PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g92 Februari hlm. 17-19
  • Perceraian—Tuaiannya yang Pahit

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Perceraian—Tuaiannya yang Pahit
  • Sedarlah!—1992
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Akibat-Akibat atas Emosi dan Moral
  • Bencana Keuangan
  • Lindungi Perkawinan Anda!
  • Jerat Perceraian
    Sedarlah!—1992
  • Pengaruh Perceraian Terhadap Anak-Anak
    Bantuan untuk Keluarga
  • Ledakan Perceraian
    Sedarlah!—1992
  • Empat Hal yang Harus Anda Ketahui tentang Perceraian
    Sedarlah!—2010
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1992
g92 Februari hlm. 17-19

Perceraian—Tuaiannya yang Pahit

BUKAN para pengacara, teman-teman, media massa atau para ”pakar” yang harus membayar harga suatu perceraian. Namun pasangan yang bercerai—dan anak-anak mereka—yang membayar seluruh rekening akhir.a Sebaliknya daripada suatu pengalaman yang membebaskan, perceraian bisa muncul dengan harga yang luar biasa mahal.

Dalam buku The Case Against Divorce, Diane Medved mengakui bahwa pada mulanya ia bermaksud menulis sebuah buku yang ”netral secara moral” terhadap perceraian. Akan tetapi, ia merasa terdorong untuk mengubah pikirannya. Mengapa? Ia menulis, ”Sederhana saja, saya mendapati dari penelitian saya bahwa proses dan akibat perceraian benar-benar mendatangkan bencana—terhadap fisik, pikiran dan rohani—sehingga dalam sejumlah besar kasus, ’pengobatan’ yang didatangkannya lebih buruk daripada ’penyakit’ dalam perkawinan.”

Anita, yang disebutkan pada artikel sebelumnya, menyetujuinya, ”Saya sangka bahwa perceraian merupakan jalan keluar. Saya sangka jika saya dapat keluar dari perkawinan ini, lalu saya akan merasa lebih baik. Namun sebelum perceraian, setidaknya tekanan emosi membuat saya merasa hidup. Setelah saya bercerai, saya bahkan tidak merasa hidup. Ada suatu kehampaan sehingga saya merasa diri seperti tidak ada. Begitu menakutkan. Saya tidak dapat melukiskan betapa hampanya perasaan saya.” Setelah bercerai, bayangan janji-janji kebebasan dan kegembiraan menguap menjadi kenyataan suram dalam kehidupan dan perjuangan untuk bertahan hari demi hari.

Yang pasti benar adalah, bahkan apabila terdapat dasar yang beralasan untuk bercerai, akibatnya dapat begitu menyakitkan dan berkepanjangan. Maka siapa pun yang berniat mengambil tindakan yang drastis itu, akan bijaksana untuk terlebih dahulu mengindahkan nasihat Yesus, ’Hitunglah biayanya.’ (Lukas 14:28) Jelasnya, apa saja biayanya, apa saja akibat yang menyakitkan setelah bercerai?

Akibat-Akibat atas Emosi dan Moral

Suatu penelitian baru-baru ini yang diterbitkan dalam Journal of Marriage and the Family menunjukkan bahwa perceraian berhubungan dengan ketidakbahagiaan dan depresi. Orang-orang yang bercerai lebih besar kemungkinan menderita depresi, dan orang-orang yang telah bercerai lebih dari satu kali lebih besar lagi kemungkinannya menderita depresi. Sosiolog bernama Lenore Weitzman, dalam bukunya The Divorce Revolution, menyatakan bahwa orang-orang yang bercerai dan berpisah berada pada peringkat tertinggi di antara para pasien yang menempati ruang perawatan penyakit kejiwaan; mereka juga banyak menderita kasus-kasus penyakit, kematian dini dan bunuh diri.

Dalam penelitiannya terhadap kira-kira 200 orang, Medved menemukan kenyataan bahwa perceraian menyebabkan gangguan emosi pada beberapa pria dan wanita selama rata-rata tujuh tahun, yang lainnya selama puluhan tahun. Satu hal yang tidak dipengaruhi oleh perceraian, katanya, adalah pola perilaku utama yang tidak sehat, yang mengarahkan suatu pasangan untuk bercerai. Maka, tidak terlalu mengherankan bahwa perkawinan kedua bahkan akan lebih besar kemungkinannya gagal daripada perkawinan pertama!

Daripada memperbaiki perilaku, perceraian sering kali menimbulkan pengaruh negatif yang drastis terhadap moral. Para peneliti menemukan kenyataan bahwa setelah bercerai, kebanyakan pria dan wanita untuk sementara memasuki semacam masa remaja kedua. Mereka mencicipi kemerdekaan baru mereka dengan memburu serangkaian hubungan asmara dengan tujuan untuk menaikkan harga diri yang jatuh atau untuk mengusir kesepian. Namun berkencan hanya untuk alasan-alasan yang mementingkan diri dapat mengarah kepada perbuatan seks yang amoral, yang mendatangkan sederetan panjang akibat yang tragis. Dan khususnya, hal itu dapat mengakibatkan bahaya luka mental dan emosi pada diri anak-anak apabila mereka melihat orang-tua mereka melakukan hal-hal semacam itu.

Akan tetapi, terlalu sering, pasangan yang telah bercerai siap mendukung propaganda dunia bahwa kebutuhan dan kepentingan mereka harus didahulukan. Maka, mereka menumpulkan perasaan terhadap penderitaan yang mereka datangkan atas kehidupan di sekeliling mereka—anak-anak mereka, orang-tua mereka, teman-teman mereka. Beberapa orang lupa bahwa Allah juga dapat merasa sakit hati apabila kita mengabaikan standar-standar-Nya. (Bandingkan Mazmur 78:40, 41; Maleakhi 2:16.) Perceraian juga dapat menjadi urusan yang amat memalukan, khususnya apabila hal itu mengarah pada perang di pengadilan dalam memperebutkan hak untuk mengurus anak dan harta.

Bencana Keuangan

Lenore Weitzman lebih jauh menyimpulkan bahwa perceraian juga merupakan ”bencana keuangan” bagi kaum wanita di Amerika Serikat. Rata-rata, setengah dari pendapatan mereka berkurang untuk kebutuhan seperti makanan, pemondokan dan alat pemanas. Ia menemukan kenyataan bahwa standar kehidupan mereka merosot sejauh 73 persen setelah bercerai!

Ia pada mulanya mengharapkan bahwa hukum perceraian modern yang ”mengalami pencerahan” akan menyediakan perlindungan untuk kaum wanita. Sebaliknya, ia menemukan kenyataan bahwa kaum wanita melaporkan perasaan putus asa dan melarat setelah bercerai. Mereka mengatakan bahwa secara mendadak mereka harus bernaung pada program-program sosial, kupon-kupon makanan, pemondokan bagi para tuna wisma dan sup-sup gratis bagi orang-orang miskin. Hampir 70 persen dari para wanita yang diwawancarainya melaporkan bahwa mereka terus-menerus merasa khawatir akan cara menutupi pengeluaran sehari-hari. Beberapa wanita merasakan ketakutan yang hebat, frustrasi dan bahkan terkurung bersama anak-anak mereka, tidak punya waktu untuk diri sendiri.

Seorang pemuda yang akan kita sebut Tom, yang orang-tuanya bercerai sewaktu ia berusia delapan tahun, mengenang kembali, ”Setelah Ayah pergi, ya, memang selalu ada makanan, tetapi tiba-tiba, sekaleng limun menjadi barang mewah. Kami tidak sanggup membeli baju baru. Ibu harus menjahit semua kemeja kami. Sewaktu saya melihat potret kami, yang masih anak-anak pada waktu itu, yang tampak adalah foto sedih orang-orang yang malang.”

Karena kebanyakan wanita mendapat hak untuk merawat anak-anak dan banyak ayah tidak sanggup membayar tunjangan perawatan anak yang diputuskan oleh pengadilan—yang sering kali bahkan lebih sedikit dari yang minimum—perceraian tampaknya lebih menyusahkan wanita daripada pria. Namun, perceraian tidak selalu menguntungkan pria. Buku Divorced Fathers menyatakan bahwa biaya pengadilan saja dapat menyedot separuh dari penghasilan bersih tahunan seorang pria. Perceraian juga merusak emosi suami dan ayah. Banyak orang tersiksa karena martabat mereka turun menjadi sekadar tamu dalam kehidupan anak-anak mereka.

Lindungi Perkawinan Anda!

Maka, benar-benar mengejutkan bahwa dalam sebuah penelitian terhadap orang-orang yang telah bercerai selama satu tahun, ternyata 81 persen suami/ayah dan 97 persen istri/ibu mengaku bahwa perceraian mungkin suatu kekeliruan dan bahwa mereka seharusnya berupaya lebih keras untuk memperbaiki perkawinan mereka. Juga, semakin banyak ”pakar” dengan cemas menarik kembali sikap congkak mereka terhadap perkawinan yang pernah mereka dukung. Los Angeles Times baru-baru ini menyatakan, ”Dengan meneliti hasilnya selama 25 tahun lebih, banyak ahli terapi . . . sedang bekerja lebih keras untuk menyelamatkan perkawinan.”

Menarik kembali suatu sikap, tentu saja, cukup mudah bagi para ”pakar”. Paling-paling, yang mereka lakukan sama saja dengan mengatakan, ”Oh! Saya menyesal!” dan mulai berbicara dengan nada yang lain. Tidak begitu mudah bagi ribuan orang yang menuruti nasihat mereka. Namun, korban perceraian dapat mengambil pelajaran berharga dari pengalaman pahit mereka, sebagaimana dinyatakan oleh pernyataan ringkas di Mazmur 146:3, 4, ”Jangan percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan. Apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya.”

Teman-teman, ahli terapi, pengacara atau orang-orang di belakang media massa tidak lebih dari manusia yang tidak sempurna. Maka apabila kita membutuhkan nasihat perkawinan, untuk apa kita semata-mata bergantung pada mereka? Tidakkah lebih masuk akal untuk berpaling kepada Allah Yehuwa, Perancang perkawinan? Prinsip-prinsip-Nya tidak berubah-ubah mengikuti kecenderungan pendapat para ”pakar” yang selalu berubah-ubah. Prinsip-prinsip Allah terbukti benar selama ribuan tahun, dan prinsip-prinsip tersebut masih ampuh dewasa ini.

Andi dan Anita mulai menyadari hal ini beberapa waktu setelah mereka bercerai. Mereka mengerti bahwa perceraian mereka suatu kesalahan yang sangat buruk. Akan tetapi, sungguh menarik, mereka tidak terlambat. Mereka rujuk kembali dan menikah sekali lagi. Dan mereka mulai mengubah cara berpikir mereka. ”Saya menyadari,” kenang Andi, ”bahwa saya bangkrut secara moral, dan saya membutuhkan bantuan. Untuk pertama kali selama bertahun-tahun, saya berdoa untuk itu. Saya ingin melakukan apa yang benar; maka saya harus menghentikan apa yang sedang saya lakukan dan menolak semua nilai yang telah saya pungut dari dunia. Saya tidak menginginkannya lagi.”

Anita menambahkan, ”Alasan kami rujuk kembali sekarang ini, dengan masa lalu yang buruk, adalah karena kami berdua sungguh-sungguh ingin dipandang benar di hadapan Yehuwa. Dan kami benar-benar ingin agar perkawinan kami sukses.” Tidak berarti segalanya mudah sesudah itu. ”Kami senantiasa memperhatikan hubungan kami sekarang, seperti anjing penjaga. Dan jika satu di antara kami merasa bimbang, kami akan membicarakannya.”

Andi dan Anita sekarang membesarkan dua anak yang manis. Andi melayani sebagai pelayan sidang di sebuah sidang Saksi-Saksi Yehuwa. Tentu saja, keadaannya tidak sepenuhnya sempurna. Tidak pernah ada perkawinan yang sempurna dalam dunia tua ini. Bagaimana mungkin, mengingat perkawinan menyatukan dua orang yang tidak sempurna? Itulah sebabnya Alkitab memperingatkan kita bahwa sejak dosa masuk ke dalam dunia, perkawinan telah mendatangkan banyak ’kesusahan badani’. (1 Korintus 7:28) Maka, memasuki perkawinan bukanlah hal yang patut dianggap enteng; siapa pun yang merencanakan untuk menikah harus menggunakan cukup waktu untuk mengenal calon teman hidupnya. Dan sekali masuk ke dalamnya, mutu perkawinan biasanya sama baiknya dengan upaya yang dikorbankan untuknya.

Namun, jelaslah, mengambil langkah perceraian juga tidak patut dianggap enteng. Sewaktu perceraian dipandang perlu atau tidak dapat dihindarkan, tentu saja Allah dapat memberi kita bantuan yang kita butuhkan untuk menanggung masa-masa sulit yang mungkin timbul. Namun jika kita mengikuti kecenderungan dunia dengan menerima pandangan murahan terhadap kesucian lembaga perkawinan, siapa yang akan melindungi kita dari risiko akibat kebodohan demikian? Maka lindungi perkawinan Anda. Sebaliknya daripada membuang perkawinan Anda sewaktu segalanya tidak berjalan dengan semestinya, pusatkan upaya Anda untuk mengatasi masalahnya. Berupayalah memperbaiki ”jembatan” daripada membakarnya. Carilah jawaban-jawaban praktis untuk problem-problem perkawinan di dalam Firman Allah.b Jalan keluarnya ada di situ. Dan semuanya benar-benar ampuh.

[Catatan Kaki]

a Untuk informasi sehubungan akibat-akibat perceraian terhadap anak-anak, lihat Awake! 22 April 1991.

b Lihat Membina Keluarga Bahagia, diterbitkan oleh Watchtower Bible & Tract Society of New York, Inc.

[Gambar di hlm. 19]

Lindungi perkawinan Anda dengan menyediakan waktu untuk melakukan sesuatu bersama-sama sebagai satu keluarga

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan