PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g 1/91 hlm. 9-13
  • ”Misi Kami, Misi Bunuh Diri”

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • ”Misi Kami, Misi Bunuh Diri”
  • Sedarlah!—1991
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Dalam Misi Bunuh Diri
  • Pelatihan Angkatan Laut
  • Serangan Bunuh Diri
  • Serangan Udara!
  • Menemukan Allah yang Patut Dipercaya
  • Dari Misi Maut Menuju Upaya Mengejar Damai
    Sedarlah!—2002
  • Dari Dinas Sunyi ke Dinas Suci
    Sedarlah!—2009
  • ”Saya Pernah Bertekad untuk Mati demi Kaisar”
    Sedarlah!—1992
  • Bunuh Diri​—Tulah bagi Kaum Muda
    Sedarlah!—1998
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1991
g 1/91 hlm. 9-13

”Misi Kami, Misi Bunuh Diri”

FAJAR menyingsing tanggal 15 Agustus 1945, ketika kami berada jauh di Lautan Pasifik bagian selatan. Saya sedang dalam misi sebagai anggota Korps Serangan (Bunuh Diri) Khusus Kaiten, di atas kapal selam A-367. Ketika pengumuman Kaisar untuk menyerah terdengar di radio, setiap orang hanya berdiri kebingungan di tempat masing-masing. Perang Pasifik telah usai.

Sepuluh hari kemudian kami tiba kembali di Jepang. Kami semua yang telah menjadikan Angkatan Laut sebagai karir tidak dapat mengerti mengapa pelaut-pelaut yang lain kelihatan begitu gembira didemobilisasi dan justru kalah perang begitu saja! Betapa menjengkelkan melihat orang bersukacita atas berakhirnya perang padahal begitu banyak pria muda telah tewas membela negara mereka!

Dalam Misi Bunuh Diri

Saya mengenang kembali waktu kira-kira delapan bulan yang lalu, setelah saya lulus Sekolah Anti Kapal Selam dan Sekolah Kapal Selam Angkatan Laut. Itu terjadi tanggal 25 Desember 1944, dan saya baru menerima perintah untuk bekerja di kapal selam A-367. Pada waktu kami di Yokosuka di atas kapal pada Hari Tahun Baru 1945, kami diperintahkan untuk ikut serta dalam gerakan serangan khusus. Kata-kata ”serangan khusus” mengartikan serangan bunuh diri, persis seperti kamikaze di udara. Kami dinamakan Pasukan Shimbu dari Korps Serangan Khusus Kaiten.

Untuk menyiapkan gerakan tersebut, kami meluncur ke Kure, sebuah pelabuhan angkatan laut utama dekat Hiroshima, mengubah bentuk kapal selam agar dapat menampung kaiten. Kaiten adalah torpedo yang diubah, mempunyai sebuah ruang kontrol yang sempit, cukup untuk satu orang di tengah-tengahnya. Setelah kaiten diluncurkan dari geladak atas kapal selam, operator mengemudikannya agar mengenai sasaran, sehingga dapat disebut torpedo manusia. Sekali diluncurkan, tidak akan kembali. Mengenai sasaran berarti kematian seorang pahlawan, sedangkan meleset akan berarti kematian seekor anjing, sebagaimana orang Jepang menyebutnya bila orang mati dengan sia-sia.

Mati membela negara, pikir kami, merupakan kehormatan yang mulia. Ketika perwira komandan kami mengundang para sukarelawan untuk maju ke depan menjadi anggota pasukan bunuh diri, semua dengan kompak melangkah maju. Walaupun saya bukan operator kaiten, semua awak kapal dianggap anggota korps serangan bunuh diri. Suatu kehormatan yang luar biasa!

Setelah dilatih untuk peluncuran kaiten, kami berangkat dalam misi membawa lima kaiten yang disusun pada geladak atas. Sementara meluncur menuju Pasifik melintasi Laut Dalam, saya berdiri di atas geladak dan melihat keindahan permulaan musim panas. Saya bertanya-tanya dalam hati hadiah apa yang menanti kelima tabung kematian ini dan mengingat kembali kenangan manis dan pahit di hari-hari yang saya jalani sebagai siswa angkatan laut.

Pelatihan Angkatan Laut

Karena sejak kecil mendambakan Angkatan Laut sebagai karir, saya masuk Sekolah Ranjau Angkatan Laut ketika berusia 18 pada tahun 1944. Selama dua bulan pertama, pelatihan terpusat pada dasar-dasar untuk pertempuran di darat dan kursus kilat mengenai pengetahuan umum praktis Angkatan laut. Setelah itu, sekolah diganti namanya menjadi Sekolah Anti Kapal Selam Angkatan Laut. Pendidikan mengenai cara pengoperasian hidrofon [alat komunikasi dalam air] dan sonar mulai sehingga kami dapat segera dikirim ke baris depan peperangan dalam keadaan benar-benar terlatih.

Dua hari pertama di sekolah, kami diperlakukan seperti tamu. Para instruktur menerangkan dengan ramah kepada kami apa pun yang tidak kami pahami. Kemudian, pada hari ketiga, tiba ”penyesuaian” pertama. Tepat setelah petugas jaga berjalan keliling pada waktu kami pergi tidur, kami mendengar perintah seorang instruktur, ”Semua bangun! Semua berbaris di geladak!” Dengan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, kami berlari ke sana ke mari tak tentu arah. ”Ayo bergerak! Ayo cepat! Berbaris!” Bentakan bertubi-tubi dilontarkan kepada kami. Setelah akhirnya kami berbaris, kami diberi tahu, ”Kalian semua membutuhkan semangat juang.” Dan mulailah ”penyesuaian” itu. Dalam Angkatan Laut, ”penyesuaian” berarti pemukulan. Mula-mula kami diperintahkan untuk berdiri dengan kaki terentang dan mengatupkan gigi-gigi supaya kami tidak akan jatuh atau melukai bagian dalam mulut kami. Kemudian menyusul pukulan bertubi-tubi di wajah kami.

Penyesuaian diberikan atas dasar tanggung jawab bersama. Jika seorang anggota suatu divisi membuat kesalahan, maka seluruh bagian menerima penyesuaian. Sering kali digunakan tongkat semacam pemukul baseball untuk memukul pantat kami. Ini disebut ”tongkat pemompa semangat tentara”. Diharapkan penyesuaian akan menanamkan semangat kerja tim, yang sangat dibutuhkan di laut. Setiap kali mengalami penyesuaian, saya berpikir apakah ini sungguh-sungguh akan berguna dalam pertempuran yang sebenarnya.

Setelah lulus dari Sekolah Anti Kapal Selam, saya masuk Sekolah Kapal Selam. Sekarang kami belajar untuk berada di pihak sebaliknya, diberikan kuliah dan pelatihan mengenai bagaimana kita dari sebuah kapal selam dapat menangkap suara kapal yang ada di permukaan laut dan menyerangnya. Pelatihan di sini bahkan lebih keras, mengikuti apa yang disebut Angkatan Laut Jepang sebagai suatu kebiasaan ”Senin-Senin-Selasa-Rabu-Kamis-Jumat-Jumat”. Dengan kata lain—tidak ada liburan akhir pekan.

Serangan Bunuh Diri

”Kami sekarang telah mengosongkan Saluran Bungo,” raung pengeras suara, menyentakkan saya dari kenangan saya. ”Kami akan memandu di permukaan sampai besok pagi. Kami harap kalian melaksanakan misi ini sebagai Pasukan Shimbu dari Korps Serangan Khusus Kaiten. Berusahalah sebaik-baiknya pada tempat-tempat yang ditugaskan.” Misi kami harus menyergap dan menghancurkan kapal-kapal laut yang melewati rute-rute perbekalan antara Okinawa dan Guam. Selama empat hari kami menyelam pada waktu subuh dan muncul ke permukaan menjelang malam.

Pada pukul 14:00, atau pukul 2:00 siang, pada hari kelima, kami mendeteksi suatu sumber suara. Kami bertahan pada kedalaman 45 kaki [14 meter] dan terus mendekat sambil mengamati sasaran melalui periskop. Tiba-tiba, perintah dikeluarkan satu demi satu.

”Masing-masing ke tempatnya!”

”Kaiten-kaiten siap!”

”Para operator ke pesawat!”

Sementara operator-operator bergegas melewati lorong sempit sambil mengikatkan sabuk kepala Matahari-Terbit para anggota awak merapatkan diri ke dinding, memberi salam perpisahan dengan sikap hormat.

Para operator itu berlari menaiki tangga menuju saluran komunikasi (jalan menuju kokpit torpedo dari bagian dalam kapal selam), membalikkan tubuh di palka kapal, dan memberi salam sambil berteriak, ”Terima kasih, semua, atas pelayanan yang diberikan kepada kami. Kami akan melakukan yang terbaik!” Mereka yang berdiri di bawah terdiam, wajah mereka tegang.

”Masing-masing pesawat siap untuk peluncuran!” Suara pemberi aba-aba bergetar ketika ia menyampaikan perintah sang kapten.

”Sasaran-sasaran: sebuah kapal perbekalan yang besar dan sebuah kapal perusak,” jelas kapten. ”Pesawat No. 1 rusak. Jadi No. 2 dan No. 3 akan menyerbu sasaran-sasaran tersebut. Yang lain siap sedia.”

”Pesawat No. 2, berangkat!”

”Pesawat No. 3, berangkat!”

”Gedebuk! Gedebuk!” Tali kawat pengikat kaiten-kaiten itu lepas dan menghantam geladak. Pesawat No. 2 meluncur cepat, dan sementara ledakan yang mengguruh masih bergema, pesawat No. 3 menyusul. Wajah kekanak-kanakan kedua operator itu terbersit dalam pikiran saya. Saya memusatkan perhatian pada pekerjaan saya yaitu mengikuti jejak kaiten-kaiten tersebut dengan hidrofon.

Ada yang bergumam, ”Sudah waktunya mereka mengenai sasaran.” Kaiten-kaiten itu baru diluncurkan 15 menit yang lalu, tetapi rasanya seperti satu jam atau lebih. ”Buu—uum!” bunyi gemuruh ledakan, yang segera disusul oleh lainnya.

”Bintara Laut Chiba mengenai sasaran!”

”Bintara Laut Ono mengenai sasaran!”

Keheningan mencekam. Tidak seorang pun mengeluarkan suara, bahkan batuk pun tidak. Beberapa orang menggenggam kedua tangan mereka dalam doa menghadap ledakan tersebut. Air mata menetes pada wajah para awak yang berdiri membisu. Benar-benar suatu adegan yang luar biasa hening untuk hasil yang begitu cemerlang.

Di antara harta milik pribadi Bintara Laut Ono, kami menemukan sebuah syair perpisahan yang dikarangnya sendiri, yang menurut tradisi Jepang seseorang akan meninggalkan sebuah syair karya sendiri bila ia mengharapkan kematian. Ia menulis, ”Bila pohon-pohon ceri Jepang Kuno bermekaran, dan daun-daun bunga berhamburan, mereka berhamburan jauh ke dalam laut.” Usianya 19 tahun.

Serangan Udara!

Kami terus mencari musuh, menyelam sebelum matahari terbit dan muncul ke permukaan setelah matahari tenggelam. Setelah dua minggu pencarian tanpa hasil, kapten mengumumkan bahwa kami akan segera kembali ke Kure. Seluruh awak sangat gembira. Sementara kapal selam berlabuh di Kure untuk diperbaiki dan untuk mengisi kembali perbekalan, para awak bermalas-malasan di kolam-kolam air panas setempat.

Hari ini tanggal 15 Juni 1945. Kami ditempatkan di dermaga dekat Gudang Senjata Angkatan Laut sambil bersiap-siap untuk berangkat dalam misi kami berikutnya. Sirene peringatan serangan udara berbunyi. Tak ada waktu untuk bersiap-siap. Sebuah formasi yang terdiri dari banyak pesawat tempur B-29 terbang rendah ke arah gudang senjata. Saya melompat dari geladak atas ke dermaga untuk melepaskan tambatan di bagian depan. Saya berteriak kepada Bintara Laut Mohri, yang baru saja kembali, untuk melepaskan tambatan di bagian belakang. Kapal selam lambat laun menjauh dari dermaga, dan kami tertinggal di belakang.

Kami mencari perlindungan dalam suatu tempat perlindungan dekat dermaga, tetapi tempat itu sudah penuh dengan para buruh gudang senjata. Pada waktu kami berdiri di tempat jalan masuk, sebuah bom jatuh, dan kami terlempar ke luar. Kami merasa akan berbahaya bila kami tinggal terus di situ dan memutuskan untuk lari ke sebuah gua yang digali di sebuah bukit di belakang gudang senjata. Kami mengukur selang waktu tiga menit antara serangan pesawat tempur yang satu dengan yang lainnya. Segera setelah salah satu kelompok pesawat tempur berlalu, kami cepat-cepat keluar dan lari ke bukit. Sebuah bom meledak di belakang saya ketika saya mencapai gua, dan saya terlempar ke dalam. Untung, saya tidak cedera. Bintara Laut Mohri, yang mengikuti saya, tidak kelihatan. Segera sesudah serangan udara itu selesai, saya mencari dia sambil menyusuri jalan pulang ke dermaga. Bom-bom telah membuat banyak lobang besar di jalan itu. Saya mencari kawan saya itu di mana-mana tetapi sia-sia.

Belum pernah saya melihat begitu banyak orang mati dan cedera. Keadaan yang menyedihkan dan kesia-siaan perang memukul saya lebih hebat daripada sebelumnya. Tidak mungkin ada Allah ataupun Budha, saya pikir. Jika mereka ada, pasti mereka tidak akan pernah mengizinkan kekejaman demikian.

Menemukan Allah yang Patut Dipercaya

Baru dua bulan setelah serangan udara itu saya harus menerima kekalahan Kaisar Jepang pada hari musim panas di Pasifik Selatan. Setelah melakukan pekerjaan-pekerjaan sambilan, saya kembali ke rumah pada tanggal 20 November 1945. Dua hari kemudian saya memperoleh pekerjaan di Jawatan Kereta Api Nasional Jepang. Selama 30 tahun berikutnya, saya bekerja sebagai kondektur dan petugas stasiun di banyak kota di Pulau Shikoku. Akibat hal-hal yang telah saya alami selama perang, gagasan-gagasan ateis menguasai pikiran saya.

Pada tahun 1970, saya ditugaskan untuk bekerja di Stasiun Sako, yang jauhnya tiga jam perjalanan dan terletak di daerah lain yang bersebelahan. Pada waktu pulang pergi naik kereta api, saya membaca surat kabar dan majalah. Setiap pagi sewaktu saya membuka tas, saya menemukan majalah Menara Pengawal dan Sedarlah! di pojok atas. Istri saya baru saja menjadi salah seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa dan ia telah menaruh majalah-majalah itu di sana. Mula-mula saya marah melihatnya dan melemparkannya ke atas rak tempat menaruh koper. Saya menyimpan rasa bermusuhan terhadap agama dan dengan keras menentang agama Kristen yang dianut istri saya. ”Jangan sekali-kali kamu taruh majalah-majalah itu di tas saya lagi,” teriak saya pada waktu pulang ke rumah. Tetapi pada keesokan harinya, majalah-majalah itu ada di situ lagi.

Suatu hari saya memperhatikan seseorang mengambil majalah-majalah itu dari rak dan mulai membacanya. ’Apa yang begitu menarik tentang majalah-majalah itu?’ saya berpikir. Setelah melihatnya beberapa kali terjadi, suatu hari saya iseng-iseng melihat-lihat majalah Menara Pengawal setelah selesai membaca surat kabar. Saya tidak dapat mengerti betul apa yang tertulis di dalamnya, tetapi majalah Sedarlah! menarik bagi saya. Baru membacanya satu kali, saya merasa ada sesuatu yang berbeda di dalamnya, dan sejak itu saya membaca kedua majalah itu. Ketahuilah, saya tidak membacanya di rumah karena pendirian saya sebagai penentang, tetapi lambat laun saya bisa menghargai mengapa istri saya pergi mengabar setiap hari.

Sejak awal tahun 1975, kondisi fisik saya merosot, dan saya pensiun pada bulan April tahun itu. Para dokter menemukan kanker dalam kerongkongan saya. Sewaktu saya berada di rumah sakit, seorang pria Saksi mengunjungi saya dan memberikan sebagai hadiah Terjemahan Dunia Baru dari Kitab-Kitab Yunani Kristen dan buku Begini Sajakah Hidup Ini? Memang saya sudah merasa bosan, dan karena Alkitab diberikan kepada saya sebagai hadiah, kini saya mempunyai alasan untuk membacanya tanpa sembunyi-sembunyi.

Setelah saya meninggalkan rumah sakit, orang itu segera mengunjungi saya. Pada dua kunjungan pertama kami hanya sekedar mengobrol. Kami berbicara tentang pengalaman-pengalaman perang. Tetapi pada kunjungan yang ketiga, ia menawarkan kepada saya suatu pengajaran Alkitab, yang saya terima. Setelah mengatasi pemikiran ateis yang merupakan pengaruh yang berlanjut dari pengalaman perang, saya akhirnya dibaptis di suatu kebaktian distrik pada tahun 1980. Sejak itu, saya menikmati hak istimewa melayani orang-orang lain, dan baru-baru ini saya dilantik untuk melayani sebagai penatua di sidang setempat.

Seraya mengenang kembali, saya menyadari mengapa para pemimpin politik dan militer sanggup mendidik pria-pria muda untuk tanpa pamrih mengorbankan kehidupan mereka demi negara. Kekuatan-kekuatan yang ampuh dari Setan si Iblis menggerakkan mereka, sebagaimana disingkapkan oleh pengajaran Firman Allah, Alkitab, yang saya terima. Di belakang histeria massa terhadap misi-misi bunuh diri, sekarang saya dapat melihat maksud Setan yang amat kejam ini. Wahyu 12:7-9, 12 telah menubuatkannya, ”Maka timbullah peperangan di sorga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapat tempat lagi di sorga. Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya. Karena itu bersukacitalah, hai sorga dan hai kamu sekalian yang diam di dalamnya, celakalah kamu, hai bumi dan laut! karena Iblis telah turun kepadamu, dalam geramnya yang dahsyat, karena ia tahu, bahwa waktunya sudah singkat.”

Pikiran saya telah lama dibutakan sehingga mempercayai bahwa misi bunuh diri sebagai suatu kehormatan, tetapi sekarang saya dapat melihat kebenaran tersingkap. Sekarang saya melihat siapa yang ada di belakang kebutaan saya. Kata-kata rasul Paulus di 2 Korintus 4:3-6 memperjelas, ”Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah. Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus. Sebab Allah yang telah berfirman: ’Dari dalam gelap akan terbit terang!’, Ia juga yang membuat terangNya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus.”

Mengetahui kebenaran dan satu-satunya Allah yang hidup dan benar dapat dibandingkan dengan nikmatnya, ya, segarnya udara pada waktu kita muncul ke permukaan dan membuka palka kapal selam. Tidak ada yang dapat menghargai kenikmatan dan kesegaran sedemikian lebih daripada kami. Untuk penyegaran rohani ini, saya sangat-sangat bersyukur kepada Yehuwa. Dan rasa syukur saya juga patut dinyatakan kepada istri saya atas usaha-usahanya yang tak kenal lelah untuk membagikan kebenaran kepada saya, karena selama sepuluh tahun ia tidak menyerah sampai saya akhirnya membaktikan diri kepada Allah. Hasilnya, saya sekarang ikut serta dalam pelayanan Kristen, suatu misi yang menyelamatkan jiwa bagi Allah yang hidup.—Seperti yang diceritakan oleh Yoshimi Aono.

[Gambar di hlm. 10]

Berkat usaha istri saya yang tak kenal lelah, saya sekarang melaksanakan misi yang menyelamatkan jiwa bagi Allah yang hidup

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan