PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g 10/91 hlm. 4-6
  • Luka Terpendam Akibat Pemerkosaan Anak

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Luka Terpendam Akibat Pemerkosaan Anak
  • Sedarlah!—1991
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Mengapa Pemerkosaan Anak Begitu Merusak
  • Mengapa Sakit Hati Terus Bertahan
  • Kerusakan Rohani
  • ”Waktu untuk Menyembuhkan”
    Sedarlah!—1991
  • Pencegahan di Rumah
    Sedarlah!—1993
  • Kasih dan Keadilan Yehuwa dalam Melindungi Umat-Nya dari Kejahatan
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa (Edisi Pelajaran)—2019
  • Kesalahpahaman yang Umum
    Sedarlah!—1993
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1991
g 10/91 hlm. 4-6

Luka Terpendam Akibat Pemerkosaan Anak

”Saya benci pada diri saya sendiri. Saya terus berpikir bahwa seharusnya saya berbuat sesuatu, berkata sesuatu untuk menghentikan perbuatan itu. Saya merasa begitu kotor.”​—Astuti.

”Saya merasa terasing dari masyarakat. Saya sering dilanda perasaan ketidakberdayaan dan putus asa. Kadang-kadang saya ingin mati saja.”​—Dewi.

”PENGANIAYAAN seksual semasa kanak-kanak merupakan . . . serangan yang menggelisahkan, merusak, dan memalukan terhadap pikiran, jiwa dan tubuh seorang anak . . . Penganiayaan tersebut merusak setiap aspek kehidupan seseorang.” Demikian kata The Right to Innocence, oleh Beverly Engel.

Tidak semua anak memperlihatkan reaksi yang sama terhadap pemerkosaan tersebut.a Setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda, kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi problem, dan dalam menguasai emosi. Banyak hal juga bergantung kepada hubungan sang anak dengan si pemerkosa, tingkat seriusnya pemerkosaan, lamanya pemerkosaan tersebut berlangsung, usia anak dan faktor-faktor lain. Selanjutnya, apabila pemerkosaan itu terungkap dan sang anak mendapatkan bantuan pengasih dari orang dewasa, kerusakan sering dapat dikurangi. Akan tetapi, banyak korban menderita luka emosi yang dalam.

Mengapa Pemerkosaan Anak Begitu Merusak

Alkitab memberikan penjelasan mengapa kerusakan demikian dapat terjadi. Pengkhotbah 7:7 (NW) menyatakan, ”Penindasan yang hebat menyebabkan orang bijak bertindak bodoh.” Jika hal ini terbukti benar bagi orang dewasa, bayangkan dampak penindasan brutal terhadap anak kecil​—khususnya apabila si pemerkosa adalah orang-tua yang ia percayai. Bagaimanapun juga, beberapa tahun pertama kehidupan seorang anak merupakan masa kritis terhadap perkembangan emosi dan rohaninya. (2 Timotius 3:15) Pada tahun-tahun rawan inilah sang anak mulai mengembangkan batasan-batasan moral dan harga diri. Melalui ikatan kasih sayang dengan orang-tua, seorang anak juga dapat belajar arti mengasihi dan mempercayai orang lain.​—Mazmur 22:10.

”Pada diri anak yang diperkosa,” Dr. J. Patrick Gannon menjelaskan, ”proses membangun rasa percaya ini disimpangkan.” Si pemerkosa mengkhianati kepercayaan sang anak; ia merampas rasa aman, keleluasaan pribadi, atau harga diri sang anak, serta menggunakan dia sebagai obyek pemuas hawa nafsu pribadi semata-mata.b Anak-anak kecil tidak mengerti dampak tindak amoral yang dipaksakan atas diri mereka, namun pada umumnya mereka merasa marah, takut, malu.

Karena itu, pemerkosaan semasa kanak-kanak disebut sebagai ”pengkhianatan yang mungkin paling buruk”. Kita diingatkan akan pertanyaan Yesus, ”Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti?” (Matius 7:9) Namun si pemerkosa memberi sang anak, bukannya kasih dan sayang, tetapi ”batu” yang paling tajam—penganiayaan seksual.

Mengapa Sakit Hati Terus Bertahan

Amsal 22:6 berkata, ”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Jelaslah, pengaruh orang-tua dapat bertahan seumur hidup. Akan tetapi, bagaimana jika seorang anak dididik untuk percaya bahwa ia tidak berdaya untuk mencegah serangan seksual? Dididik untuk melakukan hubungan seksual yang abnormal sebagai ganti ”mengasihi”? Dididik untuk memandang diri sendiri tidak berharga dan kotor? Tidakkah hal itu dapat menyebabkan kerusakan perilaku seumur hidup? Bukan berarti bahwa pemerkosaan semasa kanak-kanak di kemudian hari merupakan alasan penyimpangan tingkah laku setelah dewasa, namun hal itu dapat membantu menjelaskan mengapa korban pemerkosaan cenderung bertindak atau merasa aneh.

Banyak korban pemerkosaan menderita serangkaian gejala, termasuk depresi. Beberapa korban juga gelisah karena perasaan bersalah, malu, dan geram yang terus ada dan kadang-kadang meluap-luap. Beberapa korban mungkin menderita hambatan emosi, ketidakmampuan untuk menyatakan atau bahkan merasakan getaran emosi. Rendahnya harga diri dan perasaan tak berdaya juga menyebabkan penderitaan bagi banyak korban. Saleha, yang diperkosa oleh pamannya, mengingat kembali, ”Setiap kali ia memperkosa saya, saya merasa tak berdaya dan dingin, mati rasa, kejang, bingung. Mengapa hal ini terjadi?” Psikolog Cynthia Tower melaporkan, ”Penelitian menunjukkan bahwa sering kali orang-orang yang diperkosa semasa kanak-kanak akan terus memiliki persepsi dalam kehidupan bahwa mereka adalah korban.” Mereka mungkin menikah dengan pria yang suka memperkosa, menampilkan diri mudah dijadikan korban, atau merasa tak berdaya untuk membela diri apabila diancam.

Biasanya, anak-anak membutuhkan waktu kira-kira 12 tahun untuk mempersiapkan diri terhadap emosi yang timbul atau muncul pada masa puber. Akan tetapi, apabila perbuatan cabul dipaksakan atas diri seorang anak, boleh jadi ia dikuasai perasaan-perasaan yang timbul karena perbuatan tersebut. Seperti ditunjukkan sebuah penelitian, hal ini di kemudian hari dapat mempengaruhi kemampuan anak tersebut untuk menikmati keintiman perkawinan. Seorang korban bernama Minah mengaku, ”Saya mendapati segi seksual dalam perkawinan merupakan hal yang paling berat dalam kehidupan saya. Saya merasakan sensasi yang amat mengerikan seolah-olah itu ayah saya, dan saya mulai panik.” Korban lain boleh jadi memberikan reaksi yang justru bertentangan dan mengembangkan hawa nafsu amoral yang sukar dikendalikan. ”Saya menempuh kehidupan yang bebas dan pada akhirnya melakukan hubungan seksual dengan orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal,” demikian pengakuan Dewi.

Korban pemerkosaan boleh jadi juga mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat. Beberapa korban merasa tidak mampu untuk berkomunikasi dengan pria atau dengan tokoh yang berwenang. Beberapa korban akan merusak hubungan persahabatan dan perkawinan dengan bertingkah semaunya atau suka mengatur. Namun, para korban lain cenderung sama sekali menolak hubungan akrab.

Bahkan ada korban yang mengarahkan perasaan benci kepada diri mereka sendiri. ”Saya membenci tubuh saya karena ia menanggapi rangsangan dari si pemerkosa,” demikian pengakuan Reba. Tragisnya, makan berlebih-lebihan atau malah tidak mau makan,c kecanduan kerja, penyalahgunaan alkohol dan narkotik, merupakan hal biasa di kalangan para korban—upaya yang menyedihkan untuk mengubur perasaan mereka. Beberapa korban juga bertindak membenci diri mereka sendiri secara lebih ekstrem. ”Saya menyayat diri sendiri, menusukkan kuku ke lengan, membakar diri sendiri,” kata Reba menambahkan. ”Saya merasa bahwa saya pantas untuk diperkosa.”

Akan tetapi, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa siapa pun yang merasakan atau bertingkah seperti itu tentu telah dianiaya secara seksual. Faktor-faktor fisik atau emosi lain boleh jadi terlibat. Misalnya, para ahli mengatakan bahwa gejala serupa umum di kalangan orang dewasa yang dibesarkan dalam keluarga yang menderita kelainan—orang-tua gemar menyiksa, meremehkan dan mempermalukan mereka, mengabaikan kebutuhan jasmani mereka, atau orang-tua yang kecanduan alkohol atau narkotik.

Kerusakan Rohani

Dampak terparah yang dapat ditimbulkan oleh pemerkosaan anak adalah kemungkinan kerusakan rohani. Pemerkosaan merupakan ”pencemaran jasmani dan rohani”. (2 Korintus 7:1) Dengan melakukan perbuatan yang tidak senonoh atas diri seorang anak, dengan melanggar batas-batas fisik dan moralnya, dengan mengkhianati kepercayaannya, seorang pemerkosa meracuni semangat sang anak, atau kecenderungan mentalnya yang dominan. Hal ini selanjutnya akan mengganggu pertumbuhan moral dan rohani si korban.

Buku Facing Codependence, oleh Pia Mellody, lebih jauh mengatakan, ”Pemerkosaan serius apa pun . . . juga merupakan pemerkosaan rohani, karena hal itu menodai kepercayaan sang anak akan Penguasa Tertinggi.” Misalnya, seorang wanita Kristen bernama Ellen bertanya, ”Bagaimana saya dapat membayangkan Yehuwa sebagai seorang Bapak sedangkan di benak saya, saya memiliki konsep pria yang kejam dan bengis dari seorang bapak jasmani?” Seorang korban lain bernama Terry berkata, ”Saya tidak pernah membayangkan Yehuwa sebagai Bapak. Sebagai Allah, Tuhan, Pribadi Yang Maha Kuasa, Pencipta, ya! Tetapi sebagai Bapak, tidak!”

Pribadi-pribadi demikian tidak dengan sendirinya lemah secara rohani atau kurang iman. Sebaliknya, upaya yang terus-menerus untuk menerapkan prinsip-prinsip Alkitab memberikan bukti adanya kekuatan rohani! Namun, bayangkan kemungkinan perasaan beberapa orang ketika mereka membaca ayat Alkitab seperti Mazmur 103:13, yang berbunyi, ”Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian [Yehuwa] sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Beberapa orang mungkin memahami ayat ini dengan akal sehat. Akan tetapi tanpa konsep yang sehat tentang bagaimana sebenarnya seorang ayah itu, akan sulit bagi mereka untuk menanggapi ayat ini dengan emosi!

Beberapa orang juga mendapati kesulitan dalam bertindak ”seperti seorang anak kecil” di hadapan Allah—polos, rendah hati, percaya. Mereka mungkin menahan perasaan mereka yang sesungguhnya saat berdoa. (Markus 10:15) Bisa jadi mereka ragu-ragu menerapkan pada diri mereka kata-kata Daud di Mazmur 62:8, 9, ”Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah. Percayalah kepadaNya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapanNya; Allah ialah tempat perlindungan kita.” Perasaan bersalah dan tak berharga bahkan mungkin melemahkan iman mereka. Seorang korban berkata, ”Saya sangat percaya akan Kerajaan Yehuwa. Akan tetapi, saya tidak merasa layak untuk berada di sana.”

Tentu saja, tidak semua korban mengalami akibat yang serupa. Beberapa orang merasa tertarik kepada Yehuwa sebagai Bapak yang pengasih dan merasa sama sekali tidak ada hambatan dalam berhubungan dengan Dia. Apa pun kasusnya, jika Anda seorang korban penganiayaan seksual semasa kanak-kanak, Anda akan mendapati sangat berharga untuk memahami bagaimana hal ini telah mempengaruhi kehidupan Anda. Beberapa orang mungkin puas menerima keadaan mereka apa adanya. Akan tetapi, jika bagi Anda tampaknya kerusakan yang ditimbulkan itu serius, yakinlah. Sakit hati Anda dapat disembuhkan.

a Pembahasan kita menyorot apa yang Alkitab sebut sebagai por·neiʹa, atau percabulan. (1 Korintus 6:9; bandingkan Imamat 18:6-22.) Ini meliputi segala bentuk persetubuhan yang amoral. Tindak penyelewengan lain, seperti tingkah laku yang tidak senonoh, gemar melihat obyek-obyek seksual dan benda-benda pornografi, walaupun bukan por·neiʹa, juga dapat merusak emosi anak.

b Karena anak-anak secara alamiah cenderung percaya kepada orang dewasa, anak-anak yang diperkosa oleh seorang anggota keluarga yang mereka percayai, kakak, kerabat keluarga, atau bahkan oleh orang asing, akan merasa amat dikhianati.

c Lihat Awake! 22 Desember 1990.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan