PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g92 Agustus hlm. 5-7
  • Mengapa Afrika Menderita Begitu Banyak?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Mengapa Afrika Menderita Begitu Banyak?
  • Sedarlah!—1992
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Wabah Promiskuitas
  • Keluarga-Keluarga yang Berantakan
  • Bencana Medis
  • Yang Tak Bersalah Menderita
  • Seberapa Buruk AIDS di Afrika?
    Sedarlah!—1992
  • Mengapa AIDS Tersebar Begitu Luas?
    Sedarlah!—1988 (No. 27)
  • Statistik AIDS yang Mencengangkan!
    Sedarlah!—2001
  • Siapa yang Berada dalam Bahaya?
    Sedarlah!—1986 (No. 18)
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1992
g92 Agustus hlm. 5-7

Mengapa Afrika Menderita Begitu Banyak?

JAKOB, seorang pria berusia 42 tahun sedang sakit parah. Ia mengidap AIDS. Ia juga menularkan AIDS kepada istrinya. Jakob mengakui, ”Istri saya tahu bahwa ia mendapatkannya dari saya.”

Namun bagaimana Jakob dijangkiti virus yang fatal ini? Ia menerangkan, ”Ketika itu saya tinggal sendirian di Harare, mengemudi dari Zambia, melintasi Zimbabwe, terus sampai ke Botswana dan Swaziland. Pada waktu itu istri saya tinggal bersama anak-anak kami di Manicaland [Zimbabwe]. Dan kami, para sopir, melakukan hal-hal yang sebenarnya harus lebih kami perhatikan.”

Wabah Promiskuitas

Dewasa ini, perilaku seksual promiskuitas merupakan penyebar utama AIDS di Afrika. Dengan kata-kata sederhana, peneliti AIDS Dawn Mokhobo menjelaskan, ”Aturan seksual sudah sangat bobrok.” Jurnal African Affairs mengatakan bahwa ”orang-orang di wilayah Sahara Afrika menaruh penilaian yang tinggi terhadap anak-anak namun penilaian minim terhadap perkawinan. Seksualitas di luar perkawinan, bahkan . . . jika mengakibatkan kehamilan, tidak dengan tegas ditentang”. Menurut Nature, rute umum penularan mulai dari pelacur. Laporan ini berbunyi, ”Pelacur-pelacur wanita melakukan penebaran bibit epidemi ini pada sebagian besar wanita monogami melalui hubungan seksual dengan suami-suami yang promiskuitas.”

Tidak banyak yang bersedia mengubah perilaku mereka. Panos Document mengenai AIDS di Afrika berikut ini menceritakan pengalaman seorang peneliti medis di Zaire, ”Suatu malam, setelah saya mengadakan tes darah di sebuah daerah pedesaan bersama beberapa rekan medis Zaire, mereka pergi dengan beberapa gadis setempat. Mereka tidur dengan gadis-gadis tersebut, dan hanya seorang dari mereka yang menggunakan kondom.” Ketika ia bertanya kepada mereka tentang risikonya, ”mereka tertawa sambil mengatakan bahwa kita tidak dapat berhenti menikmati hidup hanya karena ada kemungkinan mendapat suatu penyakit”. Ya, hubungan seksual iseng dianggap oleh banyak orang sebagai ”menikmati hidup”—dengan hiburan yang menyenangkan.

Sebagaimana halnya di banyak bagian lain dari dunia, orang-orang muda terutama cenderung untuk promiskuitas. Satu survai baru-baru ini yang dilakukan atas 377 orang muda di Afrika Selatan menyingkapkan bahwa lebih dari 75 persen telah melakukan hubungan seksual. Demikian pula, seorang misionaris di Afrika tengah bagian selatan mengamati bahwa ada ”sedikit gadis berusia 15 tahun yang belum hamil”. Ia menambahkan, ”Anda melihat seorang gadis yang belum kawin dan masih muda, dan dalam hati Anda berpikir, ’Pada waktu seperti ini tahun depan, ia akan hamil.’”

Namun, sehubungan dengan Afrika, ada faktor-faktor lain yang telah mempercepat penyebaran AIDS.

Keluarga-Keluarga yang Berantakan

”Selama sejumlah besar pria berusia dua puluhan dan tiga puluhan terpaksa bekerja jauh dari istri dan keluarga mereka—apakah itu di pabrik-pabrik, pertambangan, perkebunan, di kota, atau di rute perjalanan truk—penyebaran AIDS tidak akan kunjung reda,” kata jurnal Africa South. Para pendatang Afrika menjalani kehidupan yang keras. Dalam keadaan terpisah dari istri dan keluarga mereka, banyak yang harus berjuang untuk mendapatkan akomodasi dan pekerjaan di kota-kota. Menurut jurnal African Affairs, tekanan dalam upaya membiayai diri sendiri dan keluarga di rumah menyebabkan seorang pendatang mengalami ”frustrasi dan perasaan berkekurangan”. Jurnal tersebut menambahkan bahwa hal ini sering mendorong pendatang tersebut untuk ”mengabaikan sama sekali tanggung jawabnya”.

Rute-rute truk khususnya dinilai sebagai penghantar yang memautkan dari penyebaran AIDS. Seperti yang dikatakan oleh seorang sopir truk, ”Saya harus memastikan bahwa ke mana pun saya pergi, ada seorang wanita yang mengurus saya.” Suatu tempat perkembangbiakan AIDS yang khas terdapat di sebuah perkampungan kumuh Afrika Timur tempat 600 pelacur menjual diri. Banyak dari pelanggan-pelanggan mereka adalah sopir-sopir truk yang mampir untuk apa yang mereka sebut istirahat minum teh. Angka penularan HIV di antara pelacur-pelacur ini dihitung telah mencapai lebih dari 80 persen. Sementara itu, sopir-sopir truk yang sudah ketularan pindah ke ”istirahat minum teh” berikutnya dan akhirnya kembali ke rumah mereka—sambil menyebarkan penyakit yang memautkan yang mereka bawa.

Kemudian ada perang sipil dan pertikaian politik—tempat berkembangbiaknya penyakit ini di antara jutaan pengungsi. Ahli AIDS Alan Whiteside mengamati, ”Di mana ada perang politik dan sipil, di situ ada gangguan pada perilaku sosial yang normal . . . Para pengungsi yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain dapat menularkan penyakit ini ke orang-orang lain dan mereka juga kemungkinan memiliki lebih banyak pasangan seksual.”

Bencana Medis

Afrika yang kekurangan dana tidak dapat mengatasi problem-problem medisnya. Brosur Understanding & Preventing AIDS (Memahami dan Mencegah AIDS) menjelaskan, ”Di banyak negara di Afrika jumlah uang yang dianggarkan per orang per tahun untuk perawatan kesehatan kurang dari biaya satu kali tes darah guna mendeteksi virus AIDS.” Demikian pula, Keith Edelston pengarang buku AIDS—Countdown to Doomsday, (AIDS—Detik-Detik Terakhir Menuju Kiamat) menerangkan bahwa ”bahkan sabun untuk mensterilkan peralatan, atau pemutih biasa yang digunakan di rumah-rumah untuk membersihkan noda tumpahan, sering tidak tersedia”.

Praktik penggunaan kembali tabung-tabung penyuntik pada banyak pasien di beberapa negara Afrika mendesak Edelston untuk memperingatkan, ”Hati-hati jika Anda membutuhkan injeksi . . . di Afrika . . . Minta tabung dan jarum penyuntik yang baru yang Anda lihat sendiri diambil dari pembungkus yang steril.”

Risiko penularan dengan tidak disengaja menyebabkan berkurangnya secara serius jumlah para ahli medis. Dua orang dokter yang dipekerjakan di sebuah rumah sakit di Afrika Selatan terkena goresan jarum sewaktu sedang merawat pasien-pasien AIDS. Mereka terjangkit lalu meninggal. Akibatnya, enam orang dokter asing mengundurkan diri dari rumah sakit itu.

Di bawah kondisi-kondisi ini, tidak heran bila banyak orang yang meragukan praktik mentransfusi yang merupakan salah satu penyebar AIDS yang paling ganas—darah! ”Darah yang terkontaminasi tetap merupakan cara penyebaran yang penting,” kata South African Medical Journal, ia menambahkan bahwa ”sebenarnya penyaringan masih belum dilakukan di Afrika tengah dan sedikitnya 60% dari darah donor telah tercemar”.

Jadi, sesudah terkepung oleh banyak tragedi, Afrika kembali menderita. Di antara akibat-akibat yang paling tragis dari wabah AIDS di Afrika adalah yang menimpa kaum wanita dan anak-anak.

Yang Tak Bersalah Menderita

Lucy adalah seorang korban AIDS yang tak bersalah. Ia ditulari oleh suaminya yang promiskuitas. Kini, berusia 23 tahun dan menjanda, Lucy berjuang mengatasi perasaannya. ”Saya masih mencoba menimbang-nimbang apakah menyukai kenangan akan dia atau membencinya karena telah menjangkiti saya,” katanya. Perasaan-perasaan Lucy ini adalah kepedihan dan penderitaan hebat yang umum ditimpakan AIDS atas korban-korbannya yang tak bersalah.

”Meskipun HIV di negara-negara berkembang akan mempengaruhi wanita dan pria dalam jumlah yang kurang lebih sama,” kata jurnal The World Today, ”dampaknya pada wanita cenderung . . . tidak sepadan kerasnya.” Halnya demikian khususnya di Afrika, yang para wanitanya—dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan akibat buta huruf, kemiskinan, dan suami yang sering bepergian—menderita batin.

Namun bekas yang paling tragis ditinggalkan oleh AIDS adalah atas anak-anak. UNICEF (United Nations Children’s Fund) memperkirakan bahwa sementara 2,9 juta wanita meninggal akibat AIDS di Afrika dalam dasawarsa ini, sampai 5,5 juta anak akan menjadi yatim-piatu. Seorang pejabat di sebuah negara yang memiliki paling sedikit 40.000 anak yatim-piatu akibat AIDS melaporkan bahwa sudah ada ”desa-desa . . . yang hanya terdiri dari anak-anak”.

Yang umum dalam dilema ini adalah ibu-ibu yang ketularan bersama anak-anak mereka yang ketularan. South Africa Medical Journal menerangkan bahwa ”pertanyaan yang umum diajukan oleh ibu dari seorang bayi yang kedapatan positif mengidap penyakit dalam serum darahnya adalah ’siapa yang akan mati lebih dulu?’”

Tidak heran banyak wanita merasa mudah terkena AIDS. M. Phiri, seorang dokter di Zambia berkata, ”Wanita-wanita datang kepada kami dan bertanya mengenai apakah ada sesuatu yang dapat mereka gunakan untuk menjaga diri agar tidak terjangkit penyakit ini . . . Ada ketakutan bahwa meskipun secara pribadi mereka menjaga diri, pasangan mereka, suami mereka, mungkin tidak demikian setianya. Ini mengkhawatirkan mereka.”

Maka, apa yang dapat dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah jika teman hidupnya telah melakukan promiskuitas? Jika tindakan mengampuni dan kerukunan perkawinan diikuti, pasangan yang bersalah harus bersedia diperiksa secara medis untuk melihat kemungkinan mengidap HIV. (Bandingkan Matius 19:9; 1 Korintus 7:1-5.) Sebelum hasilnya diketahui, teman hidup yang menghadapi situasi demikian dapat memutuskan untuk berpantang melakukan hubungan seksual atau setidaknya mengambil tindakan pengaman terhadap penularan.

Dengan adanya periode inkubasi AIDS yang panjang, orang-orang muda yang memikirkan perkawinan juga harus waspada sebelum mereka mengawini seseorang yang memiliki masa lalu yang meragukan secara moral, sekalipun orang tersebut saat ini hidup menurut standar Kristen. Mengenai kelompok risiko ini, seorang ahli AIDS berkebangsaan Tanzania, Dr. S. M. Tibangayuka, menganjurkan agar orang-orang muda mengambil tindakan pencegahan dengan ”menjalani tes guna mendeteksi HIV sebelum mereka menikah”.

Kenyataannya, selama ada AIDS di Afrika dan tentu, di bagian-bagian lain di dunia, korban-korban yang tak bersalah, termasuk teman hidup dan anak-anak, akan menderita.

[Gambar di hlm. 7]

Ada banyak alasan mengapa AIDS mengambil korban yang demikian mengerikan di Afrika

[Keterangan]

WHO/E. Hooper

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan