PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g 2/10 hlm. 4-8
  • Empat Hal yang Harus Anda Ketahui tentang Perceraian

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Empat Hal yang Harus Anda Ketahui tentang Perceraian
  • Sedarlah!—2010
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Alkitab dan Perceraian
  • Perceraian—Tuaiannya yang Pahit
    Sedarlah!—1992
  • Pengaruh Perceraian Terhadap Anak-Anak
    Bantuan untuk Keluarga
  • Rumah Tangga yang Terbagi​—Dampak Perceraian atas Remaja
    Sedarlah!—2009
  • Memilih Bercerai
    Sedarlah!—1999
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—2010
g 2/10 hlm. 4-8

Empat Hal yang Harus Anda Ketahui tentang Perceraian

Setelah memeriksa kerusakan, para pemiliknya punya pilihan​—meruntuhkan rumah itu atau memperbaikinya.

APAKAH Anda menghadapi pilihan serupa sehubungan dengan perkawinan Anda? Barangkali teman hidup telah mengkhianati kepercayaan Anda atau konflik yang sering terjadi telah merenggut sukacita dari hubungan Anda. Jika demikian, Anda mungkin berkata kepada diri sendiri, ’Kami sudah tidak saling cinta’ atau ’Kami memang bukan jodoh’ atau ’Kami tidak berpikir panjang sewaktu menikah’. Anda bahkan bisa berpikir, ’Mungkin kami sebaiknya bercerai’.

Sebelum Anda terburu-buru memutuskan untuk mengakhiri perkawinan, berpikirlah terlebih dahulu. Perceraian tidak selalu menyudahi kekhawatiran hidup. Sebaliknya, sering kali halnya ibarat ”lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya”. Dalam bukunya The Good Enough Teen, Dr. Brad Sachs memperingatkan, ”Pasangan yang akan berpisah memimpikan perceraian yang sempurna​—langsung terbebas dari konflik sengit yang menekan secara permanen, dan digantikan oleh kedamaian dan ketenangan yang menyegarkan dan menyejukkan. Tetapi, keadaan semacam itu sama mustahilnya seperti perkawinan yang sempurna.” Maka, penting untuk mendapatkan informasi selengkapnya dan mempertimbangkan masalah perceraian secara realistis.

Alkitab dan Perceraian

Alkitab tidak menganggap remeh perceraian. Alkitab menyatakan bahwa dalam pandangan Allah Yehuwa, menceraikan teman hidup karena hal sepele, barangkali dengan motif untuk menikah lagi, adalah pengkhianatan dan Ia membencinya. (Maleakhi 2:13-16) Perkawinan adalah ikatan yang permanen. (Matius 19:6) Banyak perkawinan, yang kandas karena alasan-alasan sepele, sebenarnya dapat diselamatkan seandainya suami istri lebih suka saling mengampuni.—Matius 18:21, 22.

Di sisi lain, Alkitab membolehkan seseorang bercerai dan menikah kembali berdasarkan satu alasan​—hubungan seksual di luar perkawinan. (Matius 19:9) Oleh sebab itu, jika Anda tahu bahwa pasangan Anda berselingkuh, Anda berhak mengakhiri perkawinan. Orang lain tidak boleh memaksakan pandangan mereka kepada Anda, dan artikel ini pun tidak ingin mendikte Anda. Pada akhirnya, Anda yang akan menanggung konsekuensinya; karena itu, Andalah yang harus membuat keputusan.​—Galatia 6:5.

Meskipun demikian, Alkitab menyatakan, ”Orang yang cerdik mempertimbangkan langkah-langkahnya.” (Amsal 14:15) Oleh karena itu, sekalipun memiliki alasan berdasarkan Alkitab untuk bercerai, Anda sebaiknya memikirkan dengan serius dampak dari langkah itu. (1 Korintus 6:12) ”Beberapa mungkin mengira bahwa mereka harus membuat keputusan secepatnya,” kata David, di Inggris. ”Tetapi, berdasarkan pengalaman, saya bisa bilang bahwa perlu waktu untuk memikirkan segala sesuatunya masak-masak.”a

Mari kita simak empat permasalahan penting yang perlu Anda pikirkan. Sementara itu, perhatikan bahwa dari orang-orang yang dikutip komentarnya, tak satu pun mengatakan bahwa keputusan mereka untuk bercerai itu salah. Namun, komentar mereka menyoroti beberapa tantangan yang sering kali timbul selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun setelah berakhirnya perkawinan.

1 Problem Keuangan

Daniela, di Italia, telah menikah selama 12 tahun sewaktu ia tahu bahwa suaminya ternyata punya hubungan gelap dengan rekan kerjanya. ”Sewaktu ketahuan,” kata Daniela, ”wanita itu sedang hamil enam bulan.”

Setelah beberapa waktu berpisah, Daniela memutuskan untuk bercerai. ”Saya berusaha menyelamatkan perkawinan saya,” katanya, ”tapi suami saya tetap saja selingkuh.” Daniela merasa bahwa ia membuat pilihan yang benar. Namun, ia menuturkan, ”Tidak lama setelah kami bercerai, keadaan ekonomi saya hancur. Terkadang, saya bahkan tidak makan malam. Saya cuma minum segelas susu.”

Seorang ibu memeriksa daftar pengeluarannya

Maria, di Spanyol, mengalami problem serupa. ”Mantan suami saya tidak memberikan tunjangan sepeser pun,” katanya, ”dan saya harus bekerja membanting tulang untuk membayar utang-utangnya. Saya juga terpaksa pindah dari rumah yang nyaman ke apartemen kecil di daerah yang rawan.”

Sebagaimana diperlihatkan pengalaman-pengalaman ini, kandasnya perkawinan sering kali menimbulkan problem keuangan yang berat bagi kaum wanita. Bahkan, sebuah penelitian selama tujuh tahun di Eropa menyingkapkan bahwa sementara pendapatan pria naik 11 persen setelah perceraian, pendapatan wanita turun 17 persen. ”Beberapa wanita mengalami kesulitan,” kata Mieke Jansen, kepala penelitian tersebut, ”karena mereka harus mengurus anak-anak, mencari pekerjaan serta mengatasi trauma emosi akibat perceraian.” Daily Telegraph di London mengomentari bahwa menurut beberapa pengacara, faktor-faktor seperti itu ”memaksa orang untuk berpikir dua kali jika ingin bercerai”.

Yang bisa terjadi: Jika Anda bercerai, pendapatan Anda bisa jadi berkurang. Anda mungkin juga harus pindah rumah. Jika Anda mendapatkan hak asuh, Anda mungkin kesulitan menafkahi diri dan mencukupi kebutuhan anak-anak.​—1 Timotius 5:8.

”HAK DASAR SETIAP ANAK”

”Sewaktu saya berumur lima tahun, Ayah pernah berhubungan gelap untuk waktu yang singkat dengan sekretarisnya, dan orang tua saya pun bercerai. Sehubungan dengan mengurus saya, mereka melakukan segalanya dengan ’benar’ menurut hikmat masa kini. Mereka meyakinkan saya bahwa meskipun mereka tidak lagi saling mencintai, mereka masih mengasihi saya, dan setelah Ayah tinggal sendirian di apartemennya di bagian lain kota kami, mereka tetap memenuhi kebutuhan materi saya.

”Dua tahun kemudian Ibu menikah lagi, dan kami pindah ke luar negeri. Setelah itu, saya bertemu Ayah sekali saja tiap beberapa tahun. Dalam sembilan tahun belakangan, hanya sekali saya bertemu dengannya. Saya melewatkan sebagian besar masa pertumbuhan tanpa kehadirannya, dan ia mengenal ketiga anak saya—cucunya—hanya lewat surat dan foto yang saya kirimkan kepadanya. Mereka tidak pernah bertemu kakek mereka.

”Sebagai anak korban perceraian, saya tumbuh besar tanpa luka yang kelihatan. Tetapi, di dalam hati saya bergelut dengan kemarahan yang hebat, depresi, dan perasaan tidak aman tanpa tahu sebabnya. Saya sama sekali tidak memercayai kaum pria. Barulah pada usia 30-an saya dibantu oleh seorang teman yang matang untuk mengenali akar kebencian saya dan saya pun mulai berupaya membuangnya.

”Perceraian orang tua saya merampas dari saya hak dasar setiap anak​—mendapatkan perasaan aman dan terlindung. Dunia ini adalah tempat yang dingin dan menakutkan, tetapi bagi saya keluarga tampaknya adalah benteng, tempat anak bisa berlindung agar merasa terpelihara dan terhibur. Jika kita meruntuhkan keluarga, runtuh pulalah benteng itu.”​—Diana.

2 Masalah Pengasuhan Anak

”Saya terguncang ketika mengetahui ketidaksetiaan suami saya,” kata seorang wanita di Inggris bernama Jane. ”Hati saya tambah hancur sewaktu membayangkan bahwa ia ternyata memilih untuk meninggalkan kami.” Jane menceraikan suaminya. Ia masih yakin bahwa keputusannya tepat, namun ia mengakui, ”Salah satu tantangannya adalah saya harus menjadi ibu dan ayah bagi anak-anak. Saya harus membuat semua keputusan sendirian.”

Situasi serupa dialami oleh Graciela di Spanyol. ”Saya diberi hak asuh penuh atas putra saya yang berusia 16 tahun,” katanya. ”Tetapi, masa remaja adalah masa yang sulit, dan saya kurang siap membesarkan putra saya sendirian. Saya menangis siang dan malam. Saya merasa gagal sebagai ibu.”

Mereka yang berbagi hak asuh bisa jadi menghadapi problem tambahan​—harus berunding dengan mantan tentang masalah yang sensitif menyangkut kunjungan, tunjangan anak, dan disiplin. Christine di Amerika Serikat mengatakan, ”Tidaklah mudah menjaga hubungan yang cukup baik dengan mantan. Ada begitu banyak emosi yang tersangkut, dan jika tidak hati-hati, bisa-bisa kita malah memperalat anak kita untuk berupaya memanipulasi situasi.”

Yang bisa terjadi: Anda mungkin tidak suka dengan pengaturan hak asuh yang ditetapkan di pengadilan. Jika Anda berbagi hak asuh, mantan Anda bisa jadi tidak sepenuhnya bersikap masuk akal mengenai permasalahan yang sudah disebutkan tadi, yakni kunjungan, tunjangan keuangan, dan lain-lain.

3 Dampaknya atas Diri Anda

Mark, asal Inggris, dikhianati oleh istrinya lebih dari sekali. ”Pada kali kedua,” katanya, ”Saya tidak tahan lagi, jangan-jangan hal itu bisa terulang lagi.” Mark menceraikan istrinya, namun ternyata ia masih mencintainya. ”Sewaktu orang-orang mengatakan hal-hal negatif tentang dia, mereka pikir mereka membantu, padahal tidak,” katanya. ”Cinta membekas untuk waktu yang lama.”

David, yang dikutip sebelumnya, juga merasa hancur sewaktu tahu bahwa istrinya berpacaran dengan pria lain. ”Saya sama sekali tidak percaya,” katanya. ”Saya benar-benar ingin menghabiskan hidup saya bersamanya dan anak-anak kami.” David memilih untuk bercerai, tetapi perceraian itu membuat dia merasa gamang akan masa depannya. ”Saya bertanya-tanya apakah ada yang bisa sungguh-sungguh mencintai saya atau apakah hal ini dapat terulang kalau saya menikah kembali,” katanya. ”Kepercayaan diri saya goyah.”

Sesudah bercerai, wajar apabila Anda akan merasakan beragam emosi. Di satu sisi, Anda mungkin masih mencintai orang yang pernah menjadi satu daging dengan Anda. (Kejadian 2:24) Di sisi lain, Anda mungkin kesal atas apa yang terjadi. ”Sekalipun sudah beberapa tahun,” kata Graciela, yang dikutip tadi, ”kita masih merasa bingung, terhina, dan tak berdaya. Saat-saat bahagia dalam perkawinan terlintas dalam benak, dan kita berpikir, ’Dulu dia bilang tidak bisa hidup tanpa saya. Apakah selama ini ia bohong? Kenapa ini terjadi?’”

Yang bisa terjadi: Anda mungkin dihantui perasaan marah dan kesal atas perlakuan buruk pasangan Anda. Adakalanya, Anda mungkin diliputi perasaan kesepian.​—Amsal 14:29; 18:1.

4 Dampaknya atas Anak-Anak

José di Spanyol mengatakan, ”Hati saya hancur, apalagi ketika tahu bahwa pria lain itu ternyata suami adik saya. Rasanya ingin mati saja.” José melihat bahwa dua putranya​—berusia dua dan empat tahun—​juga terpengaruh oleh kelakuan ibu mereka. ”Mereka tidak bisa memahami dan menerima situasi ini,” katanya. ”Mereka tidak mengerti kenapa ibu mereka tinggal dengan paman mereka dan kenapa saya mengajak mereka untuk tinggal dengan adik serta ibu saya. Kalau saya harus pergi ke suatu tempat, mereka akan bertanya, ’Kapan Papa pulang?’ atau mereka akan bilang, ’Papa, jangan tinggalkan kami!’”

Anak-anak sedih

Anak-anak sering kali adalah korban yang terlupakan dalam ”medan tempur” perceraian. Tetapi, bagaimana jika kedua orang tua tidak bisa akur lagi? Jika demikian, apakah perceraian memang ”lebih baik bagi anak-anak”? Pada tahun-tahun belakangan ini, pendapat itu telah disanggah​—terutama jika problem perkawinannya tidak pelik. Buku The Unexpected Legacy of Divorce menyatakan, ”Banyak orang dewasa yang terjebak dalam perkawinan yang sangat tidak bahagia akan terkejut bahwa ternyata anak-anak mereka cukup puas. Mereka tidak peduli jika Papa dan Mama tidak hidup rukun asalkan keluarga tetap bersama.”

Memang, anak-anak sering kali mengetahui konflik orang tua, dan ketegangan perkawinan dapat memengaruhi pikiran serta hati mereka yang masih hijau. Namun, anggapan bahwa perceraian akan secara otomatis menjadi hal yang terbaik bagi mereka belum tentu benar. ”Dengan adanya struktur dalam perkawinan, orang tua terbantu untuk memberikan jenis disiplin yang konsisten dan memadai kepada anak-anak, sekalipun perkawinannya kurang ideal,” tulis Linda J. Waite dan Maggie Gallagher dalam buku mereka The Case for Marriage.

Yang bisa terjadi: Dampak perceraian bisa menghancurkan bagi anak-anak Anda, terutama jika Anda tidak mendorong mereka untuk menjalin hubungan yang sehat dengan mantan Anda.​—Lihat kotak ”Terjepit di Tengah-Tengah”.

Artikel ini telah membahas empat faktor yang sebaiknya dipertimbangkan jika Anda sedang berpikir untuk bercerai. Sebagaimana disebutkan di awal, jika pasangan Anda telah berselingkuh, keputusannya ada di tangan Anda. Namun, apa pun pilihannya, Anda perlu memahami berbagai konsekuensinya. Ketahuilah tantangan apa saja yang akan Anda alami, dan bersiaplah untuk menghadapinya.

Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Anda mungkin merasa bahwa pilihan yang lebih baik adalah berupaya memperbaiki perkawinan Anda. Tetapi, apakah itu memang bisa?

a Beberapa nama dalam artikel ini telah diubah.

”TERJEPIT DI TENGAH-TENGAH”

”Orang tua saya bercerai sewaktu saya berumur 12 tahun. Di satu sisi, saya lega. Keadaan di rumah jadi jauh lebih tenang dan damai; saya tidak usah lagi mendengarkan semua pertengkaran mereka. Namun, perasaan saya campur aduk.

”Setelah perceraian itu, saya ingin rukun dengan Ayah dan Ibu, dan saya berupaya mati-matian agar tetap senetral mungkin. Tetapi, tidak soal apa yang saya perbuat, saya selalu merasa seperti terjepit di tengah-tengah. Ayah bilang bahwa ia pikir Ibu bakal memengaruhi saya untuk memusuhinya. Jadi, saya harus terus-terusan meyakinkan dia bahwa Ibu tidak berusaha meracuni pikiran saya. Ibu pun sangat waswas. Ia bilang ia takut jangan-jangan saya termakan oleh hal-hal negatif yang Ayah katakan tentang dia. Akhirnya, saya merasa tidak sanggup lagi berbicara kepada Ayah dan Ibu tentang apa yang saya alami karena saya tidak ingin menyakiti mereka. Jadi, pada dasarnya, sejak usia 12 tahun, saya memendam perasaan saya mengenai perceraian tersebut.”​—Sandra.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan