PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g92 Februari hlm. 14-16
  • Jerat Perceraian

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Jerat Perceraian
  • Sedarlah!—1992
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Daya Tarik Kepuasan Pribadi
  • Para ”Pakar” Turut Memasang Umpan dalam Jerat
  • Pengaruh-Pengaruh Lainnya
  • Perceraian—Tuaiannya yang Pahit
    Sedarlah!—1992
  • Ledakan Perceraian
    Sedarlah!—1992
  • Cerai, Perceraian
    Pemahaman Alkitab, Jilid 1
  • Pengaruh Perceraian Terhadap Anak-Anak
    Bantuan untuk Keluarga
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1992
g92 Februari hlm. 14-16

Jerat Perceraian

ANDI dan Anita adalah pasangan yang serasi. Anita lebih pendiam dan lebih tenang daripada suaminya, namun sikap Anita yang lembut dan ceria tampaknya merupakan pelengkap yang ideal bagi kepribadian Andi yang ramah, dengan energi serta rasa humor yang tak habis-habisnya. Mata Anita berseri-seri bila bersama Andi. Dan siapa pun dapat melihat bahwa Andi amat menyayangi Anita.

Akan tetapi, setelah tujuh tahun, perkawinan mereka mulai renggang. Andi mendapat pekerjaan baru yang menyita banyak waktunya. Anita mulai merasa jengkel karena kesibukan Andi yang baru dalam pekerjaan dan karena Andi sering pulang malam. Anita berusaha ”mengisi kekosongan”, seperti yang ia akui, dengan menyibukkan diri dalam kariernya sendiri. Namun tak lama kemudian, Andi pulang ke rumah dengan napas berbau alkohol, dan menjelaskan bahwa ia baru saja pergi bersama rekan-rekan bisnisnya. Kebiasaan minum alkoholnya semakin parah, dan Anita akhirnya angkat kaki dari apartemen mereka. Andi tenggelam ke dalam depresi. Beberapa bulan kemudian, mereka bercerai.

Bagi banyak orang, kisah ini sudah tidak asing lagi. Seperti telah kita lihat, angka perceraian membubung tinggi di seluruh dunia. Dan memang benar, ada perceraian yang tidak dapat dihindarkan atau memang perlu. Alkitab tidak secara mutlak melarang perceraian, seperti perkiraan banyak orang. Standarnya cukup adil dan masuk akal, mengizinkan perceraian atas dasar perzinaan (Matius 19:9); prinsipnya juga mengizinkan perpisahan perkawinan di bawah keadaan-keadaan ekstrem tertentu, seperti penganiayaan fisik.a (Lihat Matius 5:32; 1 Korintus 7:10, 11.) Tetapi, ini bukanlah prinsip di balik perceraian Andi dan Anita.

Andi dan Anita adalah orang-orang Kristen dan pernah menghormati kesucian perkawinan. Namun sebagaimana halnya kita, mereka hidup di dunia yang mengajarkan etika yang sangat berbeda—bahwa perkawinan dapat disingkirkan begitu saja dan caranya melalui perceraian. Setiap tahun, cara berpikir demikian mempengaruhi ribuan pasangan untuk bercerai dengan alasan-alasan yang tidak kuat, tidak mempunyai dasar Alkitab. Dan banyak orang mulai menyadari—sayang sudah terlambat—bahwa sikap mereka yang ”modern” dan ”mengalami pencerahan” terhadap perceraian telah memikat mereka ke dalam jerat.

Jerat? ’Suatu kata yang keterlaluan,’ beberapa orang mungkin mengatakan demikian. Anda mungkin merasa, sebagaimana halnya orang-orang pada zaman ini, bahwa perceraian merupakan cara yang beradab untuk keluar dari perkawinan yang kacau balau. Namun apakah Anda menyadari sisi gelap dari perceraian? Dan apakah Anda telah melihat betapa dunia dewasa ini dapat membentuk pendapat kita tentang perceraian secara halus—tanpa kita menyadarinya?

Daya Tarik Kepuasan Pribadi

Pada kasus Andi dan Anita, sebagian dari umpan yang memikat mereka ke dalam perceraian adalah godaan yang menjanjikan kepuasan pribadi melalui karier yang sukses. Perkawinan mereka menjadi korban sikap mental ’mengejar karier dahulu’. Itu bukanlah korban yang pertama. Surat kabar Family Relations mengulas pada tahun 1983, ”Kepuasan pribadi telah menjadi slogan. Sebagai akibatnya, hubungan erat di antara kebanyakan anggota keluarga segera terputus dan bahkan ikatan perkawinan berada di bawah tekanan yang terus meningkat.” Andi begitu terkesan dengan pekerjaan barunya dan kemajuan yang dijanjikannya. Ia mengerjakan proyek-proyek tambahan dan bergaul dengan para koleganya setelah jam kerja untuk mendapatkan lebih banyak respek dan kepercayaan. Sementara itu, karier Anita menyilaukan dia dengan angan-angan kesuksesan melalui pendidikan yang lebih tinggi.

Mengikuti daya tarik kesuksesan mempunyai pengaruh rangkap dua. Pertama, itu berarti bahwa Andi dan Anita memiliki semakin sedikit waktu untuk satu sama lain. Seperti kata Anita, ”Kami ditarik ke dua arah yang berbeda. Jadi kami tidak punya waktu untuk percakapan pribadi seperti biasa, duduk dan membahas masalah bersama-sama. Sebaliknya, ia bersiap-siap untuk bekerja esok hari, saya pun begitu. Komunikasi terhenti.”

Pengaruh yang kedua dari segi rohani. Dengan mendahulukan karier di tempat pertama, mereka menggeser ke belakang hubungan mereka dengan Allah justru pada saat mereka sangat membutuhkan Dia. Suatu program bersama berupa penerapan prinsip Alkitab dapat menolong Andi mengatasi masalah alkoholnya dan memberi Anita kekuatan untuk tetap dekat dengan suaminya menghadapi masa-masa yang berat ini.

Maka sebaliknya daripada mengatasi masalah-masalah perkawinan mereka, mereka mulai menganggap perceraian sebagai pilihan yang praktis, bahkan mungkin sebagai jalan keluar dari semua tekanan ini. Setelah perceraian, perasaan bersalah dan malu membuat kehidupan rohani mereka berdua mundur sama sekali. Mereka tidak lagi mengaku sebagai kristiani.

Para ”Pakar” Turut Memasang Umpan dalam Jerat

Banyak pasangan, sewaktu menghadapi problem-problem perkawinan, berpaling kepada para penasihat dan ahli terapi perkawinan atau kepada buku-buku yang mereka tulis. Namun amat menyedihkan, beberapa ”pakar” perkawinan modern telah terbukti lebih mahir dalam menganjurkan perceraian daripada mempertahankan perkawinan. Pada dekade-dekade belakangan, pendapat-pendapat para ”pakar” yang tidak setuju dengan perkawinan sangat banyak dan merusak, seperti gerombolan belalang yang lapar.

Sebagai contoh, ahli psikoterapi Susan Gettleman dan Janet Markowitz mengeluh dalam buku The Courage to Divorce, ”Keyakinan yang tidak rasional terus bertahan bahwa orang-orang yang bercerai telah menyimpang dari suatu unit yang berguna yang disebut ’kehidupan keluarga yang normal’.” Pakar psikoterapi tersebut mengecam ”hambatan legal dan nilai-nilai moral” yang menentang perceraian yang ”didasarkan atas prinsip-prinsip agama yang bermula berabad-abad yang lalu”. Perceraian, menurut pendapat mereka, akan terus ada sampai ”perkawinan berangsur-angsur tidak berguna lagi”, sehingga menyatakan perceraian ”tidak perlu”. Mereka merekomendasi buku mereka kepada para pengacara, hakim—dan para rohaniwan!

’Perceraian tidaklah buruk. Perceraian mendatangkan kebebasan. Kelaziman perceraian bukanlah pertanda bahwa ada sesuatu yang salah pada masyarakat; itu merupakan pertanda bahwa ada sesuatu yang salah pada lembaga perkawinan.’ Tidak sedikit ”pakar” yang memiliki pandangan demikian, khususnya selama masa kejayaan revolusi seksual pada tahun-tahun 1960-an dan 1970-an. Belum lama ini, beberapa psikolog dan antropolog populer bahkan telah berspekulasi bahwa manusia ”diprogramkan”—tetapi anehnya, melalui evolusi—untuk bertukar pasangan setiap beberapa tahun. Dengan kata lain, hubungan intim di luar perkawinan dan perceraian wajar-wajar saja.

Sukar dibayangkan berapa banyak perkawinan yang telah dirusak oleh anggapan demikian. Namun, banyak pakar lainnya menyarankan perceraian dengan cara-cara yang lebih halus. Seperti diteliti oleh Diane Medved dalam bukunya The Case Against Divorce, ia mendapati kira-kira 50 buku di perpustakaan di daerahnya yang kalaupun tidak terang-terangan menyarankan perceraian, sedikitnya ’memberi semangat kepada pembacanya dalam menempuh perceraian’. Ia memperingatkan, ”Buku-buku ini menyatakan betapa mudah dan enaknya memasuki dunia lajang dan memuji ’kebebasan baru’ Anda seolah-olah . . . hal itu merupakan cara yang terbaik menuju kepuasan.”

Pengaruh-Pengaruh Lainnya

Tentu saja, ada banyak pengaruh lainnya yang menganjurkan perceraian selain para ”pakar” yang sesat. Media massa—TV, film, majalah, novel-novel roman—sering kali menambahkan badai propaganda yang terus-menerus menentang perkawinan. Kadang-kadang, media menyajikan pesan bahwa kegembiraan yang terus-menerus, tawa riang dan kepuasan terdapat di luar kehidupan perkawinan yang monoton dan membosankan, dan bahwa di kaki pelangi kesendirian dan kebebasan yang berkilauan ini, pasangan kencan lainnya menanti, jauh lebih hebat daripada yang ada di rumah.

Sekadar bersikap skeptis terhadap pandangan yang merusak demikian mungkin tidak cukup untuk melindungi diri. Sebagaimana Medved menjelaskan, ”Anda menonton sebuah film, dan bahkan meskipun Anda berhikmat duniawi, Anda bisa takluk pada kekuatannya. Anda tidak bisa menghindarinya—jalan cerita dan interaksi disajikan sedemikian rupa untuk mendapatkan simpati terhadap tokoh utama (suami yang suka menyeleweng?) dan antipati terhadap tokoh yang jahat (istri yang pemarah?). . . . Secara pribadi, Anda mungkin tidak memaafkan akan apa yang Anda lihat, namun dengan sekadar tahu bahwa orang lain memaafkannya, yang dipertegas dengan begitu banyak cara di seluruh kebudayaan kita, mengoyakkan tekad kita untuk melakukan yang baik serta keyakinan Anda.”

Tingkah laku sesama manusia memang mempengaruhi kita. Apabila memang demikian halnya dengan pesan-pesan dari media, betapa lebih besar lagi pengaruh teman-teman yang kita pilih! Dengan bijaksana, Alkitab memperingatkan, ”Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” (1 Korintus 15:33) Suatu perkawinan yang sehat merupakan salah satu dari kebiasaan yang paling baik. Kita dapat merusaknya apabila kita berteman dengan orang-orang yang tidak merespek lembaga perkawinan. Banyak pasangan yang ternyata telah mempermudah jalan memasuki perceraian karena mereka mempercayakan problem-problem perkawinan mereka kepada ”teman-teman” sedemikian—kadang-kadang bahkan kepada orang-orang yang juga telah memilih perceraian tanpa dasar yang tepat.

Orang-orang lain dengan tergesa-gesa mencari nasihat hukum apabila perkawinan mereka mengalami ketegangan. Mereka lupa bahwa sistem hukum di banyak negeri adalah sebuah mesin yang bekerja dengan gampang, yang dirancang untuk memudahkan perceraian. Pada akhirnya, para pengacara menghasilkan uang dengan mengurus perceraian, bukannya dengan mendamaikan kembali.

Namun, Anda mungkin bertanya, ’Kalau semua pengacara, ahli terapi, tokoh-tokoh media massa dan bahkan teman-teman dan para kenalan telah menerima dan secara efektif menganjurkan sikap yang lebih lunak terhadap perceraian, apakah kata-kata mereka sedikit pun tidak ada benarnya?’ Dapatkah begitu banyak orang bisa salah tentang sesuatu yang begitu penting? Dengan melihat sejumlah akibat setelah perceraian, kita akan dibantu untuk mengetahui jawabannya.

[Catatan Kaki]

a Lihat Menara Pengawal 15 Juli 1989, halaman 8-9; Watchtower 15 Mei 1988, halaman 4-7; Watchtower 1 November 1988, halaman 22-3 atau Menara Pengawal seri 54 halaman 13-4.

[Gambar di hlm. 16]

Beberapa ”pakar” perkawinan lebih mahir dalam menganjurkan perceraian daripada menyelamatkan perkawinan

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan