PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g94 8/2 hlm. 10-13
  • Seberapa Berbahagiakah Kehidupan Kota?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Seberapa Berbahagiakah Kehidupan Kota?
  • Sedarlah!—1994
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Semu versus Kenyataan
  • Semua yang Berkilau Itu Bukanlah Emas
  • Lebih Banyak yang Kalah daripada yang Menang
  • Kebudayaan Buatan Amerika Serikat
  • Tercekik karena Kesuksesannya Sendiri
  • Menemukan Sukacita Sejati
  • ”Berkeliling ke Semua Kota”
    Sedarlah!—1994
  • Saya Ingin Seperti Putri Yefta
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2011
  • ”Kota Ini Penuh Tekanan”
    Sedarlah!—1994
  • Risiko yang Menyakitkan dari Judi
    Sedarlah!—1992
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1994
g94 8/2 hlm. 10-13

Seberapa Berbahagiakah Kehidupan Kota?

DI KOTA-KOTA dewasa ini, umat manusia yang menderita mencari kebahagiaan melalui banyak cara. Kota-kota seperti Bombay, Bangkok, Monte Carlo, San Francisco, dan Dallas berupaya menyediakannya. Dalam banyak hal mereka berhasil. Tetapi, apakah ada dari antara kota-kota dunia ini yang menjadi sumber sukacita yang abadi?

Semu versus Kenyataan

Pada awal abad ini, Hollywood menjadi ibu kota perfilman dunia. Jadi sungguh mengejutkan mengetahui bahwa India kemungkinan memproduksi sebanyak 800 film per tahun. ”Masyarakat India kecanduan film,” kata majalah Jerman Geo, yang menyebut ketagihan mereka ”hampir seperti suatu agama”. Majalah tersebut menambahkan, ”Tidak ada tempat lain mana pun selain gedung bioskop yang jelas-jelas berfungsi sebagai suatu dunia pengganti bagi jutaan orang yang menemukan kesuksesan dan kekayaan, kebahagiaan dan keadilan hanya di layar perak.”

Meskipun kira-kira setengah dari film-film India diproduksi di Madras yang terletak di pantai timur, industri film India berawal di pantai barat. Pada tahun 1896, kakak-beradik berkebangsaan Prancis bernama Auguste dan Louis Lumière, penemu proyektor yang laris diperdagangkan, mempersembahkan film perdana mereka yang sukses di Hotel Watson, Bombay.

Bombay merupakan sebuah desa kecil ketika para pedagang Portugis mengambil alih kekuasaan atas kota itu pada tahun 1534. Raja Charles II dari Inggris menikahi seorang putri raja Portugis pada tahun 1661, dan desa itu diberikan kepadanya sebagai hadiah perkawinan. Pada tahun 1668, daerah itu dikuasai oleh East India Company, dan tak lama kemudian Bombay menjadi pelabuhan laut utama di pantai barat India.

Sebuah ensiklopedia mengatakan bahwa ”kecantikan alam Bombay tak tertandingi oleh kota mana pun di wilayah itu”. Ditinjau dari panoramanya yang indah dan sesuai dengan dunia semu film-film India yang turut diciptakannya​—suatu perpaduan musik, tari-tarian, dan cinta​—Bombay seharusnya menjadi kota yang penuh sukacita.

Akan tetapi Bombay merupakan salah satu kota yang kepadatan penduduknya tertinggi di dunia. Keadaan yang penuh sesak merusak lingkungan yang asri dari kota itu dan tidak mendatangkan banyak kebahagiaan bagi ribuan orang yang tinggal di kota miskin tersebut ”tanpa air bersih atau sanitasi” dan yang terpaksa menggunakan ”sungai-sungai terdekat dan alam terbuka sebagai jamban”.​—5000 Days to Save the Planet.

Bombay juga memiliki banyak agama. Namun sebaliknya daripada mendatangkan sukacita, terjadi pertikaian agama yang hebat di India. Dalam dua tahun terakhir ini, pertikaian-pertikaian ini telah menewaskan ratusan jiwa di Bombay saja.

Semua yang Berkilau Itu Bukanlah Emas

San Francisco juga adalah kota yang memiliki keindahan alam. Kota itu terkenal karena bukit-bukitnya, karena salah satu pelabuhan alam yang terbaik di dunia, dan karena jembatan-jembatannya, termasuk Golden Gate (Gerbang Emas) yang membentang pada jalan masuk ke pelabuhan. Ini membuat banyak pengunjung merasa takjub.

Pada tahun 1835, Yerba Buena didirikan, dan pada tahun 1847, kota itu diganti namanya menjadi San Francisco. Satu tahun kemudian, emas ditemukan di sekitar situ, dan penyerbuan terhadap emas Kalifornia pun mulai. Sebuah desa yang semula penduduknya hanya beberapa ratus orang dengan cepat menjadi kota perbatasan yang padat. Namun terdapat rintangan di kota itu, seperti gempa bumi dan kebakaran yang menghancurkan pada tahun 1906.

Menyumbang pada popularitas San Francisco adalah gaya internasionalnya. Di dalam wilayahnya, kata The European, ”terdapat beragam dunianya yang sangat berbeda suasana maupun penampilannya”. Beberapa kelompok nasional mewakili Eropa dan Asia, seperti misalnya salah satu komunitas Cina terbesar di luar Asia. Penduduk berbahasa Spanyol menunjukkan asal-usul kota itu dengan gaya Meksiko.

Baru-baru ini, beberapa ratus pakar kepariwisataan memilih San Francisco sebagai ”kota impian”, mereka memuji ”perpaduan yang unik dari persahabatan, keanggunan dan toleransi di kota itu”. Seorang jurnalis memerinci, ”Jika satu hal menjadi ciri Kalifornia Utara dan kota tempat saya tinggal, itu adalah toleransi atas segala macam gaya perilaku manusia yang membuat para orang-tua di bagian-bagian lain di negeri ini terkejut dan sangat marah.”

Perangai Bohemian kota itu telah sering menjadi berita utama. Pada tahun 1960-an, banyak orang dengan risih menyaksikan anak-anak muda berambut gondrong yang berperilaku seperti hippie menyanjung-nyanjung ”cinta” dan ”perdamaian” sebelum melibatkan diri ke dalam gaya hidup urakan dengan obat bius dan promiskuitas. Dan kota ini memiliki salah satu komunitas homoseksual terbesar di negeri itu.

AIDS telah mengguncang San Francisco dengan sangat keras. Sebuah surat kabar Jerman menyebut epidemi tersebut sebagai ”krisis terberat” kota itu sejak gempa bumi dan kebakaran pada tahun 1906, menambahkan bahwa ”suasana ceria kota itu tampaknya hilang untuk selamanya”. Kota dengan Golden Gate tersebut harus menghadapi kenyataan pahit: Gaya hidup ”keemasan” dengan segala janjinya, telah kehilangan kilaunya di tengah-tengah kepedihan.

Lebih Banyak yang Kalah daripada yang Menang

Monte Carlo, yang sejak dahulu telah menjadi tempat bermain bagi orang-orang kaya dan elit, merupakan lokasi dari rumah-rumah judi paling kondang di dunia. Sejak dibuka pada tahun 1861, kasinonya telah menjadi tempat persinggahan yang terkenal bagi para wisatawan. Beberapa kasino menarik bagi orang-orang yang merasa bahwa menang judi merupakan cara mendapatkan kebahagiaan yang besar. Namun jauh lebih banyak orang yang kalah berjudi daripada yang menang.

Monte Carlo terletak di French Riviera di Kerajaan Monaco dan luas tanahnya kurang dari 2,5 kilometer persegi. Monaco dihuni oleh orang-orang Roma di zaman purba. Pada tahun 1297, keluarga Grimaldi yang kaya raya dari Italia berkuasa di sana. Setelah kehilangan kemerdekaannya, pertama terhadap Spanyol kemudian terhadap Prancis, kerajaan itu dikembalikan ke tangan keluarga Grimaldi pada tahun 1814.

Pada tahun 1992, Rainier III, seorang keturunan Grimaldi, menyatakan keprihatinan atas keselamatan rakyatnya. Setelah memperhatikan bahwa ”empat puluh persen dari lalu lintas tanker dunia melewati Laut Tengah”, ia menambahkan, ”Laut Tengah memiliki 150 kali lebih banyak polusi minyak dibandingkan Laut Utara. Delapan puluh persen dari pipa limbah yang membatasi laut ini boleh dikata tidak terawat.”

Meskipun terdapat problem, ”tidak ada tempat pesiar lain”, kata The European, ”yang dapat dengan begitu cepat menampilkan citra keriangan dan keantikan hanya dengan menyebutkan namanya”. Menyumbang kepada citra ini adalah kasino-kasinonya, museum-museumnya, kelab perahu layarnya yang mewah, reli mobilnya​—beberapa orang menyebutnya balap mobil yang paling besar dan paling glamor​—serta gedung operanya. Akan tetapi, kebudayaan bukanlah segalanya yang memikat orang-orang kaya ke Monte Carlo; keuntungan pajaknyalah yang amat berpengaruh.

Namun, uang dan kebudayaan tidak dapat menjamin kebahagiaan yang abadi. Charles Wells, seorang pria Inggris, benar-benar berhasil menguras bank dengan memenangkan seluruh uang kasino di Monte Carlo pada tahun 1891, namun meskipun ia mendapat ’nasib baik’, ia akhirnya harus mendekam di penjara. Dan di sebuah kota yang terkenal dengan balap mobil dan power boating-nya yang menggetarkan, sungguh merupakan ironi yang menyedihkan bahwa istri Pangeran Rainier, Putri Grace, tewas pada tahun 1982 dalam suatu kecelakaan mobil dan suami putri mereka tewas dalam sebuah kecelakaan power boating pada tahun 1990.

Kebudayaan Buatan Amerika Serikat

Meskipun kebudayaan pop Amerika bersifat kritis, banyak orang Eropa tampaknya menyerap sebagian besar kebudayaan tersebut menjadi kebudayaan mereka sendiri. Misalnya, mereka menonton dengan penuh minat seraya adegan-adegan intrik dan skandal keluarga ditayangkan di layar TV selama beberapa tahun dalam sebuah serial TV berjudul Dallas. Sebuah surat kabar Jerman memuji seri tersebut karena ”memuaskan kebutuhan emosi” dan karena menyampaikan ”perasaan aman, percaya, dan rasa memiliki”.

Majalah Time tidak banyak memuji. Majalah tersebut menyatakan bahwa acara tersebut ”menggembar-gemborkan konsumsi besar-besaran kepada agama sekular . . . Seri itu memperkenalkan para pemirsa kepada Ketamakan Tahun 80-an, dengan menjadikan seorang pengusaha minyak Texas sebagai tokoh idolanya”.

Citra yang diberikan kepada kota tersebut melalui acara TV yang menyandang nama kota itu sama sekali bukan apa yang dibayangkan oleh seorang pengacara sekaligus pedagang bernama John Bryan pada waktu ia mendirikan sebuah pos dagang pada tahun 1841, barangkali menamainya sesuai dengan nama George Dallas, wakil presiden AS. Kota keuangan, transportasi, dan industri​—lokasi bagi lebih banyak perusahaan minyak dibandingkan dengan kota lain mana pun di AS​—”Big D” (sebutan bagi kota itu) benar-benar makmur.

Kekayaan sering disejajarkan dengan kebahagiaan, jadi orang-orang boleh jadi memandang Dallas sebagai kota yang penuh sukacita. Akan tetapi, kekayaan tidak mencegah hal-hal buruk terjadi. Dallas adalah tempat John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat ke-35, dibunuh pada tanggal 22 November 1963.

Kejahatan kota besar merupakan salah satu masalah kota Dallas yang merampas kebahagiaan orang-orang. Masalah lainnya adalah ketegangan rasial dan kebudayaan. Di Dallas, sebagaimana halnya di setiap kota dengan masyarakat yang multirasial dan multibudaya, selalu terdapat potensi untuk kekerasan, seperti yang diperlihatkan oleh kerusuhan rasial di Los Angeles dan kerusuhan agama di Bombay.

Tercekik karena Kesuksesannya Sendiri

Karena kanal-kanalnya yang banyak, Bangkok mendapat julukan ”Venesia Timur”. Sekarang kebanyakan dari kanal-kanal tersebut telah diganti dengan jalan raya, dan sebuah laporan mengatakan bahwa seorang ”pengemudi kendaraan bermotor rata-rata menghabiskan 44 hari setiap tahunnya di jalan raya yang macet”.

Raja Rama I tidak tahu apa-apa tentang masalah-masalah demikian ketika ia mengubah sebuah desa kecil menjadi sebuah kota kerajaan pada tahun 1782, menamainya Krung Thep, yang berarti ”Kota Malaikat”. Setelah Istana Agung dibangun, seluruh kota itu dibangun di sekitar istana tersebut sesuai dengan kepercayaan Thai bahwa istana itu merupakan pusat alam semesta. Selama Perang Dunia II, Bangkok menderita kerusakan berat yang disebabkan oleh pengeboman dari udara. Meskipun memiliki nama yang agung dan kuil-kuil yang megah, tidak terdapat bukti adanya perlindungan malaikat.

Meskipun kota itu terletak kira-kira 30 kilometer dari Teluk Siam, Bangkok dibuat menjadi sebuah pelabuhan laut oleh pengendapan lumpur yang terus-menerus dari Sungai Chao Phraya yang membelah kota itu. Sungai itu sering meluap ke tepi-tepinya dan membanjiri bagian tertentu dari kota itu, yang beberapa di antaranya terletak hanya setengah meter di atas permukaan laut. Akan tetapi, air banjir kini dialihkan melalui saluran-saluran pemisah, dan ini telah mendatangkan kelegaan yang lumayan. Problem lainnya adalah bahwa ribuan sumur artesis telah menyebabkan kandungan air menurun. Sejak 1984, seluruh kota tenggelam dengan kecepatan rata-rata empat inci per tahun.

Pertumbuhan penduduk kota Bangkok yang menjadi lebih dari lima juta orang, disertai keberhasilan ekonomi yang lumayan, seharusnya menjadi sumber kebahagiaan. Dan setiap tahun jutaan wisatawan mengunjungi kota itu dan berfoya-foya di sana. Namun ini sebagian besar disebabkan oleh reputasinya, karena banyak pengunjung tertarik oleh seks yang murah dan mudah didapat di rumah-rumah bordil Bangkok. Jadi kota itu sekarang terkenal sebagai ibu kota kemesuman Timur Jauh.

Bahkan, sukacita dari peristiwa-peristiwa seperti peringatan 200 tahun berdirinya kota Bangkok​—parade bunga, pameran sejarah, upacara kerajaan, tarian klasik, dan kembang api​—tidak dapat menghapuskan kesedihan yang dirasakan di kota ini. Bangkok, menurut Newsweek, sedang ”tercekik karena kesuksesan ekonominya sendiri”.

Menemukan Sukacita Sejati

Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh pusat-pusat hiburan, yang mutakhir, seperti yang ditawarkan oleh kota-kota di atas? Hanyalah kesenangan sementara, bukan kebahagiaan abadi. Dewasa ini, kebahagiaan abadi hanya dapat diperoleh dengan roh Allah, yang salah satu buahnya adalah sukacita.​—Galatia 5:22.

Maka janganlah mencari sukacita dalam kesia-siaan, bukan di studio-studio film Bombay, kasino-kasino judi di Monte Carlo, gaya hidup serba boleh di San Francisco, kemakmuran materi Dallas, atau rumah-rumah bordil Bangkok. Dalam terbitan kami yang akan datang, kita akan melihat di mana sukacita abadi dapat ditemukan.

[Gambar di hlm. 11]

San Francisco, AS

[Gambar di hlm. 11]

Bombay, India

[Gambar di hlm. 12]

Bangkok, Thailand

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan