, sewaktu Saksi-Saksi Yehuwa membawakan berita Kerajaan Allah ke daerah ini, mereka mendapati orang-orang masih membutuhkan pembebasan. Orang-orang perlu dimerdekakan dari agama palsu dan takhayul, yang hanya dimungkinkan dengan menerima kebenaran Alkitab.

Patung-Patung Dihancurkan dan Dilempar ke Jalanan

Perjalanan pertama para utusan injil ke Basse Pointe, di pesisir utara, 50 kilometer dari Fort-de-France, adalah pada tanggal 1 November 1954. Jalanan menuju desa perikanan dan pertanian ini cukup terjal. Kondisinya buruk, apalagi setelah musim hujan, dan di tempat-tempat tertentu para utusan injil harus turun dari sepeda motor kecil mereka dan mendorongnya.

Mereka berharap untuk mengunjungi seorang wanita yang menjadi kepala sebuah sekolah di desa itu. Sebelumnya, ia telah dihubungi oleh Saksi-Saksi Yehuwa di Prancis, dan telah berlangganan Sedarlah!, tetapi sekarang masa berlangganannya telah habis. Kunjungan ini ternyata sangat bermanfaat. Wanita ini menjelaskan bahwa meskipun sebelumnya ia adalah seorang katekis (guru agama), ia tidak lagi pergi ke gereja setelah sang imam berbicara merendahkan lembaga perkawinan. Ia memperlihatkan minat akan apa yang Alkitab katakan tentang jiwa dan tentang kehidupan kekal di bumi firdaus. Tidak lama setelah itu, ia kembali ke Prancis, dan di sana ia membaktikan diri kepada Yehuwa dan dibaptis.

Semasa di Martinik, ia dipandang sebagai pemuka masyarakat dan dikenal sebagai orang Katolik yang saleh. Bayangkan betapa gemparnya ketika ia kembali ke Martinik, ia menghancurkan semua patungnya, yang kecil maupun yang besar, dan melemparkan pecahan-pecahannya di depan rumahnya untuk dipungut oleh tukang sampah. (Bandingkan Ulangan 9:16, 21.) Imam setempat naik pitam, sehingga ia mempersiapkan dan menyampaikan khotbah yang panas untuk mengutuk perilaku bekas penganut Katolik ini. Akibatnya, setiap orang membicarakan tentang apa yang mereka sebut agamanya Ny. Cressan. Selama 42 tahun hingga sekarang, sebagai salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa, Gabrielle Cressan, yang berusia 88 tahun, benar-benar menerapkan keinginannya yang terdalam, ”Semoga setiap detak jantung saya membawa kemuliaan bagi Yehuwa.”

Wanita Katolik lainnya, seorang tetangga yang mendengar imam berbicara secara keji tentang Saudari Cressan, memutuskan untuk menanyakan apa duduk persoalannya kepada Saudari Cressan. Wanita ini bernama Leónie Ducteil, ibu dari 11 anak dan istri seorang petugas pos setempat. Karena yakin bahwa apa yang dipelajarinya dari Saudari Cressan adalah kebenaran, ia mulai mengajarkan Alkitab kepada anak-anaknya. Selama tahun-tahun berikutnya, ia dan sembilan anaknya menjadi Saksi yang berbakti dan dibaptis. Bertahun-tahun kemudian, salah seorang putrinya, Edgard, menikah dengan Gérard Trivini, yang kemudian menjadi anggota Panitia Cabang.

Sepuluh tahun sebelum Leónie Ducteil belajar kebenaran atas bantuan Saudari Cressan, salah seorang tetangga mereka, Georgette Josephe, pernah mendengar nama Yehuwa dalam sebuah himne, yang dinyanyikan selama kebaktian di gereja Adven. Nama itu menarik perhatiannya, dan sekarang, seorang tetangga, Ny. Ducteil, mengatakan kepadanya bahwa beberapa wanita, baru saja menjelaskan Firman Yehuwa kepadanya. Seketika itu juga ia ingin tahu lebih banyak. Ia bersama kedelapan anaknya, dan belakangan suaminya, semua menjadi Saksi-Saksi Yehuwa.

Beberapa keluarga tersebut menjadi inti para penyembah sejati di pesisir utara pulau itu yang menghadap ke Samudra Atlantik. Dari Basse Pointe, pada tahun-tahun berikutnya, benih kebenaran ditaburkan di kota-kota dan desa-desa di Pesisir Atlantik. Benih ini bertumbuh dan berkembang di Le Lorrain, Marigot, Sainte Marie, Trinité, dan Le Robert, serta di Ajoupa Bouillon, Vert Pré, dan Gros Morne, di pedalaman pulau.

Para perintis yang bergairah turut menyebarkan kebenaran di sepanjang pesisir timur. Osman Léandre, seorang janda, pindah ke Sainte Marie pada tahun 1965 dan menyediakan rumahnya sebagai tempat berhimpun. Arcade Bellevue dan Maryse Mansuéla, para perintis istimewa dari Guadeloupe, tiba di Le Robert pada bulan Desember 1967 dan bertekun meskipun menghadapi tentangan dari imam Katolik setempat. Pada tahun 1970, Aline Adélaïde dan Jacqueline Popincourt mulai memberikan kesaksian di Le Lorrain, dan di sana Aline dapat menggunakan Alkitab untuk membantu seorang bekas tukang tenung membebaskan diri dari pengaruh hantu-hantu. Tiga tahun kemudian, mereka disertai oleh tiga perintis lagi, Michèle dan Jeanne Ursulet serta Josette Mérine. Para perintis di Le Lorrain ini telah meninggalkan pekerjaan sebagai guru sekolah untuk ikut serta dalam pekerjaan pendidikan yang jauh lebih penting—mengajarkan kebenaran yang membimbing kepada kehidupan abadi.

Mengapa Imam Itu Menginginkan Buku Kebenaran?

Jeanne Ursulet bercerita, ”Pada tahun 1974, Lembaga mengirimkan kepada kami surat dari seseorang yang tinggal di Le Lorrain. Pria itu sangat berminat untuk menerima lektur Saksi-Saksi Yehuwa dan khususnya buku Kebenaran yang Membimbing Kepada Hidup yang Kekal, yang pernah ia lihat di rumah seseorang. Keesokan paginya, kami berangkat untuk mencari pria itu. Nama orang itu terdengar asing di telinga kami, dan kami harus bertanya kepada tukang pos tentang orang ini. Alangkah terkejutnya kami ketika mengetahui bahwa surat yang dikirimkan kepada Lembaga itu ternyata dari seorang imam paroki!

”Sambil bertanya-tanya dalam hati sambutan macam apa yang akan kami terima, kami pergi ke pastoran (tempat kediaman pastor). Pria itu memperkenalkan diri dan dengan sikap dingin mengatakan bahwa ia tidak berminat berbicara dengan kami, bahwa ia hanya berminat terhadap lektur itu. Kami merasa bingung. Akan tetapi, beberapa saat setelah kunjungan itu, orang-orang di komunitas itu sering berkata kepada kami bahwa imam itu menjelaskan perkara-perkara tertentu persis seperti cara kami. Jadi, kami berkesimpulan bahwa ia pasti menggunakan lektur kita untuk mempersiapkan khotbahnya.”

Mencari-cari Allah dan Benar-Benar Menemukan Dia

Pada tahun 1967, empat perintis istimewa lagi—Octave Thélise, istrinya Alvina, dan Elie serta Lucette Régalade—membuka apa yang belakangan menjadi Sidang Trinité. Sehari setelah Elie Régalade tiba, ia pergi mengabar. Dari mana ia mulai? Dengan melewatkan rumah-rumah di kiri dan kanannya, ia langsung menuju rumah Ny. Moutoussamy dan mengetuk pintunya. Ia belum pernah bertemu wanita ini sebelumnya dan tak seorang pun memberikan nama wanita ini kepadanya. Namun, mari kita dengarkan penuturannya,

”Sejak kecil, saya sangat terikat pada agama Katolik. Saya bekerja selama bertahun-tahun di pusat penitipan anak yang dikelola para imam. Namun, saya kecewa melihat kemunafikan di gereja. Keterikatan saya semakin melemah dari hari ke hari. Ketika tiba waktunya untuk mendaftarkan kedua putra sulung saya ke pendidikan Katolik, saya bingung akan desakan dari mertua saya yang beragama Katolik, tentangan dari suami saya yang Komunis, dan pengaruh dari saudara perempuan saya yang Adven. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Hampir sepanjang malam saya berdoa kepada Allah memohonkan jalan keluarnya. Keesokan paginya, Saudara Régalade mengetuk pintu rumah saya, memperkenalkan diri sebagai Saksi-Saksi Yehuwa. Ia langsung datang ke rumah saya. Sayalah orang pertama yang ia ajak bicara di Trinité.”

Lissete Moutoussamy, serta suaminya yang eks Komunis, dibaptis delapan bulan kemudian. Sekarang, lebih dari 30 tahun kemudian, mereka terus melayani Yehuwa bersama seluruh keluarganya. Ketiga putra mereka melayani sebagai penatua. Sesungguhnya, apabila orang-orang mencari-cari Allah yang sejati dengan sepenuh hati, mereka akan menemukan-Nya, seperti yang Alkitab katakan.—Kis. 17:26, 27.

Daerah ini terbukti menghasilkan buah yang limpah, dan sidang-sidang pun berkembang. Ada satu sidang di Trinité, dan dari sidang itu, enam sidang lainnya—dua di Le Robert, satu di Sainte Marie, satu di Gros Morne, satu di Vert Pré dan satu lagi di Trinité. Mereka semua terus berkembang, mendatangkan hormat bagi Yehuwa.

Para Pemimpin Agama Menyerang

Di seluruh Martinik, menurunnya pengaruh para pemimpin agama terhadap penduduk yang mereka kurung dalam ketidaktahuan merupakan sumber kemarahan mereka. Salah seorang imam paroki menyatakan amarahnya sewaktu ia bertemu dengan dua gadis muda yang sedang mengunjungi sanak saudara dari seorang tetangga yang meninggal di Basse Pointe, pada tahun 1956. Karena tahu bahwa gadis-gadis ini belajar Alkitab bersama Saksi-Saksi Yehuwa, ia menuduh gadis-gadis ini sebagai orang murtad dan menakut-nakuti mereka dengan api neraka karena mereka tidak lagi menghadiri Misa. Sewaktu salah seorang gadis menyatakan pendiriannya dengan tegas, imam itu menamparnya sekuat tenaga dan, dalam luapan amarah, melompat ke dalam jipnya dan pergi.

Di Le Robert, setelah kedatangan dua saudari perintis pada tahun 1967, imam melarang anggota parokinya untuk membukakan pintu bagi dua saudari ini. Suatu hari, dengan amarah yang menyala-nyala, ia hampir menabrak dua saudari ini dengan mobilnya. Dalam selebaran-selebaran paroki, peringatan-peringatan yang ketus dan penuh amarah semakin meningkat, dan dari mimbar, para imam menghunjamkan kutukan tajam terhadap orang-orang yang mereka gambarkan sebagai ’antek-antek Setan yang datang untuk mengganggu kedamaian Katolik Roma’.

Denominasi agama lainnya ikut serta dalam serangan itu. Agama-agama Evangelis khususnya menuduh bahwa kita tidak percaya akan Yesus Kristus. Orang-orang Adven mengutuk kita karena tidak merespek hari Sabat, sedangkan kebanyakan dari antara mereka sendiri pandai bicara saja. Selama beberapa waktu, saudara-saudara terpancing untuk diskusi yang tak habis-habisnya dengan para pemimpin agama tersebut. Sering kali, diskusi ini berlangsung hingga larut malam dan hasilnya nihil. Lambat laun, kami belajar, dengan bantuan budak yang setia dan bijaksana, untuk menggunakan waktu kami guna mencari dan menemukan orang-orang yang seperti domba yang sangat senang mendengarkan suara Gembala yang Baik.

Namun, diskusi-diskusi itu berhasil membuka mata beberapa orang yang seperti domba. Salah seorang dari antaranya adalah Jules Nubul di Fort-de-France. Ia memperhatikan bahwa pastor hanya berpura-pura mengutip Alkitab—tetapi sebenarnya mengarang-ngarang bunyi ayatnya—untuk mendukung ajaran bahwa orang Kristen harus tetap merayakan Sabat. (Bandingkan Roma 10:4; Kolose 2:13-16.) Sekarang, Saudara Nubul adalah seorang penatua Saksi-Saksi Yehuwa. Gertrude Buval dari Trinité, yang semula penganut Adven Hari Ketujuh, melihat ketidakjujuran pendetanya selama berdiskusi dengan Octave Thélise, yang melayani sebagai perintis istimewa di sana bersama istrinya, Alvina. Bertahun-tahun kemudian, meskipun usianya telah lanjut dan kesehatannya memburuk, Saudari Buval tetap loyal berpaut pada organisasi Yehuwa.

Di Kaki Gunung Berapi—Apakah Mereka Mau Mendengarkan?

Di sebelah barat laut pulau itu, kota Saint Pierre, Le Prêcheur, Le Carbet, dan Le Morne Rouge, semuanya terletak persis di seputar Gunung Pelée, yang terkenal karena pernah menghancurkan Saint Pierre dan menewaskan 30.000 penduduknya pada tahun 1902.

Sehubungan dengan letusan pada tanggal 8 Mei tahun tersebut, orang-orang terutama masih mengingat bahwa penduduk Saint Pierre mengabaikan peringatan dan tidak mau melarikan diri. Selama sebulan gunung berapi itu telah mengeluarkan asap, abu, dan bongkahan-bongkahan batu. Saint Pierre tertutup abu. Dua puluh lima orang tewas tersapu aliran lumpur. Orang-orang merasa khawatir, tetapi masih belum mau melarikan diri. Antara lain, ini karena sikap mereka sendiri yang percaya pada takdir; sebagian lagi karena para pemuka masyarakat, termasuk para pemimpin agama, mendesak mereka untuk tetap tinggal. Faktor-faktor yang sama mempengaruhi reaksi banyak orang terhadap peringatan akan datangnya hari Yehuwa yang membangkitkan rasa takut.—Yl. 2:31, 32.

Banyak orang Martinik percaya pada takdir, dan sewaktu menghadapi kesulitan, mereka angkat bahu dan berkata, ”Ini kehendak Allah.” Sering kali, kami berupaya membantu mereka bernalar tentang hal ini dengan membahas apa yang terjadi pada waktu Gunung Pelée meletus. ”Jika peristiwa-peristiwa semacam itu adalah ’kehendak Allah’,” tanya kami kepada mereka, ”mengapa satu-satunya orang yang selamat dari bencana ini adalah penjahat yang dikurung di sel khusus di penjara bawah tanah, sementara semua ’orang Kristen yang baik’ serta gereja-gereja berikut ’santo-santo’-nya musnah binasa?”

Pada awal tahun 1960-an, para penyiar dari Fort-de-France mulai sering mengadakan perjalanan secara teratur ke komunitas di sekitar gunung berapi itu untuk membawakan berita Kerajaan bagi mereka. Akan tetapi, orang-orang sangat terpengaruh oleh rasa takut. Mereka bertanya-tanya, ”Apa kata orang nantinya?” Karena takut tidak diterima oleh para tetangga, tidak seorang pun ingin dikenal sebagai Saksi-Saksi Yehuwa. Pada tahun 1962, keluarga Charpentier dari Prancis datang untuk tinggal di Le Morne Rouge, persis di sebelah timur laut dari Saint Pierre. Sang istri, Madeleine, adalah perintis istimewa. Selama bertahun-tahun, ia dan suaminya, René, menaburkan benih kebenaran Kerajaan di daerah ini.

Akan tetapi, pengaruh gereja masih kuat di bagian utara pulau ini. Terdapat beberapa perkebunan besar yang dikelola oleh tuan tanah yang kaya, keturunan para pemukim pertama, dan mereka bersahabat akrab dengan para pemimpin agama Katolik. Di seluruh Martinik, jumlah penduduk setempat berkulit putih yang telah menerima kebenaran dapat dihitung dengan jari.

Dimerdekakan dari Takut akan Manusia

Meskipun penduduk pada umumnya enggan dikenal sebagai Saksi-Saksi Yehuwa, pada pertengahan tahun 1960-an seorang pria dan istrinya, Yoland dan Bernadette Hortance, mulai sangat tergugah oleh kasih akan Yehuwa dan Firman-Nya. Ujian iman apa yang mereka hadapi? Mereka berkisah, ”Karena kami adalah orang pertama yang menerima ’agama baru’ ini, kami tahu-tahu dimusuhi masyarakat. Kami mengalami masa-masa penuh cobaan. Dalam waktu satu tahun, kami kehilangan dua anak kami dalam kecelakaan, dan ini menyebabkan orang-orang berkata bahwa Allah menghukum kami karena meninggalkan agama Katolik. Tetapi, apa yang telah kami pelajari tentang Yehuwa membantu kami untuk tetap kukuh.”

Setelah mengalami itu semua, majikan Yoland, seorang béké (penduduk setempat berkulit putih), di bawah pengaruh seorang imam, mengancam untuk memecatnya jika ia tidak mau kembali ke gereja. Akan tetapi, Yoland tetap kukuh, dan karena saudara kita ini adalah pekerja yang jujur, majikannya tidak jadi menjalankan ancamannya. Meskipun mereka berdua mengalami masa-masa sulit lainnya, Saudara dan Saudari Hortance terus menjadi hamba Yehuwa yang loyal.

Pada tahun 1968, keluarga Palvair pindah dari Fort-de-France ke Le Morne Rouge. Lambat laun, orang-orang lain memeluk ibadat yang sejati. Dewasa ini, ada sebuah sidang beranggotakan 60 penyiar di Le Morne Rouge.

Bantuan Tambahan di Dekat Gunung Berapi

Mulai tahun 1972, dua saudari perintis istimewa, Anne-Marie Birba dan Arlette Girondin, bekerja dengan tabah untuk membantu orang-orang di Saint Pierre, Le Carbet, dan Le Prêcheur. Meskipun mereka membawakan berita damai, kadang-kadang orang-orang melempari mereka dengan batu dan memukuli mereka dengan sapu. Di daerah itu, banyak wanita yang menerima kebenaran mengalami tentangan hebat dari suami mereka, namun sebagai hasil dari tingkah laku yang baik para istri, sedikit demi sedikit, para suami umumnya menjadi lebih toleran.—1 Ptr. 3:1, 2.

Seorang Saksi lanjut usia, Jules Martinon, yang melayani di Saint Pierre selama 20 tahun lebih, adalah salah satu teladan ketekunan. Selama tahun 1960-an dan 1970-an, perhimpunan di daerah ini diselenggarakan di tempat-tempat yang nyaris tidak memadai. Akan tetapi, saudara-saudara yang berbakti seperti John Chavigny dan kemudian, keluarga Lemoine serta Papaya turut membangun sidang yang bagus di Saint Pierre. Sebuah Balai Kerajaan yang bagus dengan daya tampung 200 orang merupakan bukti bahwa kedudukan Saksi-Saksi Yehuwa telah kukuh di kaki gunung berapi itu.

Semalam di Pohon Mangga

Berita Kerajaan telah mencapai Le Lamentin pada tahun 1955, namun ujian berat terus menimpa orang-orang yang berupaya beribadat kepada Allah Yehuwa. Ini tidak selalu disebabkan oleh para pemimpin agama. Pria-pria Martinik pada umumnya bangga akan kejantanannya, dan banyak dari antara mereka bersikap sewenang-wenang terhadap istri. Apabila seorang wanita ingin beribadat kepada Yehuwa, ia sering kali harus menghadapi tindak kekerasan dari suaminya.

Salah seorang saudari kita di Le Lamentin berkisah, ”Pada tahun 1972, ketika berita Kerajaan dibawakan ke rumah saya, hal itu mengisi seluruh kekosongan rohani saya. Tetapi, suami saya melarang saya belajar. Meskipun demikian, saya terus belajar secara sembunyi-sembunyi. Ketika ketahuan, ia membakar Alkitab dan buku pelajaran saya, dan saya dihajarnya. Ia memutuskan agar kami pindah rumah, dengan harapan bahwa ini akan mengakhiri minat saya akan Alkitab.

”Ketika saya mulai menghadiri perhimpunan, ia mengunci pintu rumah sehingga saya tidak dapat masuk. Saya sering harus tidur di beranda. Lalu, ia menghancurkan apa saja yang dapat menjadi tempat bernaung, bahkan kandang ayam. Ia sering memukuli saya, dan berkali-kali saya tidak mendapat makanan. Sekali peristiwa, ia mengejar saya di tengah malam sambil membawa belati! Untuk menyelamatkan diri, saya lari ke semak-semak dan memanjat pohon mangga secepat mungkin. Saya selamat, itu pun karena lampu senternya rusak. Ia mencari saya selama berjam-jam, lewat di dekat tempat saya bersembunyi, saya meringkuk di atas pohon dan berdoa. Semalaman saya berada di atas pohon mangga.” Meskipun demikian, pada tahun 1977, wanita ini dibaptis. Belakangan, putrinya pun berpihak pada Yehuwa.

Dimerdekakan dari Takhayul dan Quimbois

Sewaktu orang-orang mulai belajar Alkitab bersama Saksi-Saksi Yehuwa dan menerapkan apa yang mereka pelajari, mereka dimerdekakan dalam banyak segi. Banyak kepercayaan dan tradisi Martinik berakar pada upacara dan takhayul yang berasal dari Afrika dan belakangan ditanam di lahan yang subur yakni agama Katolik Roma. Orang-orang yang menjadi Saksi-Saksi Yehuwa bertahun-tahun yang lalu masih ingat takhayul-takhayul yang sekarang tidak lagi membelit mereka.

Mereka ingat bahwa pada hari Jumat Agung, sebelum melakukan segala sesuatu, seseorang harus mencium salib. Pada hari itu, sama sekali dilarang menggunakan paku atau martil, demi mengenang Kristus. Juga, dilarang untuk menggali tanah dengan sekop atau garu karena menurut apa yang diajarkan, ”bumi akan berdarah”. Keesokan harinya, Sabtu pagi, dentang lonceng gereja Katolik dianggap mendatangkan berkat bagi semua orang. Untuk memperoleh manfaatnya, setelah lonceng berdentang, orang-orang diharapkan terjun ke air—ke sungai atau ke laut. Mereka akan memandikan anaknya yang sakit, menggoyang-goyangkan para penderita rakitis, untuk memastikan agar mereka pun memperoleh manfaat.

Ada pula yang mengingat ”pesta perkabungan” yang secara tradisi diselenggarakan sewaktu ada yang meninggal. Ini adalah acara perkabungan yang sangat bising dengan suara tabuhan genderang, tari-tarian, dan nyanyian, serta dikisahkannya hikayat orang Kreol. Orang-orang percaya bahwa ini dapat mengusir jiwa orang mati agar tidak berdiam dan gentayangan di rumah.

Meskipun orang-orang jarang membaca Alkitab, mereka memandang buku itu sebagai benda suci. Di rumah, mereka membiarkannya terbuka pada salah satu mazmur, beserta gunting di atasnya. Diharapkan ini dapat melindungi rumah dari roh-roh jahat.

Mereka juga masih ingat ramuan-ramuan dari dukun. Quimbois adalah istilah bahasa Kreol yang, menurut beberapa orang, berasal dari ungkapan bahasa Prancis ”Tiens, bois!” (”Ayo Minum!”) Ini adalah semacam sindiran bahwa para dukun sering memberi minum ramuan sakti kepada pasien mereka. Meskipun ramuan-ramuan itu sebenarnya tidak sakti, banyak dukun menjadi kaya karena menjualnya. Menyambut ibadat sejati berarti dimerdekakan dari semua takhayul itu.

Perhatian ke Bagian Selatan Pulau

Di sekitar bagian selatan pulau ini terdapat desa-desa pesisir bernama Le Marin, Sainte Anne, dan Le Vauclin, serta sedikit ke pedalaman, Rivière Pilote. Di sinilah tempatnya para wisatawan dapat melihat Martinik sebagai pulau dengan pantai berpasir putih dan laut biru berkoral. Di daerah ini pula telah dihasilkan para pemuji Yehuwa.

Desa pertama yang menerima kesaksian adalah Rivière Pilote. Bagaimana? Dokter Maguy Prudent baru tamat dari sekolah kedokterannya di Prancis. Sebelum pulang ke Martinik, Saksi-Saksi Yehuwa berbicara dengannya tentang maksud-tujuan Allah yang pengasih bagi umat manusia. Jadi, sewaktu ia tiba di Martinik, ia menghubungi Saksi-Saksi Yehuwa, dan Sara Noll memberikan pengajaran Alkitab kepadanya. Pada tahun 1959, ia dibaptis. Sehubungan dengan pekerjaannya di bidang kedokteran, Saudari Prudent berhubungan dengan banyak orang, bahkan dari desa-desa di sekitarnya, dan ia membagikan kepada mereka kebenaran yang ia pelajari dari Firman Allah.

Para penyiar dari Fort-de-France juga datang ke daerah itu untuk memberikan kesaksian. Pada waktu itu, sangat sedikit Saksi yang memiliki mobil, jadi mereka menyewa ”drum” (bus kecil), yang dinamakan demikian karena bentuknya mengingatkan orang akan drum minyak. Mereka mengawali perjalanan sehari penuh mereka dengan memberikan kesaksian kepada orang-orang di desa dan kemudian mengunjungi orang-orang di sisi-sisi bukit yang terjal. Kegiatan hari itu diakhiri dengan Pelajaran Menara Pengawal di bawah pohon mangga yang teduh.

Belakangan, para perintis istimewa dikirim ke wilayah ini. Antara lain terdapat Marie Démas, yang berusia 70 tahun, dari metropolitan Prancis. Keberanian dan selera humornya merupakan teladan yang patut ditiru oleh anak-anak muda. Pada tahun 1963, Séphora Martinon dan Georgette Charles, perintis istimewa, datang untuk membantu para penyiar yang sedikit jumlahnya itu. Akan tetapi, baru pada tahun 1970-an para perintis istimewa dari desa-desa tetangga, yakni Le Vauclin, Le Marin, dan Sainte Anne mulai menuai buah dari kerja keras mereka, dan itu pun setelah bertahun-tahun menabur dan menggarap. Para perintis tersebut antara lain Stéphanie Victor serta Monique dan Eugènie Coutinard di Le Vauclin. Yang patut diperhatikan adalah keberanian yang diperlihatkan Eugènie, yang tetap cacat secara fisik setelah menjalani pembedahan yang ekstensif. Ia berjalan dengan tongkat penyangga dan berbicara dengan susah payah, namun ia terus melayani sebagai perintis biasa.

Pada tahun 1966, dua perintis istimewa diutus ke Rivière Pilote—Anne-Marie Birba dan Arlette Girondin—dan sebuah sidang dibentuk di sini dalam waktu dua tahun. Pada tahun 1970, dua lainnya diutus ke Le Marin—Hélène Pérasie dan Thérèse Padra. Hingga tahun 1975, sejumlah saudara-saudari dari komunitas-komunitas di daerah ini harus menempuh perjalanan yang jauh ke Rivière Pilote untuk menghadiri perhimpunan. Atas berkat Yehuwa terhadap pekerjaan ini, sidang-sidang dibentuk di Le Marin pada tahun 1979, Le Vauclin pada tahun 1984, Sainte Luce pada tahun 1993, dan Sainte Anne pada tahun 1997. Saudara-saudara di semua desa ini sekarang berhimpun di Balai Kerajaan yang indah, dan sidang-sidang yang tumbuh subur menangani kebutuhan rohani orang-orang di daerah ini.

Akomodasi untuk Kebaktian-Kebaktian yang Lebih Besar

Tidak lama kemudian, dirasa perlu untuk mempunyai tempat yang cocok untuk menyelenggarakan kebaktian wilayah dan kebaktian distrik. Ruangan-ruangan yang tersedia pada waktu itu adalah ruang dansa yang disebut paillotes (pondok jerami) karena ruangan itu dikelilingi anyaman daun kelapa. Generasi tua tentunya ingat akan ruang-ruang dansa di Kerlys dan di Serge Rouch, tempat diselenggarakannya kebaktian distrik selama bertahun-tahun. Tetapi belakangan, jenis ruangan ini tidak memadai lagi.

Saudara-saudara kita membangun kerangka baja yang dapat dibongkar-pasang, dan ini memungkinkan kebaktian diselenggarakan di keempat penjuru pulau. Tiap-tiap desa mempunyai lapangan sepak bola. Jadi selama bertahun-tahun, pada musim kebaktian distrik, kami mendirikan Balai Kebaktian bongkar-pasang kami di berbagai lapangan sepak bola di seluruh pulau. Benar-benar kesaksian yang bagus! Dan betapa menganjurkannya bagi Saksi-Saksi yang tinggal di desa-desa tempat kebaktian diselenggarakan!

Untuk kebaktian distrik, kami memanfaatkan kompleks olahraga tertutup yakni Louis Achille Stadium di Fort-de-France. Kami masih mengingat Kebaktian Internasional ”Iman yang Berkemenangan” pada tahun 1978, ketika kami diberi kehormatan mendapat pembicara utama John C. Booth, salah seorang anggota Badan Pimpinan. Dalam salah satu khotbahnya, Saudara Booth mengumumkan, ”Kita sama sekali tidak punya alasan untuk kehilangan iman akan organisasi Yehuwa,” dan ia menambahkan, ”Iman kita yang tidak tergoyahkan akan diupahi sewaktu kita tampil sebagai pemenang. Yehuwa tidak akan pernah mengecewakan hamba-hamba-Nya yang loyal.” Hadirin sejumlah 2.886 orang sangat dianjurkan oleh acara itu.

Drama-Drama Alkitab yang Menarik Perhatian

Drama Alkitab pertama, yang dipentaskan pada tahun 1966, amat berkesan. Tidak ada tape recorder untuk memutar kaset-kaset drama. Para pemain harus menghafalkan dialog-dialog dan mengucapkannya di luar kepala. Drama itu, tentang Yeremia, berlangsung selama hampir dua jam! Kami harus menyelaraskan gerakan tokoh-tokoh yang berbeda dengan penggunaan banyak mikrofon di tiangnya masing-masing. Selain itu, karena terbatasnya jumlah Saksi di Martinik pada waktu itu, beberapa pemain terpaksa bermain rangkap, berganti kostum di antara adegan menurut tokoh yang akan ditampilkan. Benar-benar kerja keras! Namun, hadirin larut dalam semangat.

Selain itu, ada juga suara-suara latar. Di belakang panggung, seorang saudara memukul lembaran seng untuk menirukan suara guntur. Dari atas panggung, sementara lampu-lampu ruangan mati, seorang saudara menggunakan lampu kilat kamera untuk menirukan petir. Di seluruh pulau, berita cepat menyebar. Ketika masyarakat mengetahui tentang drama Alkitab yang kami pentaskan, stasiun televisi mengirim utusannya untuk memfilmkan latihan kami. Mereka menayangkannya dan ini menjadi publisitas yang bagus untuk kebaktian-kebaktian ini.

Meruntuhkan Sekaligus Membangun

Tidak diragukan, kebenaran Firman Yehuwa meruntuhkan banyak benteng kepalsuan dan takhayul di Martinik. Hamba-hamba Yehuwa yang terurap, seperti nabi Yeremia, ditugasi Allah ”untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan”, dan juga ”untuk membangun dan menanam”. (Yer. 1:10) Oleh karena itu, selain menyingkapkan apa yang dikutuk oleh Firman Allah, Saksi-Saksi Yehuwa menggunakan Firman itu guna membantu orang-orang yang rendah hati untuk ”mengenakan kepribadian baru yang diciptakan menurut kehendak Allah dalam keadilbenaran yang benar dan loyalitas”.—Ef. 4:24.

Seraya jumlah orang yang menyambut Firman Allah dengan penghargaan bertambah, pekerjaan pembangunan jenis lain juga dibutuhkan. Jumlah Saksi-Saksi Yehuwa di Martinik sedang bertumbuh—dari 1.000 pada tahun 1975 menjadi 1.500 pada tahun 1984, dan kemudian menjadi 2.000 pada tahun 1986. Hadirin pada perhimpunan-perhimpunan sidang sering kali dua kali lipat jumlah penyiar sidang, dan lebih dari itu pada acara Peringatan tahunan. Untuk menampung para hadirin perhimpunan itu, lebih banyak Balai Kerajaan dibutuhkan. Dua puluh Balai Kerajaan telah dibangun, masing-masing berkapasitas antara 250 hingga 300 orang. Fasilitas yang cocok untuk kantor cabang juga dibutuhkan.

Suatu Langkah Penting

Setelah bertahun-tahun mencari dengan tekun, saudara-saudara menemukan properti di salah satu bukit yang menghadap ke pusat kota Fort-de-France dan mempunyai pemandangan yang bagus ke arah teluk. Sebuah pengalaman yang menakjubkan terjadi di Martinik.

Dari antara saudara-saudara lokal, tidak banyak pekerja terampil yang dapat merelakan diri untuk membantu sepenuh waktu. Maka, Badan Pimpinan menyetujui pengaturan bantuan Saksi-Saksi yang terampil dari luar negeri. Yang pertama kali tiba, pada bulan Februari 1982, adalah Robert Weinzaepflen, seorang arsitek dari Prancis. Beberapa hari kemudian, Sylvain Théberge datang dari Kanada untuk mengawasi lokasi konstruksi. Regu konstruksi itu terkumpul lengkap beberapa minggu kemudian dengan datangnya sekitar 20 lagi saudara-saudari dari Kanada dan beberapa sukarelawan dari Martinik. Saudara-saudara setempat mendukung proyek konstruksi ini bukan hanya melalui pekerjaan yang penuh pengabdian, melainkan juga melalui sumbangan mereka yang murah hati, menurut kesanggupan masing-masing, beberapa bahkan menyumbangkan perhiasan emas mereka. Benar-benar kesaksian yang bagus diberikan sebagai hasil dari semangat, persatuan, dan kasih yang diperlihatkan sehubungan dengan proyek ini!

Apakah semua upaya yang dikerahkan pada konstruksi menyimpangkan perhatian dari pemberitaan kabar baik kepada umum di Martinik pada saat itu? Sebaliknya, terdapat peningkatan yang luar biasa. Pada bulan Maret 1982, terdapat 1.267 penyiar yang aktif dalam dinas pengabaran, 19 dari antaranya adalah perintis biasa, dan 190 lainnya adalah perintis ekstra. Menjelang berakhirnya proyek ini, pada tahun 1984, jumlah penyiar telah meningkat menjadi 1.635, dengan 491 perintis ekstra pada bulan April. Tampak nyata bahwa Yehuwa memberkati upaya-upaya kami.

Namun, kemajuan belum berhenti. Pada acara penahbisan, pada tanggal 22 Agustus 1984, John Barr, seorang anggota Badan Pimpinan, menyampaikan khotbah berjudul ”Bergerak Maju Bersama Organisasi Yehuwa”. Ia menggambarkan kantor cabang dan Rumah Betel baru berlantai empat ini sebagai ”alat yang luar biasa untuk menghadapi pertambahan dan untuk melayani domba-domba Yehuwa dengan lebih baik lagi”. Dari antara para undangan internasional yang menghadiri acara itu terdapat keempat utusan injil yang diusir hampir 34 tahun yang lalu, yang bersukacita melihat bukti berkat-berkat Yehuwa atas hamba-hamba-Nya di pulau kecil di Karibia ini.

Bantuan Berharga dari Pria-Pria Rohani

Tentu saja, bantuan yang diberikan bukan hanya dalam bentuk bangunan saja. Pengawasan yang pengasih juga diberikan. Selama bertahun-tahun, hingga tahun 1977, pekerjaan pengabaran di Martinik berada di bawah pengawasan kantor cabang Guadeloupe. Pada waktu itu para pengawas keliling, gembala-gembala rohani, diutus dari pulau tetangga tersebut. Generasi tua tentu masih ingat Pierre Jahnke dan Nicolas Brisart. Kemudian, mulai tahun 1963, ada Armand Faustini yang secara tetap tentu mengunjungi sidang-sidang.

Setelah mereka, para pengawas keliling lainnya, dengan berbagai gaya dan kepribadian, turut membina sidang-sidang secara rohani. Xavier Noll ikut dalam dinas ini selama bertahun-tahun. Ada pula Jean-Pierre Wiecek bersama istrinya, Jeanine. David Moreau dan istrinya, Marylène, juga mengunjungi sidang-sidang di sini serta di Guyana Prancis, yang pada waktu itu berada di bawah pengawasan kantor cabang Martinik. Ketika kantor cabang didirikan di Guyana Prancis, Saudara Moreau, yang telah mendapat pelatihan di kantor cabang Martinik, dilantik sebagai koordinator Panitia Cabang di Guyana Prancis. Claude Lavigne dan istrinya, Rose Marie, melayani sebagai utusan injil di Kourou, Guyana Prancis, ketika ia menerima pelantikan untuk pekerjaan wilayah di Martinik, dan sekarang mereka melayani sebagai utusan injil di Republik Guinea. Yang lain-lain juga melayani dalam pekerjaan wilayah selama jangka waktu yang lebih singkat, tetapi semua kerja keras dan semangat yang loyal dari mereka tidak akan luntur dari ingatan. Bagi yang telah menikah, istri mereka menjadi rekan yang berharga dan menjadi teladan bagi saudari-saudari di sidang. Sekarang ini, Alain Castelneau dan Moïse Bellay, masing-masing didampingi istrinya, mengunjungi sidang-sidang di dua wilayah, yang tiap sidangnya rata-rata mempunyai sekitar lima penatua dan tujuh hamba pelayanan.

Meskipun Martinik hanyalah pulau kecil, pengawasan yang pengasih telah disediakan bagi hamba-hamba Yehuwa di sini oleh para anggota Badan Pimpinan. Ewart C. Chitty, Daniel Sydlik, Karl Klein, William K. Jackson, Lloyd Barry, dan Milton Henschel, beserta para pengawas zona lainnya, pernah berkunjung ke sini. Kedua belas saudara dan saudari yang tinggal dan bekerja di Rumah Betel, serta seluruh Saksi-Saksi Yehuwa di Martinik, sangat menghargai kunjungan-kunjungan tersebut.

’Yehuwa Melihat Orang-Orang yang Rendah Hati’

Pemazmur Daud menulis, ”Yehuwa itu tinggi, namun orang yang rendah hati ia lihat.” (Mzm. 138:6, NW) Dan Yakobus, sang murid, menambahkan bahwa Allah ”memberikan kebaikan hati yang tidak layak diterima kepada orang yang rendah hati”. (Yak. 4:6) Terdapat berlimpah bukti tentang hal itu di antara orang-orang yang telah Yehuwa rangkul di Martinik.

Christian Bellay dan istrinya, Laurette, yang pada waktu itu tinggal di Fort-de-France, merasakan kebaikan hati yang tidak layak diterima semacam itu. Mereka bingung melihat ada begitu banyak agama di Martinik. Mana yang diperkenan Allah? Sewaktu Christian Bellay membaca Penyingkapan 22:18, 19, ia merasa bahwa ia telah menemukan kunci untuk menjawab pertanyaan itu. Agama mana yang tidak menambahi maupun mengurangi Firman Allah? Setelah mengamati fakta-faktanya, ia menjadi yakin bahwa agama itu adalah Saksi-Saksi Yehuwa. Ia juga sadar bahwa ia harus menerapkan aturan yang sama dalam kehidupannya—tidak menambahi Firman Allah maupun mengurangi, membuang, atau menolak bagian mana pun dari Firman itu. Sampai saat itu, ia telah hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, namun pada tahun 1956, ia mengesahkan ikatan pernikahannya dengan Laurette. Khotbah pernikahan yang diberikan pada kesempatan itu adalah yang pertama di Martinik yang disampaikan oleh seorang Saksi. Pada tahun berikutnya, mereka dibaptis di Sungai Madame, Fort-de-France. Saudara lelakinya, Leon, ayah dan ibunya, serta saudara lelaki Laurette, Alexandre, semuanya menerima kebenaran. Moïse Bellay, salah seorang putra Christian dan Laurette, sekarang melayani sebagai pengawas wilayah. Betapa berlimpahnya kebaikan hati yang tidak layak diterima dari Yehuwa yang dinikmati keluarga itu!

Tindakan kebaikan hati yang sederhana terhadap hamba-hamba Yehuwa dapat mengundang berkat bagi orang yang berbaik hati tersebut. (Mat. 10:42) Demikianlah halnya dengan Ernest Lassus, yang memiliki bengkel perhiasan di Fort-de-France. Ia menerima majalah Sedarlah! secara tetap tentu, bukan karena ia sendiri berminat, tetapi sekadar ungkapan kebaikan hati. Pada suatu hari, Saksi yang mengantarkan majalah itu menjelaskan bahwa hanya Yesus Kristus, Pangeran Perdamaian, yang akan dapat memberlakukan keadilan di atas bumi. Inilah yang Ernest Lassus inginkan. Ia setuju untuk dikunjungi oleh Saksi itu di rumahnya. Pengajaran Alkitab dimulai. ”Sekarang,” katanya, ”saya telah mendapatkan semua yang saya inginkan. Sebagian besar anak-anak saya berada dalam kebenaran; salah seorang putri saya berada dalam dinas perintis, seorang putra saya adalah seorang perintis dan juga penatua, dan putra sulung saya adalah salah seorang anggota keluarga Betel Martinik.”

Bertekad untuk Melayani Yehuwa

Sungguh menganjurkan melihat anak-anak muda berpaling pada Yehuwa dan memperlihatkan penghargaan mereka akan bimbingan-Nya yang pengasih. Banyak dari antaranya merasa bingung akibat tidak adanya bimbingan yang sehat di dunia ini. Namun, Firman Allah membantu mereka mempelajari tujuan hidup yang sebenarnya. (Pkh. 12:13) Seraya mereka mengetahui isi Alkitab, mereka mulai memahami bahwa manfaat yang sejati dihasilkan dari mengindahkan nasihat yang dicatat di Yesaya 30:21, yakni, ”Telingamu akan mendengar perkataan ini dari belakangmu: ’Inilah jalan, berjalanlah mengikutinya.’”

Salah seorang dari antaranya, seorang gadis berusia 10 tahun bernama Claudia, mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Saksi yang mengunjungi keluarganya. Karena ayahnya sedang sakit, pengajaran yang diberikan kepada ibunya menjadi tidak tetap tentu, namun gadis ini terus belajar dan menerapkan nasihat Alkitab yang dipelajarinya. Ia membakar buku katekismus serta buku tuntunan Misanya, dan ia menghancurkan semua patung-patung agamanya. Setelah ayahnya meninggal, ia menolak mengenakan pakaian kabung warna hitam dan ia memberikan kesaksian kepada orang-orang yang ingin mendoakan jiwa ayahnya. Dengan memperlihatkan semangat seperti gadis Israel yang menjadi pelayan istri Naaman, ia menganjurkan ibunya untuk menghadiri perhimpunan sidang. (2 Raj. 5:2-4) Di Balai Kerajaan, gadis ini mendaftar untuk mengikuti Sekolah Pelayanan Teokratis. Ia segera ikut serta dalam dinas pengabaran, dan pada tahun 1985, pada usia 12 tahun, ia dibaptis, bersama dengan ibunya. Sang ibu mengakui bahwa kemajuan rohaninya sendiri banyak dipengaruhi oleh putrinya.

Beberapa remaja tanpa gentar memanfaatkan kesempatan untuk memberikan kesaksian di sekolah. Seorang guru bahasa Prancis di Le François menugasi anak-anak didiknya untuk melakukan penelitian terhadap berbagai agama di Martinik. Roselaine, yang pada waktu itu berusia 18 tahun, dan seorang rekan siswa mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksian yang baik, menggunakan buku Pencarian Manusia Akan Allah. Mereka menempatkan sekitar 20 buku kepada siswa-siswa dan juga guru.

Meskipun persoalan-persoalan yang dibicarakan di sekolah dipandang sangat kontroversial, Saksi-Saksi muda di Martinik angkat suara untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang luhur dari Firman Yehuwa. Mary-Suzon Monginy mengisahkan pengalamannya, ”Suatu hari, sewaktu membahas masalah ledakan penduduk, sang guru menyebutkan metode modern untuk pengendalian kelahiran. Pertanyaan tentang aborsi muncul dan langsung mengarah pada perdebatan sengit. Saya meminta izin kepada guru untuk menyajikan beberapa bahan pada hari berikutnya guna menguraikan pandangan saya mengenai topik itu. Ia setuju, dan selama hampir dua jam, kami mengadakan pembahasan dengan seisi kelas.” Bahannya diambil dari majalah Sedarlah!, termasuk artikel berjudul ”Buku Harian Seorang Anak yang Belum Dilahirkan”, dalam terbitan 22 Agustus 1980, edisi Prancis. Hasilnya, sikap sebagian siswa di kelas terhadap Saksi-Saksi Yehuwa mulai membaik.

Martinik mempunyai populasi berusia muda. Remaja-remaja pada umumnya tersedot ke dalam kesia-siaan sistem ekonomi yang secara tidak masuk akal sangat mementingkan harta materi. Namun, remaja-remaja Saksi menghargai nilai-nilai rohani. Betapa menghangatkan hati melihat Balai-Balai Kerajaan di Martinik penuh dengan anak-anak muda yang ingin mengenal Yehuwa dan jalan-jalan-Nya.

Dimerdekakan dari Perbudakan Obat Bius

Sebagaimana halnya di negeri-negeri lain tempat materialisme mengimpit nilai-nilai rohani, banyak remaja di Martinik telah merusak kesehatan dan menyia-nyiakan kehidupan dengan menggunakan kokain murni dan obat-obat bius yang mencandukan lainnya. Akan tetapi kekristenan sejati telah memerdekakan beberapa orang dari praktek-praktek yang merusak ini. Paul-Henri dan Daniel, dari Fort-de-France, dulu adalah anggota komunitas Rastafaria, dan di sana mereka bebas mengkonsumsi mariyuana. Para anggota Rastafaria mempunyai penjelasan sendiri tentang apa yang Penyingkapan katakan mengenai ’daun pohon-pohon untuk penyembuhan bangsa-bangsa’. Tetapi mereka bahkan tidak berupaya menjelaskan seluruh buku dalam Alkitab. Namun, Paul-Henri dan Daniel ingin memahaminya, dan Saksi-Saksi Yehuwa menawarkan diri untuk membantu mereka.

Paul-Henri dan Daniel mengatakan, ”Kami dulu merasa enggan untuk menghadiri perhimpunan Saksi-Saksi Yehuwa, khawatir kami akan ditolak karena penampilan fisik kami yang agak menjijikkan.” Namun, ketika mereka hadir, mereka terkejut melihat kebaikan hati, kehangatan, dan ketulusan tanpa pura-pura di antara orang-orang yang mereka jumpai di Balai Kerajaan. Pada pekan berikutnya, mereka memotong rambut dan mulai berpakaian dengan lebih sopan. Dalam waktu singkat, mereka juga berhenti merokok. Tak lama kemudian, mereka juga membagikan kabar baik kepada orang-orang lain.

Paul-Henri menambahkan, ”Pada suatu hari sewaktu saya melakukan kesaksian di jalan, seorang inspektur polisi yang dengannya saya pernah berurusan karena menggunakan obat bius, berseru dengan bingung, ’Lho, itu kan Grosdésormaux!’ Saya mengeluarkan dari tas saya, bukan obat bius, melainkan Alkitab dan majalah, yang diterimanya dengan sukacita, memberi saya ucapan selamat dan menganjurkan saya untuk meneruskan kegiatan ini. Itulah yang saya lakukan. Saya dibaptis pada tahun 1984 dan memasuki barisan perintis biasa pada tahun 1985. Sekarang, setelah menikah dan menjadi kepala keluarga, saya melayani sebagai penatua di sidang setempat. Teman saya, Daniel, juga membuat kemajuan serupa dalam kebenaran.”

Bukan hanya anak muda saja yang menginginkan jawaban atas problem-problem kehidupan. Orang-orang dewasa pun demikian. Dengan maksud membantu orang-orang yang hatinya terbuka, antara bulan April dan Mei 1995, kantor cabang menyediakan 250.000 lembar Berita Kerajaan berjudul ”Mengapa Kehidupan Begitu Penuh Problem?” untuk dibagikan. Karena jumlah penduduk pulau ini hanya 330.000 jiwa, itu berarti bahwa setiap orang dewasa, dan orang muda juga, akan dapat mengambil manfaat dari berita penting ini. Ini membuka kesempatan untuk banyak diskusi yang menghasilkan buah.

Seorang pengawas wilayah melaporkan bahwa seorang wanita dari daerah luar kota, setelah membaca selebaran ini, berupaya menelepon kantor cabang Lembaga. Karena terburu-buru, ia memutar nomor yang salah, namun nomor itu pun ternyata tidak salah tempat. Itu adalah nomor telepon Balai Kerajaan di Fort-de-France. Pada waktu itu, para penyiar sedang bersiap-siap untuk keluar dalam dinas bersama pengawas wilayah. Wanita itu memohon, ”Tolong utus salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa kepada saya secepat mungkin. Saya ingin belajar Alkitab.” Keesokan harinya, ia menerima bantuan yang dimintanya.

Akhirnya Kami Mempunyai Balai Kebaktian

Menemukan akomodasi untuk kebaktian kami menjadi masalah serius. Jumlah hadirin terus bertambah. Selain itu, ruang olahraga di stadion yang selama ini kami gunakan untuk kebaktian tidak memadai lagi. Apa yang dapat dilakukan?

Pada waktu ini, seorang penatua dari Sidang Rivière Salée sedang mencari tanah untuk membangun Balai Kerajaan. Di luar dugaan, kepadanya ditawarkan sebuah lokasi seluas 6 hektar—jauh lebih luas daripada yang dibutuhkan untuk sebuah Balai Kerajaan! Untungnya, lokasi ini terletak di bagian tengah pulau. Di properti tersebut, terdapat semacam gudang-baja tua, yang meskipun sudah agak usang, namun dapat digunakan sebagai fasilitas kebaktian sementara. Pada tahun 1985, kami menyelenggarakan kebaktian kami yang pertama di sana. Hadirinnya sejumlah 4.653 orang, dan ini berarti kenaikan 600 orang dibandingkan dengan tahun lalu.

Pada tahun 1992, dimulailah pembangunan gedung baru. Sejumlah saudara-saudari dari Italia datang, atas biaya sendiri, untuk membantu konstruksi. Saksi-Saksi setempat dengan murah hati menyumbangkan waktu dan uang mereka. Proyek itu sekarang telah rampung. Balai Kebaktian yang indah ini dapat menampung 5.000 orang. Sebenarnya, balai ini adalah auditorium terbesar di seluruh Martinik.

Kami tidak perlu lagi menunda kebaktian—sering kali pada saat-saat terakhir—karena pertandingan sepak bola yang tertunda. Selain itu, kerja keras untuk memasang, membongkar, mengangkut, dan menyimpan kerangka baja bongkar-pasang juga telah berakhir. Balai Kebaktian kami, yang terletak di lingkungan yang dikelilingi bunga-bungaan, palem raja, dan pohon flamboyan, mendatangkan hormat bagi Yehuwa.

Organisasi yang Memuji Yehuwa

Yehuwa telah mengatur segalanya sehingga selama lima puluh tahun terakhir, ibadat sejati berakar dan berkembang di Martinik. Melalui organisasi-Nya, Ia telah menyediakan pelatihan bagi orang-orang yang akan dipercayakan dengan pengawasan. Xavier Noll, beserta istrinya, menerima pelatihan utusan injil dari Sekolah Gilead kelas ke-31. Belakangan, Saudara Noll mendapat pelatihan lebih lanjut selama sepuluh bulan di Gilead pada tahun 1964. Pelatihan ini terbukti sangat berguna sewaktu Badan Pimpinan memutuskan untuk mendirikan kantor cabang Lembaga Menara Pengawal di Martinik pada bulan Februari 1977.

Anggota-anggota pertama Panitia Cabang adalah Xavier Noll, selaku koordinator, Valentin Carel, dan Gérard Trivini. Belakangan, Armand Faustini, yang telah bertahun-tahun melayani sebagai pengawas keliling, dilantik. Setelah Saudara Trivini meninggal dan Saudara Carel pindah ke Prancis, Henri Ursulet dilantik pada bulan September 1989, untuk menjadi anggota ketiga Panitia Cabang. Ia lahir pada tahun 1954, sewaktu Xavier dan Sara Noll tiba dari Prancis untuk membaktikan diri dalam pelayanan di Martinik. Sejak bayi, Henri mendapat manfaat dari teladan iman ibunya, seperti halnya Timotius, rekan rasul Paulus.—2 Tim. 1:5.

Pada tahun 1975, terdapat 1.000 penyiar dan total 15 sidang di seluruh pulau. Pada tahun 1997, dicapai puncak penyiar sejumlah lebih dari 4.000. Mereka semua melayani 46 sidang. Selama 20 tahun terakhir, kami telah mencapai rata-rata kenaikan tahunan sebesar 7 persen.

Kini, terdapat perbandingan 1 Saksi untuk 90 penduduk di Martinik. Ribuan pengajaran Alkitab bersama para peminat sedang dipimpin. Pekerjaan Yehuwa termasyhur di seantero pulau. Saksi-Saksi-Nya juga dikenal baik. Semakin sulit orang menjelekkan Saksi-Saksi karena ada saja orang-orang di sekitar situ yang akan menghardik si pemfitnah. Kesaksian dilakukan di jalan, di taman-taman umum, di pasar, dan di lapangan parkir rumah sakit dan pusat perbelanjaan besar, dan ini membuat berita Kerajaan tetap dikenal oleh masyarakat. Dan apabila orang-orang di rumah mendengar orang berseru ”To-to-to, il y a du monde?” (”Permisi, apakah ada orang di rumah?”) mereka langsung tahu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa datang untuk berbicara tentang Kerajaan Allah.

Di beberapa bagian pulau, tidak jarang daerah dikerjakan seminggu sekali. Apabila para penyiar keluar dalam dinas pengabaran, mereka mungkin hanya ditugasi mengerjakan 10 atau 15 rumah saja. Di daerah semacam itu, mereka memberikan kesaksian kepada orang-orang yang telah berulang-kali mendengarkan berita kita. Ini menuntut agar para penyiar menguasai beragam kata pengantar dan tema untuk dibahas bersama penghuni rumah. Mereka perlu secara efektif menggunakan seluruh persediaan dan saran yang disediakan oleh budak yang setia dan bijaksana. Hingga belum lama ini, kesaksian di jalan tidak banyak dilakukan di daerah-daerah berbahasa Prancis, namun sekarang ini menjadi aspek pelayanan yang menarik dan produktif.

”Si Bon Dié Lé”

Orang-orang Martinik sering menandaskan kalimat mereka dengan ungkapan ”Si bon Dié lé” (”Kehendak Allah”). Tentu saja, kehendak Allah dinyatakan dengan jelas di dalam Alkitab. Mazmur 97:1 mengatakan, ”[Yehuwa] adalah Raja! Biarlah bumi bersorak-sorak, biarlah banyak pulau bersukacita!” Mazmur 148:13 menambahkan, ”Biarlah semuanya memuji-muji [Yehuwa].” Dan melalui nabi-Nya Yesaya, Yehuwa mengulurkan undangan yang memikat ini, ”Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, . . . damai sejahteramu akan seperti sungai.” (Yes. 48:18) Melalui kebaikan-Nya, Allah menghendaki ”agar segala macam orang diselamatkan dan sampai kepada pengetahuan yang saksama akan kebenaran”. (1 Tim. 2:4) Allah juga menghendaki agar ciptaan-Nya dimerdekakan, dilepaskan dari belenggu dosa dan kematian, dan agar seluruh bumi dibuat menjadi firdaus yang dihuni oleh orang-orang dari segala ras dan warna kulit yang bersatu padu dalam ibadat kepada Pencipta mereka. (Rm. 8:19-21) Kesempatan untuk mengambil manfaat dari maksud-tujuan yang pengasih itu masih terbuka bagi orang-orang Martinik.

Martinik telah banyak berubah selama sepuluh tahun terakhir ini, sebagaimana halnya di banyak tempat lain di planet ini. Obat bius, materialisme, dan kebobrokan moral telah mengubah lingkungan yang dulunya mirip firdaus ini. Firman Allah menubuatkan perubahan sikap manusia yang dihasilkan oleh kondisi-kondisi ini. (2 Tim. 3:1-5) Namun, kondisi-kondisi ini bukanlah kehendak Allah. Sebaliknya, Yehuwa terus menarik keluar dari masyarakat orang-orang yang Ia lukiskan sebagai ”barang yang indah-indah” dan mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai bagian suatu masyarakat global, umat-Nya, yang akan mendiami Firdaus. (Hag. 2:8) Mereka bukanlah orang yang dengan masa bodoh tidak berbuat apa-apa karena percaya bahwa jika itu kehendak Allah, itu akan terjadi juga. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang menyelidiki Alkitab dengan saksama untuk mencari tahu apa kehendak Allah itu dan kemudian, dimotivasi oleh kasih, melakukan segala sesuatu yang menyenangkan Dia dengan penuh gairah.—Kis. 17:11; Tit. 2:13, 14.

[Peta di hlm. 192]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

Empat puluh enam sidang tersebar di daerah-daerah berikut ini

SAINT PIERRE

CASE PILOTE

SCHOELCHER (2)

FORT-DE-FRANCE (14)

LES TROIS ÎLETS

AJOUPA BOUILLON

LE MORNE ROUGE

GROS MORNE

VERT PRÉ

SAINT JOSEPH (2)

LE LAMENTIN (3)

DUCOS

SAINT ESPRIT

RIVIÈRE SALÉE

RIVIÈRE PILOTE

SAINTE LUCE

BASSE POINTE

LE LORRAIN

MARIGOT

SAINTE MARIE

TRINITÉ (2)

LE ROBERT (2)

LE FRANÇOIS (2)

LE VAUCLIN

LE MARIN

SAINTE ANNE

[Gambar penuh di hlm. 162]

[Gambar di hlm. 167]

Xavier dan Sara Noll, pada tahun kedatangan mereka di Martinik

[Gambar di hlm. 175]

Hamba-hamba Yehuwa tempo dulu yang loyal: (1) Leon Bellay, (2) Jules Nubul, (3) Germain Bertholo, (4) Philippe Dordonne, (5) Roger Rosamond, (6) Christian Bellay, (7) Albert Nelson, (8) Vincent Zébo, (9) Vincent Muller

[Gambar di hlm. 177]

Para wanita yang memberikan teladan sebagai guru-guru Firman Allah: (1) Stella Nelzy, (2) Victor Fousse (sekarang Lasimant), (3) Léonide Popincourt, (4) Andrée Zozor, (5) Emma Ursulet

[Gambar di di hlm. 183]

Balai Kerajaan milik sendiri yang pertama (di Fort-de-France)

[Gambar di hlm. 186]

Keluarga Moutoussamy, semuanya bergabung dalam sidang Kristen

[Gambar di hlm. 191]

Gunung Pelée, dengan kota Saint Pierre di sepanjang perairan

[Gambar di hlm. 199]

Keluarga Betel di Martinik

[Gambar di hlm. 207]

Akhirnya kami punya Balai Kebaktian—di Rivière Salée

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan